Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

KASUS GAGAL GINJAL

Kelompok :

Dinda Rzqiyah Maulida 192211101062

Maghfirah izzani Maulani 192211101063

Dian Ayu Chotimah 192211101064

Andrean Roni 192211101065

Rochman Dwi Setiawan 192211101066

Livia Pimarahayu 192211101067

Fauzia Ken Nastiti 192211101068

BAGIAN FARMASI KLINIK DAN KOMUNITAS

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS JEMBER

2019
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap tahun penderita penyakit gagal ginjal meningkat, di Amerika serikat


pada tahun 2002 sebanyak 34.500 penderita, tahun 2007 80.000 penderita, dan
tahun 2010 mengalami peningkatan yaitu 2 juta orang yang menderita penyakit
ginjal. Sedangkan di Indonesia menurut Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia jumlah yang menderita penyakit gagal ginjal kronik sekitar 50 orang
per satu juta penduduk (Lukman et al., 2013). Menurut hasil Global Burden of
Disease tahun 2010, PGK merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di
dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010.
Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua
pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung (DEPKES RI,
2017).
Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah
dengan mencegah menumpuknya limbah dan mengendalikan keseimbangan
cairan dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potasium dan fosfat
tetap stabil, serta memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam
mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah merah dan menjaga tulang tetap
kuat (DEPKES RI, 2017).
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis
yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus
serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada stadium
tertentu. Hasil systematic review dan metaanalysis yang dilakukan oleh Hill et al,
2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4% (DEPKES RI, 2017).
Penyakit ginjal kronis awalnya tidak menunjukkan tanda dan gejala namun
dapat berjalan progresif menjadi gagal ginjal. Penyakit ginjal bisa dicegah dan
ditanggulangi dan kemungkinan untuk mendapatkan terapi yang efektif akan lebih
besar jika diketahui lebih awal (DEPKES RI, 2017).
Tindakan medis yang dilakukan penderita penyakit gagal ginjal adalah dengan
melakukan terapi dialisis tergantung pada keluhan pasien dengan kondisi
kormobid dan parameter laboratorium, kecuali bila sudah ada donor hidup yang
ditentukan, keharusan transplantasi terhambat oleh langkanya pendonor. Pilihan
terapi dialisis meliputi hemodialisis dan peritoneal dialisis (Hartono, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dan klasifikasi dari gagal ginjal kronis?
2. Bagaimana etiologi dari gagal ginjal kronis?
3. Apa saja tanda dan gejala dari gagal ginjal kronis?
4. Bagaimana patofisiologi dari gagal ginjal kronis?
5. Bagaimana tata laksana terapi farmakologi dari gagal ginjal kronis?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dan klasifikasi dari gagal ginjal kronis.
2. Untuk mengetahui etiologi dari gagal ginjal kronis.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari gagal ginjal kronis.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari gagal ginjal kronis.
5. Untuk mengetahui tata laksana terapi farmakologi dari gagal ginjal kronis.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defininisi dan Klasifikasi


2.1.1 Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) didefinisikan sebagai kondisi nilai laju filtrasi
glomerulus (GFR) yang berada dibawah batas normal selama lebih dari 3 bulan
(Davey, 2005). Gagal ginjal kronis merupakan hasil akhir dari kondisi penurunan
fungsi ginjal yang ditandai dengan rusaknya nefron ginjal sehingga menyebabkan
penurunan GFR. Manifestasi gagal ginjal kronis ditunjukkan dengan
ketidakmampuan ginjal untuk melakukan fungsi normalnya dalam hal mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit, mengendalikan tekanan darah melalui volume
cairan dan sistem renin-angiotensin, menghilangkan nitrogen dan produk ekskresi
lainnya, mengatur jumlah sel darah merah melalui sintesis erythropoietin, dan
mengarahkan peran paratiroid dan tulang melalui eliminasi fosfat dan aktivasi
vitamin D.
Gagal ginjal kronis dapat terjadi akibat sejumlah kondisi yang menyebabkan
hilangnya nefron secara permanen, termasuk diabetes, hipertensi,
glomerulonefritis, dan penyakit ginjal polikistik. Tingkat kerusakan nefron
berbeda dari kasus ke kasus, berkisar dari beberapa bulan hingga bertahun-tahun.
Proses perkembangan gagal ginjal kronis biasanya terjadi dalam empat tahap:
Penurunan daya simpan ginjal, insufisiensi ginjal, gagal ginjal, dan stadium akhir
penyakit ginjal (Rettig, 1996).

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi GGK dibagi atas 5 tingkatan derajat yang didasarkan pada


GFR dengan ada atau tidaknya kerusakan ginjal. Pada perkembangan GGK,
pasien dengan derajat 1 atau 2 biasanya tidak memiliki gejala atau gangguan
metabolisme yang terlihat pada derajat 3 sampai 5 seperti anemia,
hiperparatiroidisme sekunder, penyakit kardiovaskular (CVD), kekurangan gizi,
dan kelainan cairan dan elektrolit yang lebih umum sebagai akibat fungsi ginjal
yang memburuk (Wells dkk., 2015).

Tabel 1. Klasifikasi GGK (KDIGO, 2013).


Derajat GFR (ml/mnt/1.732m2) Penjelasan
1 ≥ 90 Kerusakan ginjal dengan GFR
normal atau meningkat

2 60-89 Kerusakan ginjal dengan GFR turun


ringan

3A 45-59 Kerusakan ginjal dengan GFR turun


dari ringan sampai sedang

3B 30-44 Kerusakan ginjal dengan GFR turun


dari sedang sampai berat

4 15-29 Kerusakan ginjal dengan GFR turun


berat

5 < 15 Gagal ginjal

2.2 Etiologi Penyakit Ginjal Kronik

Penyebab penyakit gagal ginjal kronis ada bermacam-macam, dua pertiga


penyebab penyakit gagal ginjal kronik adalah diabetes melitus dan hipertensi
(National Kidney Foundation, 2015). Kondisi lain yang dapat menyebabkan gagal
ginjal kronis yaitu adanya peradangan seperti glomerulonefritis.

2.2.1 Diabetes Melitus


Diabetes melitus atau biasa disebut kencing manis merupakan kelainan
metabolik yang disebabkan berbagai faktor seperti kurangnya produksi insulin
atau ketidakmampuan tubuh untuk memanfaatkan insulin (insulin resisten).
Dengan gejala berupa hiperglikemia kronis dan gangguan metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak.
Diabetes melitus dapat meningkatkan risiko komplikasi dalam jangka
panjang. Komplikasinya dapat dibagi menjadi mikrovaskular dan makrovaskular.
Komplikasi mikrovaskular dapat menyebabkan kerusakan pada mata yang dapat
menimbulkan kebutaan (retinopati), kerusakan pada ginjal (nefropati) sehingga
menjadi gagal ginjal kronis, kerusakan pada syaraf (neuropati) yang dapat
menyebabkan impotensi dan timbulnya gangren pada kaki yang terluka.
Diabetik nefropati merupakan penyebab terjadinya gagal ginjal kronik hingga
menyebabkan kematian. Di negara berkembang penyakit ini yang menjadi
penyebab dialisis dan transplatasi ginjal.
2.2.2 Hipertensi
Hipertensi dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah ginjal
sehingga dapat mengganggu eksrkresi cairan dari dalam tubuh dan menyebabkan
udema pada bagian kaki. Di Amerika, hipertensi merupakan penyebab kedua
terjadinya gagal ginjal kronis setelah diabetes.

2.2.3 Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah peradangan pada bagian ginjal yang berfungsi
untuk menyaring cairan dari darah atau yang disebut glomerulus.
Glomerulonefritis dapat disebabkan karena adanya gangguan pada sistem imun
dan penyebab yang masih belum jelas. Kerusakan pada glomerulus menyebabkan
adanya darah dan protein pada urin. Kondisi tersebut dapat berkembang dengan
cepat dan dalam seminggu hingga sebulan dapat menyebabkan kegagalan ginjal
kronis. (National Institution of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases,
2014).

2.3 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Awal dari penyakit gagal ginjal kronik atau CKD dapat dilihat dari penyakit
yang mendasari. Gagal ginjal kronik menyebabkan berkurangnya massa ginjal.
Terjadi hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang tersisa sebagai upaya
kompensasi. Akibatnya terjadi hiperfiltrasi yang diikuti aliran darah glomerulus.
Upaya ini dapat meneruskan fungsi normal ginjal untuk mensekresi bahan
buangan seperti urea dan kreatinin sehingga bahan tersebut meningkat dalam
plasma darah hanya setelah LFG menurun pada tahap 50% dari yang normal.
Kadar kretinin plasma akan mengganda pada penurunan LFG 50%. Walaupun
kadar normalnya adalah 0,6 mg/dL menjadi 1,2 mg/dL, ia menunjukkan
penurunan fungsi nefron telah menurun sebanyak 50% (Medscape, 2019).
Bagian nefron yang masih berfungsi yang mengalami hiperfiltrasi dan
hipertrofi, walaupun amat berguna, tetapi telah menyebabkan kerusakan ginjal
yang progresif. Ini dipercayai terjadi karena berlaku peningkatan tekanan pada
kapilari glomerulus, yang seterusnya bisa mengakibatkan kerusakan kapilari
tersebut dan menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian glomerulosklerosis
segmental dan fokal (Medscape, 2019). Antara faktor-faktor lain yang
menyebabkan kerusakan jaringan ginjal yang bersifat progresif adalah :
1. Hipertensi sistemik
2. Nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal
3. Proteinuria
4. Hiperlipidemia
Pada gagal ginjal kronik fungsi normal ginjal menurun, produk akhir
metabolisme protein yang normalnya diekskresi melalui urin tertimbun dalam
darah. Dengan menurunnya LFG, ia mengakibatkan penurunan pembersihan
kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum terjadi. Hal ini menimbulkan
gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea
dan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Blood urea nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap
akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga
terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan
meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung kongestif. Penderita akan menjadi
sesak nafas, akibat ketidakseimbangan asupan zat oksigen dengan kebutuhan
tubuh. Semakin menurunnya fungsi ginjal, terjadi asidosis metabolik akibat ginjal
mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan. Juga terjadi penurunan
produksi hormon eritropoetin yang mengakibatkan anemia. Dengan menurunnya
filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan
penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan
sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan
perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari,
ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi (Smeltzer, 2001).

2.4 Tata Laksana Terapi


Terapi farmakologi pada pasien CKD difokuskan untuk memperlambat
progres penyakit sehingga terapi yang digunakan adalah dengan cara
memodifikasi faktor penyebab dan mengatasi kondisi komplikasinya.

2.4.1 Terapi farmakologi untuk memodifikasi faktor penyebab CKD :


a. Mengontrol gula darah pada diabetes mellitus
Pengontrolan gula darah terutama pada pasien CKD yang disertai dengan
DM ditujukan untuk menurunkan mikroalbuminuria. Target penurunan gula darah
pada pasien CKD dengan DM yaitu sebesar 90-130 mg/dL untuk gula darah
preprandial, <180 mg/dL untuk gula darah postprandial, dan <7% untuk nilai
HbA1C. Obat anti diabetes yang dapat digunakan yaitu obat anti diabetes oral dan
juga insulin.
b. Mengontrol tekanan darah
Pasien CKD stage 1 hingga 4, goal of therapy tekanan darah harus kurang
dari 130/80 mmHg. Sedangkan untuk pasien CKD stage 5 goal of therapy tekanan
darah harus kurang dari 140/90 mmHg sebelum hemodialisis dan kurang dari
130/80 mmHg setelah hemodialisis.

Penurunan tekanan darah pada CKD berhubungan dengan penurunan


proteinuria. Obat golongan ACEI (Angiotensin Converting Enzym Inhibitor) dan
ARB (Angitensin Reseptor Bloker) dapat menurunkan tekanan kapiler dan volume
pada glomerulus karena efek dari angiotensin II. Hal tersebut yang dapat
mengurangi jumlah protein yang disaring melalui glomerulus, sehingga akan
mengurangi perkembangan gangguan ginjal kronis (Schonder, 2008). Selain itu
juga dapat digunakan obat golongan CCB (Calcium Channel Blocker) atau obat
golongan diuretik sebagai terapi hipertensi.

Pada pasien CKD dengan komplikasi hipertensi maka terapi yang


digunakan adalah obat golongan ACEI atau ARB. Obat golongan diuretik
terutama diuretik kuat digunakan pada pasien yang juga mengalami udema dan
volume overload (Dipiro,2015).

2.4.2 Terapi farmakologi untuk kondisi komplikasi pada CKD :


a. Anemia
Kondisi anemia pada CKD dikaitkan dengan penurunan produksi
eritropoetin dan juga kondisi uremia yang menyebabkan waktu hidup dari sel
darah merah menjadi pendek, terjadi defisiensi besi dan pendarahan. Terapi lini
pertama untuk kondisi anemia ini dimana jumltah Hb menurun, adalah dengan
pemberian suplemen Fe. Apabila pemberian suplemen Fe tidak adekuat untuk
meningkatkan Hb makan terapi lini keduanya adalah dengan memberikan ESA
(EPO stimulating agent). Pada pasien dengan kondisi anemia berat atau pasien
dengan kontra indikasi terhadap ESA dapat dilakukan tranfusi sel darah merah.

b. Bone and Mineral Disorder


Kondisi ini pada pasien CKD disebabkan karena terjadinya abnormalitas
hormon paratiroid, keseimbangan kalsium-fosfor dan juga vitamin D. Terapi
gangguan keseimbangan kalsium-fosfat dapat dilakukan dengan obat golongan
Phosphat binder dan dengan suplai vitamin D

c. Ketidakseimbangan Elektrolit Tubuh


Pada pasien CKD fungsi dari nefron pada ginjal mengalami penurunan
sehingga ekskresi dari air dan elektrolit pun akan menurun sehingga akan terjadi
retensi air dan jumlah elektrolit akan meningkat. Retensi Na dan air dapat
menyebabkan resiko kondisi udema. Peningkatan jumlah elektrolit dapat
menyebabkan hiperkalemia karena jumlah kalium meningkat dan juga asidosis
metabolik yang disebabkan karena peningkatan produksi asam dalam tubuh.
Terapi yang digunakan pada retensi Na dan air yaitu dengan memberikan diuretik
gologan loop diuretik yang dapat dikombinasikan dengan diuretik golongan tiazid.
Terapi hiperkalemia dapat menggunakan diuretik, dekstrosa 10%/50% dan insulin
secara intravena, dan juga Ca gluconas. Apabila terapi farmakologi tidak adekuat
maka dapat dilakukan hemodialisis. Sedangkan untuk terapi asidosis metabolik
dapat digunakan obat Na bikarbonat tablet maupun secara intravena dan apabila
terapi tidak adekuat dapat dilakukan hemodialisis.

2.5 Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologis untuk penyakit gagal ginjal kronik adalah:

a. Berhenti merokok Seharusnya didukung berhenti merokok untuk


mengurangi risiko terjadinya gagal ginjal kronik dan stadium akhir
penyakit ginjal, dan untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular
(DiPiro J.T., Wells B.G., 2015).
b. Mengurangi berat badan pada orang obesitas (IMT >30kg/m2 ) yaitu
dengan mengurangi IMT yang dapat mengurangi risiko terjadinya gagal
ginjal kronik dan stadium akhir penyakit ginjal. Mempertahankan berat
badan sehat (IMT 18.5- 24.9 kg/m2 , lingkar pinggang <100 cm untuk laki
laki, <88 untuk wanita) (Lubis dkk., 2015)
c. Diet terkontrol protein (0.8- 1.0 g/kg/ hari) direkomendasi untuk orang
dewasa dengan gagal ginjal kronik (DiPiro J.T., Wells B.G., 2015)
d. Tidak konsumsi alkohol untuk mengurangi tekanan darah (DiPiro J.T.,
Wells B.G., 2015)
e. Olahraga dinamik intensitas sedang selama 30-60 menit (berjalan, berlari,
bersepeda, atau berenang) 4-7 hari per minggu. Intensitas olahraga lebih
tinggi tidak lebih efektif (DiPiro J.T., Wells B.G., 2015).
f. Asupan sodium <100mmol/hari direkomendasikan untuk mencegah
hipertensi. Pasien dengan hipertensi seharusnya membatasi asupan sodium
mereka sampai 65- 100mmol/hari (Lubis dkk., 2015).
BAB 3. PEMBAHASAN

P h a r m a c e u ti c a l C a r e P l a n

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. ATM
Umur : 56 th BB: 67 kg TB: 159 cm
Tanggal MRS : 1 September 2019
Tanggal KRS :
Diagnosis : CKD stage V, udema peritoneal, HT stage 2

II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
o Sesak nafas sejak 2 bulan lalu
o Mual-muntah
o Lemas
o Tidak nafsu makan
o Perut kembung dan terasa penuh seperti terisi cairan
o BAB normal, BAK keluar hanya sedikit meskipun banyak minum
o Gatal-gatal di seluruh tubuh dan muncul bentol kemerahan pada seluruh tubuh

2.2. Riwayat Penyakit :


o DM (14 tahun)
o Hipertensi (28 tahun)

2.3. Riwayat Pengobatan :


o Glibenklamid
o HCT

2.4. Riwayat Keluarga/Sosial :


-
2.5. Alergi Obat : -
-
III. OBJEKTIF
A. Tanda-tanda vital

Parameter Nilai Normal Tanggal


1/9/19 2/9/19 3/9/19
Suhu (C) 36,5-37,5 C 36 C 36,5 C 36,5 C

Tekanan darah 120/80 170/90 mmHg 160/90 mmHg 170/80 mmHg


(mmHg) mmHg

Nadi (x/menit) 60-100 92 x/menit 92 x/menit 92 x/menit


x/menit

RR (x/menit) 12-20 27 x/menit 26 x/menit 26 x/menit


x/menit

B. Tanda-tanda klinik

Gejala fisik Tanggal


1/9/19 2/9/19 3/9/19
Sesak Nafas +++ ++ ++

Muntah ++ +- +-

Gatal +++ ++ +-

Bentol merah +++ ++ ++

Udema Peritoneal ++ ++ ++

Udema Kaki ++ ++ +-
C. Data laboratorium

Parameter Nilai Tanggal


Normal 1/9/19 2/9/19 3/9/19
GDA (mg/dL) <200 262 233 245
GD2JPP (mg/dL) <200 209 - -
GDP (mg/dL) <126 190 - -
HbA1C (%) 4 - 5,6 8,9 - -
Hb (g/dL) 12,1 – 15,1 8,6 - -
HCt (%) 34,9 - 44,5 25 - -
BUN (mg/dL) 6 – 20 32 - 30
SCr (mg/dL) 0,5 - 1,1 5,6 - 5,8
Albumin (g/dL) 3,5 – 5,9 3,1 - -
Proteinuria - 3+ - -
Asam urat (mg/dL) 2–8 - 8,8 -
Na (mg/dL) 135 - 145 - 143 145
K (mg/dL) 3,5 – 5 - 5,7 5,1
Cl (mg/dL) 95 – 105 - 95 98
Ca (mg/dL) 9 - 11 - 7,9 7,9
GCS - 456 456 456
IV. TERAPI PASIEN

Nama Obat Dosis & rute Tanggal


1/9/19 2/9/19 3/9/19
NS 500cc 12 tpm V V V
O2 2L/menit V V V
Furosemid 2x40mg (iv), V V V
Metoklopramid 3x10 mg (iv) V V V
Amlodipin 1x10 mg (iv) V V V
Glibenklamid 1x5 mg (po) V V V
Metformin 3x500 mg V V V
(po)
Clonidin 2x0,15 mg V V V
(po)
CTM 1x2 mg (po) V V V
Metilprednisolon 1x6,25 mg (iv) - V V
Allopurinol 3x200 mg - V V
(po)
Novorapid 3x8 iu (sc) - - V
Novorapid + D40% 10iu + 50 ml - V -
(iv)
V. ANALISIS SOAP

Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &


Medis Obyektif Monitoring
CKD stage 5
1. Hipertensi -Amlodipine dapat
Subyektif : -Amlodipin DTP 3. Ineffective drug Plan :
melebarkan (memperlebar)
 Hipertensi 1x10 mg (iv) pembuluh darah dan More effective drug Terapi diganti
meningkatkan aliran darah.
(28 tahun) available dengan Nifedipin
Amlodipine juga digunakan
untuk mengobati tekanan -Amlodipin memiliki e.s 3x10 mg (po)
Obyektif : darah tinggi (hipertensi).
pulmonary edema Monitoring :
 TD Menurunkan tekanan darah
dapat menurunkan risiko sehingga diganti dengan ESO dan Tekanan
stroke atau serangan jantung.
H1= 170/90 mmHg obat golongan CCB yang darah
(drugs.com)
H2= 160/90 mmHg -Clonidin lain
- Clonidin dapat menurunkan
H3= 170/80 mmHg 2x0,15mg (po)
tekanan darah, pembuluh
 Nadi darah akan menjadi rileks dan -Clonidin kurang efektif
jantung akan berdetak lebih
dan bukan merupakan
lambat.
H1= 92 x/menit
(drugs.com) terapi lini pertama untuk
H2= 92 x/menit
hipertensi stage 2.
H3= 92 x/menit
Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &
Medis Obyektif Monitoring
2. DM Subyektif : - Novorapid 3×8 - Novorapid golongan DTP 5. Adverse drug Plan:
 Riwayat pasien DM iu (sc) antidiabetes insulin kerja reaction Terapi diganti
(14 tahun) - Novorapid 10 pendek, kinerja insulin dalam Unsafe drug for dengan Insulin
iu + D40% 50 jangka waktu 4-6 jam. patients glargine long
ml (iv) (Perkeni, 2015)  Glibenklamid tidak acting (iv)
Obyektif :
- Glibenklamide - D40%, infus yang berisi disarankan untuk
 HbA1c = 8,9% dextrose yang digunakan untuk
1x5 mg (po) pasien CKD stage Monitoring:
meningkatkan kandungan
 GDA
- Metformin glukosa darah . 3-5. ESO dan glukosa
(Darung, 2017)
3x500 mg (po) darah
H1= 262 mg/dL - Glibenklamide obat anti  Metformin
H2= 233 mg/dL diabetes golongan sulfonilurea kontraindikasi pada
H3= 245 mg/dL - Metformin obat antidiabetes pasien dengan
 GDP = 190 mg/dL biguanid. disfungsi ginjal.

 GD2PP = 209 mg/dL


Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &
Medis Obyektif Monitoring
3. Mual Subyektif : Metoklopramid Metoklopramid digunakan untuk Tidak ada Plan :
Muntah mencegah mual dan muntah
- Mual muntah 3x10 mg (iv) Mual muntah
yang disebabkan oleh
- Lemas kemoterapi atau pembedahan, pasien berkurang,
atau untuk membantu prosedur
- Tidak nafsu sehingga terapi
medis tertentu yang melibatkan
makan lambung atau usus. dilanjutkan
(drugs.com)

Obyektif : Monitoring :
- ESO dan
Monitoring
terhadap mual
muntah
Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &
Medis Obyektif Monitoring
4. Sesak nafas Subyektif : O2 2L/menit Saturasi oksigen dilakukan Tidak ada Plan:
sebagai presentasi turunya Hb
-Sesak nafas Terapi oksigen O2
yang berkaitan dengan jumlah
H1= +++ atau kadar O2 dalam arteri. O2 dilanjutkan
ditunjukkan untuk sesak nafas
H2= ++
atau kesadaran yang menurun
H3= ++ (pionas.pom.go.id) Monitoring:
respirasi dan status
Obyektif : O2
 RR

H1= 27 x/menit
H2= 26 x/menit
H3= 26 x/menit
-
Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &
Medis Obyektif Monitoring
5. Asam urat Subyektif : Allopurinol Allopurinol adalah obat untuk DTP 6. Dosage too Plan:
3x200 mg (po) menurunkan kadar asam urat golongan Dosis diturunkan
- xanthine oxidase inhibitor dengan high
menjadi 1x100mg
Obyektif : kekuatan sediaan 100 mg, 300 mg, dan
500 mg
(po) hingga asam
Asam urat urat turun.
8,8 mg/dL
Monitoring:
ESO dan kadar
asam urat
Problem Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &
Medis Obyektif Monitoring
6. Gatal dan Subyektif: CTM 1x2 mg Obat anti alergi untuk mengatasi Dosage too low karena Plan:
bentol gatal dan bentol merah golongan
 Gatal (po) hingga hari ketiga gatal Dosis diubah
merah histamine H1 inhibitor.
dan bentol merah tidak menjadi 4x4mg
H1= +++
hilang (po)
H2= ++
H3= +-
Monitoring:
 Bentol merah
Tekanan darah dan
H1= +++ kesadaran karena
H2= ++ pasien adalah
H3= ++ geriatric dimana
lebih sensitive
terhadap efek
samping.
(DIH, 17Th)
Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &
Obyektif Monitoring
7. Udema Subyektif : Furosemid Furosemid adalah loop diuretik DTP 4. Dosage too low Plan :
yang mencegah tubuh menyerap
 Udema 2x40 mg (iv) Frequency Penggunaan
terlalu banyak garam.
Peritoneal Furosemid digunakan untuk inappropriate Furosemid 2x40
mengobati retensi cairan (edema)
Penggunaan mg (iv)
H1= ++ pada orang dengan gagal jantung
kongestif, penyakit hati, atau Furosemide 2x40 mg ditingkatkan
H2= ++ kelainan ginjal seperti sindrom
(iv) belum dapat menjadi 3x40 mg
H3= ++ nefrotik.
Furosemid juga digunakan untuk mengatasi udema t.u (iv)
 Udema Kaki mengobati tekanan darah tinggi
udema peritoneal Monitoring :
(hipertensi).
H1= ++ (drugs.com) sehingga perlu adanya Udema
H2= ++ penambahan frekuensi
H3= +-
 Perut
kembung dan
terasa penuh
seperti terisi
cairan

Obyektif :
-
Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &
Obyektif Monitoring
8. Ketidakseimbang Subyektif : NS 500cc 12 tpm Digunakan untuk DTP 3. Ineffective Plan :
an elektrolit mengembalikan
- drug Terapi NS 500cc
keseimbangan elektrolit.
Obyektif : More effective drug 12tpm dihentikan
 K available dan digantikan
dengan terapi RL
H2= 5,7 mg/dL
H3= 5,1 mg/dL
Monitoring :
 Ca
Kadar K dan Ca
H2= 7,9 mg/dL
H3= 7,9 mg/dL
Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &
Obyektif Monitoring
9. Terapi Subyektif : Metilprednisolon Metilprednisolon adalah obat DTP 5. Adverse drug Plan :
tambahan kortikosteroid yang mencegah
- 1x6, 25mg (iv) reaction Terapi
pelepasan zat dalam tubuh
Obyektif : yang menyebabkan Undesirable effect metilprednisolon
peradangan.
- Metilprednisolon dapat dihentikan dan
Metilprednisolon digunakan
untuk mengobati berbagai menyebabkan diganti dengan
kondisi peradangan yang
hiperglikemia dan alfentanil 0,05
berbeda seperti radang sendi,
lupus, psoriasis, kolitis retensi cairan mg/mL (iv).
ulserativa, gangguan alergi,
(drugs.com)
gangguan kelenjar (endokrin),
dan kondisi yang Monitoring :
mempengaruhi kulit, mata,
ESO
paru-paru, perut, sistem saraf,
atau sel darah.
Problem Medis Subyektif/ Terapi Analisis Obat DRP Plan &
Obyektif Monitoring
10. Anemia Subyektif : Suplemen Fe Suplemen Fe diberikan pada DTP 2. Need for Plan :
pasien yang mengalami
- additional drug Terapi dilanjutkan
anemia akibat kekurangan zat
Obyektif : besi. therapy hingga kadar Hb
Hb= 8,6 g/dL Untreated condition dan HCt normal.
HCt= 25% Kadar Hb dan HCt
pasien yang tidak Monitoring :
normal ESO dan kadar
mengindikasikan Hb, HCt
anemia
PEMBAHASAN

Nyonya ATM usia 56 tahun dengan berat badan 67 kg dan tinggi badan
159 cm masuk ke IGD. Diagnosa pasien yaitu Chronic Kidney Disease (CKD)
stage V, udema peritoneal, hipertensi stage 2 serta mempunyai riwayat penyakit
diabetes mellitus selama 14 tahun dan Hipertensi selama 28 tahun. Pasien
menderita penyakit gagal ginjal kronis yang sudah berada pada stage 5 dengan
gejala kencing sedikit padahal minum banyak dimana pada kondisi ini terapi yang
disarankan berupa penggantian ginjal dengan dialisis atau transplantasi ginjal.
Monitoring yang dapat dilakukan kepada pasien antara lain monitoring kadar
HbA1C, monitoring kadar gula dalam darah dan tekanan darah, monitoring kadar
kreatinin, BUN, hemoglobin, albumin dan udema pada pasien.

Pasien mengeluhkan sesak nafas yang sudah dirasakan sejak 2 bulan lalu.
Pasien juga mengeluhkan perut kembung dan terasa penuh hal ini dapat terjadi
karena adanya udema peritoneal atau penumpukan cairan pada daerah peritoneal.
Selain itu, pasien juga mengalami BAK sedikit meskipun sudah minum banyak.
Hal ini dapat disebabkan akibat gangguan pada ginjal sehingga menyebabkan
retensi cairan pada tubuh dan volume urin yang dikeluarkan menjadi berkurang.
Hipertensi merupakan salah satu manifestasi dari terjadinya edema.

Penggunaan terapi furosemide diberikan selain untuk mengkontrol tekanan


darah juga untuk mengurangi udema peritoneal dan udema kaki yang terjadi pada
pasien. Selain itu pasien juga mengeluhkan sesak nafas dengan nilai respiration
rate (RR) diatas normal, terapi oksigen diberikan untuk mengatasi sesak nafas
yang ada pada pasien. Dilakukan monitoring terhadap kondisi vital pasien dan
tingkat saturasi oksigennya.

Pasien mempunyai riwayat hipertensi stage 2, pada pasien gagal ginjal


kronis hipertensi dapat terjadi karena penurunan fungsi ginjal sehingga tidak
mampu membuang kelebihan air dan garam sehingga diperulukan terapi diuretic.
Pemberian terapi furosemide 2x40mg pada pasien sesuai dengan pasien yang
mengeluhkan buang air kecil sedikit. Setelah pemberian terapi furosemid selama 3
hari, udema kaki pada pasien mulai mengalami penurunan tetapi udema peritoneal
hanya berkurang sedikit sehingga diperlukan penambahan pemberian dosis
furosemid sebanyak 3x40 mg (i.v) (DIH 17th). Selain itu pasien diberikan terapi
amlodipin 1x10 mg dan pada hari kedua ditambahkan kombinasi terapi Clonidin
merupakan antihipertensi golongan α agonis yang digunakan sebagai terapi untuk
mengontrol tekanan darah pasien yang sebagian besar fluktuatif akibat kondisi
ginjal yang menurun . Pemberian amlodipin dan clonidin belum dapat
menurunkan tekanan darah pasien ditunjukan dengan tingginya tekanan darah
pada hari kedua dan ketiga pada pasien gagal ginjal kronis serta amlodipin sendiri
memiliki efek samping berupa pulmonari edema, sehingga perlu diberikan pilihan
terapi yang lain yaitu nifedipine 3x10 mg (p.o) (DIH 17th). Nifedipine merupakan
golongan obat calcium canal blocker (CCB) golongan dihidropiridin long acting
selain sebagai antihipertensi juga memiliki efek renoprotektif dengan menurunkan
resistensi vaskullar ginjal dan meningkatkan aliran darah ke ginjal tanpa
mengubah laju filtrasi glomelurus.

Pada kasus ini Ny. ATM diketahui memiliki riwayat penyakit Diabetes
Mellitus (DM) selama 14 tahun dan pasien rutin menggunakan glibenklamid dan
metformin sebagai pengobatan diabetes mellitusnya dan dapat ditegaskan lagi
bahwa pasien menderita diabetes mellitus dengan melihat hasil pemeriksaan lab
dengan nilai Gula Darah Acak (GDA), Gula Darah 2 jam Post Prandial (GD2PP),
dan Gula Darah Puasa (GDP) berada di atas batas normal. Pada hari kedua, pasien
memperoleh tambahan terapi untuk diabetes berupa Novorapid 10 iu + D40% 50
ml secara intravena dan menghasilkan penurunan kadar GDA tetapi masih berada
diatas nilai normal. Novorapid merupakan golongan antidiabetes insulin kerja
pendek yang bekerja dalam jangka waktu 4-6 jam (Novida dkk., 2015), sedangkan
kombinasi novorapid dan D40% digunakan untuk menganalisa kadar kalium
dalam darah. Pada hari ketiga, terapi diabetes yang diberikan masih sama tetapi
tanpa penggunaan infus dextrose 40% namun kadar GDA pada hari ketiga
mengalami sedikit kenaikan sehingga terapi diubah menjadi insulin glargin 0.2
unit/kg. Selain itu, pasien mengeluhkan gatal-gatal di seluruh tubuh, hal ini
kemungkinan terjadi dikarenakan penggunaan kombinasi glibenklamid dan
metformin yang menimbulkan reaksi hipersensitifitas yang memiliki manifestasi
klinik dengan gatal-gatal di seluruh tubuh (BPOM, 2017). Pemberian metformin
dihentikan karena tidak dapat digunakan pada pasien gagal ginjal kronis dengan
nilai eGFR <30 mL/menit. Glibenklamid juga dihentikan pemberiannya karena
penggunaannya yang dihindari pada pasien CKD stage 5.

Selain pengobatan farmakologi untuk penyakit diabetes mellitus, dapat


juga dilakukan pengobatan non farmakologi untuk membantu mengontrol kadar
gula dalam darah. Pengobatan non farmakologi yang dapat dilakukan antara lain,
memperbaiki pola hidup, mengatur pola makan, mengurangi makanan yang
banyak mengandung garam Na, dan melakukan olahraga ringan. Selain itu, terapi
tambahan yang juga dapat diberikan pada pasien untuk menggantikan pemberian
metilprednisolon sebagai analgesik karena dapat menimbulkan efek samping yaitu
dapat menyebabkan perubahan kadar glukosa yang mengarah pada terjadinya
hiperglikemik maka terapi digantikan dengan alfentanil secara intravena dengan
dosis 0,05 mg/ml (iv). Obat ini merupakan golongan analgesik opioid untuk
mengatasi nyeri sedang hingga berat yang kemungkinan terjadi pada pasien CKD
stage V.

Pada hasil lab yang ada, terlihat bahwa nilai Hemoglobin (Hb) dan eritrosit
pasien berada di bawah batas normal, hal ini mengindikasikan bahwa pasien dapat
menderita anemia. Anemia pada pasien gagal ginjal kronis dapat disebabkan
karena produksi eritropoetin menurun sehingga terjadi penurunan hemoglobin,
dan hemaktokrit. Pengobatan yang dilakukan untuk kondisi pasien ini disarankan
pemberian obat suplemen Fe dan monitoring nilai Hb dan eritrosit. Berdasarkan
data lab pasien menunjukan kondisi hiperurisemia dengan nilai asam urat pasien
9,8 atau lebih dari rentang normal pasien yaitu <6mg/dl. Pada pasien gagal ginjal
terjadi pengurangan massa ginjal dan penurunan fungsi ginjal, menyebabkan laju
filtrasi <50% dan mulai terjadi peningkatan asam urat. Hiperurisemia akan
mencetuskan garam monosodium urat (MSU) pada jaringan dan sendi, sehinggga
mengaktifkan mediator inflamasi (Kasper, 2004). Pasien diberikan terapi
allopurinol untuk mengatasi kadar asam urat yang tinggi, serta diberikan
chlorpeniramin untuk mengurangi gatal dan bintik merah pada keluhan pasien.
Gagal ginjal yang dialami pasien telah mencapai stage 5, sangat disarankan untuk
pergantian fungsi ginjal dengan dialysis atau transplantasi ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Braunwald, E; Kasper, D; Fauci, A; Hauser, S ;Longo, D; Jameson, L. 2004. Disorder of


purine and pyrimidine metabolism dalam Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi 16. New York : McGraw-Hill Professional.

Chronic Kidney Disease, https://emedicine.medscape.com/article/238798-


overview#a3 diakses pada 03 September 2019 pukul 18.00

Davey, Patrick. 2005. Medicine At A Glance. Alih Bahasa: Rahmalia. A,dkk.


Jakarta: Erlangga

Departemen Kesehatan RI. (2017). InfoDATIN Pusat Data dan Informasi


Kementerian Kesehatan RI Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. www.depkes.go.id/download.php?
file.../infodatin/infodatin ginjal 2017.pdf

DiPiro J.T., Wells B.G., S. T. L. and D. C. V. 2015. Pharmacotherapy Handbook.


Edisi nineth. Inggris: McGraw-Hill Education Companies.

Hartono, A. (2013). Buku Saku Harrison Nefrologi. Jakarta : Karisma Publishing


Group

Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). 2013. CKD Work


Group. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease, Kidney international. 3: 1–150.

Lubis, A. R., R. R. Tarigan, B. R. Nasution, S. Ramadani, A. Vegas, D. N.-


Hipertensi, D. Ilmu, P. Dalam, F. Kedokteran, dan U. Sumatera. 2015.
Pedoman penatalaksanaan gagal ginjal kronik. Universitas Sumatra Utara.
1–31

Lukman, N, Kanine, E.,& Wowiling, F. (2013). Hubungan Tindakan Hemodialisa


Dengan Tingkat Depresi Klien Penyakit Ginjal Kronik Di BLU RSUD
PROF. DR. R. D. Kandou Manador. E-journal keperawatan (e-Kp), Vol 1-1.
National Institute of Diabetes and Disgestive and Kidney Diseases. 2014. High
Blood Pressure and Kidney Disease. https://www.niddk.nih.gov/health-
information/kidney-disease/high-blood-pressure [Diakses pada September 3,
2019].

Novida, H., A. Manaf, dan dkk. 2015. Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 Di Indonesia 2015. Jakarta: PB. PERKENI.

NIH (U.S National Library of Medicine). 2019. Glomerulonephritis.


https://medlineplus.gov/ency/article/000484.htm [Diakses pada September 3,
2019].

Pradeep, A. 2019. Chronic Kidney Disease.


https://emedicine.medscape.com/article/238798- [diakses pada 3 september
2019].

Rettig R.A.1996. The social contract and the treatment of permanent renal failure.
Journal of the American Medical Association. 1123–1126.

Smeltzer, S.C., dan Bare B.G., 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC.

Wells, B. G., J. T. DiPiro, T. L. Schwinghammer, dan C. V. DiPiro. 2015.


Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition

WHO. 1999. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and Its
Complications. Geneva

X
X

Anda mungkin juga menyukai