Anda di halaman 1dari 15

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Disusun oleh :
Tittania Safitri Krisanda 1102015240

Pembimbing :
dr. Donny Gustiawan, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT


UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI PERIODE 15
MARET – 25 APRIL 2021
BAB I PENDAHULUAN

Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk membuang sampah
metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk urin, yang kemudian dikeluarkan dari tubuh.
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah.
Dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif.
Gagal Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease) adalah keadaan terjadinya penurunan
fungsi ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan (menaun) disebabkan oleh berbagai
penyakit ginjal. Penyakit ini bersifat progresif dan umumnya tidak dapat pulih kembali
(irreversible). Gagal ginjal kronik secara progresif kehilangan fungsi ginjal nefronnya satu
persatu yang secara bertahap menurunkan keseluruhan fungsi ginjal.
BAB II

CHRONIC KIDNEY INJURY

2.1 Definisi
Gagal Ginjal Kronik adalah suatu keadaan terjadinya kerusakan ginjal atau laju filtrasi
glomerulus / glomerular filtration rate (LFG/GFR) <60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau
lebih. Penurunan fungsi ginjal terjadi secara berangsur-angsur dan irreversible yang akan
berkembang terus menjadi gagal ginjal terminal.

Kriteria Gagal Ginjal Kronik :

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR), dengan
manifestasi :
a. Kelainan Patologis
b. Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,


dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

2.2 Epidemiologi

Pada tahun 2013, sebanyak 2 per 1000 penduduk atau 499.800 penduduk Indonesia
menderita Penyakit Gagal Ginjal. Prevalensi gagal ginjal pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan (0,2%). Berdasarkan karakteristik umur prevalensi tertinggi
pada kategori usia diatas 75 tahun (0,6%), dimana mulai terjadi peningkatan pada usia 35
tahun ke atas (Riskesdas, 2013). Di Indonesia, pada tahun 2013, angka insiden CKD stadium
akhir yang mendapat terapi ialah sebesar 208 per 1 juta populasi. Angka insidennya cenderung
meningkat dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.

2.3 Etiologi

Etiologi penyakit ginjal kronis sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel..
menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat.
Tabel 1. Penyebab Utama Gagal Ginjal Kronik di Amerika Serikat (1995-1999)
Penyebab Insiden
Diabetes Melitus Tipe 1 7%
Diabetes Melitus Tipe 2 37%
Hipertensi dengan penyakit pembuluh darah 27%
besar
Glomerulonefritis 10%
Nefritis Interstisial 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit Sistemik 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat
atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai
berikut :
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik katas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG  ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG  sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG  berat 15-29
5 Gagal Ginjal < 15 atau dialisis
2.5 Pafisiologi
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sclerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktifitas renin-angiotensin-
aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sclerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-
aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth
factor 𝛽 (TGF- 𝛽).
Pada stadium paling dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan mana basal GFR masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada GFR sebesar
30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada GFR dibawah 30% pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperi infeksi saluran kemih,
infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hypervolemia, gangguan keseimbangan air seperti
hipo atau hypervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan
kalium. Pada GFR di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement
Therapy/RRT) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
2.6 Diagnosis
Anamnesis

1. Riwayat Hipertensi, Diabetes Mellitus, Infeksi Saluran Kemih, batu saluran kemih,
hiperurisemia, lupus
2. Riwayat hipertensi dalam kehamilan (pre-eklamsi, abortus spontan)
3. Riwayat konsumsi obat NSAID, penisilamin, antimikroba, kemoterapi, antiretroviral,
proton pump inhibitors, paparan zat kontras
4. Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, mual,
muntah, nocturia, sendawa, edema perifer, neuropati perifer, pruritus, kram otot, kejang
sampai koma
5. Riwayat penyakit ginjal pada keluarga

Manifestasi klinis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:


1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemia, SLE, dll.
2. Sindroma Uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan ( volume overload ), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
3. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
klorida)
Pemeriksaan Fisik
1. Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ : funduskopi,
pemeriksaan pre-kordial (heaving ventrikel kiri, bunyi jantung IV)
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, polineuropati
3. Gangguan endokrin – metabolik : amenorrhea, malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual
4. Gangguan saluran cerna : anoreksia, mual, muntah, nafas bau urin (uremic fetor),
dysgeusia (metallic taste), konstipasi
5. Gangguan neuromuscular : letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus, fasikulasi
otot, restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma
6. Gangguan dermatologis : palor, hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis, uremic frost,
nephrogenic fibrosing dermopathy.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG/GFR yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft – Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isosteinuria.

2. Gambaran Radiologis
Gambaran radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak.
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
3. Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjalan bila ada indikasi

3. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana didiagnosis secara non invasive tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi
ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,
gangguan pembekuan darah, gagal napas dan obesitas.
2.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:


6. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
7. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
8. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
9. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
10. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
11. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

A. Farmakologis
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya :

Tabel 3. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai Dengan


Derajatnya
Derajat LFG Rencana Tatalaksana
2
(mlmnt/1.73m
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, komorbid, evaluasi
perburukan fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskular.
2 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal
a. Kontrol tekanan darah :
1. Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II : evaluasi
kreatinindan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin >35%
atau timbul hiperkalemi harus dihentikan
2. Penghambat kalsium
3. Diuretic
b. Pada pasien DM, kontrol gula darah : hindari pemakaian metformin dan obat-
obat sulfoniurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1
0.2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.
c. Koreksi anemia dengan target Hb 10 – 12 g/dL
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia
pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin.
Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi
besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin <10 g% atau
hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/Total Iron Binding Capacity, feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada
penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian
eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian
karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi
pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang
dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal.
d. Kontrol hiperfosfatemi : kalsium karbonat atau kalsium asetat
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan
diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi
kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar
terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor.
Asupan fosfat dibatasi 600- 800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat
yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya
malnutrisi.
b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai
adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium.
Garam- garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi
fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai
adalah kalsium karbonat (CaCo3) dan calcium acetate.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic c. agent). Akhir-
akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor
Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida.
Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan
mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang
minimal.
e. Kontrol osteodistrofi renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
sering terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3).
Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di
saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga
ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
f. Koreksi asidosis metabolic dengan target HCO3 20 – 22 mEq/l
g. Koreksi hiperkalemi
h. Kontrol dislipidemia dengan target LDL <100 mg/dl, dianjurkan golongan
statin
i. Terapi ginjal pengganti (renal replacement therapy)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik derajat
5, yaitu pada saat GFR <15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.

B. Non Farmakologis
1. Nutrisi pada pasien non dialysis dengan GFR <20 mL/menit, evaluasi
status nutrisi dari serum albumin dan berat badan actual tanpa edema.
Tabel 4. Anjuran Nutrisi Pada CKD berdasarkan GFR.

2. Protein
1. Pasien non dialysis 0.6 – 0.75 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan
CCT dan toleransi pasien
2. Pasien hemodialisis 1 – 1.2 gram/kgBB ideal/hari
3. Pasien peritoneal dialysis 1.3 gram/kgBB/hari
3. Pengaturan asupan lemak : 30 – 40% dari kalori total dan mengandung
jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
4. Pengaturan asupan karbohidrat : 50 – 60% dari kalori total
5. Natrium : <2 gram/hari (dalam bentuk garam <6 gram/hari)
6. Kalium : 40 – 70 mEq/hari
7. Fosfor : 5 – 10 mg/kgBB/hari. Pasien dengan hemodialisa : 17 mg/hari
8. Kalsium : 1400 – 1600 mg/hari (tidak melebihi 2000 mg/hari)
9. Besi : 10 – 18 mg/hari
10. Magnesium : 200 – 300 mg/hari
11. Asam folat pasien hemodialisa : 5 mg
12. Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss)

12
2.9 Prognosis

Prognosis pasien CKD berdasarkan data epidemiologi dan angka


kematian meningkat sejalan dengan fungsi ginjal yang memburuk. Penting
sekali untuk merujuk pasien CKD stadium 4 dan 5. Terlambat merujuk
(kurang dari 3 bulan sebelum terapi penggantian ginjal) berkaitan erat dengan
meningkatnya angka mortalitas setelah dialysis dimulai. Penyebab kematian
utama pada CKD adalah penyakit kardiovaskular. Dengan adanya renal
replacement therapy dapat meningkatkan angka harapan hidup pada CKD
stadium 5. Transplantasi ginjal dapat menimbulkan komplikasi akibat
pembedahan. CAPD meningkatkan angka harapan hidup dan quality of life
dibandingkan hemodialisis dan dialisis peritoneal.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Verdiansah. 2016. Pemeriksaan Fungsi.Ginjal. Rumah Sakit Hasan Sadikin.


Bandung : CDK-237/ vol. 432016.
2. M. Wilson Lorraine, Sylvia. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses
Penyakit. 6th edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Liwang. Ferry., et all. 2020. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi V.
Jakarta : Penerbit Media Aesculapius. p: 282 – 289.
4. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi
VI. Jakarta: Interna Publishing. p: 2149 – 2177.
5. PERNEFRI. 2015. Konsensus Dialisis Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Jakarta.
6. KDIGO. Clinical Practice Guideline for Chronic Kidney Disease. Official
Journal Of The International Society Of Nephrology. 2012; 2(1): p. 11.
7. Isselbacher dkk. 2012. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Alih
bahasa Asdie Ahmad H., Edisi 13, Jakarta: EGC. p: 1442 – 1450.

Anda mungkin juga menyukai