Disusun Oleh:
Pembimbing:
1
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis kronik,
akut, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit rekuren (glomerular)
Transplantasi glomerulopathy
Epidemiogi
National Institure of Diabetes and Digestive and Kidnes Diseases (NIDDK) melaporkan
bahwa 1 dari 10 orang Amerika dewasa mengalami PGK. Penyakit ginjal berada di urutan ke-9
tertinggi penyakit yang menyebabkan kematian di Amerika Serikat. Estimasi prevalensi PGK di
Amerika Serikat adalah setidaknya 6% pada populasi dewasa (derajat 1 dan 2) dan sebanyak
4,5% (derajat 3 dan 4). Menurut NIDKK, kejadian CKD pada orang berusia 20 tahun sampai
dengan 64 tahun di Amerika Serikat hanya sedikit mengalami peningkatan dari tahun 2000
sampai dengan 2008 (tetap kurang dari 0,5%). Sebaliknya kejadian pada orang berusia 65 tahun
atau lebih mengalami peningkatan hingga dua kali lipat pada tahun 2000 sampai dengan 2008,
yaitu dari 1,8% menjadi sekitar 4,3%.5,6
Prevalensi PGK Amerika Serikat meningkat secara dramatis seiring usia (4% pada usia
29 sampai dengan 39 tahun; 47% pada usia lebih dari 70 tahun), dengan pertumbuhan paling
cepat pada orang berusia 60 tahun atau lebih. Berdasarkan National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES), prevalensi PGK berdasarkan derajat adalah derajat 1 (5,7%),
derajat 2 (5,4%), derajat 3 (5,4%), derajat 4 (0,4%), derajat 5 (0,4%).5
Sebuah penelitian systematic revies dan meta-analysis melaporkan estimasi prevalensi
PGK pada populasi dunia adalah sebesar 11% sampai dengan 13%, dimana mayoritas kasus
adalah PGK derajat 3.5
Riset Kesehatan Dasar melaporkan bahwa prevalensi PGK di Indonesia berdasarkan
diagnosis dokter pada penduduk berusia lebih dari 15 tahun pada tahun 2013 adalah sebesar
0,2% dan meningkat menjadi 0,38% pada tahun 2018. Prevalensi berdasarkan usia, tertinggi
2
pada usia 65 sampai 74 tahun (0,82%). Berdasarkan jenis kelamin, lebih banyak pada laki-laki
(0,41%) dibandingkan perempuan (0,35%). Lihat Gambar 1.7
Etiologi
Etiologi PGK sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Tabel 3 dibawah
ini menunjukkan penyebab utama dan insiden PGK di Amerika Serikat, dan Tabel 4
menunjukkan penyebab gagal ginjal yang mengalami hemodialisis di Indonesia pada tahun 2000
oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI).1
3
Penyakit tidak diketahui 4%
Patogenesis
Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi
dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih adalah sama. Pengurangan
massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa
(surviving nephrons) sebagai usaha kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka
panjang renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas PGK adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.1
Pada stadium paling dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve),
pada keadaan basal LFG masih normal atau mebingkat. Kemudian, secara perlahan tetapi pasti,
akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar
4
urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien, seperti nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang dari 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperi anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan lain sebagainya. Pasien
juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi
saluran cerna. Dapat juga terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan
terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti
ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.1
Manifestasi Klinis
Pasien PGK derajat 1 sampai 3 pada umumnya asimptomatik, sehingga biasanya
diidentifikasi pada saat pemeriksaan atau skrining rutin kimia darah dan urin atau insidental.
Apabila bergejala, biasanya terdapat gross hematuria, urin berbuih (tanda albuminuria), nokturia,
nyeri pinggang, atau urine output berkurang. Pada PGK stadium lanjut, pasien mungkin
mengeluhkan adanya fatigue, nafsu makan berkurang, mual, muntah, kecap logam, penurunan
berat badan yang tidak disengaja, pruritus, gangguan tidur, kedut atau kram otot, perubahan
status mental, dyspnea, nyeri dada, atau edema perifer.8,9
Manifestasi klinis pasien PGK dapat sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti
diabetes mellitus, infeksi traktur urinarius, batu traktur urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus
eritematosus sistemik (LES), dsb, atau dapat juga muncul manifestasi sindrom uremia, yang
terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume
overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma, atau
gejala komplikasi seperti hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).1
Diagnosis
5
Selain manifestasi klinis di atas, seorang klinisi perlu menanyakan gejala tambahan yang
mungkin menjadi penyebab sistemik (hemoptisis, ruam, limfadenopati, gangguan pendengaran,
neuropati) atau obstruksi urin (misalnya, kesulitan berkemih, urgensi, atau frekuensi
pengosongan kandung kemih yang inkomplit). Selain itu, pasien harus dinilai untuk risiko
penyakit ginjal, termasuk paparan sebelumnya terhadap nefrotoksin potensial (misalnya, obat
antiinflamasi nonsteroid/ NSAID), obat-obatan berbasis fosfat, obat herbal yang mengandung
asam aristolokik, terapi antibiotik seperti gentamisin, dan kemoterapi), riwayat nefrolitiasis atau
infeksi saluran kemih rekuren, adanya komorbiditas (misalnya, hipertensi, diabetes, penyakit
autoimun, infeksi kronis), riwayat penyakit ginjal pada keluarga, dan jika tersedia risiko genetik
terkait sifat sel sabit.8
Pemeriksaan fisik terperinci dapat memberikan petunjuk tambahan tentang penyebab
PGK yang mendasari dan harus mencakup pemeriksaan status volume pasien. Tanda dari
penurunan volume air dapat mencerminkan asupan oral yang kurang, muntah, diare, atau over
diuresis, sedangkan volume berlebihan mungkin diakibatkan oleh dekompensasi gagal jantung,
gagal hepar, atau sindroma nefrotik. Pasien dengan PGK lanjut mungkin dapat menunukkan
gejala pucat, ekskoriasi kulit, pengecilan otot, mioklonik, perubahan status mental, dan adanya
pericardial rub.8
Kriteria diagnostik dari PGK adalah adanya kelainan dalam struktur atau fungsi ginjal
yang bertahan selama lebih dari 3 bulan, termasuk 1 atau lebih dari beberapa hal seperti: (1) LFG
kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2; (2) albuminuria (yaitu albumin urin ≥ 30 mg per 24 jam atau
rasio albumin-kreatinin urin (ACR) ≥ 30 mg/g; (2) abnormalitas sedimen urin, histologi, atau
pencitraan yang menunjukkan kerusakan gijal; (4) gangguan tubular ginjal; atau (5) riwayat
transplantasi ginjal. Apabila durasi penyakit ginjal tidak jelas, penilaian ulang harus dilakukan
untuk membedakan PGK dari cedera ginjal akut (perubahan fungsi ginjal terjadi dalam 2-7 hari)
dan penyakit ginjal akut (kerusakan atau penurunan fungsi ginal yang hadir selama 3 bulan).
Evaluasi untuk etiologi PGK harus dipandu oleh riwayat klinis pasien, pemeriksaan fisik, dan
temuan urin (Gambar 2).8
Setelah diagnosis PGK telah ditegakkan, langkah selanjutnya adalah menentukan derajat
yang didasarkan pada LFG, albuminuria, dan penyebab PGK. Derajat LFG diklasifikasikan
seperti pada Tabel 1 pada subbab definisi dan klasifikasi, namun terdapat sedikit perbedaan
6
klasifikasi berdasarkan Kidney Disease Improving Global Otcumes (KDIGO 2012). Lihat
gambar 2.8
7
Gambar 3. Definisi dan prognosis PGK berdasarkan LFG dan
albuminuria, KDIGO 2012 8
Albuminuria idealnya harus diukur dengan rasio albumin-kreatinin (ACR) urin (stadium
lihat Tabel 2). ACR diyakini sebagai penanda patologi glomerulus yang lebih sensitif dan
spesifik dibandingkan rasio protein-kreatinin.8
Selain itu, gambaran laboratorium PGK juga dapat sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, peningkatan ureum dan kreatinin serum (menunjukkan penurunan fungsi ginjal),
kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urar,
hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,
asidoasis metabolik, dan kelainan urin berupa proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria.1
Penyebab PGK dapat sulit terlihat tetapi pada umumnya dapat diklasifikasikan dengan
ada atau tidaknya penyakit sistemik dan lokasi kelainan anatomi. Lokasi anatomi terbagi menjadi
glomerulal, penyakit tubulointerstitial, vaskular, dan kistik atau kongenital.8
Pemeriksaan radiologis PGK meliputi: (1) foto polos abdomen, dimana dapat tampak
batu radio-opal; (2) pielografi intravena (jarang dikerjakan karena kontras sering tidak dapat
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan); (3) pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai
dengan indikasi; (4) ultrasonografi (USG) bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi; (5)
pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.1
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara non-invasif tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menerapkan terapi,
8
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra
dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal
napas, dan obesitas.1
Mengingat bahwa sebagian besar pasien dengan PGK tidak menunjukkan gejala atau
asimptomatik, skrining mungkin penting dilakukan untuk deteksi dini penyakit. National Kidney
Foundation telah mengembangkan tes profil ginjal termasuk mengukur kreatinin serum untuk
memperkirakan LFG dan ACR urin. Pendekatan berbasis risiko untuk skrining disarankan oleh
banyak pedoman praktik klinis, dengan penapisan yang direkomendasikan pada mereka yang
berusia lebih dari 60 tahun atau lebih dengan riwayat diabetes mellitus atau hipertensi. Penapisan
juga harus dipertimbangkan pada mereka dangan faktor risiko klinis, seperti penyakit autoimun,
obesitas, batu ginjal, infeksi saluran kemih rekuren, pengurangan masa ginjal, paparan obat-
obatan tertentu seperti NSAID atau litium, dan episode sebelumnya dari cedera ginjal akut.8
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada PGK meliputi: terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya,
pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition), memperlambat
pemburukan (progression) fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa
dialisis atau transplantasi ginjal.1
Perencanaan tatalaksana (action plan) PGK sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada
Tabel 5.1
9
5 < 15 Terapi pengganti ginjal
10
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah pembatasan asupan
protein dan terapi farmakologis. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60
ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0,6 – 0,8/kgBB/hari, yang 0,35 – 0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai
biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30 – 35 gr di antaranya merupakan protein
nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30 – 35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Apabila terjadi malnutrisi, jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein
tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen,
fosfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu,
pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan
metabolik yang disebut uremia. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas
pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu
untuk mencegah hiperfosfatemia. Lihat Tabel 6.1
11
Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus, beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian
tekanan darah mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein,
dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, saat ini diketahui secara
luas bahwa proteinuria merupakan faktor riiko terjadinya perburukan fungsi ginjal, dengan kata
lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada PGK.1
Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angiotensin
(angiotensin converting enzyme/ACE) melalui berbagai penelitian terbukti dapat memperlambat
proses perburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi
dan antiproteinuria.1
12
Pemberian eritropoeitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian transfusi pada PGK
harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat
sebab dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal.
Sasaran hemoglobin menurut berbagai penelitian klinik adalah 11 – 12 g/dl.1
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi PGK yang sering terjadi. Penatalaksanaan
osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiferposfatemia dan pemberian hormon
kalsitriol (1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat,
pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna. Dialisis
yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi
hiperfosfatemia.1
Mengatasi Hiperfosfatemia
Pembatasan asupan fosfat, pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien
PGK secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat sebagian
besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telur. Asupan fosfat dibagi
600 – 800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk
menghindari terjadinya malnutrisi.1
13
Pemberian pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, alumunium
hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral untuk menghambat
absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium
karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. Tabel 7 memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat,
efikasi, dan efek sampingnya.1
Pemberian bahan kalsium memetik. Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang
dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid dengan nama sevelamer hidroklorida.
Obat ini juga disebut sebagai calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang
sangat baik serta efek samping yang minimal.1
14
dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin insensible water loss. Dengan
berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500 – 800 ml/hari (sesuai
dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500 – 800 ml ditambah jumlah
urin.1
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium
dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu,
pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah
dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt. pembatasan
natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang
diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.1
Prognosis
Pasien dengan PGK umumnya mengalami kehilangan fungsi ginjal progresif dan berisiko
mengalami penyakit ginjal stadium akhir (end-stage renal disease/ESRD). Tingkat
perkembangan tergantung pada usia, diagnosis yang mendasarinya, implementasi dan
keberhasilan tindakan pencegahan sekunder, dan masing-masing pasien. Inisiasi terapi
penggantian ganjil kronis yang tepat waktu sangat penting untuk mencegah komplikasi uremik
dari PGK yang dapat menyebabkan morbiditas dan kematian yang signifikan.5
Penelitian Tangri, dkk., mengembangkan dan memvalidasi model pada pasien dewasa
menggunakan hasil laboratorium rutin untuk memprediksi perkembangan PGK (derajat 3 sampai
dengan 5) menjadi gagal ginjal. Mereka melaporkan bahwa perkiraan LFG, albuminuria yang
lebih tinggi, usia yang lebih muda, dan jenis kelamin laki-laki menunjukkan perkembangan gagal
ginjal yang lebih cepat. Juga, kadar albumin, kalsium, dan bikarbonat serum yang lebih rendah
dan kadar fosfat serum yang lebih tinggi ditemukan untuk memprediksi peningkatan risiko gagal
ginjal.5
15
Kesimpulan
Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ginjal yang mempengaruhi sekitar 11%
sampai dengan 13% populasi di seluruh dunia dan menjadi penyebab kematian yang berada pada
urutan ke-9. Penatalaksanaan PGK yang optimal, yaitu termasuk pengurangan risiko, pengobatan
dan penyesuaian dosis obat, serta pemantauan komplikasi PGK, seperti hiperkalemia, asidosis
metabolik, anemia, dan gangguan metabolisme yang lainnya. Diagnosis, stadium, dan rujukan
PGK yang sesuai oleh dokter perawatan primer sangat penting dalam mengurangi beban PGK di
seluruh dunia.
16
Daftar Pustaka
1. Setiati S, Alwi E, Sudoyo AW, Simadibrata MK, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid tiga. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014. h.2159-60.
2. Aisara S, Azmi S, Yanni M. Gambaran klinis penderita penyakit ginjal kronis yang menjalani
hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.
3. Adhiatma AT, Wahab Z, Widyantara IFE. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis di RSUD Tugurejo Semarang.
Universitas Muhammadiyah Semarang. 2017.
4. Sinaga Wm Alfara LD. Pemberian nutrisi terkait perubahan metabolisme pada pasien
penyakit ginjal kronik derajat 5 dengan hemodialisis rutin. CDK. 2016; 43(1): 61-5.
5. Arora P, Batuman V, Aronoff GR, Mulloy LL, Talavera F, Verrelli M. Chronic kidney
disease. Medscape. August 1st 2019. Downloaded from
https://emedicine.medscape.com/article/238798-overview#a1, July 18th 2022.
6. Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s. Nephrology and acid-base disorders. 3rd edition. New
York: Mc Graw Hill. p.122-6.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Hasil utama Riskesdas 2018. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2018.
8. Chen TK, Knicely DH, Grams ME. Chronic kidney disease diagnosis and management a
review. JAMA. 2019; 322(13): 1294-304.
9. Mayo Clinic Staff. Chronic kidney disease. Mayo Clinic. August 15th 2019. Downloaded
from https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/chronic-kidney-disease/symptoms-
causes/syc-20354521, July 18th 2022.
17