Anda di halaman 1dari 43

1

LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
DI RUANG ICU RS UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK

DISUSUN OLEH :

1. EKA WAHYUNI, Amd. Kep


2. DYAH PURMAMASARI, Amd. Kep
1

BAB I
KONSEP DASAR TEORITIS

A. Konsep Teori Chronic Kidney Disease (CKD)


1. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan perburukan fungsi
ginjal yang lambat, progresif dan irreversible yang menyebabkan
ketidakmampuan ginjal untuk membuang produk sisa dan
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Penderita
Chronic Kidney Disease (CKD) diharuskan menjalani terapi pengganti
ginjal untuk memperpanjang usia harapan hidup pasien, terapi yang
dapat dilakukan yaitu hemodialisis (Rini & Suryandari, 2019).
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis
(PGK) didefinisikan sebagai adanya kerusakan pada ginjal yang
menyebabkan penurunan fungsi ginjal yang progresif terjadi dalam
jangka waktu 3 bulan ataulebih. CKD di tandai dengan penurunan Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) atau Glomerular Filtration Rate (GFR) > 60
ml/menit/1,73m2 dari nilai normal fungsi ginjal orang dewasa yaitu
sekitar 120 ml/menit/1,73m2 (Dipiro, et al, 2015).
Secara fisiologis ginjal akan mengalami penurunan fungsi yang
cukup signifikan pada usia 50 tahun dikarenakan jumlah nefron
berkurang sekitar 20%. Adanya penyakit degeneratif juga merupakan
faktor risiko terkuat penyebab CKD yaitu hipertensi dan diabetes
melitus yang kebanyak diderita saat usia 50 tahun ke atas. Jika CKD
terjadi pada usia yang lebih muda, dimungkinkan karena gaya hidup
yang tidak sehat terutama yang berkaitan dengan kebiasaan konsumsi
zat-zat tertentu yang bersifat nefrotoksik (Ariyantodkk, 2018).
Gagal ginjal kronik atau penyakit gagal ginjal stadium akhir
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism
dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabka uremia
yaitu retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Ginjal juga
tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin

1
2

secara normal padapenyakit gagal ginjal tahap akhir respon ginjal yang
sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit tidak terjadi.
Pasien sering menahan natrium dan cairan, meningkatkan resiko
terjadinya edema,gagal jantung kongestif,dan hipertensi (Smeltzer &
Bare, dalam Husaini, 2020).

2. Etiologi
Menurut Vaidya & Aeddula (2020), penyebab CKD bervariasi dan
paling umum yang dapat menyebabkan CKD adalah sebagai berikut:
a. Diabetes mellitus tipe 1 dan
b. Hipertensi
c. Glomerulonefritis primer
d. Nefritis tubulointerstitial kronis
e. Penyakit keturunan
f. Glomerulonefritis atau vaskulitis sekunder
g. Diskrasia atau neoplasma sel plasma

3. Klasifikasi
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif
GFR (Glomerulo Filtration Rate). Stadium-stadium gagal ginjal kronis
didasarkan pada tingkat GFR yang tersisa dan mencakup (Sudoyo
dalam Divanda, 2019):
a. Penurunan cadangan ginjal, yang terjadi apabila GFR turun 50%
dari normal.
b. Insufisiensi ginjal, yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35%
dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami
kerusakan sendiri karena beratnya beban yang mereka terima.
c. Gagal ginjal, yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
Semakinbanyak nefron yang mati.
d. Penyakit ginjal stadium-akhir, yang terjadi apabila GFR menjadi
kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional
yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan
3

atrofi tubulus. Klasifikasigagal ginjal kronis berdasarkan derajat


(stage) LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) dimana nilai normalnya
adalah 125 ml/min/1,73 m2 dengan rumus kockrof-gault sebagai
berikut:
LFG = (140 - umur) x BB
72 x Kreatinin plasma (mg/dl)
Berikut adalah klasifikasinya :
Tabel 1.1. Stadium Kerusakan Ginjal
GFR
Stadium Deskripsi
(ml/Menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan
>90
GFR Normal atau meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan
60-89
GFR meningkat atau ringan
3 Kerusakan ginjal dengan
30-59
GFR meningkat atau sedang
4 Kerusakan ginjal dengan
15-29
GFR meningkat atau berat
5 Gagal ginjal <15 atau dialysis
Sumber : Sudoyo dalam Divanda (2019)

4. Patofisiologi
Patofisiologi CKD disebabkan mekanisme kerusakan ginjal,
awalnya diakibatkan oleh etiologi dari CKD yang paling sering terjadi
seperti Hipertensi, Diabetes Melitus, dan Glomerulonefritis. Pasien
Diabetes Melitus sehingga Hiperglikemik atau kelebihan kadar gula
dimana penyebabkan kerja ginjal menjadi berat untuk menyaring
kelebihan kadar gula dalam darah, jika hal itu terjadi terus menerus
akan menyebabkan kerusakan pada glomerulus yang merupakan
selaput tipis sebagai menyaring darah di ginjal. Pasien Hipertensi
sehingga terjadi tekanan darah yang menyebabkan arterosklerosis
yaitu pembengkakan pembuluh darah dan kaku sehingga lumen
pembuluh darah mengecil dan darah yang membawa oksigen tidak bisa
mengalir ke dalam ginjal akibatnya menyebabkan penurunan LFG.
Dari penurunan LFG akan terjadi adaptif hemodinamik atau
hiperfiltrasi, yang mana dapat menyebabkan peningkatan tekanan
4

dalam kapiler glomerulus dan peningkatanlaju aliran darah glomerulus.


Selanjutnya terjadi hipertrofi glomerulus, kerusakan sel mesangial,
kerusakan sel endotel dan epitel yang menyebabkan proteinuria.
Protein yang difilter seperti albumin, transferrin, faktor komplemen,
imunoglobulin, sitokin, dan angiotensin II adalah racun bagi sel tubular
ginjal. Proteinuria juga terkait dengan aktivasi komponen komplemen
pada membran apikal tubulus proksimal. Bukti akumulasi sekarang
menunjukkan bahwa aktivasi komplemen intratubular mungkin
menjadi mekanisme utama kerusakan pada nefropati proteinurik.
Proteinuria dapat menyebabkan terjadinya glomerulosklerosis yang
berkaitan dengan kehilangannefron. Nefron merupakan unit terpenting
dari ginjal yang berfungsi untuk menjalankan fungsi-sungsi ginjal,
yang terdiri atas tubulus proximal, tubulus kontortus distal, dan
lengkung henle. Sehingga apabila ginjal kehilangan massanefron, maka
ginjal akan mengajami penurunan fungsinya dan memperburuk
progesifitas CKD (Dipiro et al, 2015).
Perubahan fisiologis yang dapat terjadi sebagai dampak CKD adalah :
a. Ketidakseimbangan cairan
Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu
memekatkan urine (hipothenuria) dan kehilangan cairan yang
berlebihan (poliuria). Hipothenuria tidak disebabkan atau
berhubungan dengan penurunan jumlah nefron, tetapi oleh
peningkatan beban zat tiap nefron. Hal ini terjadi karena keutuhan
nefron yang membawa zat tersebut dan kelebihan air untuk nefron-
nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Terjadi osmotik
diuretik, menyebabkan seseorang menjad dehidrasi (Husaini,
2020).
b. Ketidakseimbangan Natrium
Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius
dimana ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq natrium
setiap hari ataudapat meningkat sampai 200 mEq perhari. Variasi
5

kehilangan natrium berhubungan dengan “intact nephron theory”.


Dengan kata lain, bila terjadi kerusakan nefron maka tidak terjadi
pertukaran natrium. Nefron menerima kelebihan natrium sehingga
menyebabkan GFR menurun dan dehidrasi. Kehilangan natrium
lebih meningkat pada gangguan gastrointestinal, terutama muntah
dan diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan dehidrasi.
Pada CKD yang berat keseimbangan natrium dapat dipertahankan
meskipun terjadi kehilangan yang fleksibel nilai natrium. Orang
sehat dapat pula meningkat di atas 500 mEq/hari. Bila
GFRmenurun di bawah 25-30 ml/menit, maka ekskresi natrium
kurang lebih 25 mEq/hari, maksimal ekskresinya 150- 200
mEq/hari. Pada keadaan ini natrium dalam diet dibatasi 1-1,5
gram/hari13. (Husaini, 2020).
c. Ketidakseimbangan Kalium
Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolik terkontrol maka
hiperkalemia jarang terjadi sebelum stadium 4. Keseimbangan
kalium berhubungan dengan sekresi aldosteron. Selama output
urine dipertahankan kadar kalium biasanya terpelihara.
Hiperkalemia terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan,
dampak pengobatan, hiperkatabolik (infeksi), atau hiponatremia.
Hiperkalemia juga merupakan karakteristik dari tahap uremia.
Hipokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat. Pada
penyakit tubuler ginjal, nefron ginjal meresorbsi kalium sehingga
ekskresi kalium meningkat. Jika hipokalemia persisten,
kemungkinan GFR menurun dan produksi NH3 meningkat. HCO3
menurun dan natrium bertahan (Husaini, 2020).
d. Ketidaseimbangan asam basa
Asidosis metabolik terjadi karena ginjal tidak mampu
mengekskresikan ion Hidrogen untuk menjaga pH darah normal.
Disfungsi renal tubuler mengakibatkan ketidakmampuan
pengeluaran ioh H. Dan pada umumnya penurunan ekskresi H
sebanding dengan penurunan GFR. Asam yang secara terus-
menerus dibentuk oleh metabolisme dalam tubuh tidak difiltrasi
6

secara efektif melewati glomerolus, NH3 menurun dan sel tubuler


tidak berfungsi. Kegagalan pembentukan bikarbonat memperberat
ketidakseimbangan. Sebagian kelebihan hydrogen dibuffer oleh
mineral tulang. Akibatnya asidosis metabolik memungkinkan
terjadinya osteodystrophy (Husaini, 2020).
e. Ketidakseimbangan Magnesium
Magnesium pada tahap awal CKD adalah normal, tetapi menurun
secara progresif dalam ekskresi urine menyebabkan akumulasi.
Kombinasi penurunan ekskresi dan intake yang berlebihan
mengakibatkan henti napasdan jantung, (Husaini, 2020).
f. Ketidakseimbangan Calsium dan Fospor
Secara normal calsium dan pospor dipertahankan oleh parathyroid
hormon yang menyebabkan ginjal mereabsorbsi kalsium,
mobilisasi calsium dari tulang dan depresi resorbsi tubuler dari
pospor. Bila fungsi ginjal menurun 20-25 % dari normal,
hiperpospatemia dan hipocalsemia terjadi sehingga timbul
hiperparathyroidisme sekunder. Metabolisme vitamin D terganggu.
Dan bila hiperparathyroidisme berlangsung dalam waktu lama
dapat mengakibatkan osteorenaldystrophy (Husaini, 2020).
g. Gangguan Fungsi Hematologi
Ginjal merupakan tempat produksi hormon eritropoetin yang
mengontrol produksi sel darah merah. Pada gagal ginjal produksi
eritropoetin mengalami gangguan sehingga merangsang
pembentukan sel darah meraholeh bone marrow. Akumulasi racun
uremia akan menekan produksi sel darah merah dalam bone
marrow dan menyebabkan masa hidup sel darah merah menjadi
lebih pendek. Manifestasi klinis anemia diantaranya adalah pucat,
takikardia, penurunan toleransi terhadap aktivitas, gangguan
perdarahan dapat terjadi epistaksis, perdarahan gastrointestinal,
kemerahan pada kulit dan jaringan subkutan. Meskipun produksi
trombosit masih normal akan tetapi mengalami penurunan dalam
fungsinya sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan.
7

Peningkatan kehilangan sel darah merah dapat terjadi akibat


pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan
selama dialisis. Gagal ginjal juga dapat menurunkan hematocrit
(Husaini, 2020).
h. Retensi Ureum kreatinin
Urea yang merupakan hasil metabolik protein meningkat
(terakumulasi). Kadar BUN bukan indikator yang tepat dari
penyakit ginjal sebab peningkatan BUN dapat terjadi pada
penurunan GFR dan peningkatan intake protein. Tetapi kreatinin
serum adalah indikator yang lebih baik pada gagal ginjal sebab
kreatinin diekskresikan sama dengan jumlah yangdiproduksi tubuh
secara konstan (Husaini, 2020).

5. Manifestasi Klinis
Menurut Haryono & Robinson dalam Parwati (2019), CKD
memiliki tanda dan gejala sebagai berikut:
a. Ginjal dan gastrointestinal biasanya munculhiponatremimaka akan
muncul hipotensi karena ginjal tidak bisa mengatur keseimbangan
cairan dan elektrolit dan gangguan reabsorpsi menyebabkan
sebagian zat ikut terbuang bersama urine sehingga tidak bisa
menyimpan garam dan air dengan baik.Saat terjadi uremia
makaakan merangsang reflekmuntah padaotak.
b. Kardiovaskuler biasanya terjadi aritmia, hipertensi, kardiomiopati,
pittingedema, pembesaran vena leher
c. Respiratori system akan terjadi edema pleura, sesak napas, nyeri
pleura, nafas dangkal, kusmaull, sputum kental dan liat
d. Integument maka pada kulit akan tampak pucat, kekuning-
kuningan kecoklatan,biasanya juga terdapat purpura, petechie,
timbunan urea pada kulit, warna kulit abu-abu mengilat, pruritus,
kulit kering bersisik, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis
dan kasar
e. Neurologis biasanya ada neuropathy perifer,nyeri, gatal pada
8

lengan dan kaki, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk


meningkat.
f. Endokrin maka terjadi infertilitas dan penurunan libido, gangguan
siklus menstruasi pada wanita, impoten, kerusakan metabolisme
karbohidrat.
g. Sisyem muskulosekeletal: kram otot, kehilangan kekuatan otot,
fraktur tulang.
Manifestasi pada CKD Stadium 1 dan 2 biasanya tidak timbul
dengan gejala yang. Namun, mungkin ada gejala dari penyakit ginjal
yang mendasari itu sendiri, seperti edema pada pasien dengan sindrom
nefrotik atau tanda-tanda hipertensi sekunder terhadap penyakit
parenkim ginjal pada pasien dengan penyakit ginjal polikistik, beberapa
bentuk glomerulonefritis, dan banyak bentuk parenkim dan ginjal
lainnya. Jika CKD berlanjut ke stadium 3 dan 4 manifestasi klinis lebih
menonjol. Hampir semua sistem organ terpengaruh, tetapi komplikasi
yang paling jelas termasuk anemia dan mudah lelah terkait penurunan
nafsu makan dengan kelainan kekurangan gizi progresif dalam kalsium,
fosfor, dan kelainan pada natrium, kalium, air, dan ketidakseimbangan
asam-basa. Jika CKD berkembang ke stadium 5, racun menumpuk
sehingga pasien biasanya mengalami gangguan yang nyata dalam
aktivitas hidup sehari-hari, dengan gejala dan komplikasi yang lebih
serius (Jameson & Loscalzo, dalam Divanda, 2019).

6. Komplikasi
Komplikasi CKD yang paling sering terjadi termasuk kelainan
cairan dan elektrolit (ketidakseimbangan natrium & air dan hoeostasis
kalium), anemia, hiperparatiroid sekunder dan osteodistrofi ginjal,
cardiovascular (hipertensi dan hiperlipidemia), asidosis metabolik, dan
komplikasi lain yang dihasilkan dari efek CKD pada sistem organ lain,
termasuk malnutrisi, pruritus, dan uremik (Dipiro et al, 2015)
9

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada klien CKD,
yaitu(Nuari & Widayati, 2017) :
a. Pemeriksaan pada urine meliputi :
1) Volume urinepada orang normal yaitu 500-3000 ml/24 jam atau
1.200 ml selama siang hari sedangkan pada orang CKD
produksi urinekurang dari 400ml/24 jam atau sama sekali tidak
ada produksi urine(anuria) (Debora, 2017).
2) Warna urine pada temuan normaltransparan atau jernih dan
temuan pada orang CKD didapatkan warna urine keruh karena
disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen
kotor, kecoklatan karena ada darah, Hb, myoglobin,
porfirin(Nuari & Widayati, 2017).
3) Berat jenisuntuk urine normal yaitu 1.010-1.025 dan
jika<1.010 menunjukan kerusakan ginjal berat (Nuari &
Widayati, 2017).
4) Kreatinin kreatinin kemungkinan menurundan untuk nilai
normalnyamenurut Verdiansah (2016), yaitu:
a) Laki laki : 97 mL/menit –137 mL/menit per 1,73 m2
b) Perempuan : 88 mL/menit –128 mL/menit per 1,73 m2
5) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) menunjukkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen ada.
Normalnnya pada urine tidakditemukan kandungan protein.
b. Pemeriksaan darah
1) BUN meningkat dari keadaan normal 10.0-20.0 mg/dL,
kreatinin meningkat dari nilai normal <0.95 mg/dL, ureum
lebih dari nilai normal 21-43 mg/dL
2) Hemoglobin biasanya < 7-8 gr/dl
3) SDM menurundari nilai normal 4.00-5.00, defisiensi
eritopoetin
4) BGA menunjukkan asidosis metabolik,pH <7,2
5) Natrium serum rendahdari nilai normal 136-145 mmol/L
10

6) Kalium meningkatdari nilai normal 3,5-5 mEq/L atau 3,5-5


mmol/L
7) Magnesium meningkatdari nilai normal 1,8-2,2 mg/dL
8) Kalsium menurundari nilai normal 8,8-10,4 mg/dL
9) Protein (albumin) menurundari nilai normal 3,5-4,5 mg/dL
c. Pielografi intravena bisa menunjukkan adanya abnormalitas pelvis
ginjal dan ureter. Pielografi retrograde dilakukan bila muncul
kecurigaan adanya obstruksi yang reversibel. Arteriogram ginjal
digunakan untuk mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa (Nuari & Widayati, 2017).
d. Ultrasono ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal serta
ada atau tidaknya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan
bagian atas (Nuari & Widayati, 2017)
e. Biopsy ginjal dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis (Nuari & Widayati, 2017).

8. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan terapi pada pasien CKD dapat dilakukan dengan
mengurangi resiko kardiovaskular, Modifikasi gaya hidup seperti :
olahraga secara teratur (30 menit/hari), makan sehat, dan menghindari
merokok. Untuk pasien dengan CKD dan Diabetes Melitus, target
kontrol glikemik dengan diberikan terapi statin. Meminimalkan cedera
ginjal lebih lanjut pada pasien dengan CKD, neprotoksin harus
dihindari. Selain itu, penggunaan jangka panjang NSAID juga tidak
harus direkomendasikan untuk pasien dengan CKD. Renin angiotensin
system blokade dapat diberkan untuk pasien dengan CKD dan Diabetes
Mellitus yang memiliki Hipertensi (tekanan darah >130/80 mmHg),
serta proteinuria (misalnya, nefropati diabetik), ACEI (ACE Inhibitor)
atau ARB (Angitensin Reseptor Bloker) harus diberikan sebagai
pengobatan (Grill & Brimble, 2018).
11

B. Konsep Teori Hemodialisa


1. Pengertian
Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi
sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap
akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan
dialysis waktu singkat (Nursalam, 2016).
Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti
ureum dan zat beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat
dializer yang berisi membrane yang selektif-permeabel dimana melalui
membrane tersebut fusi zat-zat yang tidak dikehendaki terjadi.
Haemodialysa dilakukan pada keadaangagal ginjal dan beberapa bentuk
keracunan (Christin Brooker, dalam Husaini,2020).
Jadi dapat di simpulkan bahwa Hemodialisa adalah suatu prosedur
dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam
sebuah mesin diluar tubuh yang disebut dialyzer. Prosedur ini
memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi kebutuhan
ini, maka dibuat suatu hubungan buatan diantara arteridan vena (fistula
arteriovenosa) melalui pembedahan.

2. Indikasi
a. Indikasi segera
Koma, perikarditis, atau efusi pericardium, neuropati perifer,
hiperkalemi, hipertensi maligna, over hidrasi atau edema paru,
oliguri berat atau anuria.( Arliza, 2016)
b. Indikasi dini
Gejala uremia, mual, muntah, perubahan mental, penyakit tulang,
gangguan pertumbuhan dan perkembangan seks dan perubahan
kulitas hidup, laboratorium abnormal, asidosis, azotemia (kreatinin
8-12 mg %) dan Blood Urea Nitrogen (BUN) : 100 –120 mg %,
TKK : 5 ml/menit.
c. Frekuensi hemodialisa
Frekuensi dialisa bervariasi, tergantung kepada banyaknya fungsi
12

ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani


dialisa sebanyak 3kali/minggu.
d. Program hemodialisa dikatakan berhasil jika :
1) Penderita kembali menjalani hidup normal
2) Penderita kembali menjalani diet yang normal
3) Jumlah sel darah merah dapat ditoleransi
4) Tekanan darah normal
5) Tidak terdapat kerusakan saraf yang progesif (Arliza, 2016).

3. Tujuan
a. Menggantikan ungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang
sisa- sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan
sisa metabolisme yang lain. ( Fritiwi, 2019 )
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh
yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan
fungsi ginjal
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan
yang lain.

4. Prinsip Mayor/ Proses Hemodialisa


a. Akses Vaskuler
Seluruh dialysis membutuhkan akses ke sirkulasi darah pasien.
Kronik biasanya memiliki akses permanent seperti fistula atau graf
sementara. Akut memiliki akses temporer seperti vascoth.
b. Membrane semi permeable
Hal ini ditetapkan dengan dialyser actual dibutuhkan untuk
mengadakan kontak diantara darah dan dialisat sehingga dialysis
dapat terjadi.
c. Difusi
Dalam dialisat yang konvesional, prinsip mayor yang
menyebabkan pemindahan zat terlarut adalah difusi substansi.
13

Berpindah dari area yang konsentrasi tinggi ke area dengan


konsentrasi rendah. Gradien konsentrasi tercipta antara darah dan
dialisat yang menyebabkan pemindahan zat pelarut yang
diinginkan. Mencegah kehilangan zat yang dibutuhkan.
d. Konveksi
Saat cairan dipindahkan selama hemodialisis, cairan yang
dipindahkan akan mengambil bersama dengan zat terlarut yang
tercampur dalam cairantersebut
e. Ultrafiltrasi
Proses dimana cairan dipindahkan saat dialysis dikenali sebagai
ultrafiltrasi artinya adalah pergerakan dari cairan akibat beberapa
bentuk tekanan. Tiga tipe dari tekanan dapat terjadi pada
membrane :
1) Tekanan positip merupakan tekanan hidrostatik yang terjadi
akibat cairan dalam membrane. Pada dialysis hal ini
dipengaruhi oleh tekanan dialiser dan resisten vena terhadap
darah yang mengalir balik ke fistula tekanan positip
“mendorong” cairan menyeberangi membrane.
2) Tekanan negative merupakan tekanan yang dihasilkan dari
luar membrane oleh pompa pada sisi dialisat dari membrane
tekanannegative “menarik” cairan keluar darah.
3) Tekanan osmotic merupakan tekanan yang dihasilkan dalam
larutan yang berhubungan dengan konsentrasi zat terlarut
dalam larutan tersebut. Larutan dengan kadarzat terlarut yang
tinggi akan menarik cairan dari larutan lain dengan konsentrasi
yang rendah yang menyebabkan membrane permeable
terhadap air
( Desitasari, dalam Husaini, 2020).

5. Peralatan Hemodialisa
a. Arterial –Venouse Blood Line (AVBL) (Desitasari, dalam Husaini,
2020).AVBL terdiri dari :
14

1) Arterial Blood Line (ABL)


Adalah tubing tubing/line plastic yang menghubungkan darah
dari tubing akses vaskular tubuh pasien menuju dialiser,
disebut Inlet ditandai dengan warna merah.
2) Venous Blood Line
Adalah tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari
dialiser dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien
disebut outlet ditandai dengan warna biru. Priming volume
AVBL antara 100-500 ml. priming volume adalah volume
cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan
kompartemen dialiser. Bagian-bagian dari AVBL dan
kopartemenadalah konektor, ujung runcing,segmen
pump,tubing arterial/venouse pressure,tubing udara,bubble
trap,tubing infuse/transfuse set, port biru obat ,port
darah/merah herah heparin,tubing heparin dan ujung tumpul.
b. Dialyzer/ Ginjal Buatan ( artificial Kidney)
Adalah suatu alat dimana proses dialisis terjadi terdiri dari 2
ruang
/kompartemen, yaitu:
1) Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah
2) Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat.
Kedua kompartemen dipisahkan oleh membran
semipermiabel.
3) Dializyer mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar
masuk darah dan dua samping untuk keluar masuk dialisat.
c. Air water Treatment
Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur dialisat
peka (diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air
PAM dan air sumur, yang harus dimurnikan dulu dengan cara
“water treatment” sehingga memenuhi standar AAMI (Association
for the Advancement of Medical Instrument). Jumlah air yang
dibutuhkan untuk satu session hemodilaisis seorang pasien adalah
15

sekitar 120 Liter.


d. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam
komposisi tertentu. Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu
dialisat asetat dan dialisat bicarbonate. Dialisat asetat menurut
komposisinya ada beberapa macam yaitu : jenis standart, free
potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate ada yang
powder, sehingga sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam air
murni/air water treatment sebanyak 9,5 liter dan ada yang bentuk
cair (siap pakai).
e. Mesin Hemodialisis
Ada bermacam-macam mesin haemodilisis sesuai dengan merek
nya. Tetapi prinsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan
larutan dilisat, system pemantauan mesin terdiri dari blood circuit
dan dillisat circuit dan bebagai monitor sebagai deteksi adanya
kesalahan. Dan komponen tambahan seperti heparin pump, tombol
bicarbonate, control ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, kateter vena,
blood volume monitor.

6. Proses Hemodialisa
Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring
di dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah yang telah disaring kemudian
dialirkan kembali ke dalam tubuh. Rata –rata manusia mempunyai
sekitar 5,6 s/d 6,8 liter darah, dan selama proses hemodialisa hanya
sekitar 0,5 liter yang berada di luar tubuh. Untuk proses hemodialisa
dibutuhkan pintu masuk atau akses agar darah dari tubuh dapat keluar
dan disaring oleh dialyzer kemudian kembalike dalam tubuh. Terdapat
3 jenis akses yaitu arteriovenous (AV) fistula, AV graft dan central
venous catheter. AV fistula adalah akses vaskular yang paling
direkomendasikan karena cenderung lebih aman dan juga nyaman
untuk pasien. Sebelum melakukan proses hemodialisa (HD), perawat
akan memeriksa tanda –tanda vital pasien untuk memastikan apakah
16

pasien layak untuk menjalani Hemodialysis. Selain itu pasien


melakukan timbang badan untuk menentukan jumlah cairan didalam
tubuh yang harus dibuang pada saat terapi. Langkah berikutnya adalah
menghubungkan pasien ke mesin cuci darahdengan memasang blod
line (selang darah) dan jarum ke akses vaskular pasien, yaitu akses
untuk jalan keluar darah ke dialyzer dan akses untuk jalan masuk darah
ke dalam tubuh. Setelah semua terpasang maka proses terapi
hemodialisa dapat dimulai. Pada proses hemodialisa, darah sebenarnya
tidak mengalirmelalui mesin HD, melainkan hanya melalui selang
darah dan dialyzer. Mesin HD sendiri merupakan perpaduan dari
komputer dan pompa, dimana mesin HD mempunyai fungsi untuk
mengatur dan memonitor aliran darah, tekanan darah, dan memberikan
informasi jumlah cairan yang dikeluarkan serta informasi vital lainnya.
Mesin HD juga mengatur cairan dialisat yang masuk ke dialyzer,
dimana cairan tersebut membantu mengumpulkan racun –racun dari
darah. Pompa yang ada dalam mesin HD berfungsi untuk mengalirkan
darah dari tubuh ke dialyzer dan mengembalikan kembali ke dalam
tubuh ( Kamaluddin,2019).

7. Komplikasi Hemodialisa
a. Kram otot ( Sapri, 2018)
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa.
Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikancairan)
yang cepat dengan volume yang tinggi.
b. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat
asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik,
neuropatiotonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
c. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum
17

yang cepatberpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.


d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang
kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu
gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien
osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang
menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya
terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
e. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu
dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
kardiopulmonar.
f. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit
dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan
heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko
terjadinya perdarahan.
g. Gangguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah
yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan
sering disertai dengan sakit kepala.
h. Pembekuan darah
Pembekuan darah disebabkan karena dosis pemberian heparin yang
tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

8. Pemantauan pasien selama hemodialysis


a. Monitor status hemodinamik, elektrolik, dan keseimbangan
asam-basa,demikian juga sterilisasi dan sistem tertutup
b. Biasanya dilakukan oleh perawat yang terlatih dan familiar
dengan protokol dan peralatan yang digunakan. (Nursalam,
18

2016:32).

9. Pemantauan setelah Hemodialisis


a. Berat Badan Paien di Timbang
b. TTV di periksa
c. Specimen darah diambil untuk mengetahui kadar elektrolit serum
dan zatsisa tubuh. (Baradero, 2018: 136)

10. Penatalaksanaan Pasien Yang Menjalani Hemodialysis Jangka


Panjang
Diet dan masalah cairan. Diet merupakan faktor penting bagi
pasien yang menjalani hemodialisis mengingat adanya efek uremia.
Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengeksresikanproduk akhir
metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam
serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksik. Gejala yang terjadi
akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala
uremik dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Lebih banyak
toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang timbul. Diet rend
protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan
demikian meminimalkan gejala. Penumpukan cairan juga dapat terjadi
dan dapat mengakibatkan gagal jantungkongestif serta edema paru.
Dengan demikian, pembatasan cairan juga merupakan bagian dengan
resep diet untuk pasien ini. (Desitasari, dalam Husaini, 2020)
Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan
pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa
penyesuaian atau pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan
cairan. Berkaitan dengan pembatasan protein, maka protein dari
makanan harus memiliki nilai biologis yang tinggi dan tersusun dari
asam-amino esensial untuk mencegah penggunaan protein yang buruk
serta mempertahankan keseimbangan nitrogen yang positif. Contoh
protein dengan nilai biologis yang tinggi adalah telur, daging, susu dan
ikan (Desitasari, dalam Husaini, 2020).
19

Dampak Diet Rendah Protein. Diet yang bersifat membatasi akan


merubahgaya hidup dan dirasakan pasien sebagai gangguan serta tidak
disukai bagi banyak penderita gagal ginjal kronis. Karena makanan dan
minuman merupakan aspek penting dalam sosialisasi, pasien sering
merasa disingkirkan ketika berada bersama orang-orang lain karena
hanya ada beberapa pilihan makanan saja yang tersedia baginya. Jika
pembatasan ini dibiasakan, komplikasi yang dapat membawa kematian
seperti hiperkalemia dan edema paru dapat terjadi (Desitasari, dalam
Husaini, 2020).
Pertimbangan medikasi. Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya
atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan
(preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus
dipantau denganketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam
darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi
toksik (Desitasari, dalam Husaini, 2020).
Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah pada saat dialisis oleh
karena itu, penyesuaian dosis oleh dokter mungkin diperlukan. Obat-
obat yang terikatdengan protein tidak akan dikeluarkan selama dialisis.
Pengeluaran metabolit obat yang lain bergantung pada berat dan ukuran
molekulnya. Apabila seorangpasien menjalani dialisis, semua jenis obat
dan dosisnya harus dievaluasi dengan cermat. Pasien harus mengetahui
kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, jika obat
antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan saat menjalani
hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan
menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya (Desitasari, dalam
Husaini, 2020).

11. Pendidikan Pasien


Hal hal penting dalam pengajaran mencakup : ( Kamaluddin, 2019)
a. Rasional dan terapi dialysis
b. Hubungan antara obat-obat yang diresepkan dan dialysis
c. Efek samping obat dan pedoman kapan harus memberitahukan
20

doktermengenai efek samping tersebut


d. Perawatan akses vaskuler: pencegahan, pendeteksian dan
penatalaksanaankomplikasi yang berkaitan dengan akses vaskuler
e. Dasar pemikiran untuk diet dan pembatasan cairan: konsekuensi
akibatkegagalan dalam mematuhi pembatasan ini
f. Pedoman pencegahan dan pendeteksian kelebihan muatan cairan
g. Strategi untuk pendeteksian, penatalaksanaan dan pengurangan
gejalapruritus, neuropatiserta gejala-gejala lainnya.
h. Penatalaksanaan komplikasi dialisis yang lain dan efek samping
terapi(dialisis, diet yang membatasi, obat-obatan)
i. Strategi untuk mengangani atau mengurangi kecemasan serta
ketergantungan pasien sendiri dan anggota keluarga mereka
j. Pilihan lain yang tersedia bagi pasien
k. Pengaturan finansial untuk dialisis: strategi untuk
mengidentifikasi danmendapatkan sumber-sumber.
l. Strategi untuk mempertahankan kemandirian dan mengatasi
kecemasananggota keluarga.
21

BAB II
WEB OF CAUTION (WOC)

21
22
23
24
25
26

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Pre Hemodialisa
1) Identitas Klien
Identitas Klien terdiri dari nama, jenis kelamin, No. RM dan
alamatklien.
2) Keluhan Utama
3) Data Fokus
4) Tanda-Tanda Vital
5) Berat Badan
b. Intra Hemodialisa
1) Persiapan Hemodialisa
a) Dializer type
b) Reuse
c) Lama dialysis
d) Conductivity
e) Antikoagulen
f) Jenis acces
g) Total blood volume
h) Waktu SU
i) UF Goal dan UF Rate
2) Data Fokus
3) Tindakan Keperawatan Selama Hemodialisa
a) Observasi
b) Pengobatan selama hemodialisa
c) Pengawasan cairan selama hemodialisa
d) Penyulit yang ditemukan selama hemodialisa
c. Post Hemodialisa
1) Data Fokus
2) Kesadaran

26
27

3) Tanda-Tanda Vital
4) Lama Dialisis
5) Ultra Filtrasi
6) Blood Pump (Qb)
7) Pemberian Heparin
8) Jenis Dializer
9) Jenis Dialisat
10) Jenis Akses Vaskuler
d. Pemeriksaan Laboratorium
e. Pemeriksaan Penunjang Lain
(Sumber : Modul PKK KMB, Profesi Ners 2020)

2. Diagnosa Keperawatan
a. CKD
1) (D. 0003) Gangguan Pertukaran Gas
2) (D. 0009) Perfusi Perifer Tidak Efektif
3) (D. 0077) Nyeri Akut
4) (D. 0022) Hipervolemia
5) (D. 0019) Defisit Nutrisi
6) (D. 0129) Gangguan Integritas Kulit/ Jaringan
7) (D. 0080) Ansietas
8) (D. 0142) Risiko Infeksi
9) (D. 0012) Risiko Perdarahan
10) (D. 0056) Intoleransi Aktivitas
11) (D. 0057) Keletihan
b. Pre Hemodialisa
1) (D. 0009) Perfusi Perifer Tidak Efektif
2) (D. 0005) Pola Napas Tidak Efektif
3) (D. 0022) Hipervolemia
4) (D. 0019) Defisit Nutrisi
5) (D. 0080) Ansietas
6) (D. 0057) Keletihan
7) (D. 0139) Risiko Gangguan Integritas Kulit/ Jaringan
28

c. Intra Hemodialisa
1) (D. 0077) Nyeri Akut
2) (D. 0022) Hipervolemia
3) (D. 0131) Hipotermia
4) (D. 0076) Nausea
5) (D. 0056) Intoleransi Aktivitas
6) (D. 0012) Risiko Perdarahan
7) (D. 0034) Risiko Hipovolemia
8) (D. 0039) Risiko Syok
d. Post Hemodialisa
1) (D. 0129) Gangguan Integritas Kulit/ Jaringan
2) (D. 0076) Nausea
3) (D. 0012) Risiko Perdarahan
4) (D. 0142) Risiko Infeksi
5) (D. 0136) Risiko Cidera
6) (D. 0111) Defisit Pengetahuan (SDKI, 2017)
28

3. Rencana Tindakan Keperawatan


Tabel 3. 1. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan Dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan Keperawatan
No
(SDKI PPNI, 2017) (SLKI PPNI, 2019) (SIKI PPNI, 2018)
1. (D.0022) : Hipervolemia Setelah dilakukan tindakan A. MANAJEMEN HIPERVOLEMIA (I.03114)
Definisi : Peningkatan cairan keperawatan diharapkan masalah 1. Observasi
intravascular, intertisial, dan/atau hypervolemia dapat teratasi dengan a. Periksa tanda dan gejala hypervolemia
intraseluler Penyebab : kriteria hasil : b. Identifikasi penyebab hypervolemia
1. Gangguan mekanismeregulasi 1. Asupan cairan membaik c. Monitor status hemodinamik, tekanan darah,
2. Kelebihan asupan cairan 2. Output urin membaik MAP, CVP, PAP, PCWP, CO jika tersedia
3. Kelebihan asupan natrium 3. Membrane mukosa lembab d. Monitor intaje dan output cairan
4. Gangguan aliran balik vena 4. Asupan makanan meningkat e. Monitor tanda hemokonsentrasi (kadar
5. Efek agen farmakologis (mis.
5. Edema menurun Natrium, BUN, hematocrit, berat jenis urine)
kortikostreroid,
6. Dehidrasi menurun f. Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik
chlorpropamide,
tolbutamide, vincristione,
7. Asites menurun plasma
tryptilinescarbamazepine) 8. Konfusi menurun g. Monitor kecepatan infus secara ketat
9. Tekanan darah membaik h. Monitor efek samping diuretik
10. Kekuatan nadi membaik 2. Therapeutik
11. Frekuensi nadi membaik a. Timbang berat bada setiap hari pada waktu
12. Mata cekung membaik yang sama
13. Turgor kulit membaik b. Batasi asupan cairan dan garam
14. Berat badan membaik c. Tinggikan kepala tempat tidur 30-40 derajat
3. Edukasi
a. Anjurkan melapor jika haluaran urine
<0.5 ml/kg/jam dalam 6 jam
b. Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1
kg dalam sehari
29

c. Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan


dan haluaran cairan
d. Ajarkan cara membatasi cairan
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian diuritik
b. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium
akibat diuretic
c. Kolaborasi pemberian continuous renal
replacement therapy

B. PEMANTAUAN CAIRAN (I.03121)


1. Observasi
a. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
b. Monitor frekuensi nafas
c. Monitor tekanan darah
d. Monitor berat badan
e. Monitor waktu pengisian kapiler
f. Monitor elastisitas atau turgor kulit
g. Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine
h. Monitor kadar albumin dan protein total
i. Monitor hasil pemeriksaan serum (mis.
Osmolaritas serum, hematocrit, natrium,
kalium, BUN)
j. Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis.
Frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
tekanan darah menurun, tekanan nadi
menyempit, turgor kulit menurun, membrane
mukosa kering, volume urine menurun,
hematokrit meningkat, haus, lemah,
konsentrasi urine meningkat, berat badan
menurun dalam waktu singkat)
k. Identifikasi tanda-tanda hypervolemia mis.
30

Dyspnea, edema perifer, edema anasarka, JVP


meningkat, CVP meningkat, refleks
hepatojogular positif, berat badan menurun
dalam waktu singkat)
l. Identifikasi factor resiko ketidakseimbangan
cairan (mis. Prosedur pembedahan mayor,
trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis,
obstruksi intestinal, peradangan pankreas,
penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi
intestinal)
2. Terapeutik
a. Atur interval waktu pemantauan sesuaidengan
kondisi pasien
b. Dokumentasi hasil pemantauan
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
31

2. (D.0077) : Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan A. MANAJEMEN NYERI


Penyebab : keperawatan diharapkan tingkat nyeri 1. Observasi
1. Agen pencidera fisiologis (mis. menurun dengankriteria hasil : a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Inflamasi, iskemia, neoplasma) 1. Kemampuan menuntaskan aktivitas frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Agen pencidera kimiawi (mis. meningkat b. Identifikasi nyeri
Terbakar, bahan kimia iritan) 3. 2. Keluhan nyeri menurun c. Identifikasi respon nyeri non verbal
3. Agen pencidera fisik (mis. 3. Meringis menurun d. Monitor efek samping penggunaananalgetik
Abses, amputasi, terbakar, 4. Sikap protektif menurun 2. Teraupetik
terpotong, mengangkat berat, 5. Gelisah menurun a. Berikan teknik non farmakologis untuk
prosedur operasi, trauma, 6. Kesulitan tidur menurun mengurangi rasa nyeri
latihan fisik berlebihan) 7. Menarik diri menurun b. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
8. Berfokus pada diri sendiri menurun nyeri ( missal suhu ruangan, pencahayaan,
9. Diaforesis menurun kebisingan)
10. Anoreksia menurun c. Fasilitasi istirahat dan tidur
11. Frekuensi nadi, pola napas, dan d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
tekanan darah membaik pemilihan strategi meredakan nyeri
12. Proses berpikir dan fokus membaik 3. Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicunyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan menggunakan analgetik secaratepat
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik

B. PENGATURAN POSISI
1. Observasi
a. Monitor status oksigenisasi sebelum dan
sesudah mengubah posisi
b. Monitor alat traksi agar selalu tepat
2. Teraupetik
32

a. Atur posisi tidur yang disukai, jika tidak


kontraindikasi
b. Posisikan pada kesejajaran tubuh yangtepat
c. Berikan bantal yang tepat pada leher
d. Tinggikan bagian tubuh yang sakit dengan
tepat
e. Motivasi melakukan ROM aktif ataupasif
f. Hindari menempatkan pada posisi yang dapat
meningkatkan nyeri
g. Ubah posisi setiap 2 jam
h. Posisikan untuk mempermudah ventilasi /
perfusi
3. Edukasi
a. Informasikan saat akan
dilakukanperubahan posisi
b. Ajarkan cara menggunakan postur yangbaik

C. TERAPI RELAKSASI
1. Observasi
a. Identifikasi penurunan tingkat energi,
ketidakmampuan berkonsentrasi atau gejala
lain yang mengganggu kemampuan kognitif
b. Periksa ketegangan otot
c. Monitor respons terhadap terapi relaksasi
2. Terapeutik
a. Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa
gangguan dengan pencahayaan dan suhu
ruangan nyaman, jika memungkinkan
b. Gunakan pakaian longgar
c. Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang
dengan analgetik atau tindakan medis lain,
jika sesuai
33

d. Berikan informasi tertulis tentang persiapan


dan prosedur teknik relaksasi
3. Edukasi
a. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan jenis
relaksasi yang tersedia (missal music,
meditasi, nafas dalam)
b. Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang
dipilih
c. Anjurkan mengambil posisi yangnyaman
d. Anjurkan rileks dan merasakan sensairelaksasi
e. Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi
(missal nafas dalam, peregangan, atau
imajinasi terbimbing)

3. (D.0142) : Resiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan A. PENCEGAHAN INFEKSI (I.14539)


Definisi : Berisiko mengalami keperawatan diharapkan tingkat 1. Observasi
peningkatan terserang infeksi menurun dengan kriteria hasil : a. Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat
organisme patogenik 1. Kemerahan menurun alergi
Faktor Resiko : 2. Nyeri menurun b. Identifikasi kontraindikasi pemberianimunisasi
1. Penyakit Kronis 3. Bengkak menurun c. Identifikasi status imunisasi setiap kunjungan
2. Efek prosedur Infasif 4. Drainase purulen menurun ke pelayanan kesehatan
3. Malnutrisi 5. Kadar sel darah putih membaik 2. Terapeutik
4. Peningkatan paparanorganisme a. Berikan suntikan pada pada bayidibagian paha
patogen lingkungn anterolateral
5. Ketidakadekuatan pertahanan b. Dokumentasikan informasi vaksinasi
tubuh perifer : c. Jadwalkan imunisasi pada interval waktu yang
a. Gangguan peristltik tepat
b. Kerusakan integritaskulit 3. Edukasi
c. Perubahan sekresi PH a. Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang terjadi,
d. Penurunan kerja siliaris jadwal dan efek samping
e. Ketuban pecah lama b. Informasikan imunisasi yang diwajibkan
f. Ketuban pecah sebelum pemerintah
34

waktunya c. Informasikan imunisasi yang


g. Merokok melindungiterhadap penyakit namun saat ini
h. Statis cairan tubuh tidak diwajibkan pemerintah
6. Ketidakadekuatan pertahan d. Informasikan vaksinasi untuk kejadiankhusus
tubuh sekunder e. Informasikan penundaan pemberian imunisasi
a. Penuruna Hemoglobin tidak berarti mengulang jadwal imunisasi
b. Imunosupresi kembali
c. Leukopenia f. Informasikan penyedia layanan pekan
d. Supresi ResponInflamasi imunisasi nasional yang menyediakan vaksin
e. Faksinasi tidak adekuat gratis

4. (D.0012) : Resiko Perdarahan Setelah dilakukan tindakan A. PENCEGAHAN PENDARAHAN


Definisi : Berisiko mengalami keperawatan, diharapkan tingkat 1. Observasi
kehilangan darah baik internal perdarahan menurun dengan kriteria a. Monitor tanda dan gejala perdarahan
(terjadi di dalam tubuh) maupun hasil : b. Monitor nilai hematokrit/homoglobin sebelum
eksternal (terjadi hingga keluar 1. Membran mukosa lembab dan setelah kehilangan darah
tubuh) 2. Kelembapan kulit meningkat c. Monitor tanda-tanda vital ortostatik
Faktor Risiko 3. Kognitif meningkat d. Monitor koagulasi (mis. Prothombin time
1. Aneurisma 4. Hemoptisis menurun (TM), partial thromboplastin time (PTT),
2. Gangguan gastrointestinal(mis. 5. Hematuria menurun fibrinogen, degradsi fibrin dan atau platelet)
ulkus lambung,polip,varises ) 2. Terapeutik
6. Perdarahan anus menurun
3. Gangguan fungsi hati ( mis.
7. Distensi abdomen menurun a. Pertahankan bed rest selama perdarahan
sirosis hepatis )
4. Komplikasi kehamilan (mis.
8. Perdarahan vagina menurun b. Batasi tindakan invasif, jika perlu
ketuban pecah sebelum 9. Perdarahan paska operasi c. Gunakan kasur pencegah dikubitus
waktunya, plasenta previa atau menurun d. Hindari pengukuran suhu rektal
abrupsio,kehamilan kembar ) 10. Hemoglobin membaik 3. Edukasi
5. Komplikasi pasca partum (mis 11. Hematrokit membaik a. Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
atoni uterus, retensi plasenta ) 12. Tekanan darah membaik b. Anjurkan mengunakan kaus kaki saatambulasi
6. Gangguan koagulasi ( mis. 13. Frekuensi nadi membaik c. Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk
trombossitopenia ) 14. Suhu tubuh membaik menghindari konstipasi
7. Agen farmakologis d. Anjurkan menghindari aspirin atau
8. Tindakan pembedahan antikoagulan
35

9. Trauma e. Anjurkan meningkatkan asupan makan dan


10. Kurang terpapar informasi vitamin K
tentang pencegahan f. Anjrkan segera melapor jika terjadiperdarahan
pembedahan 4. Kolaborasi
11. Proses keganasan a. Kolaborasi pemberian obat dan mengontrol
perdarhan, jika perlu
b. Kolaborasi pemberian prodok darah, jikaperlu
c. Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jikaperlu
36

4. Evaluasi
Evaluasi ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil akhir
yang teramati dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat dalam
rencana keperawatan.(Ernawati, 2019). Untuk lebih mudah melakukan
pemantauan dalam kegiatan evaluasi keperawatan maka kita
menggunakan komponen SOAP yaitu:
S : data subyektif.
O : data objektif.
A : analisis, interpretasi dari data subyektif dan data objektif.
Analsisis merupakan suatu masalah atau diagnosis yang masih terjadi,
atau masalah atau diagnosis yang baru akibat adanya perubahan status
kesehatanklien.
P : planning, yaitu perencanaan yang akan dilakukan, apakah
dilanjutkan,ditambah atau dimodifikasi. (Ernawati, 2019).
Tujuan Dan Kriteria Hasil
Diagnosa Keperawatan
(SLKI PPNI, 2019)
(D.0022) : Hipervolemia 1. Asupan cairan membaik
2. Output urin membaik
3. Membrane mukosa lembab
4. Asupan makanan meningkat
5. Edema menurun
6. Dehidrasi menurun
7. Asites menurun
8. Konfusi menurun
9. Tekanan darah membaik
10. Kekuatan nadi membaik
11. Frekuensi nadi membaik
12. Mata cekung membaik
13. Turgor kulit membaik
14. Berat badan membaik
(D.0077) : Nyeri Akut 1. Rileks meningkat
2. Keluhan tidak nyaman menurun
3. Gelisah menurun
4. Kesejahteraan fisik meningkat
5. Kesejahteraan psikologis meningkat
6. Merintih menurun
7. Menangis menurun
(D.0142) : Resiko Infeksi 1. Kemerahan menurun
2. Nyeri menurun
3. Bengkak menurun
4. Drainase purulen menurun
37

5. Kadar sel darah putih membaik


(D.0012) : Resiko 1. Membran mukosa lembab
Perdarahan 2. Kelembapan kulit meningkat
3. Kognitif meningkat
4. Hemoptisis menurun
5. Hematuria menurun
6. Perdarahan anus menurun
7. Distensi abdomen menurun
8. Perdarahan vagina menurun
9. Perdarahan paska operasi menurun
10. Hemoglobin membaik
11. Hematrokit membaik
12. Tekanan darah membaik
13. Frekuensi nadi membaik
14. Suhu tubuh membaik

5. Aplikasi Pemikiran Kritis


Fatigue atau kelelahan adalah salah satu masalah dengan
prevalensi yang cukup tinggi diantara efek tindakan hemodialisis yang
diterima pasien denganpenyakit ginjal tahap akhir. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa 71,0 % sampai 92,2% pengalaman pasien dengan
kelelahan dan bahwa kelelahan adalah kondisi yang paling penting
untuk diobservasi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (Rabiye,
et al., dalam Djamaludin, 2021).
Kondisi kelelahan pada pasien hemodialisis dapat menyebabkan
konsentrasi menurun, malaise, gangguan tidur, gangguan emosional
dan penurunan kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas
sehariharinya, sehingga pada akhirnya dapat menurunkan kualitas
hidup pasien hemodialisis(Jhamb, 2015).
Metode penanganan terhadap kelelahan atau fatigue dilakukan
kedalam dua cara yaitu farmakologi dan nonfarmakologi. Metode
penambahan L- carnitine, vitamin C dan eritropoetin dan pengobatan
untuk mengontrol anemia. Metode terakhir yang dikembangkan adalah
exercise, yoga, relaksasi, akupresur, akupunktur, stimulasi elektrik, dan
dialysis. Breathing Exercise mungkin membantu dalam mengurangi
depresi dan kelelahan diantara pasien hemodialisis. Namun beberapa
studi menyarankan bahwa teknik relaksasi dianggap berhasil dalam
meningkatkan kondisi pasien hemodialisis (Hilma, 2015).
38

Sehingga berdasarkan uraian diatas, aplikasi pemikiran kritis yang


ditemukan penulis adalah pengaruh Breathing Exercise terhadap
penurunan tingkat fatigue pada pasien hemodialisa.
Breathing Exercise adalah teknik penyembuhan yang alami dan
erupakanbagian dari strategi holistic self-care untuk mengatasi berbagai
keluhan seperti fatigue, nyeri, gangguan tidur, stress dan kecemasan.
Secara fisiologis, Breathing Exercise akan menstimulasi sistem saraf
parasimpatik sehingga meningkatkan produksi endorpin, menurunkan
heart rate, meningkatkan ekspansi paru sehingga dapat berkembang
maksimal, dan otot-otot menjadi rileks (Safruddin, 2019).
Latihan Breathing Exercise merupakan salah satu teknik relaksasi
yang mudah dilakukan, mudah dipelajari, tidak membahayakan, dan
tidak memerlukan biaya besar. Oleh karena itu perawat dapat
mengajarkan pada pasien tentang Breathing Exercise yang berguna
menurunkan level fatigue dan keluhan lain yang dapat dialami oleh
pasien hemodialisis. Latihan ini dilakukandalam waktu yang tidak lama
dan dapat dilakukan sebelum, selama, sesudah proses hemodialisis, dan
selama pasien di rumah (Stanley,2011).
Secara fisiologis, Breathing Exercise akan menstimulasi sistem
saraf parasimpatik sehingga meningkatkan produksi endorpin,
menurunkan heart rate, meningkatkan ekspansi paru sehingga dapat
berkembang maksimal, dan otot- otot menjadi rileks. Breathing
Exercise membuat tubuh kita mendapatkaninput oksigen yang adekuat.
dimana oksigen memegang peran penting dalam sistem respirasi dan
sirkulasi tubuh. Saat kita melakukan breathing exercise, oksigen
mengalir ke dalam pembuluh darah dan seluruh jaringan tubuh,
membuang racun dan sisa metabolisme yang tidak terpakai,
meningkatkan metabolisme dan memproduksi energi. Breathing
Exercise akan memaksimalkan jumlah oksigen yang masuk dan
disuplay ke seluruh jaringansehingga tubuh dapat memproduksi energi
dan menurunkan level fatigue (Septiwi, 2016).
Tindakkan Breathing Exercise dilakukan 4 (empat) kali sehari,
39

sekali tindakan selama 15 menit, dilakukan 15 menit di jam pertama,


15 menit jam kedua, 15 menit jam ketiga, 15 menit jam keempat.
Instrumen menggunakan Skala FACIT, Quesioner, alat tulis: untuk
mencatat nama, dan hasil, SOP breathing exercise, SOP pengukuran
tingkat fatigue (Maesaroh, 2021).

Referensi :
Djamaludin, D. (2021). Pengaruh Breathing Exercise Terhadap Level
Fatigue Pasien Hemodialisis. Universitas Malahayati

Hilma. (2015). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap


Penurunan Kelelahan Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani
Hemodialisis Di Unit Hemodialisis RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Fakultas Keperawatan.

Jhamb. (2015). Fatigue In Patients Receiving Maintenance Dialysis: A


Review Of Definitions, Measures, And Contributing Factors.
American Journal of Kidney Disease,52(2), 353-365

Maesaroh. (2021). Pengaruh Breathing Exercise Terhadap Penurunan


Tingkat Fatigue Pada Pasien Hemodialisa. Jawa Barat : Akademi
Keperawatan BuntetPesantren Cirebon (AKPER BPC)

Safruddin. (2019). Pengaruh Breathing Exercise Terhadap Level


Fatigue Pasien Gagal Ginjal Yang Menjalani Hemodialisis.
Makassar : Universitas Muslim Indonesia
40

DAFTAR PUSTAKA

Ariyanto, dkk. (2018). Beberapa Faktor Risiko Kejadian Penyakit Ginjal Kronik
(PGK) Stadium V Pada Kelompok Usia Kurang Dari 50 Tahun. Studi di
RSUD dr.H.Soewondo Kendal dan RSUD dr.Adhyatma,MPH Semarang

Arliza, M. (2016). Prosedur Dan Teknik Operasional Hemodialisa.Edisi


Pertama. Yogyakarta: Tugu Pustaka

Baradero, Mary. (2018). Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Dipiro J.T., et al. (2015). Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill


Education Companies, Inggris.

Divanda, D. R. (2019). Asuhan Gizi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Rumah
Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul. Skripsi thesis,
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.

Djamaludin, D. (2021). Pengaruh Breathing Exercise Terhadap Level Fatigue


Pasien Hemodialisis. Universitas Malahayati

Fritiwi, D. H. (2019). Tingkat Pengetahuan, Sikap, Tindakan Keluarga Pasien


Hemodialisis Mengenai Gagal Ginjal Kronik Di Klinik Rasyida Medan.
[Skripsi]. Medan: USU

Grill, A. K., & Brimble, S. (2018). Approach To The Detection And Management
Of Chronic Kidney Disease: What Primary Care Providers Need To
Know

Hilma. (2015). Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan


Kelelahan Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisis Di
UnitHemodialisis RSUP Dr. M. Djamil Padang. Fakultas Keperawatan.

Husaini, Fachri (2020) Studi Literatur Indentifikasi Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Kepatuhan Hd Pada Pasien Hemodialisa Di
Indonesia. Undergraduate (S1) thesis, Universitas Muhammadiyah
Malang.

Jhamb. (2015). Fatigue In Patients Receiving Maintenance Dialysis: A Review Of


Definitions, Measures, And Contributing Factors. American Journal of
Kidney Disease,52(2), 353-36545

Kamaluddin, R. (2019). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan


Asupan Cairan Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Dengan Hemodialisis
Di Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Staf Pengajar Jurusan
Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto. Purwokerto

40
41

Kemenkes RI. (2018). Riset Kesehatan Dasar 2018

Maesaroh. (2021). Pengaruh Breathing Exercise Terhadap Penurunan Tingkat


Fatigue Pada Pasien Hemodialisa. Jawa Barat : Akademi Keperawatan
BuntetPesantren Cirebon (AKPER BPC)

Nuari & Widayati. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &


PenatalaksanaanKeperawatan. Yogyakarta: Deepublish

Nursalam. (2016). Sistem Perkemihan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Rini, A. S., & Suryandari, D. (2019). Asuhan Keperawatan Pasien Chronic Kidney
Disease (CKD) Dalam Pemenuhan Kebutuhan Rasa Aman dan Nyaman:
Ansietas. STIKes Kusuma Husada Surakarta, 1–7.

Safruddin. (2019). Pengaruh Breathing Exercise Terhadap Level Fatigue Pasien


Gagal Ginjal Yang Menjalani Hemodialisis. Makassar : Universitas
Muslim Indonesia

Sapri, A. (2018). Asuhan Gagal Ginjal Kronik Faktor-Faktor Yang


Mempengaruhi Kepatuhan Dalam Mengurangi Asupan Cairan Pada
Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Di RSUD Dr. H.
Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Sdki). Edisi
1. Jakarta : DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(Siki). Edisi 1. Jakarta. DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(Slki). Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai