Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN

ASUHAN KEPERAWATAN KDP PADA PASIEN


TN. “H” DENGAN CKD
DI RUANG BOUGENVILLE
RSUD ANDI DJEMMA MASAMBA

Di susun oleh :

RATNA SARI

032022036

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


INSTITUT KESEHATAN DAN BISNIS
KURNIA JAYA PERSADA
PALOPO
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi
glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2 selama 3
bulan atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak faktor (NKF K/DOQI 2000;
Kallenbach et al. 2005). Apabila kerusakan ini mengakibatkan laju filtrasi glomelurus/GFR
berkurang hingga di bawah 15 ml/min/1,73 m2 dan disertai kondisi uremia, maka pasien
mengalami gagal ginjal tahap akhir atau disebut dengan End Stage Renal Disease (ESRD).
Saat ini penderita gagal ginjal kronik di dunia mengalami peningkatan sebesar 20-25%
setiap tahunnya (USRDS 2008 dalam Harwood. Lori et al. 2009). Menurut data PERNEFRI
(Perhimpunan Nefrologi Indonesia)mencapai 70.000, namun yang terdeteksi menjalani gagal
ginjal kronis dan menjalani cuci darah/haemodialysis hanya sekitar 4000 sampai dengan
5000 saja. Angka mortalitas pasien gagal ginjal kronik semakin meningkat seiring
meningkatnya angka kejadian penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit jantung
sebagai penyebabnya dan komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut. Menurut data
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2006, gagal ginjal kronik menempati urutan ke 6 penyebab
kematian yang dirawat di rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang
dilakukan di RSUP Fatmawati, menurut data Instalasi Rekam Medik RSUP Fatmawati
Jakarta jumlah penderita penyakit ginjal kronik pada tahun 2011 sebanyak 1629 orang.
Oleh karena permasalahan tersebut, makalah ini disusun agar perawat mampu memahami
dengan baik mengenai gagal ginjal kronik serta mampu menerapkan asuhan keperawatan
yang tepat bagi penderita gagal ginjal kronik.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Makalah ini menjabarkan secara rinci tentang teori konseptual mengenai gagal ginjal
kronik dan bagaimana cara memberikan penatalaksaan yang cepat dan tepat, serta
pembaca diharapkan memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada kasus
gagal ginjal kronik secara komprehensif.

1.2.2 Tujuan Khusus


Mahasiswa mampu
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi ginjal
2. Menjelaskan definisi dari gagal ginjal kronik
3. Menjelaskan tahap perkembangan dari gagal ginjal kronik
4. Menjelaskan etiologi dari gagal ginjal kronik
5. Menjelaskan stadium dari gagal ginjal kronik
6. Menjelaskan patofisiologi dari gagal ginjal kronik
7. Menjelaskan manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik
8. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari gagal ginjal kronik
9. Menjelaskan penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik
10. Menjelaskan komplikasi dari gagal ginjal kronik
11. Menjelaskan prognosis dari gagal ginjal kronik
12. Menjelaskan Web of Cautation dari gagal ginjal kronik
13. Menjelaskan Asuhan keperawatan dari gagal ginjal kronik

1.3 Manfaat
Mahasiswa mampu mengetahui tentang gagal ginjal kronik sehingga perawat akan lebih
peka dan teliti dalam mengumpulkan data pengkajian awal dan menganalisa suatu respon
tubuh pasien terhadap penyakit, sehingga gagal ginjal kronik tidak semakin berat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi


Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga peritoneal bagian
atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi
ini, terdapat hilus ginjal, yaitu tempat struktur-sturuktur pembuluh darah, sistem limfatik,
sistem saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Besar dan berat ginjal sangat
bervariasi tergantung pada jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi lain.
Ukuran ginjal rata-rata adalah 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal). Beratnya
bervariasi sekitar 120-170 gram (Aziz dkk.2008).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan berkilau yang disebut true capsule
(kapsul fibrosa) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat jaringan lemak peri renal. Di sebelah
kranial terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal/suprarenal yang berwarna kuning.
Kelenjar adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh fasia
gerota. Fasia ini berfungsi sebagai barier yang menghambat meluasnya perdarahan dari
parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urin pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu,
fasia gerota dapat pula berfungsi sebagai barier dalam menghambat metastasis tumor ginjal
ke organ sekitarnya. Di luar fasia gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau disebut
jarinagn lemak pararenal (Aziz dkk. 2008).
Ginjal bekerja untuk menyaring darah sebanyak kurang lebih 200 liter tiap harinya dan
juga membuang sisa-sisa metabolisme serta kelebihan cairan tubuh melalui urin. Selain
membuang sisa-sisa metabolisme tubuh melalui urin, ginjal berfungsi juga dalam:
1. Melakukan kontrol terhadap sekresi hormon-hormon aldostreon dan Anti Diuretik
Hormon (ADH)
2. Mengatur metbolisme ion kalsium dan vitamin D
3. Menghasilkan hormon, antara lain: eritropoetin yang berperan dalam pembentukan sel
darah merah, renin yang berperan dalam pengaturan tekanan darah, kalsitriol atau vitamin
D3 yaitu bentuk aktif dari vitam D yang berfungsi mengatur tekanan darah dengan cara
mengatur keseimbangan kadar kalsium, dan hormon prostaglandin (Aziz dkk. 2008).

2.2 Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
ireversibel, yang menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer 2008). Gagal ginjal kronik merupakan
kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration
Rate/GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan (Kallenbach
et al. 2005). Menurut KDIGO (2013) Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan
abnormalitas dari struktur atau ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan yang
mempengaruhi kesehatan, dengan kriteria sebagai berikut:
1. Adanya kerusakan ginjal (satu atau lebih):
a. Albuminuria (AER ≥30 mg/24 jam; ACR ≥30 mg/g [≥3 mg/mmol])
b. Abnormalitas sedimen urin
c. Abnormalitas elektrolit dan lainnya akibat dari kerusakan pada tubulus ginjal
d. Adanya abnormalitas yang diketahui dari histologi
e. Abnormalitas struktural yang diketahui dari pencitraan
f. Mempunyai riwayat transplantasi ginjal
2. Penurunan GFR
GFR 60 ml/min/1,73 m2 (Kategori GFR G3a-G5)
Kondisi ginjal yang gagal melaksanakan fungsi utamanya akan terjadi gangguan
pembuluh darah dan penyakit lebih mudah merusak pembuluh darah tersebut. Akibatnya,
darah yang diterima unit penyaring menjadi lebih sedikit, dan tekanan darah di dalam ginjal
tidak bisa dikendalikan. Bila unit penyaring yang terganggu, maka suplai darah kurang dan
gangguan tekanan darah akan membuat ginjal tidak mampu membuang zat-zat tidak terpakai
lagi. Selain itu ginjal juga tidak bisa mempertahankan keseimbangan cairan dan zat-zat kimia
di dalam tubuh, sehingga zat buangan bisa masuk kembali ke dalam darah. Juga mungkin
terjadi, zat kimia yang dibutuhkan tubuh dan protein akan ikut keluar bersama urin (Syamsir
& Iwan 2007).
Pada gagal ginjal kronik penderita hanya dapat berusaha menghambat laju tingkat
kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak menjadi gagal ginjal terminal (GGT), suatu
kondisi dimana ginjal sudah tidak dapat berfungsi lagi. Kondisi gagal ginjal kronik ini
biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya menahun, dengan sedikit gejala pada awalnya,
bahkan lebih sering penderita tidak merasakan adanya gejala dan diketahui fungsi ginjal
sudah menurun 25% dari normal. Beberapa penyakit yang memicu terjadinya penyakit aggal
ginjal kronik, antara lain diabetes, hipertensi, dan batu ginjal (Syamsir & Iwan 2007).

2.3 Tahapan Perkembangan Gagal Ginjal Kronik


Tahapan perkembangan gagal ginjal kronik, yaitu (Baradero dkk. 2005):
1. Penurunan cadangan ginjal
a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
c. BUN dan kreatinin serum masih normal
d. Pasien asimtomatik
2. Gagal ginjal
a. 75-80% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
c. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
d. Anemia ringan dan azotemia ringan
e. Nokturia dan poliuria
3. Gagal ginjal
a. Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal
b. BUN dan kreatinin serum meningkat
c. Anemia, azotemia, asidosis metabolik
d. Berat jenis urin
e. Poliuria dan nokturia
f. Gejala gagal ginjal
4. End-stage renal disease (ESRD)
a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
c. BUN dan kreatinin tinggi
d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik
e. Berat jenis urin tetap 1,010
f. Oliguria
g. Gejala gagal ginjal

2.4 Etiologi
Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes mellitus (tipe 1 atau tipe
2) dan hipertensi, sedangkan penyebab End-stage Renal Failure (ERFD) di seluruh dunia
adalah IgA nephropathy (penyakit inflamasi ginjal). Komplikasi dari diabetes dan hipertensi
adalah rusaknya pembuluh darah kecil di dalam tubuh, pembuluh darah di ginjal juga
mengalami dampak terjadi kerusakan sehingga mengakibatkan gagal ginjal kronik.
Etiologi gagal ginjal kronik bervariasi antara negara yang satu dengan yang negara lain.
Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebab paling banyak terjadi gagal ginjal
kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh hipertensi sebanyak 27% Dan
glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal kronik
sering terjadi karena glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi pada ginjal,
hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al. 2009).

Penyebab dari gagal ginjal kronis yang tersering dibagi menjadi 8 kelas, antara lain (Price
& Wilson 2003):
Tabel 1.
Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik (Price & Wilson 2003):
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronis/refluks nefropati
Penyakit peradangan Glomerulonefritis
Penyakit vascular hipertensif Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan ikat SLE
Poliarteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik DM
Gout, hiperparatiroidisme
Amilodosis
Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik, obat TBC
Nefropati timah
Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas: batu, neoplasma,
fibrosis retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah: hipertropi
prostat, striktur uretra, anomali kongenital leher
vesika urinaria dan uretra

2.5 Stadium
Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan CGA sistem yaitu Cause,
GFR category, dan Albuminuria category. Gagal ginjal kronik merupakan stadium 5 dari
CKD atau biasa disebut dengan End-stage Renal Disease (ESRD). Dikatakan gagal ginjal
kronik apabila dari hasil tes nilai eGFR < 15 mL/min/1.73 m2.
Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) dalam Kidney Disease: Improving Global
Outcomes (KDIGO) CKD Work Group (2013) KDIGO 2 clinical practice guideline for the
evaluation and management of chronic kidney disease:
Tabel 2. Kategori GFR (KDIGO 2013)

GFR category GFR (ml/min/1.73 m2) Terms

G1 >90 Normal or high

G2 60–89 Mildly decreased*

G3a 45–59 Mildly to moderately decreased

G3b 30–44 Moderately to severely decreased

G4 15–29 Severely decreased

G5 <15 Kidney failure


* Relatif pada level dewasa

Tabel 3. Kategori Albuminuria (KDIGO 2013)

ACR AER ACR


Terms
category (mg/24hrs) (mg/mmol)

A1 < 30 <3 Normal to mildly increased

A2 30-300 3–30 Moderately increased*

A3 > 300 >30 Severely increased**

* Relatif pada level dewasa


** Termasuk sindrom nefrotik (ACR > 220 mg/mmol)

GFR = glomerular filtration rate


AER = albumin excretion rate
ACR = albumin-to-creatinine ratio

2.6 Patofisiologi
Perjalanan umum ginjal kronik  dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium satu
dinamakan penurunan cadangan ginjal . Pada stadium ini kreatin serum dan BUN dalam
keadaan normal dan penderita asimtomatik (tanpa gejala). Gangguan fungsi ginjal akan dapat
diketahui dengan tes GFR.
Stadium dua dinamakan insufisiensi ginjal , dimana lebih dari 75%  jaringan yang
berfungsi telah rusak dan GFR 25% dari normal. Pada tahap ini BUN baru mulai stadium
insufisiensi ginjal gejala nokturia dan poliuria diakibatkan kegagalan pemekatan. Nokturia
(berkemih pada malam hari) sebanyak 700 ml atau  berkemih lebih dari beberapa kali.
Pengeluaran urin normal sekitar 1500 ml perhari atau sesuai dengan jumlah cairan yang
diminum.
Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia . sekitar 90% dari massa
nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang masih utuh. Nilai GFR nya hanya 10% dari
keadaan normal dan bersihakan kreatin sebesar 5-10 ml/menit. Penderita biasanya oliguri
(pengeluaran urien kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomelurus uremik. Fungsi
ginjal menurun, produk akhir metabolisme protein. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
sistem tubuh.

2.7 Manifestasi Klinis


Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal kronis adalah penurunan secara lambat dan
progresif dari fungsi ginjal. Biasanya terjadi akibat komplikasi dari kondisi medis lain yang
serius. Tidak seperti gagal ginjal akut yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba, gagal ginjal
kronis terjadi secara bertahap. Gagal ginjal kronis terjadi dalam hitungan minggu, berbulan-
bulan, atau bahkan bertahun-tahun sampai ginjal perlahan berhenti bekerja, mengantarkan
pada stadium akhir penyakit ginjal (ESRD). Perkembangan yang sangat lambat inilah yang
mengakibatkan gejala tidak muncul sampai adanya kerusakan besar.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Long 1996):
1. Gejala dini: lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi.
2. Gejala yang lebih lanjut: anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas
baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak
ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare 2001):
1. Kardiovaskuler
a. Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
b. Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
c. Edema periorbital
d. Friction rub pericardial
e. Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
a. Warna kulit abu-abu mengkilat
b. Kulit kering bersisik
c. Pruritus
d. Ekimosis
e. Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
a. Krekels
b. Sputum kental dan liat
c. Nafas dangkal
d. Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
a. Anoreksia, mual, muntah, cegukan
b. Nafas berbau ammonia
c. Ulserasi dan perdarahan mulut
d. Konstipasi dan diare
e. Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
a. Tidak mampu konsentrasi
b. Kelemahan dan keletihan
c. Konfusi/perubahan tingkat kesadaran
d. Disorientasi
e. Kejang
f. Rasa panas pada telapak kaki
g. Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
a. Kram otot
b. Kekuatan otot hilang
c. Kelemahan pada tungkai
d. Fraktur tulang
e. Foot drop
7. Reproduktif
a. Amenore
b. Atrofi testekuler

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK adalah:
1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi dalam (24 jam –
48) jam setelah ginjal rusak.
2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah.
3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh glomerulonefritis,
pielonefritis dengan kehilangan kemampuan memekatkan : menetap pada l, 0l0
menunjukkan kerusakan ginjal berat.
4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan rasio urin/ serum
saring (1 : 1).
5. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal.
6. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal tidak mampu
mengabsorpsi natrium.
7. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
8. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna merah
diduga nefritis glomerulus.

Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik, antara lain:
1. Gambaran Klinis
Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus,
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus
Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan, (Volume Overload) neuropati perifer, proritus, uremic, frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi
kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted
kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

2.9 Penatalaksanaan
Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya menurut
Suwitra (2007) antara lain:
Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya
Deraja LFG
Rencana Tatalaksana
t (ml/mn/1,73m2)
1 ≥90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi
perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler
2 60-80 Menghambat perburukan (progession) fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 ˂15 Terapi pengganti ginjal

Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal kronik


berdasarkan tabel diatas adalah:
1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang
masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya.
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik, hipertensi berat, gangguan
elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus
adalah:
a. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra 2007).

LFG ml/mnt Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr


˃60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr nilai ≤ 10 g
biologi tinggi
5-25 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g
protein nilai biologis tinggi /tambahan
0,3 g asam amino esensial / asam keton
˂60 (SN) 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria atau ≤ 9 g
0,3 g / kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton
Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.
Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein overload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkattkan
progresifitas pemburuan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan
dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber
yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
b. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi, memperkecil risiko
gangguan kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan kerusakan nefron.
Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angiotensin
(Angiotensin Converting Enzym/ ACE inhibitor dapat memperlambat proses
perburukan fungsi ginjal.
4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyaki kardiovaskuler adalah
pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.
a. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Penatalaksanaan
terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila
ditemukan. Pemberian eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit
ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal
sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.
b. Osteodistrofi renal
Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan
tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan
gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
1. Manajemen Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal
kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam,
karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan
seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya
malnutrisi
b. Pemberian pengikat fosfat
Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, alumnium
hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk
menghambat absorbsi fofat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang
banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium acetate.
Memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent)
Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor
Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini
disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas
yang sangat baik serta efek samping yang minimal.
2. Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3))
Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan.
Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat
dan kalsium disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan
barang calcium carbonate dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik.
Disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap
kelenjar paratiroid. Oleh karena itu pemakainnya dibatasi pada pasien dengan
kadar fosfat darah normal dan kadar hormone paratiroid (PTH)>2,5 kali normal.
3. Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya odem dan komplikasi kardiovaskular.
Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik
melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang
keluar melalui insible water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah
urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.
Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia
jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung
kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi
kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi.
6. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal
dialisis atau transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses
tersebut (Raharjo, et al. 2009). Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan
sisa metabolisme dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk
kimiawi dalam tubuh (Ignatavicius & Workman 2006). Tujuan hemodialisis adalah
untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah yang penuh dengan
toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah
tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Aliran darah
akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersikulasi di sekitarnya.
Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi membran
semipermeabel tubulus (Rosdiana 2011). Proses hemodialis dilakukan 1-3 kali dalam
seminggu di rumah sakit dengan memerlukan waktu sekitar 2-45 jam setiap kali
hemodialisis (Syamsir&Hadibroto 2007).Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis
berdasarkan parameter
Indikasi inisiasi terapi dialisis:
1. Indikasi absolut
a. Periecarditis
b. Ensefalopati / neuropati azotemik
c. Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik
d. Hipertensi refrakter
e. Muntah persisten
f. BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg %
2. Indikasi elektip
a. LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8 ml/m/1,73 m2
b. Mual, anoreksia,muntah, dan astenia berat
Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain:
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus mendapatinformasi
yang harus dipahami sendiri dan keluarganya.
Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular:
1. Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu
2. Psikoligis yang stabil
3. Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak terbatas
sebelum transplantasi ginjal
4. Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal yang telah
ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin kualitas hidup optimal
5. Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan :
a. Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan
b. Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
6. Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/% terutama pasien
wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.

Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain:


1. Hipotensi
Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan.
2. Emboli udara
Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki sistem vaskular
pasien.
3. Nyeri dada
Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sikulasi di luar tubuh.
4. Pruritus
Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di dalam kulit
5. Gangguan keseimbangan dialisis
Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan kejang,
berpotensi besar jika terdapat uremia yang berat.
6. Malnutrisi
Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa.
7. Fatigue dan kram
Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan edema
pulmoner. Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan sodium.

b. Peritoneal Dialisis
Pada dialisis ini membran dialisis menggunakan membran peritoneal pasien sendiri.
Cairan dialisis diletakkan pada rongga peritoneal menggunakan kateter yang
dimasukkan dan dibiarkan selama 4-6 jam untuk mencapai kesetimbangan. Dialisat
kemudian dibuang dan digantikan dengan fluida dialisis yang baru. Perubahan
konsentrasi glukosa pada dialisat akan mengubah osmolaritas dan hal ini mengatur
perpindahan air secara osmosis dari darah ke dialisat. Proses ini dapat dilakukan
sendiri oleh pasien di rumah. Komplikasi yang sering terjadi adalah peritonitis.
c. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal:
1. Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 - 80% faal ginjal
alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.
Kontraindikasi relatif terhadap transplantasi ginjal:
1. Usia lebih dari 70 th
2. HIV positif
3. Infeksi bakteri
4. Keganasan yang baru terjadi atau sedang diderita
5. Penyakit jantung berat
6. Sensitasi tinggi
7. Penyakit ginjal dengan risikp rekurensi yang tinggi
Persiapan program transplantasi ginjal, antara lain:
1. Pemeriksaan imunologi
a. Golongan darah ABO
1. Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan donor
menyebabkan reaksi penolakan hiperakut (hyperacute immediate rejection)
2. Antigen Rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan.
b. Tipe jaringan HLA ( human leucocyte antigen )
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene complex):
1. Kelas (I) antigen :
* HLA – A
* HLA – B
* HLA-C
2. Kelas (II) antigen : * HLA - D (DR)
3. Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga

2.10 Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2002) yaitu:
1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan
diet berlebihan.
2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-angiostensin-
aldosteron
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisis.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar alumunium.

Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009) yaitu:


1. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi eritropoietin yang tidak
adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoietin subkutan atau intravena.
Hal ini hanya bekerja bila kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan pasien dalam
keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan eritropoietin
yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik.
2. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal kronik. Pada
pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin merupakan faktor risiko
yang paling penting. Sebagaian besar hipertensi pada penyakit ginjal kronik disebabkan
hipervolemia akibat retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah
untuk bisa menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tripel.
Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi natrium dan
pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi ginjal memadai, pemberian
furosemid dapat bermanfaat.
3. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air akibat hilangnya
nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan sebagian filtrasi, namun
kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi urin yang sangat encer, yang dapat
menyebabkan dehidrsi. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi, dan
penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita, sering terjadi kehilangan libido,
berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon pertumbuhan yang abnormal
dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan retardasi pertumbuhan pada anak dan
kehilangan massa otot pada orang dewasa.
4. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan kesadaran,
dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi neurologis (mencakup tremor,
asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus, klonus
pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar ekstensor, dan yang paling berat kejang).
Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu pada uremia dan terjadi perubahan yang
tergantung hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) pada transport kalsium
membran yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang abnormal.
Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam (restless leg) atau kram otot
dapat juga terjadi dan kadang merespons terhadap pemberian kuinin sulfat. Gangguan
psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat peningkatan risiko
bunuh diri.
5. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering terjadi. Uremia
menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialysis dapat mengaktivasi efektor imun,
seperti komplemen, dengan tidak tepat.
6. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat penurunan
katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis
peritoneal daripada pasien yang menjalani hemodialisis, mungkin akibat hilangnya
protein plasma regulator seperti apolipoprotein A-1 di sepanjang membran peritoneal.
7. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika kadar ureum atau
fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Kelebihan cairan
dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau kardiomiopati dilatasi.
Fistula dialysis arteriovena yang besara dapat menggunakan proporsi curah jantung
dalam jumlah besar sehingga mengurangi curah jantung yang dapat digunakan oleh
bagian tubuh yang tersisa.

2.11 Prognosis
Prognosis GGT dengan program HD kronik tergantung dari banyak faktor terutama
seleksi pasien dan saat rujukan.
1. Umur
Umur < 40 tahun mulai program HD kronik mempunyai masa hidup lebih panjang,
mencapai 20 tahun. Sebaliknya umur lanjut > 55 tahun kemungkinan terdapat
komplikasi sistem kardiovaskuler lebih besar.
2. Saat rujukan
Rujukan terlambat memberi kesempatan timbul gambaran klinik berat seperti koma,
perikarditis, yang sulit dikendalikan dengan tindakan HD.
3. Etiologi GGT
Beberapa penyakit dasar seperti lupus, amiloid, diabetes mellitus; dapat mempengaruhi
masa hidup. Hal ini berhubungan dengan penyakit dasarnya sudah berat maupun
kemungkinan timbul komplikasi akut atau kronik selama HD.
4. Hipertensi
Hipertensi berat dan sulit dikendalikan sering merupakan faktos risiko vaskuler
(kardiovaskuler dan serebral)
5. Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit sistem kardiovaskuler (infark, iskemia, aritmia) merupakan faktor risiko
tindakan HD. Program CAPD merupakan faktor pilihan / alternatif yang paling aman.
6. Kepribadian dan personalitas
Faktor ini penting untuk menunjang kelangsungan hidup pasien GGT dengan program
HD kronik.
7. Kepatuhan (complience)
Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan program HD kronik, misalnya
kepribadian, finansial dan lain-lain.
2.12 WOC

Vaskuler Kista ginjal autoimun infeksi Toksik :


obat TB
jamu
Terdapat rongga Reaksi antigen
Diabetes melitus hipertensi
dalam gijal yang anti bodi
disebabkan oleh nefrotoksik
↑ kadar gula Vasokonstriksi kista
dalam darah pembuluh darah, Terjadi
↑tekanan darah kerusakan pada
Jumlah nefron
Darah menjadi dalam arteri nefron
yang sehat
kental menurun
Merusak pembuluh
↑ tekanan darah nefron secara
kapiler dalam langsung
ginjal

Kerusakan
Ginjal kehilangan
pembuluh darah di
kemampuan laju
ginjal
filtrasi glomerulus

GFR menurun

Hipertrofi struktural dan fungsional

Terjadi peningkatan renin angiotensin


aldosteron intra renal
hiperfiltrasi

Peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus

Adaptasi fungsi

Mal adaptasi nefron

Sklerosis nefron

Penurunan fungsi nefron progresif

CKD

Stage 1(GFR > 90) Stage 2 (GFR 60 – 90) Stage 3 GFR 30-59%) Stage 4 (GFR 15-29) Stage 5 (GFR <15)

↓cadangan ginjal Proteinuria/ BUN, Kreatinin ↓Eritropoitin Retensi Na Sekresi protein ↓sintesis 1,25-
albuminuria meningkat menurun terganggu dihydroxyvitamin D atau
kalsitriol
asimtomatik anemia Total CES ↑
Sekresi protein Sindroma uremia
terganggu kegagalan mengubah
MK: ↑Tekanan bentuk inaktif Ca
Keletihan kapiler
hipoalbuminuria Syndrome ↑Volume interstitial perpospater Gangguan Kegagalan
uremia nia keseimban mengubah
gan asam bentuk inaktif
Pembengkakan oedema
pruritus basa Ca
pergelangan Pruritus
kaki, tangan, ↑Preload
MK: ↑As. ↓absorbsi Ca
wajah, perut
MK: gangguan gangguan Lambung
integritas kulit Hipertrofi
integritas hipokalsemia
MK: kelebihan ventrikel kiri
kulit dan
volume cairan
osteodistrofi
Payah jantung kiri
Nausea, Iritasi
vomiting lambung MK:
↑Bendungan
Hambatan
atrium kiri
Mobilitas
MK: mual MK:
Fisik
Tekanan vena Ketidaksei
pulmonalis mbangan
nutrisi:
Kapiler paru naik kurang
dari
kebutuha
Edema paru

MK : gangguan
pertukaran gas
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Anamnesa
Anamnesa adalah mengetahui kondisi klien dengan cara wawancara atau interview.
Mengetahui kondisi klien untuk saat ini dan masa lalu. Anamnesa mencakup identitas klien,
keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan
keluarga, riwayat imunisasi, riwayat kesehatan lingkungan dantempat tinggal.
a. Identitas
Meliputi identitas klien yaitu: nama lengkap, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, suku/bangsa, golongan darah, tangggal MRS,
tanggal pengkajian, no.RM, diagnose medis, alamat.
b. Keluhan utama
Kapan keluhan mulai berkembang, bagaimana terjadinya, apakah secara tiba-tiba atau
berangsur-angsur, apa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi keluhan, obat apa
yang digunakan.
Keluhan utama yang didapat biasanya bervariasi, mulai dari urine output sedikit sampai
tidak ada BAK, glisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia),
mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau (ureum), dan gatal pada kulit.
c. Riwayat kesehatan sekarang (PQRST)
Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan klien pada saat di anamnesa meliputi
palliative, provocative, quality, quantity, region, radiation, severity scala dan time.
Untuk kasus gagal ginjal kronis, kaji onset penurunan urine output, penurunan kesadaran,
perubahan pola nafas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, dan pemenuhan nutrisi.
Kaji pula sudah kemana saja klien meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya
dan mendapat pengobatan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hiperplasia, dan prostektomi. Kaji
adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi system perkemihan yang berulang.
Penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi
predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan
masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan.

e. Riwayat kesehatan keluarga


Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami penyakit yang sama.
Baaimana pola hidup yang biasa diterapkan dalam keluarga, ada atau tidaknya riwayat
infeksi sistem perkemihan yang berulang dan riwayat alergi, penyait hereditas dan
penyakit menular pada keluarga.
f. Riwayat psikososial
Adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanya tindakan dialysis akan menyebabkan
enderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan klien mengalami kecemasan, gangguan konsep
diri (gambaran diri) dan gangguan peran pada keluarga.
g. Lingkungan dan tempat tinggal
Mengkaji lingkungan tmpat tinggal klien, mengenai kebersihan lingkungan tempat
tinggal, area lingkungan rumah.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
Tingkat kesadaran: menurun esuai dengan tingkat uremia dimana dapat mempengaruhi
system saraf pusat
TTV: sering didapatkan adanya perubahan RR meningkat, tekanan darah terjadi
perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
b. Sistem pernapasan
Klien bernapas dengan bau uremia didapatkan adanya pernapasa kusmaul. Pola napas
cepat dan dalam merupakan upaya untuk melakukan pembuangan karbon dioksida yang
menumpuk di sirkulasi.
c. Sitem hematologi
Pada kondisi uremia berat tindakan auskultasi akan menemukan adanya friction rub yang
merupakan tanda khas efusi pericardial. Didapatkan tanda dan gejala gagal jantung
kongestif. TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi, nyeri dada dan sesak
napas, gangguan irama jantung, edem penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan
curah jantung akibat hiperkalemi, dan gangguan kondisi elektrikal otot ventrikel.
Pada sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia sebagai akibat dari
penurunan produksi eritropoitin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah
merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran GI, kecenderungan mengalami
perdarahan sekunder dari trombositopenia.
d. Sistem neuromuskuler
Didapatkan penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan proses
berfikir dan disorientasi. Klien sering didapatkan adanya kejang, adanya neuropati
perifer, burning feet syndrome, retless leg syndrome, kram otot, dan nyeri otot.
e. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas system rennin
angiostensin aldosteron. Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi pericardial,
penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat
penimbunan cairan dan hipertensi.
f. Sistem Endokrin
Gangguan seksual : libido, fertilisasi dan ereksi menurun pada laki-laki akibat produksi
testosterone dan spermatogenesis yang menurun. Sebab lain juga dihubungkan dengan
metabolic tertentu. Pada wanita timbul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi
sampaiamenorea.
Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Pada
gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin < 15 ml/menit) terjadi penuruna klirens
metabolic insulin menyebabkan waktu paruh hormon aktif memanjang. Keadaan ini
dapat menyebabkan kebutuhan obat penurunan glukosa darah akan berkurang. Gangguan
metabolic lemak, dan gangguan metabolism vitamin D.
g. Sistem Perkemihan
Penurunan urine output < 400 ml/ hari sampai anuri, terjadi penurunan libido berat
h. Sistem pencernaan
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia, dan diare sekunder dari bau mulut
ammonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering di
dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
i. Sistem Muskuloskeletal
Di dapatkan adanya nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki (memburuk saat
malam hari), kulit gatal, ada/ berulangnya infeksi, pruritus, demam ( sepsis, dehidrasi ),
petekie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang, deposit fosfat kalsium pada kulit
jaringan lunak dan sendi, keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik
secara umum sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.
3.2 Diganosa keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler paru
4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
6. Mual berhubungan dengan paparan toksin
7. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay oksigen

3.3 Intervensi keperawatan


Diagnosa Tujuan dan Kriteria
No. Intervensi
Keperawatan Hasil

1. Kelebihan NOC: NIC:


volume cairan Fluid balance Fluid Management:
berhubungan Tujuan : 1. Pertahankan intake dan output secara
dengan Setelah dilakukan akurat
mekanisme tindakan keperawatan 2. Kolaborasi dalam pemberian diuretik
pengaturan selama 3x24 jam 3. Batasi intake cairan pada hiponatremi
melemah kelebihan volume cairan dilusi dengan serum Na dengan jumlah
teratasi dengan kriteria: kurang dari 130 mEq/L
1. Tekanan darah (4) 4. Atur dalam pemberian produk darah
2. Nilai nadi radial dan (platelets dan fresh frozen plasma)
perifer (4) 5. Monitor status hidrasi (kelembaban
3. MAP (4) membrane mukosa, TD ortostatik, dan
4. CVP (4) keadekuatan dinding nadi)
5. Keseimbangan intake 6. Monitor hasil laboratorium yang
dan output dalam 24 berhubungan dengan retensi cairan
jam (4) (peningkatan kegawatan spesifik,
6. Kestabilan berat peningkatan BUN, penurunan
badan (4) hematokrit, dan peningkatan
7. Serum elektrolit (4) osmolalitas urin)
8. Hematokrit (4) 7. Monitor status hemodinamik (CVP,
9. Asites (4) MAP, PAP, dan PCWP) jika tersedia
10. Edema perifer (4) 8. Monitor tanda vital

Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan sesudah
prosedur
2. Observasi terhadap dehidrasi, kram otot
dan aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT
danelektrolit
6. Monitor CT

Peritoneal Dialysis Therapy:


1. Jelaskan prosedur dan tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis sebelum
instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume inflow/outflow
dan keseimbangan cairan
5. Kosongkan bladder sebelum insersi
peritoneal kateter
6. Hindari peningkatan stres mekanik
pada kateter dialisis peritoneal (batuk)
7. Pastikan penanganan aseptik pada
kateter dan penghubung peritoneal
8. Ambil sampel laboratorium dan periksa
kimia darah (jumlah BUN, serum
kreatinin, serum Na, K, dan PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai protokol
10. Kelola perubahan dialysis (inflow,
dwell, dan outflow) sesuai protokol
11. Ajarkan pasien untuk memonitor tanda
dan gejala yang mebutuhkan
penatalaksanaan medis (demam,
perdarahan, stres resipratori, nadi
irreguler, dan nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada pasien untuk
diterapkan dialisis di rumah.
13. Monitor TD, nadi, RR, suhu, dan
respon klien selama dialisis
14. Monitor tanda infeksi (peritonitis)
2. Resiko NOC: NIC:
ketidakseimba Electrolyte Balance Electrolyte Management
ngan elektrolit Tujuan: 1. Berikan cairan sesuai resep, jika
berhubungan Setelah dilakukan asuhan diperlukan
dengan selama 3x24 jam 2. Pertahankan keakuratan intake dan
disfungsi ketidakseimbangan output
renal elektrolit teratasi dengan 3. Berikan elektrolit tambahan sesuai
kriteria hasil: resep jika diperlukan
1. Peningkatan sodium 4. Konsultasikan dengan dokter tentang
(4) pemberian obat elektrolit-sparing
2. Peningkatan (misalnya spiranolakton), yang sesuai
potassium (4) 5. Berikan diet yang tepat untuk
3. Peningkatan klorida ketidakseimbangan elektrolit pasien
(4) 6. Anjurkan pasien dan / atau keluarga
pada modifikasi diet tertentu, sesuai
7. Pantau tingkat serum potassium dari
pasien yang memakai digitalis dan
diuretik
8. Atasi aritmia jantung
9. Siapkan pasien untuk dialisis
10. Pantau elektrolit serum normal
11. Pantau adanya manifestasi dari
ketidakseimbangan elektrolit
3. Gangguan NOC: NIC:
pertukaran Respiration status: Gas Oxygen Therapy
gas Exchange 1. Pertahankan kepatenan jalan napas
berhubungan 2. Kelola pemberian oksigen tambahan
dengan Tujuan: sesuai resep
perubahan Setelah dilakukan 3. Anjurkan pasien untuk mendapatkan
membran keperawatan selama 2x24 resep oksigen tambahan sebelum
kapiler paru jam klien Gangguan perjalanan udara atau perjalanan ke
pertukaran gas teratasi dataran tinggi yang sesuai
dengan kriteria hasil: 4. Konsultasi dengan tenaga kesehatan
1. Tekanan oksigen di lain mengenai penggunaan oksigen
darah arteri (PaO2) (4) tambahan saat aktivitas dan/atau tidur
2. Tekan karbondioksida 5. Pantau efektivitas terapi oksigen (pulse
di darah arteri oximetry, BGA)
(PaCO2) (4) 6. Observasi tanda pada oksigen yang
3. PH arterial (4) disebabkan hipoventilasi
4. Saturasi oksigen (4) 7. Monitor aliran oksigen liter
5. Keseimbangan perfusi 8. Monitor posisi dalam oksigenasi
ventilasi (4) 9. Monitor tanda-tanda keracunan oksigen
6. Sianosis (4) dan atelektasis
10. Monitor peralatan oksigen untuk
memastikan bahwa tidak mengganggu
pasien dalam bernapas

4. Kerusakan NOC: NIC:


integritas kulit
Tissue Integrity : Skin Pressure Management
berhubungan and Mucous membrane Anjurkan klien untuk menggunakan
dengan pakaian yang longgar.
gangguan Tujuan : 1. Hindari kerutan pada tempat tidur
sirkulasi Setelah dilakukan 2. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
tindakan keperawatan dan kering
selama 3x24 jam 3. Mobilisasi klien akan adanya
kerusakan integritas klien kemerahan
teratasi dengan criteria 4. Oleskan lotion atau minyak baby oil
hasil : pada daerah yang tertekan
1. Elastisitas (4) 5. Memandikan klien dengan sabun dan
2. Hidrasi (4) air hangat
3. Perfusi jaringan (4) 6. Ajarkan pada keluarga tentang luka dan
4. Integritas kulit (4) perawatan luka
5. Abnormal pigmentasi 7. Kolaborasi ahli gizi pemberian diet
(4) TKTP, vitamin
6. Lesi pada kulit (4) 8. Cegah kontaminasi feses dan urin
7. Lesi membran 9. Berikan posisi yang mengurangi
mukosa (4) tekanan pada luka.
10. Observasi luka: lokasi, dimensi,
kedalaman luka, karakteristik warna
cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi local, formasi
traktus
11. Monitor aktivitas dan mobilitas klien
12. Monitor status nutrisi klien
5. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan Pain Control Pain Management
dengan agen Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan dampak nyeri terhadap
injury selama 2x24, nyeri kualitas hidup klien (misalnya tidur,
teratasi dengan kriteria nafsu makan, aktivitas, kognitif,
hasil: suasana hati, hubungan, kinerja kerja,
1. Kenali awitan nyeri dan tanggung jawab peran).
(2) 2. Kontrol faktor lingkungan yang
2. Jelaskan faktor mungkin menyebabkan respon
penyebab nyeri (2) ketidaknyamanan klien (misalnya
3. Gunakan obat temperature ruangan, pencahayaan,
analgesik dan non suara).
analgesik (2) 3. Pilih dan terapkan berbagai cara
4. Laporkan nyeri yang (farmakologi, nonfarmakologi,
terkontrol interpersonal) untuk meringankan
nyeri.
4. Observasi tanda-tanda non verbal dari
ketidaknyamanan, terutama pada klien
yang mengalami kesulitan
berkomunikasi.
6. Mual NOC: NIC:
berhubungan Nausea and Vomitting Nausea Management
dengan Control 1. Dorong pasien untuk memantau mual
paparan Tujuan: secara sendiri
toksin Setelah dilakukan 2. Dorong pasien untuk mempelajari
tindakan keperawatan strategi untuk mengelola mual sendiri
selama 2x24 jam mual 3. Lakukan penilaian lengkap mual,
teratasi dengan kriteria termasuk frekuensi, durasi, tingkat
hasil: keparahan, dengan menggunakan alat-
1. Mengenali awitan alat seperti jurnal perawatan, skala
mual (4) analog visual, skala deskriptif duke dan
2. Menjelaskan faktor indeks rhodes mual dan muntah (INV)
penyebab (4) bentuk 2.
3. Penggunaan anti 4. Identifikasi pengobatan awal yang
emetik (4) pernah dilakukan
5. Evaluasi dampak mual pada kualitas
hidup.
6. Pastikan bahwa obat antiemetik yang
efektif diberikan untuk mencegah mual
bila memungkinkan.
7. Identifikasi strategi yang telah berhasil
menghilangkan mual
8. Dorong pasien untuk tidak mentolerir
mual tapi bersikap tegas dengan
penyedia layanan kesehatan dalam
memperoleh bantuan farmakologis dan
nonfarmakologi
9. Promosikan istirahat yang cukup dan
tidur untuk memfasilitasi bantuan mual
10. Dorong makan sejumlah kecil makanan
yang menarik bagi orang mual
11. Bantu untuk mencari dan memberikan
suport emosional
7. Intoleransi NOC: NIC:
aktivitas Activity Tolerance Activity Therapy
berhubungan Tujuan 1. Kolaborasikan dengan Tenaga
dengan Setelah dilakukan Rehabilitasi Medik dalam
gangguan keperawatan selama 3x24 merencanakan program terapi yang
ketidakseimba jam pasien bertoleransi tepat.
ngan suplay terhadap aktivitas 2. Bantu klien untuk mengidentifikasi
oksigen Kriteria hasil: aktivitas yang mampu dilakukan
1. Saturasi Oksigen saat 3. Bantu untuk memilih aktivitas
aktivitas (4) konsisten yang sesuai dengan
2. Nadi saat aktivitas (4) kemampuan fisik, psikologi dan social
3. RR saat aktivitas (4) 4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
4. Tekanan darah sistol mendapatkan sumber yang diperlukan
dan diastol saat untuk aktivitas yang diinginkan
istirahat (4) 5. Bantu untuk mendapatkan alat bantuan
5. Mampu melakukan aktivitas seperti kursi roda, krek.
aktivitas sehari-hari 6. Bantu klien untuk membuat jadwal
(ADLs) secara latihan diwaktu luang
mandiri (4) 7. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
8. Sediakan penguatan positif bagi yang
aktif beraktivitas
9. Bantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
10. Observasi adanya pembatasan klien
dalam melakukan aktivitas.
11. Monitor nutrisi dan sumber energi yang
adekuat
12. Monitor pasien akan adanya kelelahan
fisik dan emosi secara berlebihan
13. Monitor respon kardiovaskular
terhadap aktivitas (takikardia, disritmia,
sesak nafas, diaphoresis, pucat,
perubahan hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
15. Monitor responfisik, emosi, social dan
spiritual.
BAB 4
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

Tn. H berumur 71 tahun, datang ke RSUD Andi Djemma Masamba dengan keluhan nyeri,
lemas, sesak tanpa aktifitas, disertai batuk. Lalu klien juga mengeluh mual dan badannya terasa
sangat lemah, dan merasa sering gelisah. Dari pemeriksaan perawat ditemukan adanya edema pada
ekstremitas bawah (kedalamannya 6 mm, waktu kembali 7 detik). Tanda tanda vital ketika masuk
rumah sakit yaitu tekanan darah : 170/100, Nadi : 88x/menit, RR: 28 x/menit, S: 36,7 °C. klien
pernah masuk ke rumah sakit dengan keluhan hipertensi. Dari diagnosa medis yaitu Gagal Ginjal
stadium IV.
Pada pemeriksaan BGA ditemukan: PH: 7.15, pCO2 40, HCO3 18, SaO2 90%
BB pre edema : 62kg
BB post edema : 65kg
TB: 157 cm

4.1 Pengkajian
1. Anamnesis
a. Identitas
Nama : Tn. H
Umur : 71 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Masamba
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Sumber informasi : Klien dan keluarga
Tgl pengkajian : 22 Desember 2022
b. Keluhan utama
Klien mengeluhkan nyeri
c. Riwayat penyakit sekarang
Klien masuk rumah sakit melalui UGD pada tanggal 22 Desember 2022 dengan
keluhan sesak tanpa aktifitas, mual, badan terasa lemah, terdapat pitting edema pada
ekstremitas bawah. Tanda-tanda vital ketika masuk rumah sakit yaitu tekanan darah :
170/100, Nadi : 88x/i, RR : 28 x/i, S : 36,7 °C.
d. Riwayat penyakit dahulu
Keluarga klien mengatakan klien pernah masuk rumah sakit sebelumnya dengan
keluhan sakit hipertensi. Klien mengkonsumsi nifedipin 20mg 3x1, tapi sudah berhenti
2 minggu sebelum MRS
e. Diagnosa medis
Gagal ginjal stadium IV
f. Persepsi dan pemeliharan kesehatan
Menurut penuturan keluarga, Pasien memandang kesehatan sangat penting untuk
dijaga. Jika klien merasakan sakit, demam, atau sekedar flu biasanya klien
memeriksakan diri ke Puskesmas atau ke pelayanan kesehatan terdekat
g. Pola nutrisi
Intake makanan: klien makan 3x sehari.
Intake Cairan: Klien minum 4 gelas/hari, air putih dan teh.
h. Pola eliminasi:
Sebelum sakit keluarga klien mengatakan bahwa klien biasa BAB 1x/hari pagi hari.
Pengeluaran urin 300 cc per 24 jam.
i. Pola aktivitas dan latihan

Keterangan:
0 : mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain 3: tergantung total
j. Pola tidur dan istirahat
Sebelum sakit keluarga klien mengatakan bahwa klien mulai tidur malam sekitar jam
21.00 kemudian subuh jam 04.30 bangun untuk melaksanakan solat subuh. Saat ini
klien hanya terbaring ditempat tidur, klien mengatakan badannya lemah.
k. Pola perceptual
Klien mengatakan nyeri tanpa beraktifitas, nafasnya sesak, batuk tetapi tidak berdahak,
badan terasa lemah, klien mengatakan sesak nafas jika O 2 dilepas, klien hanya mampu
berbaring ditempat tidur, semua kegiatan dilakukan di tempat tidur, termasuk toileting.
penglihatan tidak ada masalah, lapang pandang normal, pupil reaktif terhadap cahaya.
Pendengaran tidak ada masalah, klien masih bisa merasakan rasa asin, manis, pahit,
asam. Pengecapan klien masih normal
l. Pola persepsi diri
Klien mengatakan dirinya sangat ingin cepat sembuh, kembali kerumah dengan
keadaan sehat, dan ingin kembali melakukan aktifitas seperti biasa seperti sebelum
masuk rumah sakit. Klien berorientasi dan berhubungan baik dengan keluarga, petugas
kesehatan dan pengunjung. Klien tidak menunjukkan adanya menarik diri atau minder.
m. Pola seksulitas dan reproduksi
Klien sudah menikah dan mempunyai 3 anak dan saat ini istri klien sudah menopouse.
n. Pola peran dan hubungan
Saat ini klien tinggal bersama istri, klien mengatakan selama ini tidak ada masalah
dalam keluarga baik kepada istri maupun mertuanya. Klien juga mengatakan selama ini
berhubungan baik dengan semua anggota keluarga dan tetangga. Saat klien dirawatpun
keluarga terutama istri dan anaknya senantiasa mendampingi beliau.
o. Pola managemen koping stress
Dari penuturan keluarga pasien dalam memanagement stress keluarga membiasakan
berekreasi bersama atau hanya sekedar menonton TV.
p. Sistem nilai dan keyakinan
Klien dan keluarga beragama islam. Klien melakukan berbagai ikhtiar untuk keadaan
nya sekarang.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keluhan yang dirasakan saat ini:
Kesadarannya compos mentis, GCS 14. Klien merasakan badannya lemas
TD : 170/100mmHg
RR : 28x/menit
HR : 88x/menit
S :36,7°C
BB pre edema : 63kg
BB post edema : 65kg
TB: 175 cm
b. B1 (Breathing)
RR : 28x/ menit, klien mengeluh sesak tanpa melakukan aktifitas
c. B2 (blood)
Wajah pucat, tekanan darah tinggi : 170/100mmhg, nadi :88x/menit
d. B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis
e. B4 (Baldder)
Nyeri tekan vesika urinaria (-). Urin per 24 jam 300 cc, warna kuning pekat.
f. B5 (Bowel)
Klien mengeluh mual, nyeri tekan ulu hati (+). Pola BAB 1 kali per hari, bising usus (+)
g. B6 (Bone and Integumen)
Terdapat pitting oedema pada ekstremitas grade 3, kekuatan otot
5 5
5 5
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah
Parameter Nilai normal
Hb 8,5 mg/dl 12-16 Rendah
Urea 197 mg/dl 10-50 Tinggi
Kreatinin 12 mg/dl 0,5-1,2 Tinggi
BUN 132 mg/dl 5-25 Tinggi
K 6.2 mmol/dl 3,4-5,4 Tinggi
Na 176 mmol/dl 135-155 Tinggi
Cl 120 mmol/dl 95-108 Tinggi
Uric Acid 7,8 mg/dl 3,4-7 Tinggi
HCT 29,3% 35-50 % Rendah
Pada pemeriksaan BGA ditemukan: PH: 7.15, pCO2 40, HCO3 18, SaO 2 90% (Asidosis
Metabolis)

4.2 Analisa Data


Data Etiologi Masalah keperawatan

DS: - CKD Kelebihan volume cairan


DO: ↓
 Pasien tampak cemas dan Retensi Na
gelisah ↓
 Perubahan Tekanan Payah jantung kiri
Darah (170/100 mmHg) ↓
 Penurunan Hb (8,5 mg/dl) COP turun
dan Ht (29,3%) ↓
 Edema pada tungkai Aliran darah ginjal turun
(derajat 3) ↓
 Sesak tanpa aktifitas Gangguan RAA
 Ketidakseimbangan ↓
elektrolit Retensi H2O dan Na naik
Hipernatremia (176 ↓
mmol/dl) Kelebihan volume cairan
Hiperkalemia (6,2
mmol/dl)
Hiperkloremia (120
mmol/dl)
 Penambahan berat badan
secara drastis
BB pre edema : 65kg
BB post edema : 69kg
 Oliguria (300 cc/24 jam)
DS : - CKD Resiko ketidakseimbangan
DO: ↓ eletrolit
 Ketidakseimbangan Gangguan aldosteron
elektrolit ↓
Hipernatremia (176 Sekresi kalium dan absorpsi
mmol/dl) natrium terganggu
Hiperkalemia (6,2 ↓
mmol/dl) Reabsorpsi air
Hiperkloremia (120 ↓
mmol/dl) Kembali ke dalam darah

Resiko ketidakseimbangan
elektrolit
DS : CKD Gangguan Pertukaran Gas
Klien mengatakan dadanya ↓
sesak saat beraktifitas Retensi Na
DO: ↓
- BGA pasien: Payah jantung kiri
PH: 7.15 ↓
pCO2 40 Bendungan atrium kiri naik
HCO3 18 ↓
SaO2 90% Tekanan vena pulmonalis
(Asidosis Metabolis) ↓
- Takipnea (RR: 28x/menit) Kapiler paru naik
- Takikardi (TD: ↓
170/100mmHg) Edema paru
- Hb rendah (8,5 mg/dl) ↓
- Ht rendah (29,3%) Gangguan pertukaran gas
DS: CKD Mual
Klien mengeluh mual ↓
DO: Gg.sekresi protein
 Klien tidak nafsu terhadap ↓
makanan Sindroma uremia
 Klien mual ↓
Gg.asam basa

As.lambung naik

Mual
DS : CKD Nyeri akut
Klien mengatakan nyeri di ↓
punggung kanan Retensi Na
DO: ↓
 Perubahan tonus otot Payah jantung kiri
(badan terasa lemah) ↓
 Perubahan Tekanan COP turun
Darah 170/100 mmHg ↓
 Ekspresi klien gelisah Suplai O2 jaringan turun

Metabolisme anaerob

Timbunan as.laktat naik

Fatigue,nyeri sendi

Nyeri akut
DS: CKD Intoleransi aktivitas
 Klien mengeluh sesak ↓
tanpa melakukan aktifitas Retensi Na
 Klien mengatakan ↓
tubuhnya merasa lemah Payah jantung kiri
DO: ↓
COP turun
 Peningkatan Tekanan ↓
darah 170/100 mmHg Suplai O2 jaringan turun
 Sesak tanpa melakukan ↓
aktifitas Metabolisme anaerob

Timbunan as.laktat naik

Fatigue,nyeri sendi

Intoleransi aktivitas

4.3 Diagnosa Keperawatan


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal
3. Gangguan Pertukaran gas nerhubungan dengan perubahan membran kapiler paru.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury
5. Mual berhubungan dengan paparan toksin
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay oksigen

4.4 Intervensi

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria


Intervensi
. Keperawatan Hasil

1. Kelebihan volume NOC: NIC:


cairan berhubungan Fluid balance Fluid Management:
Tujuan : 1. Pertahankan intake dan output
dengan mekanisme
Setelah dilakukan secara akurat
pengaturan tindakan keperawatan 2. Kolaborasi dalam pemberian
melemah selama 3x24 jam diuretik
kelebihan volume cairan 3. Batasi intake cairan pada
teratasi dengan kriteria: hiponatremi dilusi dengan serum
1. Tekanan darah (4) Na dengan jumlah kurang dari 130
2. Nilai nadi radial dan mEq/L
perifer (4) 4. Atur dalam pemberian produk
3. MAP (4) darah (platelets dan fresh frozen
4. CVP (4) plasma)
5. Keseimbangan intake 5. Monitor status hidrasi
dan output dalam 24 (kelembaban membrane mukosa,
jam (4) TD ortostatik, dan keadekuatan
6. Kestabilan berat dinding nadi)
badan (4) 6. Monitor hasil laboratorium yang
7. Serum elektrolit (4) berhubungan dengan retensi cairan
8. Hematokrit (4) (peningkatan kegawatan spesifik,
9. Asites (4) peningkatan BUN, penurunan
10. Edema perifer (4) hematokrit, dan peningkatan
osmolalitas urin)
7. Monitor status hemodinamik
(CVP, MAP, PAP, dan PCWP)
jika tersedia
8. Monitor tanda vital

Hemodialysis Therapy:
1. Timbang BB sebelum dan sesudah
prosedur
2. Observasi terhadap dehidrasi, kram
otot dan aktivitas kejang
3. Observasi reaksi tranfusi
4. Monitor TD
5. Monitor BUN,Creat, HMT
danelektrolit
6. Monitor CT

Peritoneal Dialysis Therapy:


1. Jelaskan prosedur dan tujuan
2. Hangatkan cairan dialisis sebelum
instilasi
3. Kaji kepatenan kateter
4. Pelihara catatan volume
inflow/outflow dan keseimbangan
cairan
5. Kosongkan bladder sebelum
insersi peritoneal kateter
6. Hindari peningkatan stres mekanik
pada kateter dialisis peritoneal
(batuk)
7. Pastikan penanganan aseptik pada
kateter dan penghubung peritoneal
8. Ambil sampel laboratorium dan
periksa kimia darah (jumlah BUN,
serum kreatinin, serum Na, K, dan
PO4)
9. Cek alat dan cairan sesuai protokol
10. Kelola perubahan dialysis (inflow,
dwell, dan outflow) sesuai protokol
11. Ajarkan pasien untuk memonitor
tanda dan gejala yang mebutuhkan
penatalaksanaan medis (demam,
perdarahan, stres resipratori, nadi
irreguler, dan nyeri abdomen)
12. Ajarkan prosedur kepada pasien
untuk diterapkan dialisis di rumah.
13. Monitor TD, nadi, RR, suhu, dan
respon klien selama dialisis
14. Monitor tanda infeksi (peritonitis)
2. Resiko NOC: NIC:
ketidakseimbangan Electrolyte Balance Electrolyte Management
elektrolit Tujuan: 1. Berikan cairan sesuai resep, jika
berhubungan Setelah dilakukan asuhan diperlukan
dengan disfungsi selama 3x24 jam 2. Pertahankan keakuratan intake dan
renal ketidakseimbangan output
elektrolit teratasi dengan 3. Berikan elektrolit tambahan sesuai
kriteria hasil: resep jika diperlukan
1. Peningkatan sodium 4. Konsultasikan dengan dokter
(4) tentang pemberian obat elektrolit-
2. Peningkatan sparing (misalnya spiranolakton),
potassium (4) yang sesuai
3. Peningkatan klorida 5. Berikan diet yang tepat untuk
(4) ketidakseimbangan elektrolit
pasien
6. Anjurkan pasien dan / atau
keluarga pada modifikasi diet
tertentu, sesuai
7. Pantau tingkat serum potassium
dari pasien yang memakai digitalis
dan diuretik
8. Atasi aritmia jantung
9. Siapkan pasien untuk dialisis
10. Pantau elektrolit serum normal
11. Pantau adanya manifestasi dari
ketidakseimbangan elektrolit
3. Gangguan NOC: NIC:
pertukaran gas Respiration status: Gas Oxygen Therapy
berhubungan Exchange 1. Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan perubahan 2. Kelola pemberian oksigen
membrane kapiler Tujuan: tambahan sesuai resep
paru Setelah dilakukan 3. Anjurkan pasien untuk
keperawatan selama mendapatkan resep oksigen
2x24 jam klien tambahan sebelum perjalanan
Gangguan pertukaran gas udara atau perjalanan ke dataran
teratasi dengan kriteria tinggi yang sesuai
hasil: 4. Konsultasi dengan tenaga
1. Tekanan oksigen di kesehatan lain mengenai
darah arteri (PaO2) penggunaan oksigen tambahan saat
(4) aktivitas dan/atau tidur
2. Tekan 5. Pantau efektivitas terapi oksigen
karbondioksida di (pulse oximetry, BGA)
darah arteri (PaCO2) 6. Observasi tanda pada oksigen
(4) yang disebabkan hipoventilasi
3. PH arterial (4) 7. Monitor aliran oksigen liter
4. Saturasi oksigen (4) 8. Monitor posisi dalam oksigenasi
5. Keseimbangan 9. Monitor tanda-tanda keracunan
perfusi ventilasi (4) oksigen dan atelektasis
6. Sianosis (4) 10. Monitor peralatan oksigen untuk
memastikan bahwa tidak
mengganggu pasien dalam
bernapas
4. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan Pain Control Pain Management
dengan agen injury Setelah dilakukan asuhan 1. Tentukan dampak nyeri terhadap
selama 2x24, nyeri kualitas hidup klien (misalnya
teratasi dengan kriteria tidur, nafsu makan, aktivitas,
hasil: kognitif, suasana hati, hubungan,
1. Kenali awitan nyeri kinerja kerja, dan tanggung jawab
(2) peran).
2. Jelaskan faktor 2. Kontrol faktor lingkungan yang
penyebab nyeri (2) mungkin menyebabkan respon
3. Gunakan obat ketidaknyamanan klien (misalnya
analgesik dan non temperature ruangan,
analgesik (2) pencahayaan, suara).
4. Laporkan nyeri yang 3. Pilih dan terapkan berbagai cara
terkontrol (farmakologi, nonfarmakologi,
interpersonal) untuk meringankan
nyeri.
4. Observasi tanda-tanda non verbal
dari ketidaknyamanan, terutama
pada klien yang mengalami
kesulitan berkomunikasi.

5. Mual berhubungan NOC: NIC:


dengan paparan Nausea and Vomitting Nausea Management
toksin Control 1. Dorong pasien untuk memantau
Tujuan: mual secara sendiri
Setelah dilakukan 2. Dorong pasien untuk mempelajari
tindakan keperawatan strategi untuk mengelola mual
selama 2x24 jam mual sendiri
teratasi dengan kriteria 3. Lakukan penilaian lengkap mual,
hasil: termasuk frekuensi, durasi, tingkat
1. Mengenali awitan keparahan, dengan menggunakan
mual (4) alat-alat seperti jurnal perawatan,
2. Menjelaskan faktor skala analog visual, skala
penyebab (4) deskriptif duke dan indeks rhodes
3. Penggunaan anti mual dan muntah (INV) bentuk 2.
emetik (4) 4. Identifikasi pengobatan awal yang
pernah dilakukan
5. Evaluasi dampak mual pada
kualitas hidup.
6. Pastikan bahwa obat antiemetik
yang efektif diberikan untuk
mencegah mual bila
memungkinkan.
7. Identifikasi strategi yang telah
berhasil menghilangkan mual
8. Dorong pasien untuk tidak
mentolerir mual tapi bersikap tegas
dengan penyedia layanan
kesehatan dalam memperoleh
bantuan farmakologis dan
nonfarmakologi
9. Promosikan istirahat yang cukup
dan tidur untuk memfasilitasi
bantuan mual
10. Dorong makan sejumlah kecil
makanan yang menarik bagi orang
mual
11. Bantu untuk mencari dan
memberikan suport emosional
6. Intoleransi aktivitas NOC: NIC:
berhubungan Activity Tolerance Activity Therapy
dengan gangguan Tujuan 1. Kolaborasikan dengan Tenaga
ketidakseimbangan Setelah dilakukan Rehabilitasi Medik dalam
suplay oksigen keperawatan selama merencanakan program terapi yang
3x24 jam pasien tepat.
bertoleransi terhadap 2. Bantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas aktivitas yang mampu dilakukan
Kriteria hasil: 3. Bantu untuk memilih aktivitas
1. Saturasi Oksigen saat konsisten yang sesuai dengan
aktivitas (4) kemampuan fisik, psikologi dan
2. Nadi saat aktivitas (4) social
3. RR saat aktivitas (4) 4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
4. Tekanan darah sistol mendapatkan sumber yang
dan diastol saat diperlukan untuk aktivitas yang
istirahat (4) diinginkan
5. Mampu melakukan 5. Bantu untuk mendapatkan alat
aktivitas sehari-hari bantuan aktivitas seperti kursi
(ADLs) secara roda, krek.
mandiri (4) 6. Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan diwaktu luang
7. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
8. Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
9. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
10. Observasi adanya pembatasan
klien dalam melakukan aktivitas.
11. Monitor nutrisi dan sumber energi
yang adekuat
12. Monitor pasien akan adanya
kelelahan fisik dan emosi secara
berlebihan
13. Monitor respon kardiovaskular
terhadap aktivitas (takikardia,
disritmia, sesak nafas, diaphoresis,
pucat, perubahan hemodinamik)
14. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
15. Monitor responfisik, emosi, social
dan spiritual.
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi
glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan
atau lebih yang irreversible dan didasari oleh banyak faktor (NKF K/DOQI 2000; Kallenbach,
Gutch, Stoner dan Corca 2005). Etiologi gagal ginjal kronik bercvariasi antara negara yang satu
dengan yang negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebaba paling abnyak
terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh hipertensi sebanyak 27%
Dan glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal kronik
sering terjadi karena glomerulonefritis, diabetes mellitus, obstruksi, dan infeksi pada ginjal,
hipertensi (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2009). Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit
ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/12971116/Asuhan_Keperawatan_pada_CKD

Anda mungkin juga menyukai