Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN PENDAHULUAN

GAGAL GINJAL KRONIS

1. DEFINISI
- Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal
dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang
beredardalamdarahsertakomplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal). (Nursalam, 2006)
- Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urin dan sampah nitrogen lain
dalam darah). (Brunner & Suddart, 2002)
- Gagal ginjal kronis adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan
terus-menerus. Gagal ginjal kronis dapat timbul dari hampir semua
penyakit. Selain itu pada individu yang rentan, nefropati analgesic,
destruksi papilla ginjal yang terkait dengan pamakaian harian obat-obatan
analgesic selama bertahun-tahun dapat menyebabkan gagal ginjal kronis.
Apa pun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang
ditandai dengan penurunan GFR yang progresif. (Corwin, 2009)
Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronis
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, dan ditandai dengan uremia (urea dan
limbah nitrogen dalam darah), dan dapat terjadi pada individu yang rentan,
nefropati analgesic, destruksi papilla ginjal yang terkait dengan pamakaian
harian obat-obatan analgesik selama bertahun-tahun.
2. KLASIFIKASI
- Berdasarkan sebabnya
Menurut Suharyanto dan Madjid (2009), gagal ginjal kronis dapat
diklasifikasikan berdasarkan sebabnya, yaitu sebagai berikut:
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi dan peradangan Pielonefritis kronik, Glomerulonefritis
Penyakit vaskuler hipertesif Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis
maligna, Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan penyambung Lupus eritematosus sistemik, Poliartritis
nodusa, Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan heredite Penyakit ginjal polikistik, Asidosis tubulus
ginjal
Penyakit metabolik Diabetes Melitus, Gout Disease,
Hipertiroidisme
Nefropati toksi Penyalahgunaan analgesic, Nefropati
timbale
Nefropati obstruksi Saluran kemih bagian atas: kalkuli,
neoplasma, fibrosis retroperineal. Saluran
kemih bagian bawah: hipertropi prostat,
striktur uretra, anomali leher kandung
kemih dan uretra.

- Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi tiga


stadium (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu:
1. Stadium I  dinamakan penurunan cadangan ginjal --- Selama
stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita
asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui
dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti. 
2. Stadium II  dinamakan insufisiensi ginjal --- Pada stadium ini
dimana lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. GFR
besarnya 25 % dari normal. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai
meningkat dari normal. Gejala-gejala nokturia atau seting berkemih
di malam hari sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan
pemekatan) mulai timbul. 
3. Stadium III  dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia
--- Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau
hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai GFR
hanya 10 % dari keadaan normal. Kreatinin serum dan BUN akan
meningkat dengan mencolok. Gejala-gejala yang timbul karena
ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan
elektrolit dalam tubuh, yaitu oliguri karena kegagalan glomerulus,
sindrom uremik.
- Berdasarkan tahapan penyakit dari waktu ke waktu, dapat diklasifikasikan
sebagai berikut: The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI)
(dalam Desita, 2010)
1. Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90 ml/min/1,73 m2)
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Kerusakan
pada ginjal dapatdideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada
stadium pertama penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah
untuk memperlambat perkembangan CKD dan mengurangi
resiko penyakit jantung dan pembuluh darah.
2. Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2) 
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89). Saat
fungsi ginjal kitamulai menurun, dokter akan memperkirakan
perkembangan CKD kita dan meneruskan pengobatan untuk
mengurangi resiko masalah kesehatan lain.
3. Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2)
Penurunan lanjut pada GFR (30-59). Saat CKD sudah berlanjut
pada stadium ini, anemiadan masalah tulang menjadi semakin
umum. Kita sebaiknya bekerja dengan dokter untuk mencegah atau
mengobati masalah ini.
4. Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2) 
Penurunan berat pada GFR (15-29). Teruskan pengobatan untuk
komplikasi CKD dan belajar semaksimal mungkin mengenai
pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing pengobatan
membutuhkan persiapan. Bila kita memilih hemodialisis, kita
akanmembutuhkan tindakan untuk memperbesar dan memperkuat
pembuluh darah dalamlengan agar siap menerima pemasukan
jarum secara sering. Untuk dialisis peritonea,sebuah kateter harus
ditanam dalam perut kita. Atau mungkin kita ingin minta
anggotakeluarga atau teman menyumbang satu ginjal untuk
dicangkok.
5. Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 ml/min/1,73 m2)
Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja
cukup untuk menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan
dialisis atau pencangkokan ginjal.
GFR normal adalah 90 – 120 mL/min/1.73 m2.Pada gagal ginjal kronis
tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan ginjal
termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang abnormal
(Arora, 2009 dalam Desita, 2010).

3. ETIOLOGI
Umumnya gagal ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal intrinsic difus
dan menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan
berakhir dengan gagal ginjal kronik. Umumnya penyakit diluar ginjal, missal
nefropati obstruktif dapat menyebabkan kelainan ginjal intrinsic dan berakhir
dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis hipertensi essensial dan
pielonefritis merupakan penyebab paling sering dari gagal ginjal kronik kira-
kira 60%. Gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal
polikistik dan nefropati obstruktif hanya 15 – 20 %. Glomerulonefritis kronik
merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus, seringkali berakhir
dengan gagal ginjal kronik. Laki-laki lebih sering dari wanita, umur 20 – 40
tahun. Sebagian besar pasien relatif muda dan merupakan calon utama untuk
transplantasi ginjal.
Glomerulonefritis mungkin berhubungan dengan penyakit-penyakit
system (Glomerulonefritis sekunder) seperti Lupus Eritomatosus Sitemik,
Poliarthritis Nodosa, Granulomatosus Wagener. Glomerulonefritis
(Glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes melitus
(Glomerulosklerosis) tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan gagal
ginjal kronik. Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amiloidosis sering
dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun sperti tuberkolosis,
lepra, osteomielitis, dan arthritis rheumatoid, dan myeloma.
Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar nefrosklerosis) merupakan salah satu
penyebab gagal ginjal kronik. Insiden hipertensi essensial berat yang berekhir
dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10 %.
Kira-kira 10 -15% pasien-pasien dengan gagal ginjal kronik disebabkan
penyakit ginjal congenital seperti Sindrom Alport, penyakit Fabbry, Sindrom
Nefrotik Kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan amiloidosis. Pada orang
dewasa, gagal ginjal kronik yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih
dan ginjal (Pielonefritis) tipe uncomplicated jarang dijumpai, kecuali
tuberculosis, abses multiple, nekrosis papilla renalis yang tidak mendapatkan
pengobatan adekuat. Seperti diketahui,nefritis interstisial menunjukkan
kelainan histopatologi berupa fibrosis dan reaksi inflamasi atau radang dari
jaringan interstisial dengan etiologi yang banyak. Kadang dijumpai juga
kelainan-kelainan mengenai glomerulus dan pembuluh darah, vaskuler.
Nefropati asam urat menempati urutan pertama dari etiolgi nefrotis
interstisial.
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian
Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi
terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal
yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan
gambaran histopatologi ertentu pada glomerulus (Markum, 1998).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes
melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan
ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan
ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo
(2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus
dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan
adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air
kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut
dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang
tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji,
1996).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi
(Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi
dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau
disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan
atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada
keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal,
baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik,
kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan.
Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan
autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik
dewasa (Suhardjono, 1998).

Etiologi gagal ginjal kronis


a. Diabetus mellitus
b. Glumerulonefritis kronis
c. Pielonefritis
d. Hipertensi tak terkontrol
hipertensi yang memperburuk GGK biasanya adalah hipertensi berat,
maligna atau penurunan tekanan darah berlebihan sehingga aliran darah
ginjal berkurang
e. Obstruksi saluran kemih
Obstruksi traktus urinarius dapat terjadi pada daerah intrarenal sampai
uretra. Obstruksi ini bila ditemukan harus sedapat mungkin diperbaiki
dengan segera.
f. Penyakit ginjal polikistik
g. Gangguan vaskuler
h. Infeksi traktus urinarius
Infeksi traktus urinarius secara sendiri jarang memperburuk GGK, kecuali
infeksi yang sangat berat. Biasanya infeksi memperburuk faal ginjal bila
disertai dengan obstruksi, sehingga perbaikannya pun harus terpadu.
i. Lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik
j. Medikasi
k. Agen toksik

4. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun,
dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan
penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

5. PATOFISIOLOGI
Ketika kerusakan ginjal dimulai, sebuah rangkaian proses terjadinya gagal
ginjal terjadi kemudian.
a. Sebagai respons terhadap cidera ginjal, diperkirakan terjadi
peningkatan tekanan intra-glomerulus dengan hipertrofi glomerulus,
karena ginjal mencoba untuk menyesuaikan diri akibat kehilangan
nefron untuk mempertahankan fungsi filtrasi pada glomerulus.
b. Terjadi peningkatan permeabilitas glomerular terhadap molekul
makro seperti Transformasi Growth Factor-beta (TGF-beta), asam
lemak, penanda pro-inflamasi dari stres oksidan, dan protein; yang
menyebabkan toksisitas pada matriks mesangial; menyebabkan
perluasan sel mesangial, pembengkakan, fibrosis, dan jaringan parut
glomerulus.
c. Selain itu, cedera ginjal mengakibatkan peningkatan produksi
angiotensin II, menyebabkan peningkatan TGF-beta, berkontribusi
terhadap sintesis kolagen dan jaringan parut di ginjal dalam
glomerulus.
d. Baik perubahan struktural maupun perubahan biokimia, seluler, dan
molekuler, tampaknya menyebabkan kerusakan jaringan ginjal
progresif dan hilangnya fungsi ginjal.
e. Semua bentuk penyakit ginjal kronis maupun akut, juga terkait dengan
penyakit tubulo-interstisial; sebuah mekanisme cedera yang tidak
diketahui secara pasti, namun masalah sekunder akibat pengurangan
suplai darah disamping infiltrasi limfosit dan mediator inflamasi akan
menyebabkan fibrosis interstisial dan atrofi tubular.

6. MANIFESTASI KLINIS
a. Kardiovaskuler yaitu yang ditandai dengan adanya hipertensi (akibat
retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin-angiotensin-
aldosteron), pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital,
friction rub pericardial, serta pembesaran vena leher, frekuensi jantung
yang tidak regular akibat hiperkalemia.
b. Integumen yaitu yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat,kulit
kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut
tipis dan kasar
c. Pulmoner yaitu yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat,
napas dangkal seta pernapasan kussmaul
d. Gastrointestinal yaitu yang ditandai dengan napas berbau ammonia,
ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah,
konstipasi dan diare, serta perdarahan dari saluran GI
e. Neurologi yaitu yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapakkaki,
serta perubahan perilaku
f. Muskuloskletal yaitu yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot
hilang, fraktur tulang yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kalsium-
fosfor, serta foot drop.
g. Reproduksi yaitu ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler
(Smeltzer, 2001; Suyono, 2001)

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Doenges (2000) adalah sebagai berikut:
Pemeriksaan Urine

Volume Biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam atau urine tak ada(a
nuria)

Warna Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh


pus bakteri, partikel koloid, fosfat atau urat.

Berat jenis Kurang dari 1,05 (menetap pada 1,010 menunjukkan


kerusakan ginjal berat)

Osmolalitas Kurang dari 300 mosm / kg menunjukkan kerusakan
tubular.

Klirens Kreatin Mungkin agak menurun, stadium satu( CCT


in 4070ml/menit), stadium kedua (CCT 20-40ml/menit) dan
stadium ketiga (CCT 5 ml/menit)

Natrium Lebih besar dari 40 g/dl, karena ginjal tidak


mampumereabsorpsi natrium.

Protein Derajat tinggi proteinuria (3 –  4 + ) secara


kuatmenunjukkan kerusakan glomerulus bila SDM
danfragmen juga ada.

Pemeriksaan Darah

BUN/Kreatinin Meningkat, biasanya kadar kreatinin 10 mg/dl.

Hitung darah adanya anemia Hb : kurang dari 7–  8 g /dl.


lengkap

SDM Waktu hidup menurun pada defesiensi eriropoetinseperti
pada azotemia.

Pemeriksaan GDA

Ph Asidosis (kurang dari 7,2) karenakehilangan


kemampuan ginjal untuk mengekskresihidrogen dan
amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat
menurun, PCo2 menurun, natrium serum
mungkinrendah.

Kalium Peningkatan, normal (3,5- 5,5 g/dL) sehubungandengan


asidosis atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM).

Magnesium/fosfat Meningkat

Kalsium Menurun

Protein(khususny Kadar semua menurun dapat menunjukkan kehilangan


aalbumin 3,5- protein melalui urine,
5,0g/dL)
penurunan sintesis karena asam aminoesensial.

Osmolalitasserum Lebih besar dari 285 mos m/kg. Sering sama


denganUrine

1) Laboratorium
Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat GGK,
menentukan gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi.
a. Analisa urin dan kultur
Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen,
SDM, keton, SDP, TKK/CCT
- Pemeriksaan urine 24 jam, memperlihatkan penurunan pembersihan
kreatinin
- Rasio protein atau albumin terhadap kreatinin dalam contoh urin
pertama pada pagi hari atau sewaktu
b. Ureum, kreatinin serum, CCT (fungsi ginjal)
- BUN (Blood ureum nitrogen) dan kreatinin, pada umumnya
menunjukkan peningkatan, kalium meningkat, magnesium
meningkat, kalsium menurun, protein menurun
c. Hemopoesis: Hb, Ht, faktor pembekuan
- Hematokrit dan hemoglobin turun
d. Elektrolit, AGD
Menurut Grabes, Mark A. 2006
a. BUN dan kreatinin, pada umumnya menunjukkan peningkatan
b. Pemeriksaan urine 24 jam, memperlihatkan penurunan pembersihan
kreatinin
c. Biasanya terdapat asidosis dan anemia normokromiknormositik,
sedangkan hiperkalemia dan hiponatremia sering timbul.
Menurut (Mary, Baradero., 2009)
a. Radiografi atau ultrasound akan memperlihatkan ginjal yang kecil
dan atrofi
b. Nilai BUN serum, kreatinin, dan GFR tidak normal
c. Hematokrit dan hemoglobin turun
d. pH plasma rendah
e. peningkatan kecepatan pernapasan mengisyaratkan kompensasi
pernapasan akibat asidosis metabolik
2) Penunjang
a. USG, Pemeriksaan pencitraan ginjal
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh
karena batu atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses
sudah lanjut
b. Pielografi Intra Vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography,
untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter
c. Pemeriksaan Prelografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
d. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia,
hipokalsemia). Kemungkinan  abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
e. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi
ginjal. Menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau
obstruksi lain.
f. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid
overload), efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
g. Pemeriksaan Radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi dan kalsifikasi metastatik
h. Arteriogramginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular,
massa.
 Penjelasan Pemeriksaan Lab
1. Kreatinin (serum dan urine)
Definisi
Kreatinin adalah produksi katabolisme otot yang berasal dari
pemecahan kreatin otot dan kreatin fosfat. Jumlah produksi kreatinin
sesuai dengan massa otot. Ginjal mengeluarkan kreatinin. Jika 50 % atau
lebih nefron rusak, kadar kreatinin meningkat. Kreatinin serum secara
khusus berguna dalam mengevaluasi fungsi glomerulus.
Kreatinin serum dinilai lebih sensitif dan merupakan indikator
penyakit ginjal yang lebih spesifik daripada BUN. Serum ini kemudian
meningkat dan tidak dipengaruhi oleh diet atau masukan cairan. Rasio
normal BUN/kreatinin adalah 10:1. Nilai rasio yang lebih tinggi dari
normal menunjukkan adanya gangguan pre-renal.
Nilai rujukan
DewasaSerum: 0,5-1,5 mg/dL; 45-13,25 μmol/L (unit SI). Pada wanita
kadarnya sedikit lebih rendah akibat massa otot yang kurang
Urine: 1-2 g/24 jam
Anak Bayi baru lahir: 0,8-1,4 mg/dL; Bayi: 0,7-1,7 mg/dL; 2-6
tahun: 0,3-0,6 mg/dL, 27-54 μmol/L (unit SI); Anak yang
lebih besar: 0,4-1,2 mg/dL, 36-106 μmol/L (unit SI; nilai
sedikit meningkat sesuai umur karena otot-otot yang kuat)
Lansia mempunyai kadar yang lebih rendah karena berkurangnya
kekuatan otot-otot dan menurunnya produksi kreatinin
Nilai kritis
Meningkat pada: gagal ginjal, chronic nephritis, urinary tract obstruction,
muscle disease (seperti gigantisme, acromegaly, myasthenia gravis),
CHF, shock.
Menurun pada: orang tua, orang-orang dengan ukuran tubuh kecil massa
otot yang menurun, muscle atrophy atau inadequat dietary protein.
Implikasi keperawatan
Pre-test:
 Jelaskan pada penderita tujuan
pemeriksaan dan banyaknya sampel darah yang diperlukan
 Puasa 8 jam sebelumnya
 Instruksikan kepada penderita agar
menghindari latihan berat 8 jam sebelum pemeriksaan
 Instruksikan penderita agar tidak
makan daging merah 24 jam sebelum pemeriksaan
Post-test:
 Tekan di tempat bekas pengambilan darah
 Beri label spesimen dan kirim ke laboratorium
 Laporkan temuan abnormal kepada dokter

2. Blood Urea Nitrogen (BUN) serum


Definisi
Urea adalah produksi akhir dari metabolisme protein. Peningkatan
nilai BUN dapat merupakan indikasi dehidrasi, kegagalan pre-renal, atau
gagal ginjal, atau perdarahan gastrointestinal, atau keduanya. Dehidrasi
akibat muntah, diare, pemasukan cairan yang tidak adekuat, atau
ketiganya, merupakan penyebab umum dari peningkatan BUN (lebih dari
35 mg/dL).
Pada dehidrasi, kadar kreatinin serum kemungkinan besar akan
normal atau normal tinggi. Bila klien dehidrasi, BUN normal kembali;
bila tidak, maka harus dicurigai adanya kegagalan pre-renal atau gagal
ginjal. Darah yang berasal dari perdarahan gastrointeatinal merupakan
sumber protein dan dapat menyebabkan BUN meningkat. Rasio nitrogen
urea/kreatinin boleh jadi dipengaruhi oleh fungsi hepar, asupan protein,
dan massa otot. Penurunan rasio dapat terjadi karena nekrosis tubulus
ginjal akut. Rasio itu dapat meningkat karena penurunan perfusi ginjal,
uropati obstruktif, dan asupan protein yang tinggi.
Nilai rujukan
Dewasa 5-25 mg/dL
Anak Bayi: 5-15 mg/dL; Anak: 5-20 mg/dL
Lansia bisa lebih tinggi sedikit dari dewasa
Rasio nitrogen urea/kreatinin: 12 : 1-20 : 1
Nilai kritis
Peningkatan kadar :
 Dapat menunjukkan kidney injury atau penyakit ginjal
 Dapat disebabkan obat-obat tertentu: allopurinol (Alloprin),
aminoglycosides (Garamycin), furosemide (Lasix), indomethacin
(Indocin), methotrexate (MTX), aspirin, amphotericin B,
carbamazepine (Tegretol), vancomycin (Vancocin), propanolol
(Inderal), rifampin (Rifadin), spironolactone (Aldactone),
tetracyclines, thiazide diuretics, dan triamterene (Dyrenium)
 Dapat juga disebabkan oleh diet tinggi protein, Addison’s disease,
kerusakan jaringan berat, atau perdarahan gastrointestinal tract.
 Dapat menunjukkan adanya gangguan ginjal yang disebabkan oleh
diabetes
 Rasio BUN-creatinine yang tinggi terjadi pada ARF

Penurunan kadar :
 Dapat disebabkan oleh diet rendah protein, malnutrisi, atau
kerusakan hepar berat
 Overhidrasi
 Kehamilan trimester 3
 Rasio BUN-creatinine yang rendah berkaitan dengan diet protein
rendah, rhabdomyolisis, sirosis, atau syndrome of inappropiate
antidiuretic hormone secretion (SIADH)
Implikasi keperawatan
Pre-test:
o Jelaskan pada penderita tujuan pemeriksaan dan
banyaknya sampel darah yang akan diambil
o Tidak diperlukan puasa sebelumnya
o Instruksikan penderita agar menghindari diet tinggi
merah sebelum pemeriksaan
Post-test:
o Tekan di tempat bekas pengambilan darah
o Beri label spesimen dan kirim ke laboratorium segera
o Laporkan temuan abnormal kepada dokter

3. Klirens kreatinin (urine)


Definisi
Klirens kreatinin dianggap suatu pemeriksaan yang dapat
dipercaya untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG). Pada
disfungsi ginjal klirens kreatinin menurun.
Pemeriksaan klirens kreatinin terdiri dari pengumpulan urin 12
atau 24 jam dan pengambilan bahan darah. Klirens kreatinin < 40
mL/min menunjukkan adanya gangguan ginjal sedang sampai berat.
Nilai rujukan
Dewasa 85-135 mL/min. Pada wanita mungkin mempunyai nilai lebih
rendah
Anak sama seperti dewasa
Lansia sedikit lebih rendah dibandingkan nilai dewasa karena
penurunan LFG yang disebabkan kurangnya aliran plasma ginjal
Nilai kritis
Peningkatan kadar: hipotiroidisme, hipertensi (renovaskular), latihan,
kehamilan
Penurunan kadar: kerusakan ginjal ringan sampai berat, hipotiroidisme,
distrofi otot preogresif, sklerosis lateral amiotrofik (SLA)
Implikasi keperawatan
Pre-test:
o Jelaskan prosedur pengumpulan urin 24 jam kepada penderita
o Tekankan pentingnya menyimpan semua urin dalam waktu 24
jam. Instruksikan kepada penderita untuk menghindarikan
kontaminasi air dan feses pada urin
o Jelaskan bahwa sampel darah juga diperlukan
o Instruksikan penderita untuk menghindari latihan berlebihan 8
jam sebelum pemeriksaan

4. Asam urat (serum dan urin)


Definisi
Asam urat adalah zat-zat yang dihasilkan oleh metabolisme purin.
Peningkatan asam urat (hiperurisemia) dalam urin dan serum tergantung
dari fungsi ginjal, frekuensi metabolisme purin, dan masukan makanan
yang mengandung purin. Jumlah asam urat yang berlebihan dikeluarkan
dalam urin. Asam urat dapat membentuk kristal di dalam saluran kemih
dan pada saat urin bersifat asam; akibatnya fungsi ginjal yang efektif dan
urin bersifat basa adalah penting pada hiperurisemia. Masalah yang
sering terjadi pada hiperurisemia yaitu Gout. Nilai dari asam urat
biasanya berubah dari hari ke hari, sehingga nilai-nilai asam urat
mungkin diulang dalam beberapa hari atau minggu.
Nilai rujukan
1. serum atau plasma
LK = 3,6-7,7 mg/dL (214-458 μmol/L)
PR = 2,5-6,8 mg/dL (149-405 μmol/L)
2. urin
250-750 mg/24 jam : untuk diet rata-rata
> 450 mg/24 jam : untuk diet rendah purin
> 1 g/24 jam : untuk diet tinggi purin
Nilai kritis
1. Serum
 Peningkatan kadar: Gout, alkoholik, leukemia, kanker metastase,
mieloma multiple, eklampsia berat, hiperlipoproteinemia, diabetes
melitus (berat), gagal ginjal, glomerulonefritis, stress, GJK,
keracunan timah hitam, latihan yang berat, mal nutrisi, limfoma,
anemia hemolitik, anemia megaloblastik, infeksi mononukleusis,
polisitemia vera
 Penurunan kadar: penyakit wilson’s, asidosis pada tubulus
proksimal ginjal, anemia asam folat, luka bakar, kehamilan
2. Urin
 Peningkatan kadar: Gout, leukimia dengan diet tinggi purin,
gangguan neurologi, penyakit manik depresif, ulseratif kronis
 Penurunan kadar: penyakit ginjal (glomerulonefritis [kronik],
obstruksi perkemihan, uremia), eklampsia, toksisitas timah hitam
Implikasi keperawatan
Pre-test:
o Jelaskan pada penderita tujuan pemeriksaan dan
banyaknya sampel darah yang akan diambil
o Puasa 8 jam sebelumnya
o Instruksikan penderita agar tidak makan diet tinggi
purin 24 jam sebelum pemeriksaan
Post-test:
o Tekan di tempat bekas pengambilan darah
o Beri label spesimen dan kirim ke laboratorium segera
o Laporkan temuan abnormal kepada dokter

5. Glomerular filtration rate (GFR)


GFR merupakan parameter yang paling sensitif dalam menilai
fungsi ginjal. Merupakan gambaran dari kecepatan ginjal membersihkan
darah. GFR ini diukur dengan ukuran mililiter per menit, dimana ukuran
normalnya adalah sekitar 90 mL/min.
Seseorang yang memiliki penyakit ginjal kronik, dapat memiliki
stadium yang berbeda. Klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju

Nilai GFR dan klasifikasi stadium penyakit ginjal kronik

 Nilai ini dihitung dengan rumus Cockcroft-Gault atau MDRD (modification of diet in
renal disease) sebagai berikut :

                                                          

Cockcroft-Gault :

(140-Umur) x Berat Badan

Klirens Kreatinin =  ------------------------------- x (0,85, jika wanita) (ml/menit)

72 x Kreatinin Serum
fltrasi glomerulus. Stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju
filtrasi glomerulus yang lebih rendah.
Pembagian klasifikasi adalah sebagai berikut : Pasien yang
memiliki GFR >90, tetapi memiliki fungsi ginjal yang normal, namun
berada pada stadium dengan risiko meningkat. Sedangkan GFR>90
namun terdapat kerusakan ginjal atau proteinuria, fungsi ginjal memang
masih normal, tapi penyakit ginjal kronik sudah berada pada stadium 1.
GFR dengan nilai 60-89, fungsi ginjal akan mengalami penurunan ringan
dan penyakit berada pada stadium 2. Sedangkan stadium 3, jika GFR
berada pada nilai 30-59 dan fungsi ginjal mengalami penurunan sedang.
Stadium 4, ginjal mengalami penurunan berat dengan nilai GFR 15-29.
Dan pasien dinyatakan gagal ginjal terminal jika GFR kurang dari 15.

6. Ultrasonografi (USG)
Definisi
USG adalah suatu prosedur diagnostik yang digunakan untuk
melihat struktur jaringan tubuh atau analisa bentuk gelombang dari
Doppler. Pemeriksaan ultrasound yang disebut tranduser diletakkan di
atas permukaan kulit atau di atas rongga tubuh untuk menghasilkan
sebuah sorotan ultrasound di dalam jaringan. Gelombang bunyi yang
direfleksikan atau gema dari jaringan dapat ditransformasikan oleh
sebuah komputer ke dalam skan, grafik, atau bunyi yang dapat didengar
(Doppler).
Ultrasound dapat mendeteksi kelainan jaringan (massa, kista,
edema, batu). Ultrasound tak dapat digunakan untuk menentukan
kelainan tulang atau organ-organ yang berisi udara. Pemeriksaan ini
relatif murah dan tidak menyebabkan bahaya bagi klien.
Nilai rujukan
Pola gambaran organ atau analisa spektrum doppler normal
Nilai kritis
Akan memperlihatkan ginjal yang lebih kecil dan atrofik dibandingkan
usia dan besar tubuh penderita CRF
Implikasi keperawatan
Pre-test:
 Jelaskan prosedur pemeriksaan kepada klien
 Jelaskan pada klien bahwa prosedur ini tidak sakit, tidak
terkontaminasi dengan radiasi, dan pemeriksaan ultrasound aman
dan cepat
 Anjurkan klien bertanya dan mengapresiasikan perasaannya.
Bersikap jujur pada klien dan keluar

7. Angiografi
Definisi
Istilah angiografi (pemeriksaan terhadap pembuluh-pembuluh
darah) dan arteriografi (pemeriksaan terhadap arteri) digunakan tumpang
tindih. Kateter dimasukkan ke dalam arteri femoralis atau brakhialis dan
zat kontras disuntikkan untuk memudahkan penglihatan terhadap
pembuluh darah. Angiografi berguna untuk mengevaluasi pembuluh
darah dan untuk mengidentifikasi vaskularisasi yang abnormal karena
adanya tumor. Pemeriksaan ini dilakukan bila CT (tomografi komputer)
atau skrining radionukleid memberi kesan adanya kelainan pembuluh
darah.
Pada ginjal: pemeriksaan ini memungkinkan penglihatan terhadap
pembuluh dan parenkim ginjal. Aortogram dapat dilakukan dengan
angiografi ginjal untuk mendeteksi kelainan pembuluh di aorta dan untuk
memperlihatkan hubungan arteri ginjal ke aorta. Sehingga hasilnya dapat
digunakan untuk mengetahui penyebab gagal ginjal.
Nilai rujukan
Struktur dan pembuluh darah normal
Nilai kritis
Pembuluh darah pada ginjal mengalami kelainan terutama pembuluh
arteri ginjal ke aorta.
Implikasi keperawatan
Pra-test
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan angiografi
 Kaji riwayat hipersensitivitas terhadap yodium, makanan laut, atau
zat kontras untuk prosedur sinar X (pielogram intravena [IVP])
 Jelaskan bahwa bila kontras disuntikkan mungkin terasa hangat,
rasa panas yang hilang dalam waktu 1-2 menit. Pasien harus tenang
sehingga gambar jelas.
 Jelaskan bahwa pemeriksaan tidak menyebabkan nyeri, tetapi
mungkin menyebabkan rasa tidak nyaman
 Catat tanda-tanda vital
Intra-test
 Monitor tanda-tanda vital
 Kaji reaksi vasovagal (komplikasi umum; penurunan nadi, dan
tekanan darah, dingin, dan lembab). Beri cairan IV dan atropin per
IV. Reaksi berakhir sekitar 15-20 menit
Pasca-test
 Beri tekanan pada lokasi penyuntikkan selama 5-10 menit atau
lebih sampai perdarahan berhenti
 Monitor tanda vital sesuai pesanan
 Berikan tirah baring 12-24 jam atau sesuai pesanan. Aktivitas
dibatasi selama 1 hari
 Periksa nadi perifer pada ekstremitas (mis; dorsalis pedis,
femoralis, radialis)
 Beri kompres dingin atau kantung es pada edema dan nyeri di
lokasi penyuntikan
 Monitor haluaran urin dan cairan IV
 Observasi adanya reaksi alergi lambat terhadap kontras
 Bersikap jujur pada klien dan keluarga

8. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Sylvia Price (2000) adalah sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan Medis
- Obat anti hipertensi yang sering dipakai adalah Metildopa
(Aldomet), propanolol dan klonidin. Obat diuretik yang dipakai
adalah furosemid (lasix).
- Hiperkalemia akut dapat diobati dengan pemberian glukosa
daninsulin intravena yang memasukan K +ke dalam sel, ataudengan
pemberian kalsium glukonat 10% intravena denganhati-hati
sementara EKG terus diawasi. Bila kadar K + tidakdapat diturunkan
dengan dialisis, maka dapat digunakan resin penukar kation natrium
polistiren sulfonat (Kayexalate).
- Pengobatan untuk anemia yaitu : rekombinasi eritropoetin (r-EPO)
secara meluas, untuk anemia uremik: dengan memperkecil
kehilangan darah, pemberian vitamin,androgen untuk wanita,
depotestoteron untuk pria dan transfusidarah.
- Asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian NaHCO3
parenteral.
- Dialisis peritoneal : merupakan alternatif dari hemodialisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronik.
Pada orang dewasa, 2 L cairan dialisis steril dibiarkan mengalirke
dalam rongga peritoneal melalui kateter selama 10-20
menit.Biasanya keseimbangan cairan dialisis dan
membransemipermeabel peritoneal yang banyak vaskularisasinya
akan tercapai setelah dibiarkan selama 30 menit.
- Transplantasi ginjal : prosedur standarnya adalah memutarginjal
donor dan menempatkannya pada fosa iliaka pasien sisikontralateral.
Dengan demikian ureter terletak di sebelahanterior dari pembuluh
darah ginjal, dan lebih mudahdianastomosis atau ditanamkan ke
dalam kandung kemih resipien.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
- Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
- Penimbangan berat badan setiap hari
- Batasi masukan kalium sampai 40-60 mEq/hr
- Mengkaji daerah edema
- Melakukan perawatan kulit
- Lakukan perawatan oral hygien
- Lakukan pengukuran EKG, mengindikasi adanya hiperkalemiac.
c. Penatalaksanaan diit tinggi karbohidrat, rendah protein, rendah natrium,
batasi diit
rendah protein sampai mendekati 1g / kgBB selama fase oliguri. Memini
malkan pemecahan protein dan untuk mencegah penumpukan hasil akhir
toksik. Batasi makanan dan cairan yang mengandungkalium dan fosfor
(pisang, buah dan jus-jusan serta kopi).

TERAPI UMUM
1) Cairan dan Elektrolit
Pertama diberikan sampai dengan 3000ml IV,lalu diberikan sampai
diuresis cukup 40-70ml/jam
Cairan dibatasi bila ada :
 Edema Asupan garam di batasi bila edema terjadi
 Hipertensi  Hipertensi sedang maupun berat diatasi dengan obat
hipertensi standard.Contoh obat anti hipertensi yang dapat
dipakai(antagonis kalsium non-dihidropiridin,vasodilator langsung,
Receptor AT1 blocker,Doxazosine,Beta-blocker,Penghambat EAC)
hati-hati dengan bahaya hiperkalemia)
 Gagal jantung kongestif Terjadi penimbunan cairan dan natrium
karena itu di berikan pembatasan asupan natrium/ diberikan diuretik
mis.(furosemid,bu-metamid dan torsemid)
Natrium di batasi,namun cukup untuk menjaga volume cairan
ekstraseluler
Rekomendasi diet Natrium
 Pada GGK : Na 1000-3000mg
 Pada Hemodialisis/dialisis peritoneal : Na 750-1000mg
Makanan kaya kalium harus dihindari. Hiperkalemia (tingginya kadar
kalium dalam darah) sangat berbahaya karena meningkatkan resiko
terjadinya gangguan irama jantung dan cardiac arrest. Jika kadar
kalium terlalu tinggi, maka diberikan natrium polisteren sulfonat untuk
mengikat kalium, sehingga kalium dapat dibuang bersama
tinja.Hiperkalemi akut diberikan insulin dan dekstrose
IV,fludrokortison,albuterol nebulizer dan pada Hiperkalemi kronis dapat
diberikan natrium polystyrene sulfonate(Kayexalate)
Rekomendasi diet Kalium
 Pada GGK : K 40-70mEq
 Pada Hemodialisis/dialisis peritoneal : K sampai 70-80mEq

2) Medikamentosa
Terapi Simptomatik
Terapi ini hanya ditujukan untuk meminimalkan gejala ysng timbul
pada pasien tetapi tidak mengatasi kausa dari penyakit GGK.Terapi
simptomatik yang digunakan pada GGK cukup banyak tetapi berdasarkan
pertimbangan bahwa pasien telah mengal GGK stadium akhir maka
penggunaan terapi simptomatik tidak memberikan hasil berarti malah
dapat memperburuk fungsi ginjal dari pasien tersebut.Sehingga digunakan
terapi simptomatik untuk memperbaiki keadaan umum
mempersiapkan pasien pada terapi pengganti ginjal.
a) Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik harus di koreksi karena meningkatkan serum
(hiperkalemia)
a. Suplemen alkali
Suplemen alkali efektif untuk mencegah dan terapi asidosis
metabolik
 Larutan ShÖhl
 Kalsium karbonat 5gram per hari
b. Terapi alkali
Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus di berikan intravena , bila
pH < 7.3. Serum bikarbonat < 20mEq/L
b) Anemia normokrom normositer
Anemia ini berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan
defisiensi hormone eritropoeitin ( ESF= erythropoietic stimulating
factors) Anemia normokom normositer ini refrakter terhadap obat
hematinik
a. Rekombinant human erithropoietin (r-HuEPO) merupakan obat
pilihan utama R/Eprex 30-50 U per kgBB
b. Alternatif lain hormon androgen dan preparat cobalt
c) Hipertensi
Diberikan ACEI atau CCB (Calcium Channel Blocker).

Terapi pengganti ginjal


a) Dialisis
Terapi ini di tujukan untuk mengganti faal ginjal sebagai
ekskresi. Dialisis dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu hal
dibawah ini :
 Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
 K serum > 6 mEq/L
 Ureum darah > 200 mg/dL
 pH darah < 7,1
 Anuria berkepanjangan ( > 5 hari)
 Fluid overloaded
b) Hemodialisis
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam
tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen
yang terpisah. Darah pasien di pompa dan dialirkan ke
kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel
buatan dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri
cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi cairan dengan komposisi
cairan elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa
metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan darah yang terpisah
akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut
berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang rendah.
Konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen(difus) pada
proses dialisis,air juga akan berpindah dari kompartemen darah
ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikan tekanan
hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan
air ini disebut ultrafiltrasi. Selama proses dialisis pasien akan
terpajang dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap
dialisis,dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis
dilakukan selama 5 jam. Terdapat dua jenis cairan dialsis yang
sering di gunakan yaitu cairan bikarbonat dan asetat, selain itu
ditambahkan pula Heparin untuk mencegah terjadinya trombus.
c) Dialisis Peritoneal
Yakni menggunakan membran peritoneum yang bersifat
semipermeabel. Melalui membran tersebut darah difiltrasi. Dengan
menggunakan kateter peritoneum untuk di pasang pada abdomen
masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak
dalam kavum douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis masuk
kedalam peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum
bertindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan
dialisis dalam kavum peritoneum dengan plasma darah dalam
pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti
ureum,kreatinin,kalium dan toksin lain yang dalam keadaan normal
dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan faal ginjal akan tertimbun
dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami
difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk kedalam cairan
dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Setiap cairan
dialisat yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat
baru.Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung : 5.650 gram
NaCL,0,294 gram CaCL2 ,0,153 gram MgCL2 ,4.880 gram Na
Laktat dan 15.000 gram glukosa. Heparin ditambahkan dalam
cairan dialisis untuk mencegah terbentuknya fibrin (trombus)
diberikan 500-1000 U tiap 2 liter cairan.
Dialisis peritoneal pada GGK terdiri dari: a) Intermitten
peritoneal dialysis (IPD), dilakukan 3-5 kali perminggu dan tiap
dialisis selama 8-14 jam; b) Continous cyclik peritoneal dialysis
(CCPD), dilakukan tiap hari pada malam hari, penggantian cairan
dialisis sebanyak 3-4 kali. Cairan terakhir dibiarkan dalam kavum
peritoneum selama 12-14 jam. Pada waktu malam cairan
peritoneum dibiarkan dalam kavum peritoneum selama 2 ½-3 jam; c)
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di lakukan 3-5
kali sehari, 7 hari perminggu dengan setiap kali cairan dialisis dalam
kavum peritoneum lebih dari 4 jam, pada siang hari 4-6 kali pada
malam hari 8 kali.
d) Transplantasi Ginjal
Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti pada GGK
tahap akhir, dengan transplantasi ginjal dapat mengatasi seluruh
jenis penurunan fungsi ginjal yakni faal ekskresi dan faal endokrin,
sehingga tercapai tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik yang
akan meningkatkan harapan hidup.Keberhasilan trasplantasi ginjal
dipengaruhi oleh faktor-fakto yang berhubungan dengan; donor
ginjal yakni donor hidup,donor jenazah;resipien ginjal,etiologi
gagal ginjal,faktor imunologi,golongan darah ABO serta kelas
kompleks histokompatibilitas mayor.
9. KOMPLIKASI
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra
(2006) antara lain adalah :
1) Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme,
dan masukan diit berlebih.
2) Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4) Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5) Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
6) Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
7) Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8) Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9) Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfate

10. ASUHAN KEPERAWATAN


Diagnosa
No. Tujuan dan KH Intervensi
Keperawatan

1. Kelebihan Tujuan : NIC : Fluid


volume cairan Setelah dilakukan tindakan Management
b.d penurunan keperawatan selama … x 24 jam, 1. Monitor TTV
haluaran urine, volume cairan seimbang 2. Kaji intake dan output
kelebihan diet, cairan
dan retensi KH : 3. Monitor indikasi
natrium dan air NOC : Fluid Balance retensi/kelebihan
cairan (crackles, CVP,
Indikator 1 2 3 4 5
edema, distensi vena

TTV jugularis, ascites)


4. Monitor status
Edema
hemodinamik (CVP,
Suara
MAP, PAP, dan
napas
PCWP)
tambahan
5. Kaji lokasi dan luas
Output
edema
urine
6. Monitor hasil lab yang
sesuai dengan retensi
cairan (BUN, Ht,
osmolalitas urine)
7. Kolaborasi pemberian
diuretik sesuai indikasi
2. Ketidakseimban Tujuan : NIC : Nutrition
gan nutrisi : Setelah dilakukan tindakan Management
kurang dari keperawatan selama … x 24 jam, 1. Kaji status nutrisi klien
kebutuhan nafsu makan klien meningkat 2. Monitor BB klien
tubuh b.d 3. Kaji adanya alergi
pembatasan diet KH : makanan
dan perubahan NOC : Nutritional status : nutrient 4. Monitor intake nutrisi
mukosa oral intake klien
5. Berikan informasi
Indikato 1 2 3 4 5
tentang kebuthan
r
nutrisi
BB
6. Kolaborasi dengan ahli
Intake gizi untuk menentukan
nutrisi jumlah kalori dan
Nafsu nutrisi yang
makan dibutuhkan klien

3. Intoleransi Tujuan : NIC : Energy


aktivitas b.d Setelah dilakukan tindakan management
kondisi dan keperawatan selama … x 24 jam, 1. Kaji faktor yang
regimen toleransi aktivitas klien meningkat menimbulkan
pengobatan keletihan
KH : 2. Tingkatkan
NOC : Activity tolerance kemandirian dalam
aktivitas perawatan diri
Indikator 1 2 3 4 5
yang dapat ditoleransi,
Respiratory rate
bantu jika keletihan
with activity
terjadi
Systolic blood 3. Anjurkan aktivitas
pressure with alternatif sambil
activity istirahat
Diastolic blood 4. Anjurkan untuk
pressure with istirahat setelah dialisis
activity 5. Sediakan informasi

Ease of tentang indikasi tingkat

performing keletihan

activities of Daily
Living (ADL)
BATU GINJAL
A. Definisi
Urolitiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu
terbentuk di dalam traktus ketika konsentrsi substansi tertentu seperti kalsium
oksalat, kalsium fospat, dan asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk
ketika terdapat defisiensi substansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal
mencegah kristalisasi dalam urine. Kondisi lain yang mempengaruhi laju
pembentukan batu mencakup pH urine dan status cairan klien (batu cenderung
terjadi pada klien dehidrasi) (Brunner & Suddarth 2002).
Urolitiasis adalah Batu ginjal (kalkulus) bentuk deposit mineral, paling
umum oksalat Ca2+ dan fosfat Ca2+, namun asam urat dan kristal lain juga
membentuk batu, meskipun kalkulus ginjal dapat terbentuk dimana saja dari
saluran perkemihan, batu ini paling sering ditemukan pada pelvis dan kalik ginjal.
(Marilynn E,Doenges 2002).

B. Etiologi
Batu ginjal kebanyakan tidak diketahui penyebabnya. Namun ada beberapa
macam penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya batu ginjal, antara lain :
renal tubular acidosis dan medullary sponge kidney. Secara epidemiologi terdapat
dua factor yang mempermudah/ mempengaruhi terjadinya batu pada saluran
kemih pada seseorang. Faktor-faktor ini adalah faktor intrinsik, yang merupakan
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik, yaitu pengaruh
yang berasal dan lingkungan disekitarnya.
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
a. Umur Penyakit batu saluran kemih paling sering didapatkan pada usia
30-50 tahun.
b. Hereditair (keturunan). Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
Dilaporkan bahwa pada orang yang secara genetika berbakat terkena
penyakit batu saluran kemih, konsumsi vitamin C yang mana dalam
vitamin C tersebut banyak mengandung kalsium oksalat yang tinggi akan
memudahkan terbentuknya batu saluran kemih, begitu pula dengan
konsumsi vitamin D dosis tinggi, karena vitamin D menyebabkan
absorbs kalsium dalam usus meningkat.
c. Jenis kelamin Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibanding
dengan pasien perempuan.
1) Faktor ekstrinsiknya antara lain adalah:
a. Asupan air Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium
pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran
kemih.
b. Diet Obat sitostatik untuk penderita kanker juga memudahkan
terbentuknya batu saluran kemih, karena obat sitostatik bersifat
meningkatkan asam urat dalam tubuh. Diet banyak purin, oksalat, dan
kalsium mempermudah terjadinya penyakit batu saluran kemih.
c. Iklim dan temperatur Individu yang menetap di daerah beriklim panas
dengan paparan sinar ultraviolet tinggi akan cenderung mengalami
dehidrasi serta peningkatan produksi vitamin D3 (memicu peningkatan
ekskresi kalsium dan oksalat), sehingga insiden batu saluran kemih akan
meningkat.
d. Pekerjaan Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaanya
banyak duduk atau kurang aktifitas ( sedentary life )
e. Istirahat ( bedrest ) yang terlalu lama, misalnya karena sakit juga dapat
menyebabkan terjadinya penyakit batu saluran kemih.
f. Geografi pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah
ston belt (sabuk batu).

C. Jenis-Jenis Batu pada Saluran Kemih


Jenis batu ginjal yang paling sering (lebih dari 80 %) adalah yang terbentuk
dari kristal kalsium oksalat. Pendapat konvensional mengatakan bahwa konsumsi
kalsium dalam jumlah besar dapat memicu terjadinya batu ginjal. Namun, bukti-
bukti terbaru malah menyatakan bahwa konsunsi kalsium dalam jumlah sedikitlah
yang memicu terjadinya batu ginjal ini. Hal ini disebabkan karena dengan
sedikitnya kalsium yang dikonsumsi, maka oksalat yang diserap tubuh semakin
banyak. Oksalat ini kemudian melalui ginjal dan dibuang ke urin. Dalam urin,
oksalat merupakan zat yang mudah membentuk endapan kalsium oksalat. Jenis
batu yang lain adalah yang terbentuk dari struvit (magnesium, ammonium, dan
fosfat), asam urat, kalsium fosfat, dan sistin.
1) Batu struvit dihubungkan dengan adanya bakteri pemecah urea seperti
Proteus mirabilis, spesies Klebsiela, Seratia, dan Providensia. Bakteri ini
memecah urea menjadi ammonia yang pada akhirnya menurunkan
keasaman urin.
2) Batu asam urat sering terjadi pada penderita gout, leukemia, dan gangguan
metabolism asam-basa. Semua penyakit ini menyebabkan peningkatan
asam urat dalam tubuh.
3) Batu kalsium fosfat sering berhubungan dengan hiperparatiroidisme dan
renal tubular acidosis.
4) Batu sistin berhubungan dengan orang yang menderita sistinuria
D. Patofisiologi
Uroliasis merupakan kristalisasi dari mineral dari matrik seputar, seperti:
pus, darah, jaringan yang tidak viral, tumor atau urat. Peningkatan konsentrasi di
larutan urine akibat intake cairan rendah dan juga peningkatan bahan-bahan
organik akibat ISK atau utine statis, mensajikan sarang untuk pembentukan batu.
1) Proses perjalanan panyakit:
Proses terbentuknya batu terdiri dari beberapa teori (Prof.dr.Arjatmo
Tjokronegoro, phd.dkk,1999) antara lain:
a. Teori Intimatriks
Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi
organik Sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan
mukoprotein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi
pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti sistin,
santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu.
c. Teori Presipitasi-Kristalisasi
Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam
urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin dan garam
urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat.
d. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat
Berkurangnya Faktor Penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat,
polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah
terbentuknya Batu Saluran Kencing.

Faktor etiologi:

1. Teori nukleasi Teori matriks Penghambatan kristalisasi

Batu Ginjal (Urolitiasis)

obstruksi Pembedahan

Post operasi Kurang informasi


Aliran balik urin

Invasi kuman Hydronefrosis


Kesalahan
E. Manifestasi Klinis
Manifestai klinis adanya batu dalam traktus urinarius tergantung pada
adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Ketika batu menghambat aliran urine,
terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan system piala
ginjal serta ureter proksimal. Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang disertai
menggigil, demam, dan disuria) dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus.
Beberapa batu, jika ada, menyebabkan sedikit gejala umum secara perlahan
merusak unit fungsional (nefron) ginjal: sedangkan yang lain menyebabkan nyeri
yang luar biasa dan ketidak nyamanan.
Batu di piala ginjal mungkin berkaitan dengan sakit yang dalam dan terus
menerus diarea kostovertebral. Hemeturia dan piuria dapat dijumpai. Nyeri yang
berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita mendekati
kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri mendadak
menjadi akut, disertai nyeri tekan ke seluruh area kostovertebral, dan muncul mual
dan muntah, maka pasien mengalami episode kolik renal. Diare dan ketidak
nyamanan abdominal dapat terjadi. Gejala gastrointestinal ini akibat dari reflex
renointestinal dan proktimitas anatomik ginjal ke lambung, pankreas dan usus
besar.
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gelombang nyeri yang luar biasa,
akut, dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Pasien merasa ingin
berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan biasanya mengandung darah
akibat aksi abrasif batu. Kolompok gejala ini disebut kolik ureteral. Umumnya
pasien akan mengeluarkan batu dengan diameter 0,5 sampai 1 cm secara spontan.
Batu dengan diameter lebih dari 1 cm biasanya harus diangkat atau dihancurkan
sehingga dapat diangkat atau dikeluarkan secara spontan.
Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan gejala iritasi
dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuria. Jika batu
menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih, akan terjadi retnsi urin.Jika
infeksi berhubungan dengan adanya batu, maka kondisi ini jauh lebih serius,
disertai sepsis yang mengancam kehidupan pasien ( Brunner&Suddarth 2005).
F. Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien batu kandung
kemih adalah :
a) Urinalisa
Warna kuning, coklat atau gelap.
b) Foto KUB
Menunjukkan ukuran ginjal ureter dan ureter, menunjukan adanya batu.
c) Endoskopi ginjal
Menentukan pelvis ginjal, mengeluarkan batu yang kecil.
d) EKG
Menunjukan ketidak seimbangan cairan, asam basa dan elektrolit.
e) Foto Rontgen
Menunjukan adanya di dalam kandung kemih yang abnormal.
f) IVP ( intra venous pylografi )
Menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih,membedakan
derajat obstruksi kandung kemih divertikuli kandung kemih dan
penebalan abnormal otot kandung kemih.
g) Vesikolitektomi ( sectio alta )
Mengangkat batu vesika urinari atau kandung kemih.
h) Litotripsi bergelombang kejut ekstra korporeal.
Prosedur menghancurkan batu ginjal dg gelombang kejut.
i) Pielogram retrograde
Menunjukan abnormalitas pelvis saluran ureter dan kandung kemih.
Diagnosis ditegakan dg studi ginjal, ureter, kandung kemih, urografi
intravena atau pielografi retrograde. Uji kimia darah dg urine dalam 24
jam untuk mengukur kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, dan volume
total merupakan upaya dari diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta
adanya riwayat batu ginjal, ureter, dan kandung kemih dalam keluarga di
dapatkan untuk mengidentifikasi faktor yang mencetuskan terbentuknya
batu kandung kemih pada klien.
G. Penatalaksanaan
Sekitar 90 % dari batu ginjal yang berukuran 4 mm dapat keluar dengan
sendirinya melalui urin. Namun, kebanyakan batu berukuran lebih dari 6 mm
memerlukan intervensi. Pada beberapa kasus, batu yang berukuran kecil yang
tidak menimbulkan gejala, dapat diobservasi selama 30 hari untuk melihat apakah
dapat keluar dengan sendirinya sebelum diputuskan untuk dilakukan intervensi
bedah. Tindakan bedah yang cepat, perlu dilakukan pada pasien yang hanya
mempunyai satu ginjal, nyeri yang sangat hebat, atau adanya ginjal yang terinfeksi
yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Penghilang rasa sakit
Obat penghilang rasa sakit yang paling cocok untuk nyeri karena batu ginjal
adalah golongan narkotika seperti morfin, demerol, atau dilaudid. Namun standar
saat ini untuk menghilangkan nyeri akut karena batu ginjal adalah penyuntikan
ketorolak melalui pembuluh darah.

Intervensi bedah
a) Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), tehnik ini menggunakan
getaran gelombang untuk memecahkan batu dari luar sehingga batu menjadi
serpihan kecil yang pada akhirnya dapat keluar dengan sendirinya.
b) Percutaneus nephrolithotomy atau pembedahan terbuka dapat dilakukan pada
batu ginjal yang besar atau yang mengalami komplikasi atau untuk batu yang
tidak berhasil dikeluarkan dengan cara ESWL.

H. Komplikasi
Jika batu dibiarkan dapat menjadi sarang kuman yana dapat menimbulkan
infeksi saluran kemih, pylonetritis, yang akhirnya merusak ginjal, kemudian
timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya yang jauh lebih parah.

I. Pencegahan
1) Minum banyak air putih sehingga produksi urin dapat menjadi 2-2,5 liter
per hari
2) Diet rendah protein, nitrogen, dan garam
3) Hindari vitamin C berlebih, terutama yang berasal dari suplemen
4) Hindari mengonsumsi kalsium secara berlebihan
5) Konsumsi obat seperti thiazides, potasium sitrat, magnesium sitrat, dan
allopurinol tergantung dari jenis batunya.

3. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji


1) Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan pengumpulan data yang berhubungan
dengan pasien secara sistematis pada pengkajian klien dengan tergantung pada
ukuran, lokasi, dan etiologi kalkulus (Doengus 2002), yaitu :
a. Akivitas/ istirahat
Gejala: Pekerjaan monoton, pekerjaan dimana klien terpajan pada
lingkungan bersuhu tinggi, keterbatasan aktivitas/ mobilisasi sehubungan
dengan kondisi sebelumnya (contoh penyakit tak sembuh, cedera medulla
spinalis)
b. Sirkulasi
Tanda: peningkatan TD/ nadi (nyeri, ansietas, gagal ginjal), kulit hangat
dan kemerahan.
c. Eliminasi
Gejala: riwayat adanya/ ISK kronis: obstruksi sebelumnya (kalkulus),
penurunaan haluan urine, kandung kemih penuh, rasa terbakar, dorongan
berkemih, diare.
Tanda: Oliguria, hemeturia, piuria, perubahan pola berkemih.
d. Makanan/ cairan
Gejala: Mual/ muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purine, kalsium
oksalat, dan / fosfat, ketidak cukupan pemasukan cairan: tidak minum air
yang cukup.
Tanda: Diestensi abdominal: penurunan/ tak ada bising usus, muntah.
e. Nyeri/ kenyamanan
Gejala:
a) Episode akut nyeri berat, nyeri kolik. Lokasi tergantung pada
lokasi batu, contoh pada panggul di region sudut kostovetebrel:
dapat menyebar kapanggul, abdomen, dan turun ke lipatan paha/
genetalia.
b) Nyeri dangkal konstan menunjukan kalkulus ada dipelvis atau
kalkulus ginjal.
c) Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat dengan posisi atau
tindakan lain.
Tanda: Melindungi: perilaku distraksi, nyeri tekan pada daerah
ginjal pada palpasi.
f. Keamanan
Gejala: Penggunaan alkohol: demam menggigil.
g. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala: Riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi,
gout, ISK kronis. Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen
sebelumnya, hiperparatiroidisme. Penggunaan antibiotik anti
hipertensi, natrium bikarbonat aluporinol, fosfat, tiazid,
pemasukan berlebihan kalsium/ vitamin.
h. Pemeriksaan Penunjang
a) Urinalisa: warna mungkin kuning, coklat gelap, berdarah; secara
umum menunjukkan SDM, SDP, Kristal (sistin, asam urat, kalsium
oksalat), serpihan, mineral, bakteri, pus; pH mungkin asam
(meningkatkan sistin dan batu asam urat) atau alkalin (meningkatkan
magnesium, fosfat ammonium, atau batu kalium fosfat).
b) Urine (24 jam): kreatinin, asa urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin
mungkin meningkat.
c) Kultutur urine; mungkin menunjukkan ISK (stapilococus aureus,
proteus, klebsiela, pseudomonas)
d) Survei biokimia: Peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat,
fosfat, protein, elektrolik.
e) BUN/kreatinin serum dan urine: Abnormal (tinggi pada serum/
rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada
ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
f) Kadar klorida dan biokarbonat serum: Peningkatan kadar klorida dan
penurunan bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
g) Hitung darah lengkap: SDP meningkat menunjukkan
infeksi/septicemia.
h) SDM: Biasanya normal.
i) Hb/Ht: Abnormal bila pasien dehidrasi nerat atau polisitemia terjadi
(mendorong presitipasi pemadatan atau anemia, perdarahan
disfungsi/gagal ginjal).
j) Hormon paratiroid: Mungkin meningkat bila ada gagal ginjal. (PTH
merangsang reabsorpi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi
serum dan kalsium urine)
k) Foto ronsen KUB: Menunjukkan adanya kalkuli dan/atau perubahan
anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter.
l) IVP: Memberikan konfirmasi cepat urolitiasis seperti penyebab nyeri
abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada struktur
anatomik (distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli.
m) Sistoureterokopi: Visualisasi langsung kandung kemih dan ureter
dapat menunjukkan batu dan/atau afek obstruksi.
n) Scan CT: Mengidentifikasi/menggambarkan kalkuli dan massa lain;
ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih.
o) Ultrasound ginjal: Untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi
batu.

2) Masalah keperawatan
a) Perubahan eliminasi urine
b) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan
c) Resiko tinggi terhadap infeksi
d) Gangguan rasa nyaman, nyeri
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi , prognosis dan kebutuhan
pengobatan
3) Diagnosis keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah data data yang didapatkan pada pengkajian
keperawatan kemudian disusunlah diagnosa yang umum timbul pada batu
saluran kemihMenurut Marliynn E, Doengoes diagnose keperawatan pada
klien dengan Post Operasi Ureter Resection Sitoscopy adalah:
a) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi bedah, tekanan
dan mitasi kateter/ badan
b) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kesulitan mengontrol perdarahan, pembatasan pra- operasi
c) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
sekunder terhadap: presedur bedah, presedur alat invasive, alat selama
pembedahan kateter, irigasi kandung kemih.
d) Nyeri berhubungan dengan iritasi mukosa kandung kemih, reflek spasme
otot: presedur bedah atau tekanan dari balon kandung kemih.
e) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
f) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan
pengetahuan atau informasi.
4) Rencana tindakan keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi dan Rasional
keperawatan

1. Perubahan eliminasi NOC : urinary elimination NIC : urinary retention care


urine berhubungan Urinary continence 1. monitor intake dan output
dengan obstruksi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 2. instruksikan pada keluarga pasien untuk memonitor
bedah, tekanan dan selama 3X24 jam perubahan eliminasi urin output urin
3. sediakan privacy untuk elimasi
mitasi kateter/ badandapat teratasi
4. kateterisasi jika perlu
Kriteria Hasil : 5. stimulasi refleks bladder dengan kompres dingin pada
- Kandung kemih kosong secara penuh abdomen
- tidak ada residu urin > 100-200cc
- bebas dari ISK
- tidak ada spasme bladder
- balance cairan seimbang
2. Resiko tinggi NOC : NIC : Fluid management
terhadap kekurangan
volume cairan Fluid balance 1. Monitor tanda-tanda vital klien
2. Pasang kateter urin sesuai indikasi
berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3. Monitor status hidrasi klien
kesulitan mengontrol selama 3x24 jam volume cairan klien akan 4. Beri terapi cairan sesuai indikasi
perdarahan, seimbang dengan kebutuhan cairan klien 5. Monitor respon hemodinamik
pembatasan pra- 6. Kolaborasi pemberian terapi farmakologis untuk menjaga
operasi Kriteria Hasil : keseimbangan cairan tubuh klien

- Tekanan darah dalam rentang normal


- Integritas kulit baik
- Membran mukosa lembab

3. Resiko tinggi NOC NIC :


terhadap infeksi 1. Immune status
berhubungan dengan 2. Knowledge: infection control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
trauma jaringan
1x24 jam tidak terjadi infeksi dan 2. Dorong masukan nutrisi yang cukup
sekunder terhadap: 3. Pertahankan teknik aseptik
presedur bedah, meningkatkan status imun
4. Ajarkan pasien dan keluarga cara menghindari infeksi
presedur alat Kriteria Hasil : 5. Kolaborasi pemberian antibiotik jika perlu
invasive, alat selama
pembedahan kateter, - Tanda-tanda vital dalam keadaan normal
irigasi kandung - Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi
kemih. Jumlah leukosit dalam batas normal

4. Nyeri berhubungan NOC: pain level dan pain control NIC:Pain Managament
dengan iritasi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
mukosa kandung selama 3X24 jam nyeri berkurang (P=penyebab, Q=kualitas dan kuantitas, R=daerah dan
kemih, reflek spasme Kriteria Hasil: penyebarannya, S=seberapa kuat nyeri yang
dirasakan, T=waktu terjadinya nyeri)
otot: presedur bedah- Pasien mampu mengontrol nyeri (tahu
2. kontrol lingkungan pasien yang dapat mempengaruhi
atau tekanan dari penyebab nyeri dan mampu menggunakan
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan
balon kandung teknik nonfarmakologi untuk mengurangi
kebisingan
nyeri)
kemih. 3. ajarkan tentang teknik non farmakologi seperti teknik
- Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,
relaksasi nafas dalam
frekuensi)
4. tingkatkan istirahat
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri
5. evaluasi keefektifan control nyeri
berkurang 6. Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase.
Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.
7. Kolaborasi dalam pemberian antispasmodic
5. Ansietas NOC: Anxiety self control, coping NIC: anxiety reduction
berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. gunakan pendekatan yang menenangkan
perubahan status selama 1X24 jam ansietas dapat 2. jelaskan semua prosedur dan apa yang yang dirasakan
kesehatan teratasi selama prosedur
3. dengarkan dengan penuh perhatian
Kriteria Hasil: 4. identifikasi tingkat kecemasan
5. instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
- Pasien mampu mengidentifikasi dan
mengungkapkan gejala cemas
- Mengidentifikasi, mengungkapkan dan
menunjukkan tekhnik untuk mengontrol
cemas
- Vital sign dalam batas normal
6. Defisiensi NOC : NIC : teaching : disease proses
pengetahuan Knowledge : disease proses 1. berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien
berhubungan dengan Knowledge : health behavior tentang proses penyakit yang spesifik
kurangnya pajanan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 2. gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada
penyakit
pengetahuan atau selama 1X24 jam klien mengetahui
3. gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat
informasi. informasi tetntang penyakitnya. 4. sediakan informasi tentang kondisi
Kriteria Hasil : 5. diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin
- pasien dan keluarga menyatakan diperlukan
pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis, dan program
pengobatan
- pasien dan keluarga mampu
melaksanakan prosedur yang telah
dijelaskan
HEMODIALISIS

1. Definisi Hemodialisis
Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal yang menggunakan
alat khusus dengan tujuan mengeluarkan toksisn uremik dan mengatur cairan, elektrolit
tubuh. Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser yang
terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien.
Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah pasien, suatu mekanisme untuk
membawa darah pasien ked an dari dializen (tempat terjadi pertukaran cairan, elektrolit,
dan zat sisa tubuh), serta dialiser.
Ada 5 cara memperoleh akses ke sirkulasi darah pasien :
1) Fistula arteriovena
2) Graft arteriovena
3) Shunt (pirai) arteriovena eksternal
4) Kateterisasi vena femoralis
5) Kateterisasi vena subklavia
(Baradero, 2008)

2. Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialisis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1) Kegawatan ginjal
a. Klinis : keadaan uremik berat, overhidrasi.
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam).
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam).
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5 mmol/l).
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l).
f. Uremia (BUN >150 mg/dL).
g. Ensefalopati uremikum.
h. Neuropati/miopati uremikum.
i. Perikarditis uremikum.
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L).
k. Hipertermia
2) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membrane dialisis.
Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur hidup
penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis
dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit
tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah
satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007) :
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis.
b. Gejala uremia meliputi : lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

3. Cara Kerja Hemodialisis


Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah dikeluarkan
dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian masuk ke dalam
mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis, darah yang telah bersih
ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di dalam tubuh. Proses dialisis
(pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al., 2007).

Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan
(kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan
lain (kompartemen dialisat) melalui membrane semipermeabel (dialiser). Perpindahan
solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui
mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan
molekulnya secara acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi,
artinya solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama
molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme
hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau mekanisme
osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al., 2007). Pada mekanisme
UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan cairan disebabkan oleh
gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al., 2007).

4. Komplikasi Hemodialisis
a. Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung.
Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit
kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al.,
2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah
gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID.
Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia,
tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,
neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).

b. Komplikasi kronis
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik. Komplikasi kronik
yang sering terjadi adalah sebagai berikut :
1. Penyakit jantung
2. Malnutrisi
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Renal ostedystrophy
6. Neuropaty
7. Disfungsi reproduksi
8. Komplikasi pada akses
9. Gangguan perdarahan
10. Infeksi
11. Amiloidosis
12. Acqured cystic kidney disease
DAFTAR PUSTAKA

Corwin EJ.2009. Buku saku Patofisiologi Edisi revisi 3. Jakarta :EGC


Davey, P. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Djoerban. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Muttaqin A. 2012. Asuhan Keperawatan gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba
Medika.
NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse
(NKUDIC). the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases
(NIDDK). (http://www.kidney.niddk.nih.gov).
Nursalam & Fransisca. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung Seto
Rubenstein,David,dkk.2003.Lecture Notes:Kedokteran Klinis Edisi
Keenam.Surabaya:Penerbit Erlangga
Sjamsuhidajat R, Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer SC,Bare BG. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Ed.8, Vol.2. Jakarta
:EGC
Soeparman, W. S. 1993. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.
Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit
Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 7. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai