Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat selama ini menganggap penyakit yang banyak mengakibatkan


kematian adalah jantung dan kanker. Sebenarnya penyakit gagal ginjal juga dapat
mengakibatkan kematian dan kejadian tersebut di masyarakat terus meningkat (Neliya,
2012). Cronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik merupakan masalah
kesehatan di seluruh dunia yang berdampak pada masalah medik, ekonomik da sosial
yang sangat besar bagi pasien dan keluarganya , baik di negara – negara maju maupun di
negara- negara berkembang. Sehingga Gagal Ginjal Kronik (GGK) kini telah menajadi
persoalan serius kesehatan masyarakat di dunia (Syamsiah, 2011).
Di Amerika Serikat, kejadian dan prevalensi gagal ginjal meningkat, dan jumlah
orang dengan gagal ginjal yang dirawat dengan dialisis dan transplantasi diproyeksikan
meningkat dari 340.000 di tahu 1991 dan 651.000 dalam 2010 (Cinar,2009). Data
menunjukkan bahwa setiap tahun 200.000 orang Amerika menjalani Hemodialisis karena
gangguan ginjal kronis artinya 1140 dalam satu juta orang Amerika adalah Pasien
Dialisis (Shafipour, 2010). Di negera Malaysia dengan populasi 18 juta, diperkirakan
terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya (Neliya, 2012).
Di dunia sekitar 2.622.000 orang telah menjalani pengobatan End-Stage Renal
Disease pada akhir thun2010 sebanyak 2.029.000 orang (77%) diantaranya menjalanin
pengobatan dialisis dan 593.000 orang (23%) menjalani transplantasi ginjal (Neliya,
2012).
Dari survei yang dilakukan oleh Pernefri ( Perhimpunanan Nefrologi Indonesia)
pada tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia (daerah Jakarta, Yogyakarta,
Surabaya dan Bali) sekitar 12.5 % berarti sekitar 18 juta orang dewasa di Indonesia
menderita penyakit ginjal kronik ( Neliya, 2012).
Ginjal merupakn organ yang berpasangan dan setiap ginjal memiliki berat kurang
lebih 12,5 gr, terletak pada posisi di sebelah lateral vertebrata torakalis bawah, beberapa
sentimeter di sebelah kanan dan kiri garis tengah. Ginjal adalah vital yang berperan
sangat penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal
mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit dan asam basa dengan cara filtrasi darah,
reabsorbsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, serta mengekresikan kelebihan
1
sebagai urine. Ginjal juga mengeluarkan produksi sisa metabolisme (urea, kreatinin dan
asam urat) dan zat kimia asing (Smeltzer, 2001).
Gagal ginjal kronis (GGK) adalah penurunan faal ginjal yang menahun, yang
umumnya ireversibel dan cukup lanjut. Insufisiensi ginjal kronik adalah penurunan faal
ginjal yang menahun tetpi lebih ringn dari GGA (Sidabutar, 2011).
Gagal ginjal kronis (CFR: Chronic Renal Failure) merupakan proses kontinu yang
dimulai ketika terjadi kehilangan sebagian nefron dan berakhir ketika nefron yang tersisa
tidak lagi dapat bertahan hidup (Kumar, 2013).
Terapi pengganti ginjal terdiri dari: hemodialisis, CAPD, transplantasi ginjal. Di
Indonesia terapi pengganti ginjal yang peling banyak dilakukan dan paling sering dipilih
pasien adalah hemodialisa.
Hemodialisa adalah salah stu terapi pengganti ginjal yang menggunakan alat
khusus dengan tujuanmengatasi gejala dan tanda akibat laju filtrasi glomerolus (LFG)
yang rendah, sehingga diharapkan dapat memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas
hidup pasien (Diklat pelatihan perawat ginjal intensif RSCM, 2014).
Komplikasi intradialisis merupakan kondisi abnormal yang terjadi pada saat
pasien menjalani HD, komplikasi intradialisis yang umum diamalami pasien antar lain
hipotensi (Barka, Miraimsky, Katzier, Ghicarii, 2006).
Komplikasi lain sering ditemukan pada pendertita HD adalah anemia, gagal
jantung, hipertensi, malnutrisi, penyakit jantung, impotensi gangguan menstruasi dan
kematian. Komplikasi yang mengancam jiwa dapat terjadi akibat hiperkalemia asidosis
kelebihan cairan, perikardiris dan enselophati.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis merasa tertarik untuk menyusun
asuhan keperawatan gagal ginjal kronik dengan hipotensi.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari asuhan keperawatan ini adalah untuk mengetahui gambaran
asuhan keperawatan pada penderita Gagal Ginjal Kronik (GGK) dengan hipotensi di
ruang Hemodialisa.

2
2. Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui pengkajian keperawatan pada penserita, asuhan keperawatan
pada penderita Gagal Ginjal Kronik (GGK) dengan hipotensipada Ny. S
 Untuk mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada penderita asuhan
keperawatan pada penderita Gagal Ginjal Kronik (GGK) dengan hipotensi pada
Ny. S
 Untuk mengetahui tanda dan gejala hipotensi pada saat dialisis
 Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada penderita hipotensi

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR GGK


1. Pengertian GGK
Gagal ginjal kronis (Chronik Renal Failure) adalah kerusakan ginjal progresif
yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya
yang beredar dalam darh serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal) (Nursalam, 2009).
Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir menupakan
gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah)
(Smeltzer, 2001).
Gagal ginjal kronis (bahsa Inggris: Chronic Kidney Disease, CKD) adalah
proses kerusakan ginjal dengan rentang waktu lebih dari 3 bulan. CKD dapat
menimbulkan simtoma berup laju filtrasi glomerolus di bawah 60 mL/men/1.73
m2, atau diatas nilai tersebut namun disertai dengan kelainan sedimen urin. Adanya
batu ginjal juga dapat menjadi indikasi CKD pada penderita kalainan bawaan
seperti hiperoksaluria dan sistinuria (Wikipedia, 2015).
Penyakit gagal ginjal kronik (CKD) adalah peurunan fungsi ginjal selama
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, yang bersifat ireversibel yang akhirnya
mempengaruhi seluruh organ tubuh. Parenkim dan nefron rusak dan fungsi ginjal
menurun secara progresif (Muralistharan, 2015).

2. Tahapan GGK
Semua individu dengan laju filtrasi glomerolus (GFR) <60 mL/men/1.73 m2
selama 3 bulan diklasifikasikan sebagai memiliki penyakit ginjal kronis, terlepas
dari ada atau tidaknya kerusakan ginjal. Alasan untuk termasuk orang-orang adalah
bahwa penurunan fungsi ginjal untuk tingkat atau lebih rendah merupakan
kehilangan setengah atau lebih tingkat dewasa fungsi ginjal normal, yang mungkin
terkait dengan sejumlah komplikasi.
4
Semua individu dengan kerusakan ginjal diklasifikasikan sebagai memiliki
penyakit ginjal kronis, terlepas dari tingkat GFR. Alasan untuk termasuk individu
dengan GFR >60 mL/men/1.73 m2adalah bahw GFR dapat dipertahankan pada
tingkat normal atau meningkat meskipun kerusakan ginjal substansial dan bhwa
psien dengan kerusakan ginjal berada pada resiko yang meningkat dari dua besar
hasil dri penyakit ginjal kronis: hilangnya fungsi ginjal dan perkembangn penyakit
kardiovaskuler.
Hilangnya protein dalam urin dianggap sebagai penanda independen untuk
perburukan fungsi ginjal dan penyakit kardiovaskular. Oleh karena itu, pedoman
Inggris menambahkan huruf “P” untuk tahap penyakit ginjal kronis jika ada
kehilangn protein yang signifikan. Pada ggl ginjl kronik terdapat 5 tahap, yaitu:
 Tahap 1
Fungsi sedikit berkurang; kerusakan ginjal dengan GFR normal atau relatif
tinggi (≥90 mL/men/1.73 m2). Kerusakan ginjal didefinisikan sebagai kelainan
patologis atau penanda kerusakan, termasuk kelainan pada tes darah atau urin
atau studi pencitraan.
 Tahap 2
Ringan, penurunan GFR (60 - 89 mL/men/1.73 m2) dengan kerusakn ginjal.
Kerusakan ginjal didefinisikan sebagai kelainan patologis atau penanda
kerusakan, termasuk kelainan pada tes darah atau urin atau studi pencitraan.
 Tahap 3
Sedang, penurunan GFR (30 – 59 mL/men/1.73 m2) pedoman Inggris
membedakan antara tahap 3A (GFR 45 – 59) dan tahap 3B (GFR 30 – 44)
untuk tujuan skrining dan rujukan.
 Tahap 4
Parah, penurunan pada GFR (15 – 29 mL/men/1.73 m2). Persiapan untuk terapi
pengganti ginjal.
 Tahap 5
Ditetapkan gagal ginjal (GFR <15 mL/men/1.73 m2), atau terapi pengganti
ginjal permanen (RRT).

5
B. HEMODIALISIS
1. Pengertian
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan
dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksnkn fungsi
tersebut.
Pada dialisis, molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan
cara mengalir dari sisi cirn yng lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke cirn
yang lebih encer (konsentrasi solut lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran
semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi (aplikasi tekanan eksternal
pada membran).
Membran semipermeabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari
selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran memungkinkan difusi zat
dengan berat molekul rendah seperti urea, kreatinin dan asam urat berdifusi.
Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi
kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk
melewati pori-pori menbran. Perbedaan konsentrasi zat pada kebua kompartemen
disebut gradien konsentrasi.
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari
hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal
yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen.
Sehelai membran sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerolus
serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu
fungsinya.
Sistem ginjal buatan:
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat
b. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara
darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif alam arus darah
dan tekanan negati (penghisap) dalam kompartemen dialisat (proses
ultrafiltrasi).
c. Mempertahankan dan mengembalikan sistem buffer tubuh
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh

6
Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebih. Pada hemodialisa, aliran darah
yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke
dialifer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke
dalam tubuh.

2. Indikasi
Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa:
 Peningkatan BUN > 20 – 30 mg%/hari
 Serum kreatinin > 2 mg%/hari
 Hiperkalemia
 Overload cairan yang parah
 Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis pada CRF
 BUN > 200 mg%
 Creatinin >8 mg%
 Asidosis metabolik yang prah
 Uremic encelopati

C. HIPOTENSI INTRADIALISIS
1. Defenisi
Banyak definisi yang menyebutkan tentang hipotensi intradialisis, menurut
Shahgholian, Ghafourifard dan Mortazavi (2008) hipotensi intradialisis adalah
penurunan tekanan darah sistolik > 30% atau penurunan tekanan diastolic sampai
dibawah 60 mmHg yang terjadi pada saat pasien menjalani hemodialisis.
Hipotensi intradialisis juga dapat di definisikan sebagai penurunan tekanan darah
sistolik >40 mmHg atau diastolik > 20 mmHg dalam waktu 15 menit ( Teta 2006).
Sedangkan menurut Nationl Kidney Foundation 2002 Hipotensi Intrdialisis di
definisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik > 20mmHg atau penurunan
MAP >10 mmHg saat pasien hemodialisis yang dihubungkan dengan gejala ; perut
tidak nyaman, menguap, mual muntah, kram otot, pusing dan cemas. (diambil dari
tesis Yunie Armiaty). Banyak faktor yang menyebabkan hipotensi intradialisis
yaitu berhubungan dengan volume, vasokontriksi yang tidak adekuat, faktor
jantung dan lainnya ( Daugridas, Blake & Ing, 2007 )
7
2. Etiologi
Adapun faktor intradialisis ( diambil dari tesis Yunie Armiaty ) menurut
Thomas, 2003; Kallenbach, et al, 2005 ; Sulowicz dan Radziszaweski, 2006;
FMCNCA, 2007 da Daugridas Blake dan Ing, 2007 yaitu :
1. Kecepatan ultrafultrasi yang tinggi
2. Waktu dialysis yang pendek dengan ultrafiltrasi yang tinggi
3. Disfungsi jantung
4. Disfungsi otonom (diabet, uremia)
5. Terapi anti hipertensi
6. Makan selama hemodialisis
7. Tidak akuratnya dalam penentuan berat badan kering pasien
8. Luasnya permukaan membrane dializer
9. Hipokalsemia dan hipokalemi
10. Kadar natrium yang rendah dan penggunaan dialisat setat
11. Perdarahan, anemia dan sepsis serta hemolysis

3. Patofisiologi
Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab dari IDH adalah
multifaktorial. Pada satu sisi kondisi pasien mencetuskan penurunan tekanan darah
selama hemodialisis: umur, comorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia,
large interdyalitik weight gain (IDWG), penggunaan obat –obatan antihipertensi.
Pada sisi lain, fakto – faktor yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat
berkontribusi terhadap instabilitas hemodinamik : sesi hemodialisis yang pendek,
laju intra filtrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentarsi sodium
dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktifitas dari membran dan lain –
lain. Faktor yang kelihatannya paling dominan dari kejadian IDH ini adalah
berkurangnya volume sirkulasi darah agresif, dikarenakan ultrafiltrasi, penuruna
osmolalitas ekstraseluler dengan cepat yang berhubungan dengan perpindahan
sodium, dan ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan plasma refailing. Dari segi
pandangan fisiologi, IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan
ketidakmampuan dari sistem kardiovaskuler dalam merespon penurunan volume
darah sacara adekuat. Respon adekuat dari sistem kardiovaskuler termasuk refleks
aktifitasi sistem syaraf simpatetik, termasuk takikardi dan fasokonstriksi arteri dan

8
vena yang merupakan respon dari underfiling dan hipofolemia. Mekanisme
kompensasi ini dapat terganggu pada beberapa pasien, yang akan menyebabkan
mereka mempunyai faktor resiko terjadinya IDH. Bagaimanapun, hal – hal seperti
ini sulit untuk diukur dan untuk dimodifikasi. Suatu study komprehensif mengenai
regulasi volume darah selama HD, dapat menolong kita untuk mengerti tentang
kemungkinan IDH pada individu pasien.

9
4. Pathway

Etiologi :
Infeksi, Zat Toksik, Vaskuler, Obstruksi saluran kemih

GFR

Sekresi eritropitin Sekresi eritropitin


terganggu GGK menurun

Retensi Na
Tekanan kapiler

Volume Interstisial

Oedema (kelebihan volume cairan)

Preload naik

Beban jantung naik Gangguan rasa aman


nyeri

Hipertrofi ventrikrl kiri

Payah jantung kiri Nyeri kepala, pusing


Aliran darah ke
ginjal menurun COP Suplai O2 ke otak

Suplai O2 kejaringan Syncope (kehilangan


kesadaran)

Metabolisme An aerob

Asam laktat Gangguan perfusi


jaringan perifer
Syndrom asidosisi
Laktat

Fatique (kelelahan)
Nyeri otot, sendi

Resiko Injuri

10
5. Manifestasi klinis
Mnifestsi klinis hipotensi intradialis yang terjadi pada umumnya :
a. Tekanan darh < 90/60mmHg
b. Sering pusing dan menguap
c. Penglihatan terkadang dirasakan kurang jelas (kunang – kunang ) terutama
sehabis duduk lama lalu berjalan
d. Keringat dingin
e. Merasa cepat lelah tak bertenaga
f. Bahkan mengalami pingsan yang berulang
g. Pada pemeriksaan secara umum detak / denyut nadi teraba lemah
h. Penderita tampak pucat, hal ini disebabkan suplai darah yang tidak
maksimum keseluruh jaringan tubuh.

6. Penatalaksanaan hipotensi intradialisis


1. Posisi Trendelenberg
a. Pada pasien non-uremik yang mengalami hipotensi, posisi
Trendelenberg ini tidak meningkatkan TD
b. Volume darah yang kembali ke jantung bertambah
c. Efikasi
d. Penelitian: meningkatkan TD hanya 0,4%
2. Hentikan Ultrafiltrasi
Mencegah penurunan volume darah dan diharapkan pengisian kembali volume
darah 2 – 2,3%, perlambat QB, tidak ada laporan perbedaab QB terhadap
parmeter
3. Hemodinamik Pemberian Cairan
a. Pemberian cairan isotonik (saline)
b. Pemberian cairan koloid bila tidak respon terhadap saline. Tidak ada
perbedaan efikasi antara infus albumin dan NaCl 0,9% pada terapi IDH.
Terdapat perbaikan TD pada pemberian kombinasi dextran / salin
hipertonik dibanding saline 3 %
c. Respon TD (+) pada HES (hydroxyethylstarch) 10% dibanding saline
hipertonik. HES terakumulasi pada PGK ( 3X lebih panjang ) <> 100 ml
HES 10% / minggu aman diberikan pada IDH
11
Berdasarkan penyebab, penanganan hipotensi dapat dilakukan :

1. Meningkatkan berat kering :


Salah satu penyebab hipotensi adalah penarikan cairan yang berlebihan ( over
Ultrafiltrasi ), tindakan yang dilakukan adalah dengan meningkatkan berat
badan kering.
2. Natrium profile : selama prosedur dialisis, zat terlarut akan terbawa dari
kompartemen vaskuler, yang mengarah ke osmolarity plasma menurun relatif
terhadap kompartemen intraseluler. Yang menyebabkan penurunan terhadap
tekanan darah sistemik. Penurunan osmolaritas dapat ditingkatkan melalui
penggunaan natrium rendah (biasanya 130). Untuk mencegah hipotensi, teknik
pengaturan natrium ( mulai dengan natrium dialisat lebih tinggi dan kemudian
menurun ).
3. Menurunkan suhu dialisat ; penurunan suhu dialisat dari 37°C sampai 36°C
(atau bahkan 35°C) mendorong vasokonstriksi yang menimbulkan BP.
4. Ultrafiltrasi berurutan ; Ini mengacu pada praktek ultrafiltrasi, dapat terjadi
diawal hemodialisis dimana ultrafiltrasi yang terlalu berlebih di awal HD atau
pun di akhir.
5. Penggunan midodrine ; ini adalah alpha-I-agonis yang bertindak sebagai
vasoconstricter., baik sebelum atau selama dialisis
6. Penggunaan albumin ; mungkin berguna pada pasien yang kekuranagan
albumin, meskipun ini kontroversial ( mahal )
7. Penggunaan garis “-crit” monitor ; beberapa mesin dialisis dilengkapi dengan
built-in, real-time “ monitor hematokrit “ yang menentukan tingkat penyisihan
fluida – penurunan hematokrit dibawah garis “-crit” mungkin merupakan
tanda awal penurunan volume. Tindakan yang dilakukan adalah menghentikan
atau mengurangi ultrafiltrasi sebelum terjadi hipotensi.
8. Penggunaan obat anti Hipertensi
Beberapa pasien masih terjadi hipertensi yang disebabkan adanya
penumpukan cairan yang berlebih. Oleh karena itu harus berhati – hati dalam
memberikan obat anti hipertensi.

12
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Lengkap
Terdiri dari :
 Hemoglobin
 Hematokrit
 Leukosit
 Trombosit
 Eritrosit
 Index eritrosit ( MCH, MCV, MCHC )
 Laju endap darah
b. EKG
c. Pemeriksaan elektrolit plasma untuk mendeteksi gangguan keseimbangan
cairan tubuh
d. Pemeriksaan laboratorium berkala sebagai deteksi dini penyakit kronispada
lansia

D. ASUHAN KEPERAWATAN

Saat mengelola pasien hemodialisis, perawat harus menerapkan nursing


process. Tujuan penerapan asuhan keperawatan adalah untuk mencegah komplikasi
yang mungkin timbul melalui pengkajian dan perencanaan yang komprehensif
(Thomas, 2003). Berikut penerapan asuhan keperawatan pada pasien hemodialisis.
1. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan sebelum dialisis meliputi pengkajian pasien dan
perlengkapan dialisis. Lemone dan burke (2008), thomas (2003) serta
Kallenbach, et al(2005) menyebutkan bahwa hal yang harus dikaji pada pasien
hemodialisis adalah :
a. Tanda vital meliputi tekanan darah duduk dan berdiri, nadi apical da
perifer, suhu dan pernafasan.
b. Berat badan
c. Status cairan (JVP, bunyi jantung, bunyi nafas dan edema)
d. Warna kulit, temperatur, turgor dan integritas
e. Kepatenan akses vaskuler, adanya tanda perdarahan dan infeksi.
13
f. Serum biokimiawi : potassium, pospat, kalsium, ureum, kreatinin dan
hemoglobin.

Hal yang harus dikaji terkait dengan peralatan hemodialisis adalah :


a. Kepatenan dan keutuhan membrane dialiser, dan memastikan dialiser
sesuai dengan yang diresepkan
b. Memastikan bahwa selang tidak ada yang bocor
c. Komposisi cairan dialisat termasuk jumlah kalium dan kalsium sesuai
yang diresepkan, temperatur diatur pada suhu 35 – 37 °C
d. Dialiser bebas bahan kimia
e. Memastikan tidak ada udara dalam selang darah, tidak ada selang yang
terlipat
f. Memastikan pompa darah telah diatur dan berfungsi dengan baik
g. Memastikan alarm telah diatur (Kallenbach, et al, 2005)

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian perawat dalam merumuskan diagnose keperawatan,
ddiagnose keperawatan yang mungkin muncul pada pasien terkait dengan
terjadinya komplikasi saat hemodialisa :
a. Resiko terjadi komplikasi injuri : hipotensi, hipertensi, sakit dada, sakit
kepala, aritmia, mual, muntah, menggigil, kejang, penurunan kesadaran,
berhubungan dengan efek samping tindakan hemodialisis.
b. Resiko perubahan perfusi jaringan (perifer, renal, kardiak dan cerebral)
berhubungan dengan sirkulasi darah sekunder terhadap adanya hipotensi
dan hipertensi.
c. Resiko penurunan kardiak output berhubungan dengan hipotensi
intradialisis, adanya aritmia dan nyeri dada.
d. Gangguan rasa nyaman nyeri kepala, nyeri dada, nyeri otot berhubungan
dengan penurunan perfusi jaringan.
e. Koping tidak efektif berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

14
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan untuk menagtasi masalah yang muncul adalah :
a. Pengawasan kondisi pasien
Pengawasan (monitoring) merupakan intervensi utama untukmencegah dan
mengatasi komplikasi. Pengawasan terhadap pasien dan mesin harus
dilakukan perawat setiap jam pada saat hemodialisis dan dilakukan lebih
sering pada pasien yang tidak stabil ( Kallenbach, et, al, 2005 ).
Pengawasan saat hemodialisis menurut Lemone & Burke (2008) dan
Kallenbach, et, al (2005) adalah :
1) Pengawasan terhadap pasien meliputi pengawasan tanda vital,
kesadaran dan respon pasien selama prosedur. Respon pasien dalam hal
ini terkait dengan timbulnya komplikasi berupa sakit kepala, sakit dada,
kram, kejang, mual, muntah dll.
2) Pengawasan terhadap perlengkapan dan mesin meliputi pengawasan
terhadap tekanan arteri, tekanan vena, UFR,QB, QD, pengawasan
dialiser, selang darah dan sambungan, pengawasan setting pada
monitor, pompa heparin dan alarm udara serta monitoring volume darah
dan nilai hemotacrit selama hemodialisis.
b. Pengaturan ulang mesin dan perlengkapan
Pengaturan ulang dilakukan bila timbul komplikasi, misalnya dengan
menurunkan UFR, QB, QD dan TMP serta pengaturan ulang suhu dialisat.
c. Melakukan keterampilan
Keterampilan keperawatan yang perlu dilakukan diantaranya adalah :
1) Pengaturan posisi pasien misalnya pengaturan posisi trendelenburg
pada pasien hipotensi, pengturn posisi datar pada pasien hipertensi
2) Memberikan kompres hangat pada area yang nyeri terutama pda otot
dan pada pasien demam
3) Massage pada area yang nyeri ( nyeri kepala, otot, dada )
4) Dukungan psikologis pada pasien yang mengalami kecemasan.
d. Edukasi
e. Kolaborasi

4. Evaluasi

15
E.

16

Anda mungkin juga menyukai