Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN ANEMIA


DI RUANG HEMODIALISA
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik 3

OLEH :
Susi susantie
PO.62.20.1.19.433

POLTEKKES KEMENKES PALANGKARAYA PROGRAM STUDI


SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN REGULER V
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
GAGAL GINJAL KRONIS

1. Definisi Gagal Ginjal Kronik


Gagal ginjal kronis atau chronic kidney disease (CKD) adalah
kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta
keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang
progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di
dalam darah. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut
sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulasinya. Suatu bahan
yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan eksresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolik, cairan, elektrolit serta asam-basa. Gagal ginjal merupakan
penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai
peyakit urinary tract dan ginjal (Arif Muttaqin, 2011).
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner and Suddart,
2002).
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal atau penurunan
kemampuan filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) yang terjadi
selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau pertanda
kerusakan gagal ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan
ginjal, diagnosis penyakit gagal ginjal kronis ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerolus kurang dari 60ml/menit/1,73 m2 (National Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative dikutip dari Arora. 2009).
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang progresif yang
berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya
beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialysis atau
transplantasi ginjal) (Nursalam dan Fransisca B.B. 2009)
2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi sesuai dengan test kreatinin klien, maka GGK dapat terbagi
menjadi:
 100 – 76 ml/mnt disebut insufiensi ginjal berkurang
 75 – 26 ml/mnt disebut insufiensi ginjal kronik
 25 – 5 ml/mnt disebut GGK
 <5ml/mnt disebut gagal ginjal terminal
Derajat Primer LFG (%) Sekunder Kreatinin (mg%)
A Normal Normal
B 50-80 Normal-2,4
C 20-50 2,5-4,9
D 10-20 5-7,9
E 5-10 8-12
F <5 >12

Berdasarkan stadiumnya gagal ginjal di bedakan menjadi 3 stadium :


 Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal (GFR turun 50%)
- Tahap ringan dimana faal ginjal masih bagus
- Asimptomatik
- Kreatinin dan BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal
- Gangguan dapat di lihat dengan : tes pemekatan urin dan GFR
teliti
 Stadium 2 : insufisiensi ginjal
- Tahap dimana dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak,
yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari normal.
Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan
sendiri karena beratnya beban yang mereka terima.
- Kreatinin dan BUN mulai meningkat diatas batas normal
(tergantung dari kadar protein diet pasien)
- Nokturia dan poliuria (dapat terjadi karena gagal untuk melakukan
pemekatan urin)
- Ada 3 derajat insufisiensi ginjal :

1. Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2. Sedang
15% - 40 % fungsi ginjal normal
3. Berat
<20% fungsi ginjal normal
 Stadium 3 : tahap akhir (GGK terminal) atau uremia
- GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron
fungsional yang tersisa (sekitar 90% dari massa nefron telah
hancur dan rusak).
- Kreatinin dan BUN meningkat sangat mencolok sehingga
penurunan fungsi ginjal.
- Gejala parah karena ketidakmapuan ginjal menjaga homeostasis
cairan dan elektrolit tubuh
- Oliguria bisa terjadi (output urin kurang dari 500 ml/ hari karena
kegagalan glomerulus)
- Uremia terjadi.
- Pada seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus.

Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan nilai laju glomerulus, yaitu stadium
yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.
(Parazella, 2005)
Tabel Klasifikasi dari GFR (Clarkson, 2005 dan K. K. Zadeh (2011) dan E.
Chang (2010):
Std Deskripsi LFG (ml/mnt/1,73m2)
0 Risiko meningkat >90 dengan faktor
risiko
1 Kerusakan ginjal dengan LFG >90
normal/meningkat
2 Penurunan ringan LFG 60-89
3 Penurunan moderat LFG 30-59
4 Penurunan berat LFG 15-29
5 Gagal ginjal <15 dan dialisis

Pengukuran nilai GFR untuk menentukan tahapan PGK yang paling


akurat adalah dengan menggunakan Chronic Kidney Disease Epidemiology
Collaburation (CKD-EPI) dibanding dengan model Modification of Diet in
Renal Disease (MDRD) atau dengan rumus Cockcroft-Gault (Michels,
Grootendorst & Verduijn, 2010). Praktek pengukuran GFR untuk menentukan
tahapan PGK yang sering digunakan adalah menggunakan rumus Cockcroft-
Gault. Adapun rumus dari Cockcroft-Gault dalam Ahmed & Lowder (2012)
adalah :

Rumus Cockcroft-Gault untuk laki-laki :


GFR = (140-umur) x BB
72 x serum Creatin

Sedangkan untuk wanita adalah :


GFR = (140-umur) x BB x 0,85
72 x serum Creatin

Klasifikasi gagal ginjal kronik dapat dilihat berdasarkan sindrom klinis yang
disebabkan penurunan fungsinya yaitu berkurang, ringan, sedang dan tahap
akhir (Suhardjono, 2003). Ada beberapa klasifikasi dari gagal ginjal kronik
yang dipublikasikan oleh National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (K/DOQI). Klasifikasi tersebut diantaranya adalah
:

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik


Stadium 1 Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan
merupakan tahap dimana telah terjadi kerusakan ginjal
dengan peningkatan LFG (>90 mL/min/1.73 m2) atau
LFG normal.
Stadium 2 Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan Reduksi
LFG mulai berkurang sedikit (kategori mild) yaitu 60-89
(ringan)
mL/min/1.73 m2.
Stadium 3 Reduksi LFG telah lebih banyak berkurang (kategori
moderate) yaitu 30-59 mL/min/1.73.
(sedang)
Stadium 4 Reduksi LFG sangat banyak berkurang yaitu 15-29
mL/min/1.73.
(berat)
Stadium 5 Telah terjadi gagal ginjal dengan LFG yaitu <15
mL/min/1.73. (Arora, 2009).
(terminal)
Klasifikasi atas dasar diagnosis dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
– penyakit ginjal diabetis seperti penyakit diabetes tipe 1 dan tipe 2,
– penyakit ginjal nondiabetis seperti penyakit glomerular, penyakit
vascular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi dan
mikroangiopati), penyakit tubulointerstitial (infeksi saluran kemih, batu
obstruksi dan toksisitas obat), penyakit kistik
– penyakit pada transplantasi seperti penyakit rejeksi kronis, keracunan
obat, penyakit recurren, transplantasi glomerulopathy (Suhardjono, 2003
dikutip dari Susalit). Krause (2009) menambahkan bahwa penyebab dari
gagal ginjal kronik sangat beragam. Pengetahuan akan penyebab yang
mendasari penyakit penting diketahui karena akan menjadi dasar dalam
pilihan pengobatan yang diberikan. Penyebab gagal ginjal tersebut
diantaranya meliputi :
a. Penyebab dengan frekuensi paling tinggi pada usia dewasa serta
anak-anak adalah glomerulonefritis dan nefritis interstitial.
b. Infeksi kronik dari traktus urinarius (menjadi penyebab semua
golongan usia).
c. Gagal ginjal kronik dapat pula dialami ana-anak yang menderita
kelainan kongenital seperti hidronefrosis kronik yang
mengakibatkan bendungan pada aliran air kemih atau air kemih
mengalir kembali dari kandung kemih.
d. Adanya kelainan kongenital pada ginjal.
e. Nefropati herediter.
f. Nefropati diabetes dan hipertensi umumnya menjadi penyebab
pada usia dewasa.
g. Penyakit polisistik, kelainan pembuluh darah ginjal dan nefropati
analgesik tergolong penyebab yang sering pula.
h. Pada beberapa daerah, gangguan ginjal terkait dengan HIV
menjadi penyebab yang lebih sering.
i. Penyakit yang tertentu seperti glomerulonefritis pada penderita
transplantasi ginjal. Tindakan dialisis merupakan pilihan yang
tepat pada kondisi ini.
j. Keadaan yang berkaitan dengan individu yang mendapat obat
imunosupresif ringan sampai sedang karena menjalani
transplantasi ginjal. Obat imunosupresif selama periode atau
masa transisi setelah transplantasi ginjal yang diberikan untuk
mencegah penolakan tubuh terhadap organ ginjal yang
dicangkokkan menyebabkan pasien beresiko menderita infeksi,
termasuk infeksi virus seperti herpes zoster.

3. EPIDEMIOLOGI
Menurut United State Renal Data System (USRDS, 2008) di Amerika
Serikat prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat sebesar 20-25%
setiap tahunnya. Di Kanada insiden penyakit gagal ginjal tahap akhir
meningkat rata-rata 6,5 % setiap tahun (Canadian Institute for Health
Information (CIHI), 2005), dengan peningkatan prevalensi 69,7 % sejak
tahun 1997 (CIHI, 2008). Sedangkan di Indonesia prevalensi penderita gagal
ginjal hingga kini belum ada yang akurat karena belum ada data yang
lengkap mengenai jumlah penderita gagal ginjal kronis di Indonesia. Tetapi
diperkirakan, bahwa jumlah penderita gagal ginjal di Indonesia semakin
meningkat. WHO memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan
penderita gagal ginjal antara tahun 1995-2025 sebesar 41,4%. Berdasarkan
data dari Yayasan Ginjal Diatras Indonesia (YGDI) RSU AU Halim Jakarta
pada tahun 2006 ada sekitar 100.000 orang lebih penderita gagal ginjal di
Indonesia.
4. ETIOLOGI
Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan gagal ginjal kronis
bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar ginjal (Arif Muttaqin, 2011) :
a. Penyakit dari Ginjal
 Glomerulonefritis
Penyebab dengan frekuensi paling tinggi pada usia dewasa serta
anak-anak dan nefritis interstitial.
 Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis
 Batu ginjal: nefrolitiasis
 Kista di Ginjal: polcystis kidney
 Trauma langsung pada ginjal
 Keganasan pada ginjal
 Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/struktur.
 Penyakit tubulus primer: hiperkalemia primer, hipokalemia kronik,
keracunan logam berat seperti tembaga, dan kadmium.
 Penyakit vaskuler: iskemia ginjal akibat kongenital atau stenosis
arteri ginjal, hipertensi maligna atau hipertensi aksekrasi.
 Obstruksi: batu ginjal, fobratis retroperi toneal, pembesaran prostat
striktur uretra, dan tumor.
 Menurut David Rubenstein dkk. (2007), penyebab GGK
diantaranya: Penyakit ginjal herediter, Penyakit ginjal polikistik, dan
Sindrom Alport (terkait kromosom X ditandai dengan penipisan dan
pemisahan membrane basal glomerulus)
 Keadaan yang berkaitan dengan individu yang mendapat obat
imunosupresif ringan sampai sedang karena menjalani transplantasi
ginjal. Obat imunosupresif selama periode atau masa transisi
setelah transplantasi ginjal yang diberikan untuk mencegah
penolakan tubuh terhadap organ ginjal yang dicangkokkan
menyebabkan pasien beresiko menderita infeksi, termasuk infeksi
virus seperti herpes zoster.

b. Penyakit dari Luar Ginjal


 DM, hipertensi, kolesterol tinggi
 Dyslipidemia
 SLE
 TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis
 Preeklamsi
 Obat-obatan
 Luka bakar

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%)
dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).

a. Glomerulonefritis : Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai


penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum
memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum,
1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan
primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila
kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,
lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau
keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti
dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus : Menurut American Diabetes Association (2003) dalam
Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul
secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya
perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih
sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat
berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi
ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
c. Hipertensi: tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya
atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal
(Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik: Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi
cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada
keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di
korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat
disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang
lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic
kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di
atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan
anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada
istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.

5. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus
atau hipertensi, obesitas , perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan dengan
riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam
keluarga. (National Kidney Foundation, 2009)
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain :
 Diabetes : Diabetes tipe 2 merupakan penyebab nomor satu. Dengan
mengendalikan kadar gula darah risiko terjadinya kerusakan ginjal
dapat dicegah.
 Tekanan darah tinggi (hipertensi) : Hipertensi yang berkelanjutan
dapat merusak atau mengganggu pembuluh darah halus dalam ginjal
yang lama kelamaan dapat mengganggu kemampuan ginjal untuk
menyaring darah. Dengan menjaga berat badan tetap ideal,
berolahraga teratur, dan menggunakan obat yang sudah diresepkan
dokter dapat membantu mencegah atau memperlambat
perkembangan penyakit ginjal menjadi gagal ginjal.
 Mengkonsumsi obat pereda rasa nyeri yang mengandung ibuprofen
berlebihan maupun dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan
timbulnya nefritis intersitialis, yaitu peradangan ginjal yang dapat
mengarah pada gagal ginjal. Jika Anda mengalami gangguan fungsi
ginjal dan sedang mengkonsumsi obat secara rutin, coba
konsultasikan ke dokter. Untuk obat baru, konsultasikan dengan dokter
bila Anda mengalami gejala tertentu. Penyalahgunaan obat / zat
tertentu Pemakaian obat terlarang, seperti heroin atau kokain, dapat
menyebabkan kerusakan fungsi ginjal yang dapat mengarah pada
gagal ginjal.
 Agent : NTA akibat toksik terjadi akibat menelan zat-zat nefrotoksik.
Ada banyak sekali zat atau obat-obat yang dapat merusak epitel
tubulus dan menyebabkan GGA, yaitu seperti : Antibiotik :
aminoglikosoid, penisilin, tetrasiklin, amfotersisin B, sulfonamida, dan
lain-lainnya. Obat-obat dan zat kimia lain : fenilbutazon, zat-zat
anestetik, fungisida, pestisida, dan kalsium natrium adetat. Pelarut
organik : karbon tetraklorida, etilon glikol, fenol, dan metal alkohol.
Logam berat : Hg, arsen, bismut, kadmium, emas, timah, talium, dan
uranium. Pigmen heme : Hemoglobin dan mioglobin
 Radang : Penyakit tertentu, seperti glomerulonefritis (radang pada
glomerulus/unit penyaring ginjal) dapat merusak ginjal, sehingga ginjal
tidak bisa lagi menyaring zat-zat sisa metabolisme tubuh. Untuk
mengetahui lebih lanjut, biasanya dokter akan meminta Anda
melakukan serangkaian pemeriksaan di laboratorium.
 Pekerjaan : Orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan
bahan-bahan kimia akan dapat mempengaruhi kesehatan ginjal.
Bahan-bahan kimia yang berbahaya jika terpapar dan masuk kedalam
tubuh dapat menyebabkan penyakit ginjal. Misalnya pada pekerja di
pabrik atau industri.
 Perilaku minum : Air merupakan cairan yang sangat penting di dalam
tubuh. Lebih kurang 68% berat tubuh terdiri dari air. Minum air putih
dalam jumlah cukup setiap hari adalah cara perawatan tubuh terbaik.
Air ini sebagai simpanan cairan dalam tubuh. Sebab bila tubuh tidak
menerima air dalam jumlah yang cukup, tubuh akan mengalami
dehidrasi. Di mulai dengan simpanan air tubuh yang menurunan dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan. Organ-organ tubuh yang vital
juga sangat peka terhadap kekurangan air, salah satunya adalah
ginjal. Ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik bila tidak cukup air.
Pada proses penyaringan zat-zat racun, ginjal melakukannya lebih dari
15 kali setiap jam, hal ini membutuhkan jumlah air yang banyak
sebelum diedarkan ke dalam darah. Bila tidak cukup cairan atau
kurang minum, ginjal tidak dapat bekerja dengan sempurna maka
bahan-bahan yang beredar dalam tubuh tidak dapat dikeluarkan
dengan baik sehingga dapat menimbulkan keracunan darah dan
menyebabkan penyakit ginjal.
 Environment : Cuaca panas dapat mempengaruhi terjadinya penyakit
ginjal. Jika seseorang bekerja di dalam ruangan yang bersuhu panas,
hal ini dapat mempengaruhi kesehatan ginjalnya. Yang terjadi adalah
berkurangnya aliran atau peredaran darah ke ginjal dengan akibat
gangguan penyediaan zat-zat yang diperlukan oleh ginjal dan pada
ginjal yang rusak hal ini akan membahayakan
Beberapa faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, adalah:
 Riwayat Keluarga Penyakit Ginjal : Jika ada anggota keluarga
menderita GGK, atau yang sedang menjalani dialisis, atau
transplantasi ginjal, Anda memiliki risiko mengalami penyakit ini. Salah
satu jenis penyakit yang bersifat diturunkan adalah penyakit ginjal
polikistik, yaitu penyakit ketika jaringan normal ginjal secara perlahan
digantikan oleh kista-kista berisi cairan.
 Kelahiran Premature : Bayi prematur (lahir kurang dari 32 minggu
kehamilan) berisiko memiliki penumpukan endapan kalsium di bagian
nefron ginjal, yang dikenal dengan nefrokalsinosis. Hal ini mungkin
disebabkan oleh menurunnya kemampuan menghambat proses
penggumpalan kristal akibat beban kalsium yang disaring meningkat
dan ekskresi sitrat berkurang. Bila tidak diatasi, bayi yang memiliki
kondisi seperti ini memiliki risiko untuk menderita gangguan fungsi
ginjal di kemudian hari.
 Usia : Seiring dengan pertambahan usia, fungsi ginjal pun dapat
menurun. Usia penderita gagal ginjal berkisar antara 40-50 tahun,
tetapi hampir semua usia dapat terkena penyakit ini. Menurut
penelitian D.W. Bates penyakit gagal ginjal paling banyak pada
penderita yang berumur 45 tahun.
 Jenis kelamin : Kejadian pada laki-laki dan wanita hampir sama.
Menurut penelitian Orfeas Liangas dkk (2001), dari 558.032 penderita
gagal ginjal 51,8% adalah laki-laki, sedangkan perempuan sebesar
48,2%.
 Ras/etnik : (African-American, Hispanic, American Indian,Asian)
 Trauma atau Kecelakaan : Kecelakaan, cedera, beberapa jenis
operasi, juga dapat mengganggu atau merusak ginjal.
 Jenis Penyakit Tertentu dapat meningkatkan risiko terjadinya GGK.
Penyakit ini antara lain penyakit lupus, anemia sel sabit (sickle cell
anemia), kanker, AIDS, hepatitis C dan gagal jantung berat. (Bahan
dari Koesh-Bandung)

6. ANEMIA PADA CKD

Menurut World Health Organization (WHO), anemia didefinisikan


sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang lebih rendah dari 13.0 g/dL pada
pria dan wanita postmenopause dan lebih rendah dari 12.0 g/dL pada wanita
premenopause. Sedangkan anemia pada pasien dengan CKD didefinisikan
sebagai konsentrasi Hb di bawah 11.5 g/dL pada wanita, 13.5 g/dL pada pria
≤70 tahun, dan 12.0 g/dL pada pria lebih dari 70 tahun (The European Best
Practice Guidelines).
Penyebab terjadinya anemia pada pasien dengan CKD antara lain:
kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah, uremic milieu,
defisiensi erythropoietin (EPO), defisiensi zat besi, dan inflamasi (Nurko,
2006).
1) Kehilangan darah
Pasien dengan CKD memiliki risiko kehilangan darah karena disfungsi
platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien CKD yaitu dialysis,
terutama hemodialisis, dan kehilangan darah ini menyebabkan defisiensi zat
besi yang berat. Pasien dengan hemodialisis mungkin mengalami penurunan
3 sampai 5 gram zat besi per tahun. Secara normal, setiap orang mengalami
penurunan zat besi sebesar 1 sampai 2 mg per hari, jadi pada pasien
dengan dialysis terjadi penurunan zat besi 10 sampai 20 kali lipat lebih besar
dibanding individu normal.
2) Pemendekan masa hidup sel darah merah
Masa hidup sel darah merah mengalami penurunan kurang lebih
sebesar 1/3 pada pasien hemodialisis.
3) Uremic milieu
Uremic milieu merupakan istilah yang umum digunakan untuk
menjelaskan adanya disfungsi organ multiple pada CKD. Penelitian pada
pasien yang mendapatkan terapi hemodialisis menunjukkan adanya
peningkatan hematokrit ketika terjadi peningkatan intensitas hemodialisis.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan menurunkan uremia dapat
mengembalikan atau meningkatkan fungsi sumsum tulang belakang.
4) Defisiensi EPO
Erythropoietin (EPO) adalah hormon peptida yang terlibat dalam kontrol
produksi erythrocyte oleh sumsum tulang. Sumber utama dari erythropoietin
adalah ginjal, walaupun disekresikan juga dalam jumlah sedikit oleh hati. Sel
ginjal yang mensekresi adalah sekumpulan sel di interstitium. Stimulus dari
pengsekresian erythropoietin adalah berkurangnya tekanan parsial oksigen
pada ginjal, seperti pada anemia, hipoksia arterial, dan tidak adekuatnya
aliran darah ginjal. Erythropoietin menstimulasi sumsum tulang untuk
meningkatkan produksi eritrosit.
Defisiensi EPO diduga merupakan penyebab utama terjadinya anemia
pada pasien CKD. Sel-sel yang memproduksi erythropoietin mengalami
deplesi atau kerusakan seiring dengan perkembangan CKD, sehingga
produksi EPO menjadi lebih rendah. Defisiensi EPO pada CKD mungkin
merupakan respon fungsional terhadap penurunan GFR. Mekanisme yang
mendasari mungkin sel-sel yang memproduksi EPO pada ginjal tidak
mengalami hypoxia. Jika GFR rendah, maka reabsorbsi natrium juga
mengalami penurunan. Reabsorbsi natrium merupakan determinan utama
konsumsi oksigen di ginjal, sehingga pada ginjal mungkin terdapat oksigen
yang berlebih yang dapat menyebabkan down regulasi produksi EPO
(Donnelly, 2001). Selain itu, pasien yang mendapatkan terapi dialysis dapat
mempertahankan kemampuan untuk meningkatkan produksi EPO.
5) Defisiensi zat besi
Homeostasis zat besi dalam tubuh tergantung pada jumlah zat besi
yang diabsorbsi dalam duodenum dan dari sel darah merah yang telah mati.
Sebagian besar zat besi terikat pada hemoglobin dan disimpan dalam
hepatosit dan makrofag pada sistem reticuloendothelial. Zat besi ditransport
ke eritrosit yang matur oleh protein yang disebut transferrin, yang
mengangkut zat besi yang diserap dan dilepas makrofag. Pada pasien
dengan CKD terjadi gangguan pada homeostasis zat besi. Transferrin pada
pasien dengan CKD hanya terdapat sebesar 1/3 sampai ½ dari jumlah
normal, yang menunjukkan kapasitas sistem transport zat besi dalam tubuh.
Hal ini diduga disebabkan oleh ketidakmampuan untuk melepas zat besi
yang disimpan dalam makrofag dan hepatosit.

7. MANIFESTASI KLINIS
Gejala menurut (Long,1996 : 369)
 Gejala dini : lethargi,sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat
badan berkurang,mudah tersinggung, depresi
 Gejala yg lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah,nafas dangkal

Gejala berdasarkan organ yang terkena, antara lain:


1. Kardiovaskuler: Hipertensi,nyeri dada, gagal jantung kongesti, edema
pulmoner,perikarditis, Pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema
periorbital, friction rub pericardial, pembesaran vena leher
(peningkatan JVP)
2. Dermatologi : Warna kulit abu-abu mengkilat, pucat,kulit kering
bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan
kasar
3. Pulmoner : Krekels, sputum kental dan liat, nafas dangkal, dan
pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah, cegukan, nafas berbau
ammonia, Ulserasi,perdarahan mulut, konstipasi, diare, perdarahan
saluran cerna.
5. Neurologi : Tidak mampu konsentrasi, kelemahan, keletihan,
perubahan tingkat kesadaran, disorientasi, kejang, rasa panas pada
telapak kaki, perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal : Keram otot, kekuatan otot hilang, pegal kaki
sehingga selalu digerakkan (kesemutan dan terbakar, terutama di
telapak kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertrofi otot-otot
ekstremitas)
7. Endokrin: gangguan seksualitas, libido fertilisasi dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore, gangguan metabolik glukosa,
lemak dan vitamin D
8. Persendian : Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang
9. Kelainan mata : Azotemia ameurosis, retinopati, nistagmus, miosis dan
pupil asimetris, red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi,
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal
kronis akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. Visus
hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam
kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome
akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai
pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
10. Sistem hematologi : Kelainan hemopoeisis, Anemia normokrom
normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), Kelelahan dan lemah
karena anemia atau akumulasi substansi buangan dalam tubuh.
Perdarahan karena mekanisme pembekuan darah yang tidak
berfungsi. Selain itu hemopoesis dapat terjadi karena berkurangnya
produksi eritropoitin, hemolisis, defisiensi besi
11. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa: Biasanya
retensi garam dan air tetapi dapat juga kehilangan natrium, asidosis,
hiperkalemia, hipomagnesia, hipokalsemia
12. Farmakologi : Obat-obatan yang diekskresi oleh ginjal
13. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai
hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk
amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan
mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
14. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas
dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder.
Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi.
Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan
kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
15. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering
dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.
Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk
segera dilakukan dialisis.
16. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,
dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan
mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala
psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental
ringan atau berat ini
17. Gejala lain : Gangguan pengecapan, berat badan turun dan lesu,
gatal-gatal, gangguan tidur, cairan diselaput jantung dan paru-paru,
otot-otot mengecil, Gerakan-gerakan tak terkendali, kram, Sesak nafas
dan confusion, Perubahan berkemih : Poliuria, nokturia, oliguria

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKA
 Pemeriksaan Laboratorium
 Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia
 Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan
 Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama
dengan menurunnya diuresis
 Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein
 Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat
pada gagal ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan
perifer)
 Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH
yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun,
semuanya disebabkan retensi asam-basa organik pada gagal ginjal.
 Ht: menurun karena pasien mengalamii anemia Hb < 7-8 gr/dl
 BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap
akhir. Rasio BUN dan kreatinin = 12:1 – 20:1
 GDA: asidosis metabolic, PH <7,2
 Protein albumin : menurun
 Natrium serum : rendah, Nilai normal 40-220 mEq/l/hari tergantung
berapa banyak cairan dan garam yang dikonsumsi.
 Kalium, magnesium : meningkat
 Kalsium : menurun

 Pemeriksaan Urin
 Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada urin
(anuria)
 Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh
zat yang tidak terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus, bakteri,
lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin.
 Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular
 Klirens kreatinin : mungkin menurun.
 Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
 Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan
kerusakan glumerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
 Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1
 Pemeriksaan Radiologi: ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan
menilai derajat dari komplikasi yang terjadi
a. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih serta prostat.
b. IVP (Intra Vena Pielografi): untuk menilai sistem pelviokalises dan
ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada
keadaan tertentu, misalnya: usia lanjut, DM dan nefropati Asam urat.
c. Foto Polos Abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal dan
apakah ada batu atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai dengan
tomogram memberikan hasil keterangan yang lebih baik.Dehidrasi
akan memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu penderita
diharapkan tidak puasa.
d. Endoskopi : untuk menentukkan pelvis ginjal, batu, hematuria, dan
pengangkatan tumor selektif
e. Renogram: untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskuler, parenkim, eksresi), serta sisa fungsi ginjal.
f. EKG : untuk mengetahui kemungkinan hipertropi ventrikel kiri dan
kanan, tanda-tanda perikarditis, disritmia, gangguan elektrolit.
g. Renal anterogram : mengkaji terhadap sirkulasi ginjal dan
ekstravaskularisasi serta adanya masa.
h. Rotgen thorak : mengetahui tanda-tanda kardiomegali dan odema
paru.

 Pemeriksaan Patologi Anatomi


 Biopsy ginjal : Dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal kronik
atau perlu diketahui etiologi daru penyakit ini

9. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Terapi konservatif : tujuannya mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
 Peranan Diet: 1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal
dengan memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan
kerja ginjal.2)Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang
tinggi (uremia).3)Mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit.4)Mencegah atau mengurangi progresifitas gagal ginjal,
dengan memperlambat turunnya laju filtrasi glomerulus (Almatsier,
2006). Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama
dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Protein rendah, yaitu 0,6 – 0,75 gr/kg BB. Sebagian harus bernilai
biologik tinggi.Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan total energi,
diutamakan lemak tidak jenuh ganda. Karbohidrat cukup, yaitu :
kebutuhan energi total dikurangi yang berasal dari protein dan
lemak.Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, acites, oliguria,
atau anuria, banyak natrium yang diberikan antara 1-3 g. Kalium
dibatasi (60-70 mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5
mEq), oliguria, atau anuria.
 Kebutuhan Jumlah Kalori: untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
Energi cukup yaitu 35 kkal/kg BB.
 Kebutuhan Cairan: Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan
harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Cairan
dibatasi yaitu sebanyak jumlah urine sehari ditambah dengan
pengeluaran cairan melalui keringat dan pernapasan (±500 ml).
 Kebutuhan Elektrolit dan Mineral: bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
 Vitamin cukup, bila perlu berikan suplemen piridoksin, asam folat,
vitamin C, vitamin D.

b. Terapi Simtomatik
 Asidosis Metabolic: harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
 Anemia:
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
Penatalaksanaan anemia dengan rekombinan erythropoiesis-
stimulating agents (ESAs) dapat memperbaiki kondisi pasien CKD
dengan anemia secara signifikan. ESAs harus diberikan untuk mencapai
dan mempertahankan konsentrasi hemoglobin 11.0 sampai 12.0 gr/dL.
Pasien juga harus menerima suplemen zat besi selama menerima terapi
ESA karena erythropoiesis yang diinduksi secara farmakologis dibatasi
oleh supply zat besi, ditunjukkan dengan kebutuhan ESA yang lebih
sedikit setelah pasien menerima suplemen zat besi. Selain itu, karena
tubuh membentuk banyak sel darah merah, tubuh juga memerlukan
banyak zat besi sehingga dapat terjadi defisiensi zat besi. Serum ferritin
dan persen transferrin saturation mengalami penurunan setelah 1 minggu
terapi ESA pada pasien dengan CKD yang menerima dialysis. Karena
pasien CKD mengalami gangguan metabolism zat besi, serum ferritin dan
persen transferrin saturation harus dipertahankan lebih tinggi daripada
individu normal. Maintenance serum ferritin yang disarankan yaitu ≥200
ng/mL, dan persen transferrin saturation ≥20%. Sebagian besar pasien
CKD membutuhkan suplementasi zat besi parenteral untuk mencapai
kadar zat besi yang disarankan.
 Keluhan Gastrointestinal: Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,
merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan
gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK.
Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
 Kelainan kulit : Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis
keluhan kulit.
 Kelainan neuromuskular: Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan
yaitu terapi hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau
operasi subtotal paratiroidektomi.
 Hipertensi : Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
 Kelainan sistem kardiovaskular : Tindakan yang diberikan tergantung dari
kelainan kardiovaskular yang diderita.
c. Terapi Medis
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal .
 Dialisis : Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan,
dan membantu penyembuhan luka. Dialisis adalah suatu proses difusi zat
terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari suatu
kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya. Terdapat dua teknik
yang digunakan dalam dialisis, yaitu :
 Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan atau produk limbah karena dalam tubuh
penderita gagal ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut
(Brunner&Suddarth, 2002). Menurut corwin (2000), hemodialisis
adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa
darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk
kedalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah
membran semipermeable (dializer) yang terdiri dari dua ruangan.
Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan
dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah dilakukan
pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh
melalui arterio venosa shunt (AV-shunt). Tindakan terapi dialisis
tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) >
120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara
5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat. Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan
sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.
Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya
adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya
yang mahal.

 Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan


hemodialisa antara lain :

a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi eksresi, yaitu


membuang sisa-sisa metabolisme (ureum, kreatinin, dll).

b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan


tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat
ginjal sehat

c. Meningkatan kualitas hidup klien yang menderita


penurunan fungsi ginjal.
 Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisa pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Pengobatan ini jarang
dipakai untuk jangka panjang. Akhir-akhir ini sudah populer
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di
luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien
anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien
yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan
stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin
masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan
co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di
daerah yang jauh dari pusat ginjal.

 Koreksi Hiperkalemi : Mengendalikan kalium darah sangat penting


karena hiperkalemi dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang
pertama diingat jangan menimbulkan hiperkalemia. Bila terjadi
hiperkalemia, maka obati dengan mengurangi intake kalium, pemberian
Na Bikarbonat, dan pemberian infuse glukosa.
 Koreksi Anemia: Usaha pertama harus dilakukan untuk mengatasi factor
defisiensi, kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin
dapat diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat
meninggikan Hb. Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi
kuat, misalnya: insufisiensi koroner.
 Koreksi Asidosis: Pemberian makanan dan obat harus dihindari.
Natrium Bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada
permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan.
Jika diperlukan dapat diulang. Hemodialisis dan dialysis peritoneal juga
dapat mengatasi asidosis.
 Pengendalian Hipertensi : Pemberian obat Beta-Blocker, Alpa
Metildopa, dan vasodilator dilakukan. Mengurangi intake garam dan
mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak sama gagal ginjal
disertai retensi natrium.
 Transplantasi Ginjal: Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien
GGK, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal baru. Pertimbangan
program transplantasi ginjal :
 Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh 100% fungsi dan faal
ginjal
 Kualitas hidup normal kembali
 Survival rate meningkat
 Komplikasi (biasanya dapat di antisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
 Tindakan standar adalah dengan merotasi ginjal donor dan meletakkan
pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian lebih mudah
beranastomosis atau berimplantasi kedalam kemih resipien. Arteri
renalis berimplantasi pada arteri iliaca interna dan vena renalis
beranastomosis dengan vena iliaca komunis atau eksterna.

 Terapi Obat
 hindari antacids or laxatives àmagnesium to prevent magnesium
toxicity.
 antipruritics, such as diphenhydramine (Benadryl)
 vitamin supplements (particularly B vitamins and vitamin D)
 loop diuretics, such as furosemide (if some renal function remains),
along with fluid restriction to reduce fluid retention
 digoxin (Lanoxin) to mobilize edema fluids
 antihypertensives to control blood pressure and associated edema
 antiemetics taken before meals to relieve nausea and vomiting
 famotidine (Pepcid) or nizatidine (Axid) to decrease gastric irritation.

Penatalaksanaan Menurut Derajat CKD


LFG Perencanaan
Derajat
(ml/mnt/1,873 m2) Penatalaksanaan Terapi
Dilakukan terapi pada penyakit dasarnya,
kondisi kormobid, evaluasi perburukan
1 >90
(progresion) fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler.
Menghambat perburukan (progresion) fungsi
2 60-89
ginjal
3 30-59 Mengevaluasi dan melakukan terapi pada
komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk pengganti ginjal (dialisis)
Dialysis dan mempersiapkan terapi
5 <15
penggantian ginjal (transplantasi ginjal)

10. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare
(2001) serta Suwitra (2006) antara lain adalah :
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik,
katabolisme, dan masukan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin angiotensin aldosteron. Tekanan Darah Tinggi. Karena salah
satu fungsi ginjal adalah mengatur tekanan darah,maka anda bisa
mengalami tekanan darah tinggi ketika terjadi gangguan kronis dari
fungsi ginjal. Selanjutnya kondisi demikian akan mempercepat
peningkatan risiko penyakit jantung.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal
dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan
ion anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid dan Hiperfosfatemia.
j. Perdarahan
k. Neuropati perifer
l. Esofagitis, Pankreatitis, Infeksi
m. Hipertrofi ventrikel kiri
n. Kardiomiopati dilatasi, Oateodistrofi
o. Penyakit Jantung. Ketika anda mengalami GGK, maka anda sangat
berisiko terkena penyakit jantung. Dan dilaporkan lebih dari
separuhkematian pada orang dengan GGK berasal dari adanya
penyakit jantung ini. Serangan Jantung dan Stroke. Penyakit jantung
dan pembuluh darah merupakan penyebab utama kematian lebih dr
20 juta org di Amerika Serikat yang menderita GGK. Penderita dg
GGK memiliki risiko lebih tinggi utk mengalami serangan jantung atau
stroke, bahkan pada penderita yg masih pada stadium awal atau
ringan sekalipun.
p. Perubahan Kulit. Ketika fungsi ginjal anda terganggu, akan tjd
endapan garam kalsium-fosfat di bawah kulit hingga menimbulkan
rasa gatal. Rasa gatal ini secara alamiah anda akan menggaruknya,
hingga kadang2 sampai terluka dan terinfeksi. Proses ini tidak
kunjung membaik hingga keindahan kulit menjadi rusak, bahkan
terkesan kotor & berubah seperti kulit jagung (kasar & kering)
q. Kematian. Risiko kematian pada penderita GGK cukup tinggi. Dalam
kejadian di lapangan, kematian sering diawali dengan sesak nafas,
atau kejang otot jantung, atau tidak sadarkan diri, atau infeksi berat
sebelumnya.

11. PENCEGAHAN
 Pencegahan Primer : Pengaturan diet protein, menghindari obat
netrotoksik, menghindari kontak radiologik yang tidak amat perlu,
mencegah kehamilan pada penderita yang berisiko tinggi, konsumsi
garam sedikit. makin tinggi konsumsi garam, makin tinggi pula
kemungkinan ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat
mempermudah terbentuknya kristalisasi ikatan kalsium urat oleh sodium.
 Pencegahan Sekunder : berupa penatalaksanaan konservatif yang
terdiri atas pengobatan penyakit-penyakit co morbid (penyakit penyerta)
untuk menghambat progresifitas dan persiapan pengobatan pengganti
yang terdiri dari dialisis dan transplantasi ginjal. Pengobatan Konservatif
: memanfaatkan faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai
faktor pemberat, dan bila mungkin memperlambat progresivitas gagal
 Pengaturan diet kalium, natrium dan cairan
 Diet rendah kalium .Asupan kalium dikurangi, diet yang dianjurkan adalah
40-80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi
kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia. Selain itu,Diet rendah
natrium Diet Na yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 gr Na).
Dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru,
hipertensi gagal jantung kongestif. Pengaturan cairan Asupan yang bebas
dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema.
Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi,
hipotensi dan gangguan fungsi ginjal
 Pencegahan Tersier : upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih
berat atau kematian, tidak hanya ditujukan kepada rehabilitasi medik
tetapi juga menyangkut rehabilitasi jiwa. Pencegahan tersier bagi
penderita GG dapat berupa: mengurangi stress, menguatkan sistem
pendukung sosial atau keluarga untuk mengurangi pengaruh tekanan
psikis pada penyakit GGK, meningkatkan aktivitas sesuai toleransi,
hindari imobilisasi karena hal tersebut dapat meningkatkan demineralisasi
tulang, meningkatkan kepatuhan terhadap program terapeutik, mematuhi
program diet yang dianjurkan untuk mempertahankan keadaan gizi yang
optimal agar kualitas hidup dan rehabilitasi dapat dicapai.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu
pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :

1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal
seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD
dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan
penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk /
berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air
minum / mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak
sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo
nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan
traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit
parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter.
Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung
kenapa kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun
waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air
naik atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya
adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan
tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latiHan.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien
tidak dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata.
Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan
kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan
jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai
terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup,
komunikasi tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan
dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat
berhubungan, penurunan kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema,
citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan
percaya diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan
dengan tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah
meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan
agama seperti biasanya.

5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien
dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau
terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga,
hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorokan.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot
bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada
paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan
pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang,
dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia,
dan terjadi perikarditis.
6. Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada
(anuria).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus /
nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,
amrasio urine / ureum sering 1:1.
2. Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
3. Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
4. Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
5. Darah
a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL
diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb
biasanya kurang dari 7-8 g/dL.
c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin
seperti pada azotemia.
d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari
7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen
dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2
menurun.
e) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
selular (asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir ,
perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar.
Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium menurun. Protein (khuusnya
albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui
urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis
karena kurang asam amino esensial. Osmolalitas serum lebih besar dari 285
mosm/kg, sering sama dengan urine.

b. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa , kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
5. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih
dan adanya obtruksi (batu).
6. Arteriogram ginjal adalah mengkaji sirkulasi ginjal dan megidentifikasi
ekstravaskuler, massa.
7. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
8. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluk kedalam ureter, dan retensi.
9. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit
tinggi kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat
ketat pula pada asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10. pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti
hipertensi, obat diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada
penyakit DM, sampai selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema sekunder :
volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O
b. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan karena supply
oksigen menurun
c. Resiko Infeksi berhubungan dengan penusukan daerah insersi
d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh
behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta
kadar asam basa dalam tubuh
e. Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
f. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan supply darah dan
oksigen ke jaringan menurun
g. Gangguan pertukaan gas berhubungan dengan peningkatan tekanan
kapiler paru dan edema paru.
ISK Nefrosklerosis Glomerulusnefritis Penyakit ginjal Gout DM Hiperparateoroidisme Nefropati toksik
Hipertensif kronik

meningkat
Parenkim ginjal Perubahan Proteinuria & hemoturia Kista-kista Nefropati nefrokalasinosis Insufisiensi ginjal
Asam urat plasma
terinfeksi akibat patologis PD multiple bilateral diabetika
refluks urine ginjal

Gagal ginjal

Produksi eritropoitin menurun & usia Destrusi gromerulus Gangguan filtrasi, reabsorpsi % ekskresi Gaangguan metabolism
SDM memendek Kalsium & Fosfat

GFR menurun
Gangguan erotropoesis Retensi cairan dan elektrolit Fosfat meningkat & Ca serum menurun

Produksi eritrosit BUN darah meningkat


Edema Aktifitas system Sekresi H+
menurunn
RAA menurun Calsium tulang menurun

Foiter uremik
Cairan >>>
Anemia hipertensi Asam metabolik
Hemodilusi
Osteodistrofi renal
Mual & muntah
Hemoglobin menurun Risti penurunan curah jantung
Gangguan keseimbangan
Aktifitas miokard
asam basa
meningkat
Anoreksia Gangguan pola napas
Suplay O2 kejaringan & organ produksi ADH Disfungsi kognitif
terganggua lemah
organ menurun
Insufisiensi O2 jantung
Gangguan pemenuhan kejang
nutrisi dehidrasi Deficit cairan tubuh Sel saraf pusat
Keletihan bingung
Angina
Kekurangan volume Pengkerutan sel
cairan Eksresi natrium
Cidera Intoleransi aktivitas
Gangguan rasa nyaman nyeri CIS keluar ke CES untuk
hipernatremi menyeimbangkan osmolarits CES
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

1 Kelebihan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Fluid management


volume cairan jam, volume cairan seimbang
1-4. 1 kaji intake dan output cairan,
NOC
2,3. 1 timbang berat badan secara rutin
Fluid overload severity
2,3. 2 Jelaskan pada pasien dan
N Indikator 1 2 3 4 5 keluarga tentang pembatasan
o cairan

1 Tekanan darah 1-4. 2 monitor hasil lab terkait retensi


cairan
2 Berat badan
2-4. 1 Kaji lokasi dan berat edema
3 Edema
1-4. 3 Kolaborasi tindakan dialisis
4 Pusing
2.1 monitor BB pasien setelah dialisis
Keterangan Penilaian :
1 : Severe
2 : Substantial.
3 : Moderate
4 : Mild deviation
5 : None.

h. No Diagnosa Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT


T
Dx Keperawatan

2 Intoleransi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Activity therapy, pain management
aktivitas jam, terdapat perbaikan dalam klien beraktivitas 1-4. 1 kaji kemampuan pasien untuk
NOC beraktivitas sehari hari
Activity tolerance 1-4. 2 dampingi pasien saat beraktivitas
N Indikator 1 2 3 4 5 1-4.2 dampingi pasien atau keluarga
o untuk mengidentifikasi defisit aktivitas
1 Jarak berjalan 1-4.3 berikan reinforcement saat klien
2 kelelahan biasa beraktivitas mandiri
3 kemampuan 1-4. 4 monitor status emosional, sosial
beraktivitas sehari dan spiritual sebagai respon aktivitas
4 hari 4.1 kaji dampak nyeri terhadap aktivitas
nyeri otot 4.2 ajarkan manajemen nyeri misal
teknik distraksi, relaksasi
Keterangan Penilaian :
1 : Severe compromised
2 : Substantial compromised
3 : Moderate compromised
4 : Mild deviation compromised
5 : No compromised
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan
3 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 1-4.1 monitor TTV
b.d prosedur jam, tidak terdapat tanda tanda infeksi 1-4.2 hindari mengukur TD di lengan
invasif NOC yang terdapat fistula
hemodialisa N Indikator 1 2 3 4 5 1-3. 1 pakai teknik aseptik saat prosedur
o dialisa
1 Warna kulit sekitar 1-4.3 ajarkan klien dan keluarga tanda
insersi gejala yang membutuhkan penanganan
2 Suhu disekitar medis
3 insersi 1-4.4 kaji daerah sekitar insersi
Rembesan drainase
4 di sekitar insersi
Pergeseran kanula

Keterangan Penilaian :
1 : Severe compromised
2 : Substantial compromised
3 : Moderate compromised
4 : Mild deviation compromised
5 : No compromised

i.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.

Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information


Clearinghouse (NKUDIC). the National Institute of Diabetes and Digestive
and Kidney Diseases (NIDDK). (http://www.kidney.niddk.nih.gov).

Patel, P. R. 2007. Lecture Notes: Radiologi Ed. 2. Surabaya: Erlangga.

Purnomo, B. Basuki.2000.Dasar-dasar Urolog , cetakan I. Jakarta : CV.


Infomedika

Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga.


Jakarta :Sagung Seto

Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Renal Services & Urology Directorate. 2005. Nephrotic Syndrome. a patients’
guide. (http://www.kidney.org.uk).

Rindiastuti, Yuyun. 2006. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: EGC.


Silvia A. Price, Lorraince M. Wilson. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2003.

Sjamsuhidajat, R. & Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EG

Smeltzer C.S. dan Bare Brenda. 2003. Brunner and Suddarth’s Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia: Lippincott.

Soeparman & Waspadji . 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jld.I. Jakarta: BP FKU

Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jakarta: FKUI.
2006.

Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.

Susanne, C Smelzer. 2002. Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &Suddart) ,


Edisi VIII, Volume 2. Jakarta: EGC

Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. 581-584.

Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran
Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika
Universitas Sumatera Utara. 2011. Bab 2 Tinjuan Pustaka.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16742/4/Chapter%20II.pdf.
diakses pada tanggal 09 Juli 2015

Guyton, A.C. & Hall, J.E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran 11th ed. Jakarta:
EGC.

O’callaghan, Chris et al. 2009. At a Glance Sistem Ginjal 2nd ed. Jakarta :
Erlangga.

Price S., Wilson L. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,


edisi 6. Jakarta: EGC.

Tjokroprawiro, Askandar et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :
Airlangga Univesity Press

Anda mungkin juga menyukai