Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronik (GGK) mengambarkan suatu keadaan ginjal yang

abnormal baik secara struktural maupun fungsinya yang terjadi secara progresif

dan menahun, umumnya bersifat ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit

ginjal terminal yang menyebabkan penderita harus menjalani dialisis atau bahkan

transplantasi ginjal. Penyakit ini sering terjadi, seringkali tanpa disadari dan

bahkan dapat timbul bersamaan dengan berbagai kondisi (penyakit kardiovaskular

dan diabetes). 1

Di Indonesia, dari data yang didapatkan berdasarkan serum kreatinin yang

abnormal, diperkirakan pasien dengan GGK ialah sekitar 2000/juta penduduk.2

GGK atau sering disebut juga penyakit ginjal kronik (Chronic kidney

disease) memiliki prevalensi yang sama baik pria maupun wanita dan sangat

jarang ditemukan pada anak-anak, kecuali dengan kelainan genetic, seperti

misalnya pada Sindroma Alport ataupun penyakit ginjal polikistik autosomal

resesif.3,4

Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya

data-data epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi

ginjal ringan sampai sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan stadium

lanjut, sehingga upaya penatalaksanaan lebih ditekankan kearah diagnosis dini

dan upaya preventif. Selain itu ditemukan juga bukti-bukti bahwa intervensi atau

1
pengobatan pada stadium dini dapat mengubah prognosa dari penyakit tersebut.

Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal ginjal kronik berhubungan dengan

adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai 20% diatas nilai normal,

sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai terjadi penurunan fungsi ginjal

menjadi 30% dari nilai normal.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

2
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi

yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan

umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu

keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,

pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa

dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea

dan sampah nitrogen lainnya dalam darah). 5

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi

yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

umunya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu

keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel,

pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa

dialisis maupun transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan

laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada

penyakit gagal ginjal kronik.

Kriteria penyakit ginjal kronik: 5

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa

kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju

filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

- Kelainan patologis

3
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi

darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test).

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3

bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

II. EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, data tahun 1995 – 1999 menyatakan insiden penyakit

ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini

meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,

diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara –

negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta

penduduk pertahun.

III. ETIOLOGI

Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu :

1. Kelainan parenkim ginjal

 Penyakit ginjal primer

o Glomerulonefritis

o Pielonefritis

o Ginjal polikistik

o TBC ginjal

 Penyakit ginjal sekunder

4
o Nefritis lupus

o Nefropati analgesic

o Amiloidosis ginjal

2. Penyakit ginjal obstruktif

 Pembesaran prostat batu

 Batu saluran kencing, dll.

IV. KLASIFIKASI

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Deraja Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90

atau

2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60 – 89

ringan

3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30 – 59

sedang

4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 – 29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

5
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung

dengan mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut :5

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)

72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe mayor ( contoh )

Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2

diabetes

Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi

diabetes sistemik, obat, neoplasma)

Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah

besar, hipertensi, mikroangiopathi)

Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik,

batu, obstruksi, keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada Rejeksi kronik

transplantasi
Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)

6
Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

V. FAKTOR RISIKO

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes

melitus atau hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal

akut, infeksi saluran kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor social dan

lingkungan seperti obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan

individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal

dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan bahan kimia dan

lingkungan tertentu.6

VI. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang

terjadi kurang lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa

ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih

tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis

nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi

7
nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan

ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih

utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan

hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya,

keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal

Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan

aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik,

nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan

kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. 5

Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : 7

- Anemia

Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan

penurunan produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses

pembentukan eritrosit menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan

jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar

hematokrit darah. Selain itu GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa

lambung (gastripati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan

saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan mempengaruhi masa

paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari

menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi

eritropoiesis

- Sesak nafas

8
Menurut saya disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi

ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi

iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang

terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen

menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah

menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron

dan ADH ssehingga menyebabkan retensi NaCl dan air  volume

ekstrasel meningkat (hipervolemia)  volume cairan berlebihan 

ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer  LVH  peningkatan

tekanan atrium kiri  peningkatan tekanan vena pulmonalis 

peningkatan tekanan di kapiler paru  edema paru  sesak nafas

- Asidosis

Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat

penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai

dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis

asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi

amonia karena kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat,

kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan

oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan pH darah kurang dari 7,35

dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dpaat

menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan

lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan

9
kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi

karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis

- Hipertensi

Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga

menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di

aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi

angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi

angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga

meningkatkan tekanan darah.

- Hiperlipidemia

Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak

bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

- Hiperurikemia

Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di

dalam darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan

menyebabkan pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan

terlihat membengkak, meradang dan nyeri

- Hiponatremia

Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran

hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium

pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan

penurunan jumlah nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang


10
disertai dengan retensi air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi

natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai dengan

gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah.

- Hiperfosfatemia

Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat

sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika

kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk

membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang

terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-turut

menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)

- Hipokalsemia

Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat.

Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid

sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi

demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat

konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat

reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari

tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat

meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak

dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat.

Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di

plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH

tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini,

11
kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih

banyak PTH. Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah

hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme sekunder.

Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di

banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), diduga

PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut.

Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan

dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini

merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi

penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di

usus, hal ini memperberat keadaan hipokalsemia

- Hiperkalemia

Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma

meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel

ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma.

Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan

peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan

berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari

kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka

dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya

refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan

mental.

- Proteinuria

12
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari

kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi.

Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang

melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan

permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis.

Sehingga molekul protein berukuran besar seperti albumin dan

immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan

proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang

disebu dengan sindrom nefrotik.

- Uremia

Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari

uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal

sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin

dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang

mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus

ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka gejala

klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi traktus

gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas seperti amonia (fetor

uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada

serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan

menyebabkan koma uremikum.

VII. GAMBARAN KLINIS


13
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia

sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan

hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan

kelainan kardiovaskular.8

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering

ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal

kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut

berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal

perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat

terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh

substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.5

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau

hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /

serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin

serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya

hemolisis dan sebagainya.8

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping

penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang

dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-

hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah

yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,


14
hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut

berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.5

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien

gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah

masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora

usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau

rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini

akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil

pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari

mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.

Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris.

Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang

sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam

kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan

hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal

ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

d. . Kelainan kulit

15
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan

diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan

segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan

bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan

dinamakan urea frost.5

e. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan

depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat

seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering

dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai

pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar

kepribadiannya (personalitas).

f. Kelainan kardiovaskular

Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat

kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi

sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada

stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

VIII. DIAGNOSIS

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan

histopatologis.9

16
 Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

 Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

 Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

 Menentukan strategi terapi rasional

 Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan

pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik

diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang

berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,

perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal

(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan

laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan

tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;

17
ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual,

muntah, nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer,

pruritusm uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,

payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit

(sodium, kalium, chlorida).5

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan

penyakit yang mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum

dan kreatinin serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat

dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah

lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia,

hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria,

hematuri, leukosuria, dan silinder.5

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:5

1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak

2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing

tidak bisa melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya

18
pengaruh toksisk oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami

kerusakan

3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi

4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,

korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,

klasifikasi

5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

IX. PENATALAKSANAAN 5,8

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal

secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,

memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan

dan elektrolit.

a.Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau

mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama

gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori


19
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat

dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,

memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya

jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari

LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik

a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat

diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera

diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

b. Anemia

Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial

50 u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis

20
pemberian menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak

lebih dari tiga kali dalam seminggu.10

Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu

pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah

harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran

hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief

complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa

mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program

terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis

reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi

21
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym

Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor).

Melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan

antihipertensi dan antiproteinuria.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal

yang penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan

oleh penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan

kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi,

dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan

keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,

yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa

hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala

toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat

pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).

Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.

22
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,

ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak

responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood

Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,

anoreksia, muntah, dan astenia berat.

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis

(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,

yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien

yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang

cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan

pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal

terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai

co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien

sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di

daerah yang jauh dari pusat ginjal.

c. Transplantasi ginjal

X. PROGNOSIS

Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka

panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang

23
dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK

itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai

mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya

seringkali terlambat. 11

BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama : Ny. BR

Umur : 81 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa lantik, kec. Teupah Barat

MRS tanggal : 18-juli-2019

24
II. Anamnesis

Keluhan Utama :

Bengkak seluruh tubuh

Riwayat Perjalanan Penyakit :

Sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh bengkak kedua

tungkai, terutama saat bangun pada pagi hari. Bengkak pada kedua tungkai tetap

berlangsung sepanjang hari. Bengkak juga terjadi pada kelopak mata saat bangun

pagi dan tetap berlangsung sepanjang hari. Bengkak sudah hampir seluruh tubuh.

Sesak nafas disangkal. Bangun pada malam hari karena sesak dan batuk

disangkal. Pasien juga mengeluh lesu, mudah lelah, dan nafsu makan menurun,

Perut terasa kembung, disertai Mual dan muntah.

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Riwayat kencing manis ada

 Riwayat darah tinggi tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga :

 Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Compos mentis

25
Tekanan darah : 106/56 mmHg

Nadi : 74 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Pernafasan : 20x/menit, thoracoabdominal, reguler

Suhu : 37,0° C

Keadaan spesifik

- KGB

Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan

submandibula serta tidak ada nyeri penekanan.

- Kepala

Bentuk brachiocephali, simetris, ekspresi sakit berat, deformasi (-).

- Mata

Eksophtalmus dan endopthalmus (-), edema palpebra (+), konjungtiva

palpebra pucat (+), sklera ikterik (-), pupil isokor, reflek cahaya

normal, pergerakan mata ke segala arah baik.

- Hidung

Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam

perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun perdarahan.

- Telinga

Tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus (-), pendengaran baik.

26
- Mulut

Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (+), atrofi papil (-), gusi

berdarah (-), stomatitis (-), rhageden (-), bau pernapasan khas (+),

faring tidak ada kelainan.

- Leher

Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP (5-2) cmH 2 O, kaku kuduk

(-),pembesaran KGB tidak ada

- Dada

Bentuk dada simetris, nyeri tekan (-), nyeri ketok (-), krepitasi (-)

- Paru-paru

I : Statis dan dinamis simetris kanan = kiri, sela iga tidak melebar.

P : Stemfremitus kanan sama dengan kiri.

P : Sonor pada kedua lapangan paru. Batas paru-hati ICS V.

A: Vesikuler (+) normal, ronkhi basah lapang paru kiri, wheezing (-).

- Jantung

I : Ictus cordis tidak terlihat.

P : Ictus codis teraba di ICS V LAA sinistra.

P : Batas jantung atas ICS II, batas jantung kanan LPS dextra, batas

jantung

kiri LAA sinistra.

A : HR =74x/menit, murmur (-), gallop (-).

- Abdomen

I : Distensi

27
P : Lemas, hepar dan lien tidak teraba.

P : Timpani, nyeri ketok CVA (-),shifting dullness(+).

A: Bising Usus (+) normal.

- Alat Kelamin

Normal

- Extremitas

Oedem pada kedua tangan dan kedua kaki.

IV. Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium

i. Darah Rutin

 HGB : 11,8 g/dl

 WBC : 7,23

 Rbc : 4,0

 HCT : 36,4

 MCV : 84,7 fl

 MCH : 27,4 pg

 MCHC : 32,4 g/dl

 PLT : 180

 Kgds : 210

ii. Kimia Klinik

 Ureum : 67 mg/dl
28
 Creatinin : 0,5 mg/dl

 Natrium : 138

 Kalium : 4,7

 Chlorida : 102

V. Diagnosis

CKD stage V + DM Tipe II

VI. Penatalaksanaan

- Treeway

- Inj. Furosemid 1 amp/ H

29
Follow Up

Tanggal Perjalanan penyakit Therapi/ planing

22/08/201 S/ bengkak sekitar tubuh - Okisin 2x1


9
Rasa menyesak (+) - Treeway
Mual (+), nyeri perut , lemas
- Inj. Furosemid 1 amp/ H
08:00
O/
TD : 120/80 mmHg
HR : 76x/i
RR : 24x/i
T : 36,2 C

Kgds : 150

A/ CKD stage V + DM tipe II

S/ apneu
06:05
O/

TD : tidak teraba

HR : tidak teraba

A/

Pasien telah meninggal pukul


06:05 didepan keluaga, dokter

30
dan perawat

DAFTAR PUSTAKA

1. Ardaya. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana Gagal

ginjal Kronik, 2003. Palembang:Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2003:13-

22.

2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Gagal ginjal

kronik. Dalam Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: Media

Aesculapius FKUI,2001:531-534.

31
3. Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic Renal Failure. Dalam Braunwald

E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, et al (eds): Harisson’s

Principles od Internal Medicine, 16rd ed. New York, McGraw Hill,

2005:1653-1663.

4. National institutes for health and clinical excellences guidelines 73.Early

identification and management of chronic kidney disease in adult in primary

and secondary care.Develop by the national collaborating centre for chronic

condition. 2008,September.

5. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,

Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.

6. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:

Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:

http://www.kidney. professionals/kdoqi/guidelinesckd/toc.htm

7. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna

Patofisiologi. Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p.

110 – 115.

8. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord

Handbook of Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007.

294-97.

9. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,

Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan

32
Pelayanan Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

hlm 168-70.

10. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu

Penyakit Dalam UPH.

33

Anda mungkin juga menyukai