PENDAHULUAN
PGK awalnya tidak menunjukan tanda dan gejala, namun dapat berjalan
progresif menjadi gagal ginjal.1 The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan penyakit
1
ginjal kronis sebagai kerusakan ginjal atau tingkat penurunan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/min/1.73 m 2dalam waktu ≥3 bulan yang
disertai dengan kerusakan struktur ginjal.3
Pada PGK, fungsi ekskresi dan sekresi ginjal menurun dan menyebakan
berbagai gejala secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik
stadium 1-3 umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis
biasanya muncul dalam tahap 4-5. Manifestasi klinis PGK dapat sesuai dengan
penyakit yang mendasari, karena adanya sindrom uremia, maupun gejala dari
komplikasi yang ditimbulkan.2 Pada PGK stadium 5, mutlak dilakukan terapi
pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal dapat berupa hemodialisis, peritoneal
dialysis, maupun transplantasi ginjal.2
Penting untuk melakukan diagnosis dini, modifikasi pola hidup, dan pengobatan
penyakit yang mendasari. Penanganan PGK memerlukan kerjasama tim medis,
pasien, serta keluarga dan lingkungan. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya
tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat membantu
memperbaiki hasil pengobatan. Meskipun PGK merupakan penyakit yang
ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan dapat mengurangi gejala
yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya.2 Pada laporan ini
akan dipaparkan idealnya kegiatan seorang five-star doctor dalam menangani
pasien dengan PGK. Dimana dalam konteks ini pasien dilihat secara keseluruhan,
baik fisik, mental, lingkungan sosial, ekonomi, serta keseharian pasien yang
bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko kejadian PGK, melakukan
2
pencegahan terhadap perburukan kondisi dan mengedukasi pasien dan keluarga
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan PGK.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Setiap hari kedua ginjal menyaring sekitar 120-150 liter darah dan
menghasilkan sekitar 1-2 liter urin. Tiap ginjal tersusun dari sekitar satu juta
unit penyaring yang disebut nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan
tubulus. Glomerulus menyaring cairan dan sisa hasil metabolisme untuk
dikeluarkan serta mencegah keluarnya sel darah dan molekul besar yang
sebagian besar berupa protein. Selanjutnya melewati tubulus yang
mengambil kembali mineral yang dibutuhkan tubuh dan membuang sisanya.
Ginjal juga menghasilkan renin yang berfungsi untuk menjaga tekanan darah
dan kadar garam, hormone erythropoietin yang merangsang sumsum tulang
memproduksi sel darah merah, serta menghasilkan bentuk aktif vitamin D
yang dibutuhkan untuk kesehatan tulang. Gangguan pada ginjal dapat
berupa penyakit ginjal kronik (PGK) dan gangguan ginjal akut (acute kidney
injury).1
4
1. Adanya bukti kerusakan ginjal yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan
laboratorium (albuminuria (AER ≥ 30 mg/24jam; ACR ≥ 30 mg/g [≥3
mg/mmol]), abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit atau yang
lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan
histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pencitraan, atau
riwayat transplantasi ginjal)
2. Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) (LFG < 60 ml/menit/1,73
m2)3
2.2 Epidemiologi
Penyakit Ginjal Kronik merupakan penyakit yang sering dijumpai
pada praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-
13% dari populasi. Sebuah studi yang dilakukan Perhimpunan Nefrologi
Indonesia melaporkan sebayak 12,5% populasi di Indonesia mengalami
penurunan fungsi ginjal.4 Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999
menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus per satu
juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% tiap tahunnya.
Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru
gagal ginjal per tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun.2
Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥15 tahun yang terdiagnosis
gagal ginjal kronis sebesar 0,2% dimana angka ini lebih rendah
dibandingkan dengan negara lain. Prevalensi PGK meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44
tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun.1
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat
penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan
rumus Kockroft-Gault sebagai berikut:
6
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin
/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant gromerulopathy
7
mikroangiopati
trombotik, sklerosis
sistemik
Penyakit kistik dan Penyakit polikistik Displasia renal, penyakit
congenital ginjal, Alport kistik medulla,
syndrome, Fabry podositopati
disease
2.4 Etiologi
Etiologi PGK sangat bervariasi. Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di
Indonesia, antara lain adalah glomerulonefritis (46,39%), diabetes mellitus
(18,65%), obstruksi dan infeksi (12,85%), hipertensi (8,46%), dan sebab-
sebab lain yang dapat berupa nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat,
penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui
(13,65%).4
8
diabetik (27%). Insiden penyakit ini ditemukan lebih tinggi pada populasi
usia< 40 tahun.8
2.5 Patofisiologi
Penyakit Ginjal Kronik disebabkan oleh adanya gangguan atau
kerusakan pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti
membrane basal glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan
komponen ini dapat disebabkan secara langsung oleh kompleks imun,
mediator inflamasi, atau toksin.Selain itu, dapat pula disebabkan oleh
mekanisme progresif yang berlangsung dalam jangka panjang. Berbagai
sitokin dan growth factor berperan dalam menyebabkan kerusakan ginjal.9
Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)
sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit
dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis rennin-
angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka
panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal
yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas PGK adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.2
9
>30 mL/menit/1,73m2 sering asimptomatik atau tanpa gejala, yang artinya
pasien belum mengalami gejala yang terdapat pada gangguan
keseimbangan air ataupun elektrolit, atau kekacauan dari sistem endokrin
dansistem metabolik4. Gejala lebih sering muncul pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik derajat 4 hingga 5 dengan LFG < 30 mL/menit/1,73
m2. Pasien dengan gangguan pada tubulointerstitial, cystic, sindroma
nefrotik, dan kondisi lainnya yang sering disebut dengan gejala positif
seperti poliuri, hematuria, edema, lebih sering memperlihatkan tanda-tanda
penyakit pada derajat yang lebih awal.
2.7 Diagnosis
Diagnosis pasti penyakit ginjal kronik memerlukan biopsi ginjal yang
meskipun sangat jarang dilakukan karena dapat menimbulkan berbagai
komplikasi. Biopsi ginjal dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis
pastinya hanya dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis
10
pasti tersebut akan merubah baik pengobatan maupun prognosis. Pada
sebagian pasien diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pada gambaran
klinik yang lengkap dan faktor penyebab yang didapat dari evaluasi klinik
dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan
pencitraan ginjal.
1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien dengan penyakit ginjal kronik biasanya sesuai
dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya (American Diabetes
Association, 2016). Gejala lainnya berupa sindrom uremia yang terdiri
dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume
cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma. Gejala yang berhubungan
dengan komplikasi yang terjadi antara lain, hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, dan gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
2. Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium akan dipengaruhi oleh penyakit yang mendasarinya.
Penurunan fungsi ginjal yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung
menggunakan Kockcroft-Gault. Tanda lainnya adalah adanya kelainan
biokimiawi darah yang ditunjukkan dengan terjadinya penurunan kadar
hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, peningkatan kadar asam urat, asidosis
metabolik. Kelainan pada pemeriksaan urinalisis ditunjukkan dengan adanya
proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis yang dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis dapat berupafoto polos abdomen dimana biasanya bisa tampak batu
radio-opak. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering
11
tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai
indikasi.Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, kalsifikasi. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan
bila ada indikasi.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan penyakit ginjal kronik
meliputi5 hal penting yang harus dilakukan, yaitu terapi yang dilakukan bersifat
spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi
komorbid (comorbid condition), memperlambat terjadinya pemburukan
(progression) fungsi ginjal, melakukan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi yang terjadi, dan dapat juga dengan melakukan terapi pengganti ginjal
berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
12
Rencana tatalaksana yang dilakukan adalah terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskular.
13
3. Memperlambat Terjadinya Perburukan (Progression) Fungsi Ginjal
Faktor utama yang menyebabkan terjadinya perburukan fungsi ginjal
adalah hiperfiltrasi glomerulus. Cara penting untuk mengurangi kondisi
hiperfiltrasi glomerulus yaitu:
25-60 0,6-0,8/kg/hari ≤ 10 g
14
dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena pada pasien HD kronik sering
mengalami malnutrisi yang disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat,
proses inflamasi kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit
komorbid, gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis yang tidak
adekuat, overhidrasi interdialitik3.
5. Terapi Farmakologis
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, pemakaian obat antihipertensi
bermanfaat untuk memperkecil risiko gangguan kardiovaskular dan menghambat
perburukan kerusakan nefron dengan cara mengurangi hipertensi intraglomerulus
dan hipertrofi glomerulus. Obat antihipertensi terutama penghambat enzim yang
merubah angiotensin (ACE inhibitor) dapat memperlambat proses perburukan
fungsi ginjal lewat mekanismenya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, dapat dilakukan dengan pengendalian gula darah,
hindari pemakaian obat metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa
kerja yang panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 adalah 0,2 diatas nilai
normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.
Hipertensi
Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim converting angiotensin (ACE inhibitor) dan
angiotensin reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses perburukan fungsi ginja melalui mekanisme
kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi
kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat
diberikan calcium channel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.
15
Dislipidemia
Obat golongan statin dianjurkan untuk mengontrol dislipidemia dengan
target LDL 100 mg/dl.
Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain
yang ikut berperan dalam terjadinya anemia, yaitu defisiensi zat besi,
kehilangan darah, masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi
akut maupun kronik. Pemberian transfuse pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, jika dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan
fungsi ginjal.
Hiperfosfatenemia
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit
ginjal kronik secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah
garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan, seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800
mg/hari.Pemberian pengikat fosfat dapat pula diberikan pada pasien
penyakit ginjal kronik dengan hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang banyak
dipakai, adalah garam kalium, aluminium hidroksida, garam
magnesium.Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan kalsium asetat.
Kelebihan Cairan
Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema
dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui
insensible water loss antara 500- 800 ml/hari, maka air yang dianjurkan
masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi
adalah Na dan K sebab hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung
yang fatal dan hipernatremia dapat mengakibatkan hipertensi dan edema.
16
Kadar kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt Oleh karena itu pemberian
obat-obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
seperti sayur dan buah harus dibatasi.
17
sampai target Hb = 10g/dL. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah
adalah 7-9g/dL. Pemberian transfusi darah pada pasien penyakit ginjal
kronik harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu
perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik, hb < 7g/dL dan
tidak memungkinkan menggunakan EPO, dan Hb < 8g/dL dengan
gangguan hemodinamik. Pasien dengan defisiensi besi yang akan
diprogram dengan EPO ataupun yang telah mendapat EPO namun respon
tidak adekuat, diberi preparat besi intravena.
b. Osteodistrofi Renal
Merupakan istilah yang menggambarkan secara umum semua kelainan
tulang akibat gangguan metabolisme Ca karena terjadinya penurunan
fungsi ginjal. Penatalaksanaannya dilakukan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol. Hiperfosfatemia diatasi
dengan pembatasan asupan fosfat 600-800mg/hari, pemberian pengikat
fosfat seperti kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat serta
pemberian bahan kalsium mimetik yang dapat menghambat reseptor Ca
pada kelenjar paratiroid dengan nama sevelamer hidroklorida. Dialisis
yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga berperan dalam
mengatasi hiperfosfatemia.
18
ml/menit.Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika klirens kreatinin telah
dibawah 20 ml/menit.
Pada stadium IV sudah terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat tetapi
belum menjalani terapi pengganti dialisis. Pasien diberikan terapi
konservatif yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan
mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke
stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi kurang masih banyak dialami
pasien dengan penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh asupan
makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan
muntah.
2.9 Prognosis
Pasien dengan penyakit ginjal kronik secara keseluruhan memiliki
kemungkinan untuk mengalami kerusakan yang progresif pada fungsi ginjal, dan
menjadi faktor risiko untuk menjadi derajat akhir dari penyakit ginjal.Progresifitas
tersebut bergantung pada umur, penyebab dasar, dan kesuksesan pencegahan
sekunder dan individu dari pasien itu sendiri.Prediksi prognosis dapat dilihat
19
melalui beberapa parameter seperti penyebab penyakit ginjal, kategori LFG,
kategori albuminuria dan faktor resiko serta komplikasi yang sudah terjadi.
Angka kematian pada penyakit ginjal kronik cenderung lebih tinggi pada
laki-laki, kulit hitam, pada pasien yang melakukan dialisis pada 6 bulan awal,
pada pasien dengan keadaan gagal ginjal dan gagal jantung kongestif yang
melakukan peritoneal dialisis. Penyebab tersering dari kematian yang tiba-tiba
pada pasien dengan gagal ginjal adalah kondisi hyperkalemia3.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Sesak
20
nyaman sampai akhirnya pasien dibawa ke UGD untuk mendapatkan pemeriksaan
dan penanganan lebih lanjut. Pasien mengatakan sesak yang dirasakan oleh pasien
membaik saat pasien sedang sedang duduk dan bertambah berat saat pasien
tertidur namun setelah diberikan oksigen pasien merasa lebih baik . Selain itu
pasien juga mengeluhkan batuk (+) sejak tiga hari yang lalu namun batuk disertai
dengan dahak yang sulit keluar sehingga menganggu tidur pasien , darah dikatkan
tidak ada , beberapa hari yang lalu pasien juga mengatakan pasien sempat demam
namun setelah pasien mengkonsumsi obat penurun panas pasien merasa lebih baik
, mual (-) , muntah (-) .
Riwayat Pengobatan
Setiap hari nya pasien rutin mengkonsumsi asam folat , calsifat , vitamin BC ,
candesartan , amlodipine , furosemide , meloxicam dan omeprazole . Setiap
minggu pasien rutin melakukan cuci darah sebanyak dua kali di RS KDH .
21
Tekanan Darah : 141/89 mmHg
Nadi : 120 kali/menit, regular, isi cukup
Respirasi : 30 kali/menit, regular
Suhu Aksila : 36 °C
Saturasi Oksigen : 99 % udara ruangan
Status General
Kepala : normosepali
Mata : konjungtiva pucat (+/+), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor,
edema palpebra (-/-), mata cowong (-/-)
THT
Telinga : serumen (-/-), membran timpani intak (+/+)
Hidung : sekret (-), napas cuping hidung (-), epistaksis (-)
Tenggorokan : faring hiperemis (-) , tonsil T1/T1 tidak hiperemis
Lidah : lidah kotor (-), sianosis (-)
Bibir : sianosis (-), mukosa kering (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-), PJVP (-)
Thoraks
Cor
Inspeksi : precordial bulging (-), iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba, kuat angkat (-), thrill (-)
Auskultasi : S1S2 normal regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : bentuk normal, gerakan dinding dada simetris saat statis dan
dinamis, retraksi (-)
Palpasi : gerakan dinding dada teraba simetris, nyeri tekan (-)
Perkusi : suara sonor (+/+)
Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), ronki (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
22
Palpasi : Nyeri tekan simfisis (-), Nyeri tekan epigastrium (-) , turgor
kulit kembali cepat, hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
massa tidak ada
Perkusi : timpani (+), shifting dullness (-).
Extremitas : akral hangat (+), sianosis (-), edema (-), CRT < 2 detik
Kulit : kutis marmorata (-), sianosis (-)
Genitalia Eksterna : Laki Laki
Status Neurologis
Kaku kuduk : Negatif
Kernig sign : Negatif
Brudzinzki I : Negatif
Brudzinzki II : Negatif
Tonus : N N
N N
5555 5555
Tenaga :
5555 5555
Trofi N N :
N N
Refleks fisiologis : ++ ++
++ ++
23
- Gran # 16.2 x 109 /L 2.0 – 7.0 H
- Lymph % 8.9 % 20.0 – 40.0 L
- Mid % 9.2 % 3.0 – 15.0
- Gran % 81.9 % 50.0 – 70.0 H
HGB 7.5 g/dL 11.0 – 15.0 L
RBC 3.13 x 1012 /L 3.50 – 5.00 L
HCT 22.0 % 37.0 – 47.0 L
MCV 70.3 fl 80.0 – 100.00 L
MCH 23.9 pg 27.0 – 34.0 L
MCHC 34.0 g/dL 32.0 – 36.0
PLT 328 x 109 /L 100 – 500
PCT 0.288 % 0.108 – 0.282 H
24
o Cor : Jantung tampak membesar dengan CTR > 50
o Pulmo : tampak infiltrate/nodule , Corakan bronkovaskuler
kesan meningkat , hillus kanan kiri menebal
o Diaphragma kanan tampak mendatar kiri normal
o Sinus costophrenicus kanan kiri tumpul
o Tulang tulang : Tidak tampak kelainan
o KESIMPULAN : Kesan Kardiomegali , Efusi Pleura
Ekg
o Irama : Sinus
o Heart Rate : 116 x/menit
o Aksis : Normal
o Gelombang P : Normal
o PR Interval :Normal
o Kompleks QRS : Normal
o Segmen ST-T : Normal
o Kesimpulan : Sinus Tachicardi
3.5 Diagnosis
ACKD stage V renal on HD
Cardiomegali
Obs dyspneu ec Efusi Pleura
3.6 Penatalaksanaan
IVFD NaCl 0.9 % - 8 tpm
O2 nasal canul – 2 lpm
Nebul lasal 2 x 1
Injeksi Furosemide 40 mg (ekstra) – dilanjutkan dengan 3 x 20 mg
Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr iv
25
Injeksi ranitidine 2 x 50 mg iv
Ambroxol syr 3 x C1
Asam Folat 2x1
Calsifar 3 x 1
Candesartan 3 x 1 mg
Amlodipin 1 x 5 mg
HD
3.7 Monitoring
Keluhan
Tanda Tanda Vital
3.8 Prognosis
Ad vitam : dubius ad bonam
Ad fungsionam : dubius ad bonam
Ad sanationam : dubius ad bonam
26
Rh +/+ , Whz -/-
23 Sesak (-) , St Present : Terapi Lanjut
Desember Batuk (-) , mual TD :
ACKD stage
2021 (-) , muntah 140/80
(-) , demam mmHg V on HD
(-) , N : 88
renal
makan/minum x/menit
RR : 20
(+) normal
x/menit
Cardiomegali
Tax : 36.8
C
SpO2 : 99 Efusi Pleura
%
St General :
Thoraks : simetris
Cor : S1S2 tunggal
regular murmur (-)
Pulmo : Ves +/+ ,
Rh +/+ , Whz -/-
27
DAFTAR PUSTAKA
28
29