Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Gagal Ginjal Kronik

a. Pengertian

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu gangguan pada ginjal

ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang

berlangsung lebih dari 3 bulan. GGK ditandai dengan satu atau lebih

tanda kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen urin,

elektrolit, histologi, struktur ginjal,ataupun adanya riwayat

transplantasi ginjal, juga disertai penurunan laju filtrasi glomerulus

(Sitifa, 2018).

Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan kerusakan ginjal

secara bertahap dan progresif karena kehilangan fungsi nefron.

Penurunan fungsi ginjal ini bersifat kronis dan ireversibel. Penyakit

ginjal kronik stadium V ditandai dengan penurunan LFG < 15

ml/menit/1,73m² (Wahyuni dkk, 2016).

Gagal ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal

dalam beberapa bulan atau tahun. Penyakit ginjal kronis didefinisikan

sebagai kerusakan ginjal dan/atau penurunan Glomerular Filtration

Rate (GFR) kurang dari 60mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan

(Kidney Disease Im Improving Global Outcomes, KDIGO 2012

Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management).

Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk

mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan

elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan


manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah

(Muttaqin & Sari, 2011).

b. Etiologi

Tabel 1
Penyebab penyakit ginjal kronik menurut Indonesia

Etiologi Jumlah
Glumerulopati Primer (GNC) 2887
Nefropati Diabetika 6994
Nefropati Lupus (SLE) 122
Penyakit Ginjal Hipertensi 8472
Ginjal Polikistik 254
Nefropati Asam Urat 343
Nefropati Obstruksi 1043
Pielonefritis Chronic (PNC) 1623
Lain-lain 1789
Tidak diketahui 322
Sumber : Renal Registry (2017)

Pada tahun 2017 ini proporsi etiologi atau penyakit dasar dari

pasien GGK 5 ini kembali hipertensi menempati urutan pertama

sebanyak 36 % dan Nefropati diabetic atau dikenal dengan diabetic

kidney diease dengan kode sebagai urutan kedua. Perbedaannya pada

tahun ini urutan kesatu dan kedua tidak terlalu jauh berbeda.

c. Manifestasi Klinis

Penderita gagal ginjal kronik akan menunjukkan beberapa

tanda dan gejala sesuai dengan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain

yang mendasari dan usia penderita. Penyakit ini akan menimbulkan

gangguan pada berbagai organ tubuh anatara lain:

1) Manifestasi kardiovaskular

Hipertensi, gagal jantung kongestif, edema pulmonal, perikarditis.

2) Manifestasi dermatologis

Kulit pasien berubah menjadi putih seakan-akan berlilin

diakibatkan penimbunan pigmen urine dan anemia. Kulit menjadi


kering dan bersisik. Rambut menjadi rapuh dan berubah warna.

Pada penderita uremia sering mengalami pruritus.

3) Manifestasi gastrointestinal

Anoreksia, mual, muntah, cegukan, penurunan aliran saliva, haus,

stomatitis.

4) Perubahan neuromuscular

Perubahan tingkat kesadaran, kacau mental, ketidakmampuan

berkosentrasi, kedutan otot dan kejang.

5) Perubahan hematologis

Kecenderungan perdarahan.

6) Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum, lebih

mudah mengantuk, karakter pernapasan akan menjadi kussmaul

dan terjadi koma (Brunner dan Suddarth, 2001 dalam Ika, 2016).

d. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung

pada penyakit yang mendasarinya. tapi dalam perkembangan

selanjutnya proses yang tel.jadi kurang lebih sama. Pengurangan massa

ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang

masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang

diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors.

Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses

adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses

maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini

akhimya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,

walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya

peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin-aldosteron intrarenal,


ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis

dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-

angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor

seperti traizsforming growth factor P (TGFp). Beberapa ha1 yang juga

dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal

kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.

Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan

fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial (Suwitra, 2010).

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi

kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana

basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara.

perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang

progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Sampai pada LFG sebesar 60%. Pasien masih belum merasakan

keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan

kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30% mulai terjadi keluhan

pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang

dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien

memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti. anemia,

peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisrne fosfor dan kalsium,

pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena

infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun

infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air

seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit

antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi

gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan

terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis


atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai

pada stadium gagal ginjal (Suwitra, 2010).

e. Klasifikasi

Penyakit Gagal Ginjal Kronik diklasifikasikan berdasarkan laju

filtrasi glomerulus, dan diagnosis etiologi.

Tabel 2
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar GFR

Kategori GFR GFR Keterangan


(ml/min/1.73 m2)
G1 >90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Turun (ringan)
G3a 45-59 Penurunan ringan ke sedang
G3b 30-44 Penurunan sedang ke berat
G4 15-29 Penurunan berat
G5 <15 Gagal ginjal
Sumber: NKF-KDIGO, 2013

Tabel 3
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe mayor (contoh)


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit
otoimun, infeksi sisternik,obat,
neoplasia) Penyakit vaskular (penyakit
pernbuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati) Penyakit
tubulointerstitial (pielonefritis kronik,
batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikstik)
Penyakit pada transplatasi Rejeksi kronik Keracunan obat
(siklosporinl takrolirnus) Penyakit
recurrent (glornerular) Transplant
glomerulopathy
Sumber: Suwitra, 2010

f. Tahap-tahap

Perkembangan penyakit gagal ginjal kronis meliputi beberapa

tahapan, disertai dengan gejala-gejala khusus.Pada tahap awal, gagal

ginjal kronis ditandai dengan adanya penurunan cadangan ginjal,

kemudian terjadinya indufisiensi ginjal, gagal ginjal, dan tahap akhir


penyakit ini diakhiri dengan uremia. Berikut tahaptahap perkembangan

penyakit gagal ginjal kronis (Muhammad, 2012):

1) Penurunan Cadangan Ginjal

Pada tahap ini, ada beberapa hal yang terjadi dalam tubuh

penderita, diantaranya:

a) Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi,

b) Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal,

c) BUN dan kreatinin serum masih normal, dan

d) Pasien asimtomatik.

Tahap ini merupakan tahap perkembangan penyakit ginjal

yang paling ringan, karena faal ginjal masih dalam kondisi baik.

Oleh karena itu, penderita juga belum merasakan gejala apa pun.

Bahkan, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa faal

ginjal masih berada dalam batas normal.

Selain itu, kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea

Nitrogen) masih berada dalam batas normal dan penderita

asimtomatik. Gangguan fungus gunjal baru diketahui setelah

pasien diberi beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih

dalam waktu lama atau melalui GFR dengan teliti.

2) Insufisiensi Ginjal

a) Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh

penderita, diantaranya: Sekitar 75-80% nefron tidak berfungsi,

b) Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal,

c) BUN dan kreatinin serum mulai meningkat,

d) Anemia dan azotemia ringan, serta

e) Nokturia dan poliuria.


Pada tahap ini, penderita masih dapat melakukan tugastugas

seperti biasa, walaupun daya dan konsentrasi ginjal menurun.

Pengobatan harus dilakukan dengan cepat untuk mengatasi

kekurangan cairan, kekurangan garam, dan gangguan jantung.

Selain itu, penderita juga harus diberi obat untuk mencegah

gangguan faal ginjal. Apabila langkahlangkah ini dilakukan dengan

cepat dan tepat, perkembangan penyakit ginjal yang lebih berat pun

dapat dicegah.

Pada stadium ini, lebih dari 75% jaringan ginjal yang

berfungsi telah rusak. Selain itu, kadar BUN dan kreatinin serum

juga mulai meningkat melampui batas normal.

3) Gagal Ginjal

Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh

penderita, diantaranya:

a) Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal,

b) BUN dan kreatinin serum meningkat,

c) Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik,

d) Poliuria dan nokturia, serta

e) Gejala gagal ginjal

Pada tahap ini, penderita merasakan beberapa gejala, antara

lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, sesak napas, pusing,

sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang, dan

mengalami penurunan kesadaran hingga koma. Oleh karena itu,

penderita tidak dapat melakukan tugas sehari-hari.

4) End-stage Meal Disease (ESRD)

Pada tahap ini, beberapa hal yang terjadi dalam tubuh

penderita, diantaranya:
a) Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi,

b) Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal,

c) BUN dan kreatinin tinggi,

d) Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik,

e) Berat jenis urine tetap 1.010,

f) Oliguria, dan

g) Gejala gagal ginjal

Pada stadium akhir, kurang lebih 90% massa nefron telah

hancur. Nilai GFR 10% di bawah batas normal dan kadar kreatinin

hanya 5-10 ml/menit, bahkan kurang dari jumlah tersebut. Selain

itu, peningkatan kreatinin serum dan kadar BUN juga meningkat

secara mencolok.

Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita tidak sanggup

mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolik di dalam tubuh.

Biasanya, penderita menjadi oliguria (pengeluaran kemih kurang

dari 500 ml/hari karena kegagalan glomerulus). Pada stadium akhir

gagal ginjal, penderita harus mendapatkan pengobatan dalam

bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

g. Diagnosis Gagal Ginjal Kronis

Untuk menentukan seseorang positif menderita gagal ginjal

kronis atau tidak harus dilakukan diagnosis berdasarkan beberapa tes

sebagai berikut (Muhammad, 2012):

1) Pemeriksaan Urine

Pemeriksaan urine bertujuan untuk mengetahui volume, warna,

sedimen, berat jenis, kadar kreatinin, dan kadar protein dalam

urine.
2) Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah ini meliputi BUN/kreatinin, hitung darah

lengkap, sel darah merah, natrium serum, kalium, magnesium

fosfat, protein, dan osmolaritas serum.

3) Pemeriksaan Pielografi Intravena

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui abnormalitas pelvis

ginjal dan ureter, serta pielografi retrograde. Pemeriksaan

dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversible. Selain itu,

pemeriksaan ini juga untuk mengetahui arteriogram ginjal serta

mengkaji sirkulasi ginjal, mengidentifikasi ekstravaskular, dan

adanya masssa.

4) Sistouretrogram Berkemih

Pemeriksaan ini menunjukkan ukuran kandung kemih, refpluks ke

dalam ureter, dan retensi.

5) Ultrasono Ginjal

Pemeriksaan ini untuk menunjukkan ukuran kandung kemih,

adanya massa, kista, dan obstruksi pada salurah kemih bagian atas.

6) Biopsi Ginjal

Biopsi ginjal dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel

jaringan untuk diagnosis histologis.

7) Endoskopi Ginjal Nefroskopi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, seperti

ada atau tidaknya batu ginjal, hematuria, dan pengangkatan tumor

selektif.
8) EKG

Keadaan abnormal menunjukkan adanya ketidakseimbangan

elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel, dan tanda-

tanda perikarditis.

h. Tata Laksana

Pengobatan pada Penyakit ginjal kronik bertujuan untuk

memperlambat perkembangan penyait menjadi End-Stage Renal

Disease (ESRD). kontrol tekanan darah menggunakan Angiotensin-

Converting Enzyme (ACE) Inhibitors atau Angiotensin II Receptor

Blockers (ARBs) secara efektif dapat membantu memperlambat

perkembangan dari PGK. Selain itu control glikemik pada pasien

dengan diabetes dapat menghambat perkembangan dari GGK (Turner

et al., 2012) dalam (Dani Kartika Sari, 2017).

Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik

sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada tabel:

Tabel 4
Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Serajatnya

Derajat GFR Rencana tatalaksana


(ml/min/1.73 m2)
1 >90 terapi peyakit dasar, kondisi kornorbid,
evaluasi pernburukan (progression) fungsi
ginjal, rnernperkecil risiko kardiovaskular
2 60-89 mengharnbat pernburukan (progression)
fungsi ginjal
3 30-59 evaluasi dan terapi kornplikasi
4 15-29 persiapan untuk terapi peng ganti ginjal
5 <15 terapi pengganti ginjal
Sumber: Suwitra, 2010

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya waktu yang paling

tepat untuk terapi penyakit dasamya adalah sebelum terjadinya

penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak te rjadi.


Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi

dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang

tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun

sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak

banyak bermanfaat (Suwitra, 2010).

i. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada gagal ginjal kronis

meliputi (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2011):

1) Anemia

2) Neuropati perifer

3) Komplikasi kardiopulmoner

4) Komplikasi gastrointestinal

5) Disfungsi seksual

6) Defek skeletal

7) Parestesia

8) Disfungsi saraf motorik

9) Fraktura patologis

2. Hemodialisa

a. Pengertian

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal

dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser),

yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk

sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit pada pasien gagal ginjal (Ignatavicius, 2006 dalam Hayani,

2014).

Tujuan di lakukan Hemodialisa adalah dapat memperbaiki

beban dan regangan jantung dengan cara mengeluarkan toksin uremia


dan mengurangi volume overload sehingga fungsi sistolik dan

pergerakan dinding segmen ventrikel kiri membaik (Alhaj et al., 2013).

Hemodialisis merupakan proses terapi sebagai pengganti ginjal

yang menggunakan selaput membran semi permeabel berfungsi

sebagai nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme

dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan maupun elektrolit

pada pasien gagal ginjal (Mailani, 2015). Terapi hemodialisa bisa

didapatkan penderita gagal ginjal sebanyak dua atau sekali dalam

seminggu, tergantu dari keparahan yang terjadi pada rusaknya ginjal

(Kemenkes, 2017).

Hemodialisis yang dijalani oleh pasien dapat mempertahankan

kelangsungan hidup sekaligus merubah pola hidup pasien. Perubahan

yang akan terjadi mencakup diet pasien, tidur dan istirahat,

penggunaan obat-obatan, dan aktivitas sehari-hari. Pasien yang

menjalani hemodialisis juga rentan terhadap masalah emosional seperti

stress berkaitan dengan pembatasan diet dan cairan, keterbatasan fisik,

penyakit, efek samping obat, serta ketergantungan terhadap dialisis

yang akan berdampak terhadap menurunnya kualitas hidup pasien

(Mailani, 2015).

Pasien akan ketergantungan dalam terapi hemodialisa,

konsumsi obat seumur hidup dan menjalankan diet yang ketat

termasuk juga pembatasan cairan. Pasien akan mengalami mual

muntah, nyeri punggung, sesak nafas, menggigil, sakit kepala dan

susah tidur. Hal ini akan menghambat produktifitas pasien, dan tidak

sedikit pasien yang berhenti bekerja ketika gejala yang muncul dari

gagal ginjal menggangu aktifitas pasien sehari-harinya (Priyanti &

Farhana, 2016).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan

bahwa hemodialisis adalah suatu terapi yang digunakan untuk

menggantikan fungsi ginjal yang rusak dengan menggunakan suatu

alat yang dinamakan mesin hemodialisis, yang nantinya akan terjadi

proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi yang bertujuan untuk

mengeluarkan sisa metabolesme dalam tubuh.

b. Tujuan Hemodialisa

Tujuan hemodialisa adalah mengendalikan gejala-gejala seperti

uremia, kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan elektrolit.

Hemodialisa efektif untuk mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa-sisa

metabolisme, memperbaiki gangguan keseimbangan asam dan basa

pada pasien sehingga dapat memperpanjang umur pasien GGK

(Farida, 2010). Tujuan utama dari terapi hemodialisa adalah untuk

memperbaiki keseimbangan cairan intraseluler dan ekstraseluler yang

terganggu akibat fungsi ginjal yang rusak (Himmelfarb & Ikizler,

2010).

c. Indikasi dan Kontraindikasi

Kidney Disease Outcome Quality (KDOQI) tahun 2015

merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat serta resiko

memulai terapi pengganti ginjal pada pasien dengan LFG <30

mL/menit/1.73m2 (Tahap 4). Edukasi mengenai Penyakit Ginjal

Kronik dan pilihan terapi dialisis mulai diberikan kepada pasien

dengan Penyakit Ginjal Kronik tahap 4, termasuk pasien yang

memiliki kebutuhan segera untuk dialisis. Keputusan untuk memulai

perawatan dialisis pada pasien harus didasarkan pada penilaian tanda

atau gejala uremia pada pasien, tanda kekurangan energi-protein,

bukan pada pasien dengan stadium tertentu tanpa adanya tanda tanda
atau gejala tersebut (Rocco et al., 2015) dalam (Dani Kartika Sari,

2017).

Pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik tahap 5 inisiasi

hemodialisis dimulai dengan indikasi sebagai berikut :

1) Kelebihan (Overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan

dan/ hipertensi.

2) Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi

farmakologis.

3) Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi

bikarbonat.

4) Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi

pengikat fosfat.

5) Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoetin dan besi.

6) Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa

sebab yang jelas.

7) Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai

gejala mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis.

8) Adanya gangguan neurologis (neuropati ensefalopati, gangguan

psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh

penyebab lain, serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan

waktu perdarahan.

Kontraindikasi dilakukannya hemodialisis dibedakan menjadi 2

yaitu, kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi

absolut adalah apabila tidak didapatkannya akses vascular. Sedangkan

untuk kontraindikasi relatif adalah apabila ditemukannya kesulitan

akses vaskular, fobia terhadap jarum, gagal jantung, dan koagulopati

(Rahardjo et al., 2010).


d. Peralatan Hemodialisis

1) Mesin hemodialisis

Mesin hemodialisis adalah suatu mesin khusus yang dirancang

untuk hemodialisis. Mesin ini mengatur dialisat dengan sistem

proporsional, memantau tekanan dan konduktivitas dialisat dan

darah, mengatur suhu, kecepatan aliran darah dan dialisat. Terdapat

beberapa sensor untuk mendeteksi dan pencegahan resiko

komplikasi, pompa darah untuk mengalirkan darah dan syringe

pump untuk pemberian antikoagulan (Cahyaningsih, 2009).

2) Dialiser

Dialiser adalah tempat dimana proses hemodialisis berlangsung,

tempat terjadinya pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan

dialisat. Dialiser merupakan kunci utama proses hemodalisis,

karena yang dialakukan oleh dialiser sebagian besar dikerjakan

oleh ginjal yang normal. Dialiser terdiri dari 2 kompartemen

masing-masing untuk cairan dialisat dan darah. Kedua

kompartemen dipisahkan membran semipermeabel yang mencegah

cairan dialisat dan darah bercampur jadi satu (Lemone & Burke

2010).

3) Dialisat

Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk menarik

limbahlimbah tubuh dari darah. Sementara sebagai buffer

umumnya digunakan bikarbonat yang bersifat basa, dibandingkan

dengan buffer natrium, walaupun sama sama bersifat basa tetapi


bikarbonat memiliki risiko lebih kecil untuk menyebabkan

hipotensi. Kadar setiap zat di cairan dialisat juga perlu diatur sesuai

kebutuhan. Sementara itu, air yang digunakan harus diproses agar

tidak menimbulkan risiko kontaminasi (Septiwi, 2010).

e. Prinsip kerja hemodialysis

Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi,

osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah

dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang

memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang

lebih rendah (Lavey, 2011). Cairan dialisat tersusun dari semua

elektrolit yang penting dengan konsentrasi yang ideal buat tubuh.

Unsur-unsur yang biasanya ada adalah Ca++, Mg+, K+, Na, Cl-,

glukosa dan asetat. Urea, kratinin, asam urat dan fosfat akan mudah

berdifusi dari darah ke cairan dialisis karena pada cairan dialisis tidak

memiliki unsure-unsur tersebut (Price & Wilson, 2013).

Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses

osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan

gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang

lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan

dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan

negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan

negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada

membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Elizabeth, 2011).

f. Komplikasi

Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian

dari fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit

ginjal tahap akhir stadium akhir. Walaupun tindakan hemodialisis saat


ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak

penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis.

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani

hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya

menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat

hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang

menjalani hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien

hemodialisis tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut

hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (Agarwal &

Light, 2010).

1) Komplikasi akut

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi

selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi

diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit

kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil

(Bieber & Himmelfarb, 2013).


Tabel 5
Komplikasi Akut Hemodialisis

Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan,
terapi antihipertensi, infark jantung,
tamponade, reaksi anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air,
ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Reaksi alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung,
heparin, besi, lateks
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan
cairan yang terlalu cepat, obat aritmia
yang terdialisis
Kram otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan
elektrolit
Emboli udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis disequilibrium Perpindahan osmosis antara intrasel
dan ekstrasel menyebabkan sel
menjadi bengkak, edema cerebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma
terlalu cepat
Masalah pada dialisat Hemolisis oleh karena menurunnya
klorin kolom charcoal
Kontaminasi fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal,
sinkop, tetanus, gejala neurologi,
aritmia
Kontaminasi Demam, menggigil, hipotensi oleh
bakteri/endotoksin karena kontaminasi dari dialisat
maupun sirkuit air
Sumber : Bieber dan Himmelfarb, 2013

Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan

hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat hemodialisis

atau hipertensi intradialisis. Komplikasi yang jarang terjadi adalah

sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade

jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,


neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al.,

2007).

2) Komplikasi kronik

Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis

yaitu penyakit jantung, malnutrisi, hipertensi, anemia, renal

osteodystrophy, neuropati, disfungsi reproduksi, gangguan

perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan acquired cystic kidney

disease.

Terjadinya gangguan pada fungsi tubuh pasien hemodialisis,

menyebabkan pasien harus melakukan penyesuaian diri secara

terus menerus selama sisa hidupnya. Bagi pasien hemodialisis,

penyesuaian ini mencakup keterbatasan dalam memanfaatkan

kemampuan fisik dan motorik, penyesuaian terhadap perubahan

fisik dan pola hidup, ketergantungan secara fisik dan ekonomi pada

orang lain serta ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa

hidup (Bieber & Himmelfarb, 2013).

3. Kualitas Hidup

a. Pengertian Kualitas hidup

World Health Organization Quality of Life mengemukakan

kualitas hidup adalah persepsi individu dalam kemampuan,

keterbatasan, gejala serta sifat psikososial hidupnya dalam konteks

budaya dan sistem nilai untuk menjalankan peran dan fungsinya

(WHO, 2016).

Kualitas hidup adalah sasaran utama yang ingin dicapai di

bidang pembangunan sehingga kualitas hidup ini sejalan dengan

tingkat kesejahteraan. Diharapkan semakin sejahtera maka kualitas

hidup semakin tinggi. Kualitas hidup ini salah satunya dipengaruhi


oleh derajat kesehatan. Semakin tinggi derajat kesehatan seseorang

maka kualitas hidup juga semakin tinggi (Nursalam, 2013).

Kualitas hidup dijadikan sebagai aspek untuk menggambarkan

kondisi kesehatan dapat dinilai berdasarkan kesehatan fisik, psikologis,

hubungan sosial dan lingkungan. Dalam kondisi sehat kualitas hidup

manusia akan selalu terjaga dimana ke empat aspek tersebut dapat

dijalankan dengan baik. Hal ini akan berbeda jika manusia dalam

kondisi sakit, dimana faktor yang paling terlihat dalam penurunan

kualitas hidupnya adalah kondisi fisik. Terlebih pada penderita

penyakit kronis, salah satunya adalah Gagal Ginjal Kronik. Pada

pasien Gagal Ginjal Kronik terjadi penurunan kondisi fisik seperti

berat badan dan kemampuan mobilitasnya. Pasien Gagal Ginjal Kronik

harus menjalani hemodialisis dengan penjadwalan teratur dari 1 (satu)

sampai 3 (tiga) kali dalam seminggu, hal ini dapat mempengaruhi

hubungan sosial dan psikologisnya secara tidak langsung. Terkait

dengan beberapa permasalahan tersebut, peran farmasis sebagai tenaga

kesehatan sangat dibutuhkan untuk menjaga dan meningkatkan

kualitas hidup pasien Gagal Ginjal Kronik (Sekarwiri. 2008) dalam

(Dewi, dkk. 2018).

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

Terdapat penelitian-penelitian yang berkaitan dengan faktor-

faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Faktor yang mempengaruhi

kualitas hidup dari faktor internal dan eksternal:

1) Faktor internal yaitu sebagai berikut:

a) Kesejahteraaan kesehatan tubuh. Kesejahteraaan kesehatan

tubuh seperti banyaknya jumlah hari sakit, absensi kerja,

kunjungan ke dokter, dan rawat inap sebagai indicator


kepuasaan hidup yang dapat mempengaruhi kualitas hidup

(Renwick dan Friefeld, 1996 dalam Raudatussalamah dan Fitri,

2012).

b) Kepatuhan minum obat, terapi fakrmakologi dan non

farmakologis. Kepatuhan orang dengan hipertensi dalam

menjalani pengobatan dan minum obat dapat meningkatkan

kualitas hidup (Aguwa et al, 2008; Baune, Aljeesh, & Adrian,

2005; Stein, Brown, et al., 2002).

c) Domain fisik. Domain fisik terdiri dari simtom fisik yang

mengganggu dan mengakibatkan penurunan kesehatan seperti

pusing, permasalahan seksual, peningkatan rasa dahaga, sakit

kepala kronis, vertigo, pandangan mata kabur atau berkunang,

mimisan, telinga berdengung, mual, rasa berat ditengkuk, detak

jantung meningkat, sesak nafas, dan kelelahan mempengaruhi

kualitas hidup pada individu dengan hipertensi (Purnomo dan

Retnowati, 2010 dalam Raudatussalamah dan Fitri, 2013).

d) Domain mental. Domain mental yang terganggu pada individu

dengan hipertensi yaitu: kegelisahan, enegri tubuh berkurang

berakibat berkurangnya kebugaran dan muncul kelelahan

(Liang et al, 2006). Kehilangan semangat, emosi meledak dan

amarah tertekan (Purnomo dan retnowati, 2010 dalam

Raudatussalamah dan Fitri, 2012).

e) Mengembangkan kompetensi diri. Kualitas hidup penderita

hipertensi dapat ditingkatkan adanya kompetensi diri yaitu

melalui meningkatkan spiritualitas, mengubah kebiasaan hidup,

meningkatkan kemandirian, pengetahuan yang mencakup


pemaksaan budaya, mengelola keyakinan (Raudatussalamah,

2010 dalam tim penulis fakultas Psikologi UIN SUSKA, 2012).

f) Optimisme. Secara signifikan dapat meningkatkan kualitas

hidup (Worsch dan Scheier, 2003; Rose, Fliege, Hildebrandt,

Schiop, Klapp, 2002; Aska, 2009).

2) Faktor eksternal sebagai berikut:

a) Hubungan sosial. Hubungan social terutama dukungan dari

keluarga mempengaruhi kualitas hidup (Renwick dan Friefeld,

1996 dalam Raudatussalamah dan Fitri, 2012).

b) Pekerjaan. Pekerjaan yang meliputi: pekerjaaan dengan gaji,

tunjangan, dan lingkungan kerja yang layak. Hal tersebut

diantarai oleh kepuasaan hidup dalam mempengaruhi kualitas

hidup (Renwick dan Friefeld, 1996 dalam Raudatussalamah

dan Fitri, 2012).

c) Material. Faktor material terdiri atas rumah dan komunitas

tempat tinggal, sekolah mencakup bahan ajar dan tugas sekolah

yang tepat, keterampilan fungsional, integrasi kegiatan di kelas

dan waktu luang mempengaruhi kualitas hidup (Renwick dan

Friefeld, 1996 dalam Raudatussalamah dan Fitri, 2012). Dapat

disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

antara lain kesejahteraan kesehatan tubuh, kepatuhan minum

obat dan terapi farmakologi dan non farmakologis, domain

fisik, domain mental, kompetensi diri dan optimism. Faktor

ekternal antara lain hubugan sosial, pekerjaan dan matrial.

c. Pengukuran kualitas hidup


Menurut Gayatt dan Jaescke, kualitas hidup dapat diukur

dengan menggunakan instrument pengukuran kualitas hidup yang telah

diuji dengan baik. Dalam mengukur kualitas hidup yang berhubungan

dengan kesehatan semua ranah akan diukur dalam dua dimensi yaitu

penilaian obyektif dari fungsional atau status kesehatan dan persepsi

sehat yang lebih subyektif. Walaupun dimensi obyektif penting untuk

menentukan derajat kesehatan, tetapi persepsi subyektif dan harapan

membuat penilaian obyektif menjadi kualitas hidup yang baik perlu

memiliki konsep, cakupan, reabilitas, validitas dan sensitivitas yang

baik pula.

Instrument untuk mengukur kualitas hidup dalam bentuk

kuesioner dapat dibagi menjadi 2 kategori:

1) Instrumen umum (generic instrument) Instrumen umum ialah

instrument yang dapat dipakai untuk mengukur kualitas hidup

secara umum pada penderita dengan penyakit kronik.Instrument ini

digunakan untuk menilai secara umum mengenai kemampuan

fungsional, ketidakmampuan dan kekuatiran yang timbul akibat

penyakit yang diderita. Contoh : World Healh Organization Qulity

of Life group (WHOQOL), Short Form-36 (SF-36), EuroQOL- 5

Dimension (EQ-5D)

2) Instrumen khusus (specific instrument) Instrumen khusus adalah

instrument yang dipakai untuk mengukur sesuatu yang khusus dari

penyakit, populasi tertentu (misalnya pada orang tua) atau fungsi

yang khusus (misalnya fungsi emosional), contoh: Quality of Life

Scale (QLS), Quality of Life Interview (QoLI), Lancashire Quality

of Life Profile (Lqo3LP), Prsonal Evaluation of Transisitios in


treatment (PETIT), Quality of Life Questionnaire in Schizophernia

(S-QoL).

d. Dampak hemodialisis terhadap kualitas hidup

Tindakan hemodialisis sangat erat hubungannya dengan kualitas

hidup pasien, dimana kualitas hidup meliputi 4 aspek yaitu aspek fisik,

psikologis, sosial dan lingkungan.

1) Hubungan sociodemografi pasien Gagal Ginjal Kronik dengan

kualitas hidup

a) Usia

Usia pasien yang ditemukan sudah lanjut atau 45 keatas

dikaitkan dengan risiko penurunan fungsi ginjal. Terjadi

perubahan fungsi ginjal seiring dengan bertambahnya usia

sesudah usia 40 tahun dan terjadi penurunan GFR secara

progresif hingga usia 70 tahun kurang lebih sekitar 50 % dari

normal (Smeltzer et al., 2008).Dengan adanya penuaan, ginjal

menjadi berkurang kemampuannya dalam merespon perubahan

cairan dan elektrolit yang akut.

Menurut IRR (2014), terdapat perbedaan ketahanan hidup

antara umur ≤ 50 tahun dan > 50 tahun. Beradasarkan hasil

analisis cox regression menunjukan orang dengan initial

hemodialisis umur >50 tahun 1,2 kali cepat meninggal

dibandingkan dengan umur ≤ 50 tahun.

Siagian (2001) menyatakan bahwa umur berkaitan erat

dengan tingkat kedewasaan atau maturitas, yang berarti bahwa

semakin meningkat umur seseorang, akan semakin meningkat

pula kedewasaannya atau kematangannya baik secara teknis,

psikologis maupun spiritual, serta akan semakin mampu


melaksanakan tugasnya. Umur yang semakin meningkat akan

meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam mengambil

keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi, toleran dan

semakin terbuka terhadap pandangan orang lain termasuk pula

keputusannya untuk mengikuti program-program terapi yang

berdampak pada kesehatannya.

b) Pendidikan

Pendidikan dianggap sebagai salah satu faktor yang

berhubungan dengan kualitas hidup. Dogan et al (2008)

menyebutkan bahwa risiko komplikasi penyakit ginjal banyak

terjadi pada pasien yang mempunyai pendidikan rendah. Hal

ini senada dengan yang disampaikan oleh Notoadmojo (2007)

bahwa pendidikan menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi perilaku langsung terhadap kesehatan.

Azwar (2005) mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang maka dia akan cenderung untuk

berperilaku positif karena pendidikan yang diperoleh dapat

meletakkan dasar-dasar pengertian (pemahaman) dan perilaku

dalam diri seseorang.

Hasil penelitian Theofilou P (2013) yang menyelidiki

hubungan kualitas hidup untuk variabel sociodemographic

(jenis kelamin, usia, pendidikan, status perkawinan) serta

variabel klinis (kesehatan mental yang dilaporkan sendiri,

depresi dan kecemasan) pada ESRD ditemukan bahwa umur

memiliki efek pada domain fisik dan sosial kualitas hidup.

Namun, pendidikan tidak mempengaruhi semua aspek pada

komponen kualitas hidup.


c) Pekerjaan

Individu yang harus menjalani hemodialisis sering merasa

khawatir akan kondisi sakitnya yang tidak dapat diramalkan

dan gangguan dalam kehidupannya (Smeltzer et al., 2008),

biasanya pasien akan mengalami masalah keuangan dan

kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan. Penelitian yang

dilakukan Asri et al. (2006) mengatakan bahwa 2/3 pasien yang

mendapat terapi dialisis tidak pernah kembali pada aktifitas

atau pekerjaan seperti sediakala sehingga banyak pasien

kehilangan pekerjaannya.

d) Jenis kelamin

Laki-laki memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi

daripada perempuan, karena perempuan memiliki banyak tugas

dan tanggung jawab rumah tangga di keluarga mereka daripada

pria. Perempuan tidak bisa lepas dari tanggung jawab (Seica et

al., 2009). Ekspresi ketakutan dan kesedihan adalah suatu

kondisi yang lebih umum pada perempuan dibandingkan pria.

Perempuan dalam menghadapi masalah cenderung mengalami

stres emosional, perempuan menangis jauh lebih mudah

daripada laki-laki (Peng et al., 2013). Prevalensi gangguan

psikologis seperti depresi dan kecemasan secara signifikan

lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Zender

dan Olshansky, 2009).

Kualitas hidup pada perempuan cenderung lebih buruk,

sebuah temuan dikonfirmasi dalam penelitian yang dilakukan


oleh Nurhidayah, N (2016). Perempuan yang melakukan terapi

hemodialisis umumnya memiliki kualitas hidup yang rendah

dibandingkan laki-laki yang melakukan terapi hemodialisis

(Lopes et al., 2007). Hal ini berkaitan dengan kesulitan untuk

mengatasi penyakit ginjal, perempuan lebih rentan terhadap

anemia karena siklus menstruasi, cemas dan depresi (Guerrero

et al.,2012).

2) Hubungan lama hemodialisis dengan kualitas hidup

Menurut Nurcahyati, S (2010) pasien yang belum lama

menjalani hemodialisis beresiko 2.7 kali hidupnya kurang

berkualitas dibandingkan yang sudah lama menjalani hemodialisis.

Kualitas hidup merupakan suatu perasaan subyektif yang

dimiliki oleh masing-masing individu, dimana hal ini tidak

dipengaruhi oleh faktor eksternal lain. Adapun lamanya

hemodialisis berpengaruh terhadap kualitas hidup, karena dengan

hemodialisis yang lama maka pasien akan semakin memahami

pentingnya kepatuhan pasien terhadap hemodialisis dan karena

telah merasakan manfaatnya jika menjalani hemodialisis dan

akibatnya jika tidak, sehingga hal ini mempengaruhi kualitas hidup

pasien (Nurcahyati S, 2010).

Begitu pula menurut Kamerrer et al. (2007) bahwa periode

sakit dapat mempengaruhi kepatuhan. Beberapa penyakit yang

tergolong penyakit kronik, banyak mengalami masalah kepatuhan.

Pengaruh sakit yang lama, belum lagi perubahan pola hidup yang

kompleks serta komplikasikomplikasi yang sering muncul sebagai

dampak sakit yang lama mempengaruhi bukan hanya pada fisik

pasien, namun lebih jauh emosional, psikologis dan sosial pasien.


Pada pasien hemodialisis didapatkan hasil riset yang

memperlihatkan perbedaan kepatuhan pada pasien yang sakit

kurang dari 1 tahun dengan yang lebih dari 1 tahun. Semakin lama

sakit yang diderita, maka resiko terjadi penurunan tingkat

kepatuhan semakin tinggi

3) Hubungan frekuensi hemodialisis dengan kualitas hidup.

Frekuensi dapat diartikan sebagai dosis hemodialisis setiap

minggunya, hemodialisis sekali setiap minggunya pada kondisi

stadium gagal ginjal awal dan minimal 2 kali seminggu pada

kondisi gagal ginjal stadium akhir (Smeltzer, et al., 2008). Hasil

penelitian menyimpulkan bahwa dosis/frekuensi hemodialisis 3

kali perminggu lebih direkomendasikan, adanya temuan terkait

hemodialisis harian merupakan metode yang sangat menjanjikan

untuk meningkatkan hasil dialisis dan kualitas hidup, meskipun

dampaknya terhadap kelangsungan hidup pasien belum terbukti

secara definitif (Locatelli et al., 2004).

Laporan yang dituliskan oleh Chazot dan Jean (2008)

menunjukkan bahwa terdapat efek positif pada waktu dialisis yang

dilakukan memanjang atau peningkatan frekuensi dialisis. Hal ini

diartikan sebagai kelangsungan hidup pasien menjadi lebih baik.

Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Suparti dan

Solikhah (2016) menyatakan tidak adanya perbedaan kualitas

hidup antara pasien yang frekuensinya lebih banyak dibandingkan

yang lebih sedikit dimungkinkan karena keyakinan mereka bahwa

kualitas hidup sifatnya subjektif dan tidak bergantung pada banyak

sedikitnya hemodialisa yang sudah mereka lakukan.


4) Hubungan status fungsional pasien GAGAL GINJAL KRONIK

dengan kualitas hidup

Menurut National Kidney Foundation, dalam menilai kualitas

hidup pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis

faktor yang dinilai adalah akses vaskuler, dialysis adequacy,

anemia, nutrisi, hipertensi, serta penyakit tulang (kontrol Phospat

dan Calcium).

a) Anemia

i. Definisi

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai

penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga

tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen

dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan

oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia

ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit

atau hitung eritrosit (Bakta, 2009).

The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis

Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) merekomendasikan

anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar

hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematocrit < 33%) pada wanita

premonopause dan pasien prepubertas, dan < 37%) pada

laki-laki dewasa dan wanita postmeopause. Sedangkan

berdasarkan PERNEFRI 2011, dikatakan anemia pada

penyakit ginjal kronik jika Hb ≤ 10 gr/dl dan Hematokrit ≤

30%.

ii. Etiologi anemia pada Gagal Ginjal Kronik


Anemia pada pasien Gagal Ginjal Kronik utamanya

disebabkan kurangnya produksi eritropoetin oleh karena

penyakit ginjalnya. Faktor tambahan lainnya yang

mempermudah terjadinya anemia antara lain defisiensi zat

besi, inflamasi akut maupun kronik, inhibisi pada sumsum

tulang dan pendeknya masa hidup eritrosit. Selain itu,

kondisi komorbid seperti hemoglobinopati dapat

memperburuk anemia pada pasien Gagal Ginjal Kronik

(PAPDI, 2001).

iii. Gejala anemia

Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom

anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat

mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar

hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia

setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb <

10g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat

lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-

kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada

pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat

pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan

jaringan di bawah kuku.

Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat

ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif

karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat

(Bakta, 2006).

Gejala yang lebih berat yang dapat terjadi karena

anemia pada gagal ginjal kronik adalah penyakit


kardiovaskuler dengan Left Ventriculer Hyperthropy (LVH)

dan gagal jantung kongestif yang berakibat pada morbiditas

dan mortalitas.

Penurunan oksigen di jaringan yang disebabkan karena

anemia, menstimulasi sistem Renin-Angiotensin-

Aldosterone (RAA) ginjal dan menyebabkan vasokonstriksi

pada ginjal. Faktor inilah yang dapat memperburuk kondisi

proteinuria sehingga memperburuk gagal ginjalnya.

Komplikasi lain berkaitan dengan anemia adalah

berkurangnya fungsi kognitif dan mental, melemahnya

kualitas hidup, dan memerlukan transfusi darah (Lankhorst

dan Wish, 2010).

iv. Pemeriksaan untuk diagnosis Anemia

Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal

ditanyakan tentang riwayat penyakit terdahulu,

pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan

pemeriksaan apus darah perifer (Longo et al., 2012).

v. Dampak anemia terhadap kualitas hidup

Anemia yang terjadi pada pasien Gagal Ginjal Kronik

yang sedang menjalani hemodialisis dapat menyebabkan

penurunan kualitas hidup serta meningkatkan mortalitas,

hal ini disebabkan karena anemia dapat menyebabkan

kelelahan, berkurangnya kapasitas latihan akibat kurangnya

oksigen yang dibawa ke jaringan tubuh, gangguan imunitas,

kemampuan kognitif berkurang (Clement et al., 2009).

Finklestein et al. (2009) melakukan penelitian tentang


hubungan kadar Hb dengan kualitas hidup dan didapatkan

hasil bahwa kadar Hb berhubungan dengan kualitas hidup.

Pada penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa

peningkatan kadar Hb dapat meningkatkan secara

signifikan kualitas hidup dimensi kesehatan fisik dan

kesehatan secara umum. Penelitian yang lain juga

mendukung dilakukan oleh Astrini (2013) yang

mendapatkan hasil bahwa kadar Hb berhubungan dengan

kualitas hidup.

b) Hipertensi

i. Definisi

Menurut the Seventh Report of The Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation and

Treatment of High Blood Pressure (JNC7) definisi

hipertensi adalah jika TD dewasa memiliki sistolik >140

mmHg dan diastolik >90 mmHg. Dan menurut JNC 8 tahun

2014, target tekanan darah pada pasien GAGAL GINJAL

KRONIK dengan atau tanpa diabetes adalah sistolik

ii. Hubungan hipertensi dengan kualitas hidup

Dari penelitian yang dilakukan oleh Nurcahyati, S

(2010) disimpulkan bahwa pada penderita hipertensi

memiliki resiko 4.6 kali hidupnya kurang berkualitas

dibandingkan dengan yang tidak mengalami hipertensi.

Soni et al. (2010) dalam penelitiannya mengemukakan

bahwa terdapat hubungan antara hipertensi dengan kualitas

hidup yang rendah, sebagian besar pada domain fungsi

kesehatan fisik. Mekanisme ini tidak diketahui secara pasti,


diperkirakan akibat dari pengaruh komplikasi hipertensi.

Hal sama juga dikemukakan dalam penelitian Lash et al.

(2005), dilakukan 1094 responden dengan hipertensi

dikontrol menggunakan obat antihipertensi. Didapatkan

hasil penelitian adalah terdapat hubungan antara tekanan

darah dan kualitas hidup pasien, terutama pada aspek

kesehatan fisik dan mental.

c) Akses vaskuler

Akses vaskuler merupakan jalan untuk memudahkan

mengeluarkan darah yang diperlukan dari pembuluhnya, dapat

berupa: sejenis alat yang memiliki saluran/kanul yang

dimasukkan kedalam lumen pembuluh darah agar dapat

dimasukkan ke dalam dialisator (Maleta et al., 2012).

Akses vaskuler yang paling sering digunakan adalah

arteriovenous (AV) fistula yang dibuat dari anastomosis antara

arteri dan vena menggunakan teknik side to side maupun end to

end. Ada 3 tipe dari AV fistula ini yaitu radiocephalic,

brachiocephalic, dan brachiobacillic (Scwhab, 1999).

Dalam penelitian Wasse et al. (2007) didapatkan adanya

hubungan antara akses vaskuler (pada pasien yang

menggunakan AVF = Arteriovenosus Fistula) dengan kualitas

hidup pada pasien yang menjalani hemodialisis.

e. Penilaian Kualitas Hidup

Dalam menilai kualitas hidup pasien perlu diperhatikan

beberapa hal yaitu kualitas hidup tersebut terdiri dari beberapa

dimensi/ aspek penilaian. Alat ukur untuk menilai kualitas hidup telah

banyak dikembangkan oleh para ilmuwan yang digunakan untuk


mengukur kualitas hidup pasien-pasien yang menderita penyakit

kronik, salah satunya adalah WHOQOL-BREF yang berisi 26 buah

pertanyaan (pertanyaan nomor 1 dan 2 tidak dihitung), terdiri dari 5

skala poin. Pada tiap pertanyaan jawaban poin terrendah adalah

1=sangat tidak memuaskan, sampai dengan 5=sangat memuaskan,

kecuali untuk pertanyaan nomer 3, 4, dan 26 karena pertanyaan

bersifat negatif, maka memiliki jawaban dimulai dari skor 5=sangat

memuaskan hingga skor 1=sangat tidak memuaskan. Skor yang

diperoleh adalah 0- 100 dan kemudian dihitung dengan rumus (WHO,

1996). Domain dan aspek dalam WHOQOL-BREF menurut WHO

adalah sebagai berikut:

Tabel 6
Domain dan Aspek yang Dinilai dalam WHOQOL-BREF

Domain Aspek yang dinilai


Kesehatan fisik Nyeri dan ketidaknyamanan
Ketergantungan pada perawatan medis
Energi dan kelelahan
Mobilitas
Tidur dan istirahat
Aktivitas sehari-hari
Kapasitas kerja
Kesehatan psikologis Afek positif
Spiritual / agama / kepercayaan
Berpikir, belajar, memori, dan konsentrasi
Body image dan penampakan
Harga diri
Afek negatif
Hubungan sosial Hubungan personal
Aktivitas seksual
Dukungan sosial
Lingkungan Keamanan fisik
Lingkungan fisik (polusi, suara, lalu lintas,
iklim)
Sumber keuangan
Peluang untuk mendapatkan informasi dan
keterampilan
Partisipasi dan kesempatan untuk
rekreasi/waktu luang
Lingkungan rumah
Perawatan kesehatan dan social;
kemampuan akses dan kualitas
Transportasi
Sumber : World Health Organization (1996)

Tabel 7
Penghitungan Skor Kualitas Hidup WHOQOL-BREF

Domain Penghitungan Raw Score


Fisik (6-Q3)+(6-Q4)+Q10+Q15+Q16+Q17+Q18 (7-35)
Psikologis Q5+Q6+Q7+Q11+Q19+(6-Q26) (6-30)
Hubungan social Q20+Q21+Q22 (3-15)
Lingkungan Q8+Q9+Q12+Q13+Q14+Q23+Q24+Q25 (8-40)
Sumber : World Health Organization (1996)

Skor tiap domain yang didapat dari alat ukur WHOQOL – BREF (raw

score) harus ditranformasikan sehingga nilai skor dari alat ukur ini

dapat dibandingkan dengan nilai skor yang digunakan dalam alat ukur

WHOQOL – 100 (WHO Groups, 1996).

(Actual Raw Score – Lowest possible raw score)


Tranformed Scale = x 100
Possible raw core range

B. Kerangka Teori

Gagal Ginjal Kronis

Penurunan fungsi
Ginjal Aspek Fisik
Aspek Psikologis

Terapi Kualitas Hidup


Hemodialisa Aspek Sosial

Aspek
Lingkungan

Gambar 1: Kerangka Konsep


Sumber: WHO 2012

C. Kerangka Pikir

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Demografi:
 Jenis Kelamin
 Umur
 Pendidikan
 Pekerjaan

Status Fungsional:
 Anemia
 Akses Vaskuler Kualitas Hidup
 Hipertensi

Lama
HEMODIALISIS

Frekuensi
HEMODIALISIS
Gambar 2: Kerangka Konsep
D. Hipotesis

Berdasarkan rumusan tujuan dan pertanyaan penelitian, maka dapat

dirumuskan penelitian ini hipotesisnya adalah:

1. Ada hubungan antara faktor demografi: jenis kelamin dengan kualitas

hidup pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD

Merauke.

2. Ada hubungan antara faktor demografi: umur dengan kualitas hidup pasien

Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Merauke.

3. Ada hubungan antara faktor demografi: pendidikan dengan kualitas hidup

pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD

Merauke.

4. Ada hubungan antara faktor demografi: pekerjaan dengan kualitas hidup

pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD

Merauke.

5. Ada hubungan antara lama hemodialisa dengan kualitas hidup pasien

Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Merauke.

6. Ada hubungan antara frekuensi hemodialisa dengan kualitas hidup pasien

Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Merauke.

7. Ada hubungan antara status fungsional: anemia dengan kualitas hidup

pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD

Merauke.

8. Ada hubungan antara status fungsional: Hipertensi (Tekanan Darah)

dengan kualitas hidup pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani

hemodialisa di RSUD Merauke.


9. Ada hubungan antara status fungsional: akses vaskuler dengan kualitas

hidup pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD

Merauke.

E. Sintesa Penelitian Sebelumnya

Tabel 6
Keaslian Penelitian
Peneliti/Tahun Judul Metode Hasil
Penelitian
Putri/2014 Gambaran Penelitian ini Pada penelitian ini
kualitas hidup adalah didapatkan sebanyak
pasien gagal penelitian 76,59% pasien gagal
ginjal kronik deskriptif ginjal kronik yang
yang menjalani dengan menjalani terapi CAPD
terapi pendekatan memiiki kualitas hidup
Continuous cross sectional. yang baik dan sebanyak
Ambulatory Metode 23,40% termasuk
Peritoneal penelitiannya kedalam kategori
Dialysis di menggunakan kualitas hidup yang
RSUD Arifin metode survey buruk.
Achmad dengan
provinsi Riau menggunakan
kuesioner
KDQOL-SFTM
Supriyadi/2011 Tingkat kualitas Penelitian ini Ada perbedaan tingkat
hidup pasien menggunakan kualitas hidup pasien
gagal ginjal desain quasi GGK pada dimensi
kronik terapi eksperimen fisik sebelum dan
hemodialisis dengan sesudah
pendekatan one HEMODIALISIS
grup pre-post dengan nilai P=0,0001
test design. (<0,05).
Dengan Ada perbedaan kualitas
kuesioner jidup pasien GGK pada
WHOQoL- dimensi psikologis
BREF sebelum dan sesudah
HEMODIALISIS
p=0,0001(<0,05)
kualitas hidup pasien
GGK pada dimensi
lingkungan sebelum
dan sesudah
HEMODIALISIS
p=0,0001(<0,05)
Wurara/2013 Mekanisme Penelitian ini Responden yang
koping pada adalah melakukan mekanisme
pasien penyakit penelitian koping maladaptif lebih
ginjal kronik deskriptif banyak dibandingkan
yang Menjalani dengan metode mekanisme koping
terapi penelitian adaptif.
hemodialisis Aksidental
dirumah sakit sampling,
Elvira/2016 Hubungan Desain Mekanisme koping
tingkat depresi penelitian yang pasien PGK terbanyak
dengan digunakan adalah mekanisme
mekanisme adalah analitik koping adaptif
koping pasien korelasi dengan sebanyak 57 orang
gagal ginjal pendekatan (81,4%), sedangkan
kronik yang cross sectional. mekanisme koping
menjalani maladaptive sebanyak
hemodialisis di 13 orang (18,6%)
rs pku
muhammadiyah
ii Yogyakarta

Perbedaan antara penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dan

penelitian yang sudah ada adalah variable bebas, variable terikat, papulasi,

waktu, tempat penelitian dan jenis penelitian. Variabel bebas penelitian ini

adalah mekanisme koping, variabel terikatnya adalah kualitas hidup. Populasi

penelitian ini adalah pasien hemodialisis dan jenis penelitian adalah deskriptif

dengan tehnik pengumpulan datanya menggunakan kuesioner.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross

sectional. Menurut Notoatmodjo (2012), cross sectional merupakan jenis


penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel bebas

dan tergantung hanya satu kali pada satu saat. Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain.

Pada penelitian ini, peneliti akan menilai kualitas hidup pasien Gagal Ginjal

Kronik yang menjalani hemodialisis berdasarkan usia, tingkat pendidikan,

jenis kelamin, lama hemodialisis, frekuensi hemodialisis, anemia, hipertensi,

dan akses vaskuler di Rumah Sakit Umum Merauke menggunakan kuesioner

WHOQoL-BREF.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Nursalam (2013), yang di maksud dengan populasi adalah

subjek yang memenuhi kriteria yang telah di tetapkan. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani

hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah Merauke.

2. Sampel

Teknik sampling dari penelitian ini adalah consecutive / purposive

sampling dari populasi penelitian yang menjalani hemodialisis reguler

Rumah Sakit Umum Daerah Merauke. Seluruh penderita Gagal Ginjal

Kronik yang menjalani hemodialisa reguler di Rumah Sakit Umum Daerah

Merauke pada bulan Januari sampai Juni yang memenuhi kriteria inklusi

dan tidak memenuhi kriteria eksklusi, dipilih sebagai sampel penelitian.

a. Kriteria Inklusi

1) Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodilisis

2) Melakukan hemodialysis secara regular sebanyak 2 kali seminggu.

3) Bersedia Menjadi responden.

4) Tidak mengalami gangguan mental.

b. Kriteria Ekslusi
1) Melewatkan (skipping) dari jadwal yang ditentukan.

2) Pasien yang baru menjalani hemodialysis dan belum pernah

dilakukan pemeriksaan laboratorium selama menjalani

hemodialysis.

3) Tidak bersedia menjadi responden.

C. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilakukan di unit hemodialisis Rumah Sakit Umum

Daerah Merauke. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli sampai

November 2021.

D. Variabel Penelitian

Menurut Nursalam (2013), variabel adalah perilaku atau karakteristik

yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia, dan lain-lain).

Dalam riset, variabel dikarakteristikkan sebagai derajat, jumlah, dan

perbedaan. Variabel juga merupakan konsep dari berbagai level abstrak yang

didefinisikan sebagai suatu fasilitas untuk pengukuran atau manipulasi suatu

penelitian. Variabel yang di ambil dalam penelitian ini adalah:

1) Variabel Dependen

Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel yang nilainya

ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2008). Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah kualitas hidup pasien Gagal Ginjal Kronik yang

menjalani hemodialisis.

2) Variabel Independen

Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang

nilainya menentukan variabel lain. Dalam ilmu keperawatan, variabel


bebas biasanya merupakan stimulus atau intervensi keperawatan yang

diberikan kepada klien untuk mempengaruhi tingkah laku klien

(Nursalam, 2008). Variabel independen dalam penelitian ini adalah usia,

tingkat pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, lama hemodialisis, frekuensi

hemodialisis, anemia, hipertensi, dan akses vaskuler.

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Tabel
Definisi Operasional dan Variabel Penitian

Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur
Variabel Independen
Jenis Penggolongan Menggunakan 1= Laki-laki Nominal
Kelamin responden kuisioner yang 2= Perempuan
yang terdiri diisi langsung oleh
dari laki-laki responden.
dan
perempuan
Pendidika Tingkat Menggunakan 1= Pendidikan rendah (SD Ordinal
n pendidikan kuesioner yang dan SMP)
formal yang diisi langsung oleh 2= Pendidikan tinggi (SMA
telah dilalui pasien. dan Perguruan Tinggi)
pasien
hemodialisis.
Pekerjaan Kegiatan yang Menggunakan 1= Tidak bekerja (jika Ordinal
dilakukan kuesioner yang pasien tidak melakukan
pasien sehari- diisi langsung oleh kegiatan secara aktif untuk
hari. pasien. mencari nafkah, contoh
nonton tv, duduk- duduk,
dsb)
2= Bekerja (jika pasien
melakukan kegiatan tertentu
yang menghasilkan nafkah,
seperti mengerjakan
pekerjaan kantor,
berdagang, dll)
Umur Usia yang Menggunakan 1= Muda (< 45 tahun) Ordinal
telah dilalui kuesioner yang 2= Tua (≥ 45 tahun)
pasien diisi langsung oleh
hemodialisis pasien.
sejak lahir
sampai
penelitian ini
dilakukan.
Lama Jumlah waktu Menggunakan 1= Belum lama (< 11 bulan) Ordinal
Hemodiali (lama) pasien kuesioner yang 2= Lama (≥ 11 bulan)
sis telah diisi langsung oleh
menjalani pasien
hemodialisis
dalam bulan
Frekuensi Jumlah Menggunakan 1= Sering (2 sampai 3 kali Ordinal
Hemodiali kunjungan kuesioner yang seminggu)
sis pasien diisi langsung oleh 2= Jarang (< 2 kali
GAGAL pasien seminggu)
GINJAL
KRONIK ke
unit
hemodialisis
tiap minggu
Kadar Hb Konsentrasi Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Ordinal
Hb yang laboratorium laboratorium darah dalam
terdapat dengan mengambil satuan gram/dl dengan hasil
dalam darah spesimen darah 1= anemia (Hb < 11 g/dl)
responden intravena 2= atau tidak anemia (Hb >
HEMODIALI diperoleh dari 11g/dl)
SIS, rekam medik di
dinyatakan RS.
dalam mg/dl.
Tekanan Tekanan yang Menggunakan alat Hasil pemeriksaan tekanan Ordinal
Darah ditimbulkan ukur darah yang menunjukkan
pada dinding spigmomanometer, angka sistolik dan diastolik
arteri diukur pada arteri dengan:
(Sistolik=saat brachialis 1= hipertensi (≥
kontraksi dekstra/sinistra, 140/90mmHg)
ventrikel, berlawanan tempat 2= non hipertensi (TD <
Diastolik=saat dengan AVF. 140/90 mmHg)
jantung
relaksasi)
Akses Jenis akses Dengan 1 = Tidak menggunakan Nominal
vaskuler vaskuler yang mengamati jenis AVF (Non AVF)
digunakan akses vaskuler 2 = Menggunakan AVF
responden yang digunakan
untuk responden saat
disambungkan HEMODIALISIS
ke mesin atau dari rekam
HEMODIALI medik pasien.
SIS
Variabel Dependen
Kualitas Kualitas Kuesioner kualitas Hasil skor responden Ordinal
Hidup hidup pasien hidup WHOQoL- distribusi data tidak normal,
yang BREF, terdiri 26 sehingga menentukan
menjalani pertanyaan dengan kualitas hidup digunakan
hemodialisis, skor 1 (sangat nilai median = 50
meliputi buruk) sampai skor 1= Kurang berkualitas, < 50
domain fisik, 5 (sangat baik), 2= Berkualitas baik, ≥ 50
psikologis, yang terdiri dari 4
hubungan domain.
sosial, dan Pertanyaan 1 dan 2
lingkungan. tidak dihitung skor
karena merupakan
pertanyaan umum.
Skor total 0-100.

F. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Data primer diperoleh dari kuesioner yaitu skor kualitas hidup dengan

Kuesioner WHOQoL untuk mengukur kualitas hidup pasien, meliputi 4

domain, yaitu; fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan.

Data Sekunder diperoleh dari RSUD Merauke yang bersumber dari

catatan medik dan register harian bagian hemodialisis, yaitu lama pasien

menjalani hemodialisis, umur, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan

dan sosial ekonomi.

G. Instrumen dan Bahan Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat bantu yang digunakan peneliti untuk

kegiatan pengumpulan data, agar kegiatan menjadi sistematis dan mudah.

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner adalah

tehnik pengumpulan data dengan cara memberikan pertanyaan tertulis kepada

responden untuk dijawab (Sugiyono, 2018).

Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner dan

buku catatan kunjungan hemodialisis pasien. Kuesioner ini diisi oleh subjek

yaitu pasien gagal ginjal kronik yang menjalani rawat jalan.Cara pengumpulan

data dengan menyebarkan kuesioner yang telah disediakan, sedangkan buku

catatan kunjungan hemodialisis pasien untuk mengetahui jadwal hemodialisis

pasien, kepatuhan pasien dalam melakukan hemodialisis sesuai jadwal.

Instrumen penelitian yang digunakan ini untuk mengetahui kepatuhan

pasien dan kualitas hidup pasien dalam melaksanakan program hemodialisis

pada pasien gagal ginjal kronik di Ruang Hemodialisa RSUD


Merauke.Instrumen penelitian ini dibuat oleh peneliti berdasarkan teori-teori

yang sudah ada meliputi : Kuesioner kualitas hidup dalam menjalankan

hemodialisis ini mengadobsi dari parameter kuesioner WHOQOL-BREF.

Kuesioner WHOQoL untuk mengukur kualitas hidup pasien, meliputi 4

domain, yaitu; fisik, psikologis, hubungan sosial dan lingkungan.

H. Uji Validitas dan Reabilitas

Kuesioner penilaian kualitas hidup (WHOQOL) telah dilakuakn uji

validitas dan reabilitas. Hasil uji validitas dilakukan dengan membandingkan

nilai r hitung dengan nilai r tabel. Nilau r > 0,361 sehingga semua item

pertanyaan dinyatakan valid. Untuk uji reabilitas dengan menggunakan Alpha

Cronbach dan didapatkan nilai Alpha 0,951 yang lebih besar dari nilai r tabel

(0,361), sehingga semua item pertanyaan dinyatakan reliable.

I. Prosedur Penelitian

1. Tahap persiapan

Pada tahap persiapan penelitian, dilakukan kegiatan sebagai berikut :

a. Peneliti menyusun proposal penelitian.

b. Peneliti mengajukan proposal kepada pembimbing.

c. Peneliti mengusulkan perizinan berupa izin etik penelitian dan

perizinan pengambilan sampel penelitian di lokasi pengambilan

sampel.

d. Peneliti mempersiapkan instrumen penelitian untuk pengambilan

sampel penelitian.

e. Peneliti mempersiapkan alat yang akan digunakan dalam analisis

sampel penelitian
2. Tahap pelaksanaan

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai

berikut:

a. Peneliti mengunjungi rumah sakit yang telah ditentukan.

b. Peneliti menemui kepala ruangan instalasi hemodialisa untuk

menginformasikan kepada calon responden, serta pengambilan

data primer dan sekunder.

c. Peneliti mengidentifikasi responden berdasarkan kriteria inklusi

dan eksklusi yang telah ditentukan.

d. Peneliti menemui dan memperkenalkan diri serta menjelaskan

tujuan penelitian dan melakukakan informed consent pada

responden dan keluarga.

e. Peneliti membagikan kuesioner kualitas hidup yang diisi langsung

oleh responden, mengingatkan agar semua pertanyaan diisi dengan

lengkap. Jika ada pertanyaan yang kurang dimengerti, maka

responden dapat menanyakan langsung kepada peneliti. Setelah

selesai, kuesioner langsung dikembalikan kepada peneliti. Jika

kuesioner tidak terisi lengkap maka peneliti meminta kepada

responden untuk melengkapi jawaban yang belum terisi.

f. Peneliti mengumpulkan kuesioner yang telah diisi.

g. Peneliti mencocokkan data kuesioner dengan data dari buku

register hemodialisis dan rekam medis pasien

3. Tahap pelaporan

Pada tahap pelaporan penelitian, dilakukan kegiatan sebagai berikut :

a. Peneliti mengumpulkan data dari hasil kuesioner.

b. Peneliti melakukan pengolahan dan penyajian data hasil penelitian.


c. Peneliti melakukan evaluasi dan pembahasan hasil data penelitian

bersama pembimbing.

d. Peneliti melakukan penarikan kesimpulan dan saran dari penelitian.

e. Peneliti menyusun laporan penelitian.

f. Peneliti mencetak hasil penelitian.

g. Peneliti membuat publikasi penelitian.

J. Manajemen Data

1. Cara pengumpulan Data

Berdasarkan cara memperoleh data, jenis data yang dikumpulkan

pada penelitian ini Padalah data primer dan sekunder, yaitu berupa

kuesioner kualitas hidup yang diisi oleh pasien dan catatan kunjungan

pasien hemodialisis (buku register) serta rekam medis pasien Gagal Ginjal

Kronik yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Umum Daerah

Merauke.

2. Pengolahan dan Penyajian Data

a. Pengolahan Data

Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

bantuan komputer memakai program software IBM SPSS Statistik 21.

b. Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini meliputi analisis univariat dan

bivariat. Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan

distribusi dari masing-masing variabel yang diteliti. Analisis univariat

untuk data kategorik seperti usia, pendidikan, lama hemodialisa, dan

frekuensi hemodialisa dijelaskan dengan ukuran persentase.


Tujuan analisis bivariat adalah untuk melihat hubungan antara

variabel yaitu hubungan variabel independen (faktor demografi, lama

hemodialisa, frekuensi hemodialisa, kadar Hb, tekanan darah, dan

akses vaskuler) dengan variabel dependen (kualitas hidup).

Analisa statistik digunakan untuk data kategorikal dengan uji chi-

square, dikatakan bermakna bila nilai p adalah

c. Penyajian Data

Data yang telah diolah, disajikan dalam bentuk tabel distribusi disertai

penjelasan yang disusun dalam bentuk narasi.

K. Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan izin dari Direktur Rumah

Sakit Umum Daerah Merauke. Sebagai pertimbangan etik peneliti

meyakinkan bahwa responden terlindungi hak-haknya dengan memperhatikan

aspek-aspek berikut:

1. Right of Self Determination

Peneliti menghargai otonomi pasien dengan memberi kebebasan

untuk menentukan berpartisipaso ataupun tidak dalam penelitian ini.

Pasien tidak dimanipulasi oleh dokter ataupun perawat di ruang

Hemodialisa RSUD Merauke agar bersedia menjadi responden. Sebelum

menandatangani persetujuan untuk mengikuti penelitian, responden telah

mendapatkan penjelasan tentang tujuan, manfaat dan peran responden

dalam penelitian ini. Responden juga diberi kebebasan untuk

mengundurkan diri pada saat penelitian jika responden menghendaki. Saat

penelitian ini dilakukan, seluruh responden tidak ada yang drop out atau

mengundurkan diri sebagai responden penelitian.

2. Right to privacy and dignity


Selama pengumpulan data berlangsung peneliti tetap menjaga

kerahasiaan semua informasi yang telah diberikan oleh pasien sebagai

responden dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Informasi

didapatkan dalam penelitian ini hanya digunakan untuk keperluan

penelitian dan analisa data, setelah semua penelitian berakhir maka seluruh

catatan atau data responden disimpan sebagai dokumentasi.

3. Right to anonymity and confidentiality

Peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden dengan tidak

menulisakn nama sebenarnya pada lembar kuesioner kualitas hidup, tetapi

dengan kode responden. Pada penelitian ini kode responden dengan

menggunakan angka mulai dari angka 01 sampai dengan ….. Sedangkan

untuk mempertahankan prinsip kerahasiaan data responden dengan cara

menyimpan data responden sebagai dokumentasi penelitian.

4. Protection from discomfort and harm

Responden bebas dari rasa tidak nyaman. Sebelum penelitian

berlangsung, peneliti menekankan kepada responden bahwa apabila

selama penelitian responden merasa tidak aman dan tidak nyaman

sehingga dapat menimbulkan masalah psikologis, maka responden dapat

mengajukan pilihan menghentikan penelitian atau tetap meneruskan

namun dengan bimbingan konselor. Untuk menjaga kenyamanan

responden, maka pengisian kuesioner dilakukan pada saat jam pertama

pasien dilakukan Hemodialisa., karena biasanya setelah jam pertama

pasien sudah mengeluh mual, ingin muntah, dan pusing. Kuesioner berisi

26 pertanyaan tentang kualitas hidup WHOQoL, maka hanya dibutuhkan

waktu maksimal 30 menit sehingga diperkirakan tidak akan menggangu

kenyamanan pasien selama hemodihemodialysis penelitian berlangsung


peneliti tetap melakukan observasi terhadap kondisi pasien dan menjaga

keamanan pasien.

5. Informed consent

Perhatian besar dalam penelitian ini adalah perlindungan hak-hak

pasien untuk mengambil keputusan sendiri yang dijamin oleh formulir

persetujuan. Sebelum menyatakan bersedia menjadi responden, pasien

terlebih dahulu diberikan informasi tentang tujuan penelitian, manfaat dan

cara pengisian kuesioner oleh peneliti dan kemudian responden yang

bersedia ikut serta dalam penelitian ini diminta untuk menandatangai

lembar persetujuan menjadi subjek penelitian.

Anda mungkin juga menyukai