Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Ginjal merupakan organ penting yang berfungsi menjaga komposisi darah


dengan mencegah menumpuknya limbah sisa metabolisme dan mengendalikan
cairan di dalam tubuh, menjaga level elektrolit seperti sodium, potassium dan
fosfat tetap stabil, serta memproduksi hormon dan enzim yang membantu dalam
mengendalikan tekanan darah, membuat sel darah merah dan menjaga tulang tetap
kuat.1

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD)


merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan prevalens dan insidens
gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan biaya yang tinggi.
Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut
dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi
global mengalami PGK pada stadium tertentu. Hasil systematic review dan meta-
analisis yang dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global PGK
sebesar 13,4%. Menurut hasil Global Burden of Disease tahun 2010, PGK
merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan
meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia,
perawatan penyakit ginjal merupakan peringkat kedua pembiayaan terbesar dari
BPJS kesehatan setelah penyakit jantung.1

Di negara barat PGK telah menjadi suatu permasalahan dengan angka


peningkatan kasus dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade
terakhir terjadi peningkatan secara progresif PGK yang memerlukan terapi
pengganti ginjal. Selain itu, prevalensi PGK stadium awal juga semakin
meningkat. Satu dari sembilan orang Amerika Serikat mengidap penyakit ginjal
dan sekitar 20 juta orang memiliki risiko penyakit ginjal dan sebagian besar tidak
menyadari hal tersebut.2

PGK awalnya tidak menunjukan tanda dan gejala, namun dapat berjalan
progresif menjadi gagal ginjal.1 The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan penyakit

1
ginjal kronis sebagai kerusakan ginjal atau tingkat penurunan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/min/1.73 m 2dalam waktu ≥3 bulan yang
disertai dengan kerusakan struktur ginjal.3

PGK disebabkan oleh berbagai etiologi yang mendasari,yang


mengakibatkan kerusakan massa ginjal dengan sklerosis ireversibel dan hilangnya
nefron dan mengarah ke penurunan progresifitas LFG. Dalam menghadapi cedera,
ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan LFG. Meskipun kerusakan
nefron terjadi secara progresif, LFG dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan
kompensasi hipertropi nefron sehat yang tersisa. Kandungan toksin dalam plasma
seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan hanya
setelah total LFG menurun hingga 50%, dimana ginjal sudah tidak mampu
mengkompensasi lagi.2

Pada PGK, fungsi ekskresi dan sekresi ginjal menurun dan menyebakan
berbagai gejala secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik
stadium 1-3 umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis
biasanya muncul dalam tahap 4-5. Manifestasi klinis PGK dapat sesuai dengan
penyakit yang mendasari, karena adanya sindrom uremia, maupun gejala dari
komplikasi yang ditimbulkan.2 Pada PGK stadium 5, mutlak dilakukan terapi
pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal dapat berupa hemodialisis, peritoneal
dialysis, maupun transplantasi ginjal.2

Penting untuk melakukan diagnosis dini, modifikasi pola hidup, dan pengobatan
penyakit yang mendasari. Penanganan PGK memerlukan kerjasama tim medis,
pasien, serta keluarga dan lingkungan. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya
tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat membantu
memperbaiki hasil pengobatan. Meskipun PGK merupakan penyakit yang
ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan dapat mengurangi gejala
yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya.2 Pada laporan ini
akan dipaparkan idealnya kegiatan seorang five-star doctor dalam menangani
pasien dengan PGK. Dimana dalam konteks ini pasien dilihat secara keseluruhan,
baik fisik, mental, lingkungan sosial, ekonomi, serta keseharian pasien yang
bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko kejadian PGK, melakukan

2
pencegahan terhadap perburukan kondisi dan mengedukasi pasien dan keluarga
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan PGK.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Setiap hari kedua ginjal menyaring sekitar 120-150 liter darah dan
menghasilkan sekitar 1-2 liter urin. Tiap ginjal tersusun dari sekitar satu juta
unit penyaring yang disebut nefron. Nefron terdiri dari glomerulus dan
tubulus. Glomerulus menyaring cairan dan sisa hasil metabolisme untuk
dikeluarkan serta mencegah keluarnya sel darah dan molekul besar yang
sebagian besar berupa protein. Selanjutnya melewati tubulus yang
mengambil kembali mineral yang dibutuhkan tubuh dan membuang sisanya.
Ginjal juga menghasilkan renin yang berfungsi untuk menjaga tekanan darah
dan kadar garam, hormone erythropoietin yang merangsang sumsum tulang
memproduksi sel darah merah, serta menghasilkan bentuk aktif vitamin D
yang dibutuhkan untuk kesehatan tulang. Gangguan pada ginjal dapat
berupa penyakit ginjal kronik (PGK) dan gangguan ginjal akut (acute kidney
injury).1

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau Chronic Kidney Disease adalah


suatu penyakit dengan proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, dapat berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.2 Pada PGK, ditemukan adanya kelainan struktural
dan/atau kelainan fungsional pada ginjal yang berlangsung lebih dari 3
bulan, dengan adanya implikasi terhadap kesehatan. Kerusakan ginjal
mengacu pada berbagai macam kelainan yang ditemukan selama
pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap penyakit
penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi
ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara bersamaan pada hampir
semua kasus PGK. Adapun yang termasuk kriteria dari PGK menurut
National Kidney Foundation adalah sebagai berikut:

4
1. Adanya bukti kerusakan ginjal yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan
laboratorium (albuminuria (AER ≥ 30 mg/24jam; ACR ≥ 30 mg/g [≥3
mg/mmol]), abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit atau yang
lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan
histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pencitraan, atau
riwayat transplantasi ginjal)
2. Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) (LFG < 60 ml/menit/1,73
m2)3

2.2 Epidemiologi
Penyakit Ginjal Kronik merupakan penyakit yang sering dijumpai
pada praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-
13% dari populasi. Sebuah studi yang dilakukan Perhimpunan Nefrologi
Indonesia melaporkan sebayak 12,5% populasi di Indonesia mengalami
penurunan fungsi ginjal.4 Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999
menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus per satu
juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% tiap tahunnya.
Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru
gagal ginjal per tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun.2
Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥15 tahun yang terdiagnosis
gagal ginjal kronis sebesar 0,2% dimana angka ini lebih rendah
dibandingkan dengan negara lain. Prevalensi PGK meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44
tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun.1

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi PGK didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat
penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan
rumus Kockroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan (kg)

72 x kreatinin plasma (mg/dl)


5
Pada perempuan, rumus tersebut dikalikan 0,85. Rumus Kockroft-Gault
tidak berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80 tahun, berat
badan di bawah 40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien penderita
Acute Kidney Injury (AKI), kerusakan otot yang luas (crush syndrome,
tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang tidak lengkap (amputasi).2

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel berikut:2

Derajat LFG (ml/menit/1,73m2) Penjelasan


G1 ≥ 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Penurunan ringan
G3a 45-59 Penurunan ringan-sedang
G3b 30-44 Penurunan sedang-berat
G4 15-29 Penurunan berat
G5 < 15 Gagal ginjal

Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dapat dilihat di tabel


berikut:3

Penyakit Tipe mayor (contoh)


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik,
obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,

6
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin
/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant gromerulopathy

Berdasarkan etiologinya, PGK juga dapat diklasifikasikan atas dasar ada


atau tidaknya penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan
anatomis atau patologis dari ginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:3
Contoh penyakit Contoh penyakit ginjal
sistemik yang primer (tidak disertai
mempengaruhi ginjal penyakit sistemik yang
mempengaruhi ginjal)
Penyakit glomerular Diabetes, penyakit Glomerulonefritis
autoimun sistemik, diffuse, focal, crescentic
infeksi sistemik, obat, proliferative,
neoplasia (termasuk gromerulonekrosis focal
amyloidosis) dan segmental, mefropati
membrane, minimal
change disease
Penyakit Infeksi sistemik, Infeksi saluran kemih,
tubulointerstitial autoimun, sarcoidosis, batu, obstruksi
obat, urat, toksin
lingkungan, neoplasia
(myeloma)
Penyakit pembuluh Aterosklerosis, Associated renal limited
darah hipertensi, iskemia, vasculitis (ANCA),
emboli kolesterol, fibromuscular dysplasia
vaskulitis sistemik,

7
mikroangiopati
trombotik, sklerosis
sistemik
Penyakit kistik dan Penyakit polikistik Displasia renal, penyakit
congenital ginjal, Alport kistik medulla,
syndrome, Fabry podositopati
disease

2.4 Etiologi
Etiologi PGK sangat bervariasi. Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di
Indonesia, antara lain adalah glomerulonefritis (46,39%), diabetes mellitus
(18,65%), obstruksi dan infeksi (12,85%), hipertensi (8,46%), dan sebab-
sebab lain yang dapat berupa nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat,
penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui
(13,65%).4

Gomerulonefritis adalah penyakit yang sering dijumpai dalam praktik


klinik sehari-hari dan merupakan penyebab penting penyakit ginjal tahap
akhir (PGTA). Di Indonesia, glomerulonefritis merupakan penyebab utama
PGTA yang menjalani terapi pengganti ginjal. Manifestasi klinik
glomerulonefritis sangat bervariasi mulai dari kelainan urin seperti
proteinuria atau hematuri saja sampai dengan glomerulonefritis progresif
cepat.2

Glomerulonefritis sebagian besar akan memasuki fase kronik atau


persisten. Bahkan kebanyakan pasien berisiko untuk mengalami kerusakan
glomerular yang berlangsung terus-menerus dan pada akhirnya berujung
pada PGTA.5,6 Data statistik di Jepang menyebutkan glomerulonefritis
kronik sebagai penyebab nomor dua (23,0%) untuk kejadian PGTA setelah
nefropati diabetik (43,2%) pada 282.000 pasien yang menjalani terapi
dialisis.7 Gromerulonefritis kronik berada pada urutan ketiga (10%) sebagai
penyebab PGK pada pasien hemodialisis baru di Indonesia berdasarkan data
IRR tahun 2014 setelah penyakit ginjal hipertensi (37%) dan nefropati

8
diabetik (27%). Insiden penyakit ini ditemukan lebih tinggi pada populasi
usia< 40 tahun.8

2.5 Patofisiologi
Penyakit Ginjal Kronik disebabkan oleh adanya gangguan atau
kerusakan pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti
membrane basal glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan
komponen ini dapat disebabkan secara langsung oleh kompleks imun,
mediator inflamasi, atau toksin.Selain itu, dapat pula disebabkan oleh
mekanisme progresif yang berlangsung dalam jangka panjang. Berbagai
sitokin dan growth factor berperan dalam menyebabkan kerusakan ginjal.9
Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)
sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit
dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis rennin-
angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka
panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal
yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas PGK adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun
tubulointerstitial.2

2.6 Manifestasi Klinis


Penyakit ginjal kronis merupakan suatu kondisi yang tersembunyi.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik derajat 1 hingga 3 dengan LFG

9
>30 mL/menit/1,73m2 sering asimptomatik atau tanpa gejala, yang artinya
pasien belum mengalami gejala yang terdapat pada gangguan
keseimbangan air ataupun elektrolit, atau kekacauan dari sistem endokrin
dansistem metabolik4. Gejala lebih sering muncul pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik derajat 4 hingga 5 dengan LFG < 30 mL/menit/1,73
m2. Pasien dengan gangguan pada tubulointerstitial, cystic, sindroma
nefrotik, dan kondisi lainnya yang sering disebut dengan gejala positif
seperti poliuri, hematuria, edema, lebih sering memperlihatkan tanda-tanda
penyakit pada derajat yang lebih awal.

Manifestasi klinis berupa sindrom uremia pada pasien dengan


penyakit ginjal kronik derajat 5 biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi
dari berbagai racun dengan jenis yang belum diketahui. Gejala yang
muncul pada derajat akhir penyakit ginjal kronis yaitu:

1. Tanda umum : lesu, kelelahan, tekanan darah tinggi, tanda-tanda


kelebihan volume, berkurangnya ketajaman mental,
cegukan yang tidak terkendali.
2. Kulit : penampilan pucat, puritus.
3. Paru : dyspnea, efusi pleura, edema paru, uremic lung.
4. Kardiovaskular : Pericardial friction rub, gagal jantung kongestif.
5. Gastrointestinal : Anoreksia, nausea, vomiting, penurunan berat
badan, stomatitis, rasa tidak enak di mulut.
6. Neuromuskular : kejang otot, neuropati perifer dan motorik, kram
otot, gangguan tidur, hiperrefleksia, kejang,
ensefalopati, koma.
7. Endokrin-Metabolik : penurunan libido, amenorrhea, impotensi.
8. Hematologik : anemia, bleeding diathesis.

2.7 Diagnosis
Diagnosis pasti penyakit ginjal kronik memerlukan biopsi ginjal yang
meskipun sangat jarang dilakukan karena dapat menimbulkan berbagai
komplikasi. Biopsi ginjal dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis
pastinya hanya dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis

10
pasti tersebut akan merubah baik pengobatan maupun prognosis. Pada
sebagian pasien diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pada gambaran
klinik yang lengkap dan faktor penyebab yang didapat dari evaluasi klinik
dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan
pencitraan ginjal.

1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien dengan penyakit ginjal kronik biasanya sesuai
dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya (American Diabetes
Association, 2016). Gejala lainnya berupa sindrom uremia yang terdiri
dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume
cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma. Gejala yang berhubungan
dengan komplikasi yang terjadi antara lain, hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, dan gangguan
keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

2. Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium akan dipengaruhi oleh penyakit yang mendasarinya.
Penurunan fungsi ginjal yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung
menggunakan Kockcroft-Gault. Tanda lainnya adalah adanya kelainan
biokimiawi darah yang ditunjukkan dengan terjadinya penurunan kadar
hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalemia, peningkatan kadar asam urat, asidosis
metabolik. Kelainan pada pemeriksaan urinalisis ditunjukkan dengan adanya
proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis yang dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis dapat berupafoto polos abdomen dimana biasanya bisa tampak batu
radio-opak. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering

11
tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai
indikasi.Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista,
massa, kalsifikasi. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan
bila ada indikasi.

4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan apabila diagnosis
secara non invasif tidak bisa ditegakkan dan biasanya dilakukan pada pasien
dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Pemeriksaann biopsi ginjal
kontraindikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, pada pasien dengan
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan
darah, gagal nafas, dan obesitas5

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan penyakit ginjal kronik
meliputi5 hal penting yang harus dilakukan, yaitu terapi yang dilakukan bersifat
spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi
komorbid (comorbid condition), memperlambat terjadinya pemburukan
(progression) fungsi ginjal, melakukan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi yang terjadi, dan dapat juga dengan melakukan terapi pengganti ginjal
berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan


derajatnya yaitu:

a. Derajat 1 (LFG ≥ 90 mL/menit/1,73 m2)

12
Rencana tatalaksana yang dilakukan adalah terapi penyakit dasar, kondisi
komorbid, evaluasi pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskular.

b. Derajat 2 (LFG 60-89 mL/menit/1,73 m2)


Rencana tatalaksana yang dilakukan adalah memperlambat terjadinya
perburukan (progression) fungsi ginjal.

c. Derajat 3 (LFG 30-59 mL/menit/1,73 m2)


Rencana tatalaksana yang dilakukan adalah pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi yang terjadi.

d. Derajat 4 (LFG 15-29 mL/menit/1,73 m2)


Tatalaksana yang dilakukan adalah mempersiapkan pasien untuk melakukan
terapi pengganti ginjal.

e. Derajat 5 (LFG < 15mL/menit/1,73 m2)


Tatalaksana yang dilakukan adalah terapi pengganti ginjal dapat berupa
dialisis atau transplantasi ginjal6.

Hal yang perlu dilakukan adalah:

1. Terapi Terhadap Penyakit Dasarnya


Terapi terhadap penyakit dasar paling baik dilakukan sebelum terjadinya
penurunan LFG.Hal tersebut dapat mencegah terjadinya perburukan fungsi ginjal.
Ukuran ginjal yang masih normal dilihat dari USG, biopsi, dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat dilakukannya terapi yang
spesifik. Apabila LFG sudah menurun sampai dengan 20-30% dari nilai normal,
terapi untuk mengobati penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid


Mengevaluasi kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal
kronik penting dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi komorbid yang
dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor komorbid yang biasanya terjadi
adalah gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi
traktus urinarius, obat-obat yang bersifat nefrotoksik, bahan radiokontras atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

13
3. Memperlambat Terjadinya Perburukan (Progression) Fungsi Ginjal
Faktor utama yang menyebabkan terjadinya perburukan fungsi ginjal
adalah hiperfiltrasi glomerulus. Cara penting untuk mengurangi kondisi
hiperfiltrasi glomerulus yaitu:

4. Mengurangi Asupan Protein

Pembatasan asupan protein dan fosfat pada penyakit ginjal kronik


disesuaikan dengan perhitungan LFG, hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.5 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penderita


Penyakit Ginjal Kronik

LFG mL/menit Asupan Protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari

>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi

25-60 0,6-0,8/kg/hari ≤ 10 g

5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 g ≤ 10 g


asam

amino esensial atau asam keton

<60 (Sindrom 0,8/kg/hari (=1 gr protein /g proteinuria ≤9g


Nefrotik) atau

0,3g/kg tambahan asam amino esensial

atau asam keton

Pembatasan protein dilakukan pada LFG<60 mL/menit/1,73 m 2. Pada


pasien dengan LFG diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Konsumsi protein yang dianjurkan adalah 0,6-0,8 gr/kgBB/hari
dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari. Kelebihan protein akan dipecah menjadi
urea dan substansi nitrogen lain yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Diet
tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anoganik lain dan mengakibatkan
gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia (Suwitra, 2014; Johnson,
2004). Pada pasien dengan terapi hemodialisis (HD) asupan protein yang

14
dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena pada pasien HD kronik sering
mengalami malnutrisi yang disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat,
proses inflamasi kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit
komorbid, gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis yang tidak
adekuat, overhidrasi interdialitik3.

5. Terapi Farmakologis
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis, pemakaian obat antihipertensi
bermanfaat untuk memperkecil risiko gangguan kardiovaskular dan menghambat
perburukan kerusakan nefron dengan cara mengurangi hipertensi intraglomerulus
dan hipertrofi glomerulus. Obat antihipertensi terutama penghambat enzim yang
merubah angiotensin (ACE inhibitor) dapat memperlambat proses perburukan
fungsi ginjal lewat mekanismenya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.

6. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular terkait dengan
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara
keseluruhan. Tindakan yang dilakukan adalah pengendalian diabetes mellitus,
hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan
cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit2.

 Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, dapat dilakukan dengan pengendalian gula darah,
hindari pemakaian obat metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa
kerja yang panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 adalah 0,2 diatas nilai
normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.

 Hipertensi
Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim converting angiotensin (ACE inhibitor) dan
angiotensin reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses perburukan fungsi ginja melalui mekanisme
kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi
kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat
diberikan calcium channel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.

15
 Dislipidemia
Obat golongan statin dianjurkan untuk mengontrol dislipidemia dengan
target LDL 100 mg/dl.

 Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain
yang ikut berperan dalam terjadinya anemia, yaitu defisiensi zat besi,
kehilangan darah, masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi
akut maupun kronik. Pemberian transfuse pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, jika dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan
fungsi ginjal.

 Hiperfosfatenemia
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit
ginjal kronik secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah
garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan, seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800
mg/hari.Pemberian pengikat fosfat dapat pula diberikan pada pasien
penyakit ginjal kronik dengan hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang banyak
dipakai, adalah garam kalium, aluminium hidroksida, garam
magnesium.Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan kalsium asetat.

 Kelebihan Cairan
Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema
dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui
insensible water loss antara 500- 800 ml/hari, maka air yang dianjurkan
masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi
adalah Na dan K sebab hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung
yang fatal dan hipernatremia dapat mengakibatkan hipertensi dan edema.

16
Kadar kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt Oleh karena itu pemberian
obat-obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
seperti sayur dan buah harus dibatasi.

 Keseimbangan Asam Basa


Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada penyakit ginjal kronik
adalah hiperkalemia dan asidosis. Perubahan gambaran EKG kadang baru
terlihat setelah terjadinya hiperkalemia yang membahayakan jiwa.
Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu diet rendah kalium, menghindari
buah (pisang, jeruk, tomat) serta sayuran rendah kalium, dan menghindari
pemakaian diuretika K-sparring. Pengobatan hiperkalemia diberikan
tergantung pada derajat kegawatannya, yaitu gluconas calcicus IV (10 - 20
ml 10% Ca gluconate), glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%), insulin-
dextrose IV dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram glukosa, dan
natrium bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3).

 Koreksi kondisi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l


Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan
drowsiness. Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada
asidosis berat, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara peroral.

7. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi


a. Anemia

Penyebab terjadinya anemia pada pasien penyakit ginjal kronik adalah


menurunnya produksi eritropoetin oleh ginjal. Faktor non renal yang
berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merah
yang pendek pada penyakit ginjal kronik dan faktor yang berpotensi
menurunkan fungsi sumsum tulang seperti defisiensi besi, defisiensi asam
folat dan toksisitas aluminium. Selain itu adanya perdarahan saluran cerna
tersembunyi dan malnutrisi dapat menambah beratnya keadaan anemia.

Pemberian eritropoetin (EPO dianjurkan namun status besi pasien


harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme
kerjanya. Tujuan pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal

17
sampai target Hb = 10g/dL. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah
adalah 7-9g/dL. Pemberian transfusi darah pada pasien penyakit ginjal
kronik harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu
perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik, hb < 7g/dL dan
tidak memungkinkan menggunakan EPO, dan Hb < 8g/dL dengan
gangguan hemodinamik. Pasien dengan defisiensi besi yang akan
diprogram dengan EPO ataupun yang telah mendapat EPO namun respon
tidak adekuat, diberi preparat besi intravena.

b. Osteodistrofi Renal
Merupakan istilah yang menggambarkan secara umum semua kelainan
tulang akibat gangguan metabolisme Ca karena terjadinya penurunan
fungsi ginjal. Penatalaksanaannya dilakukan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol. Hiperfosfatemia diatasi
dengan pembatasan asupan fosfat 600-800mg/hari, pemberian pengikat
fosfat seperti kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat serta
pemberian bahan kalsium mimetik yang dapat menghambat reseptor Ca
pada kelenjar paratiroid dengan nama sevelamer hidroklorida. Dialisis
yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga berperan dalam
mengatasi hiperfosfatemia.

Pemberian kalsitriol dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah


normal dan kadar hormon PTH > 2,5 kali normal karena pemakaian
kalsitriol pada kadar fosfat darah yang tinggi dapat menyebabkan
terbentuk garam fosfat yang mengendap di jaringan lunak dan dinding
pembuluh darah (kalsifikasi metastatik). Selain itu pemberian kalsitriol
juga dapat mengakibatkan penekanan berlebihan terhadap kelenjar
paratiroid.

8. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi Ginjal


Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium V, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/mnt.Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. Pembuatan akses vaskular
sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15

18
ml/menit.Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika klirens kreatinin telah
dibawah 20 ml/menit.

9. Terapi nutrisi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik

Pada stadium IV sudah terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat tetapi
belum menjalani terapi pengganti dialisis. Pasien diberikan terapi
konservatif yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan
mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke
stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi kurang masih banyak dialami
pasien dengan penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh asupan
makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan
muntah.

Asuhan gizi betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar


mencapai status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga
keseimbangn cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai
kualitas hidup yang cukup baik. Terapi Nutrisi pada pasien penyakit ginjal
kronik, yaitu pengaturan asupan protein, pengaturan asupan kalori 35
kal/kgBB ideal/hari, pengaturan asupan lemak 30-40% dari kalori total dan
mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak
jenuh, pengaturan asupan karbohidrat 50-60% dari kalori total, garam
(NaCl) 2-3 gram/hari, kalium 40-70 mEq/kgBB/hari, fosfor 5-10
mg/kgBB/hari (pasien HD 17 mg/hari), kalsium 1400-1600 mg/hari, besi
10-18mg/hari, magnesium: 200-300 mg/hari, asam folat pasien HD
5mg/hari, air dengan jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)2.

2.9 Prognosis
Pasien dengan penyakit ginjal kronik secara keseluruhan memiliki
kemungkinan untuk mengalami kerusakan yang progresif pada fungsi ginjal, dan
menjadi faktor risiko untuk menjadi derajat akhir dari penyakit ginjal.Progresifitas
tersebut bergantung pada umur, penyebab dasar, dan kesuksesan pencegahan
sekunder dan individu dari pasien itu sendiri.Prediksi prognosis dapat dilihat

19
melalui beberapa parameter seperti penyebab penyakit ginjal, kategori LFG,
kategori albuminuria dan faktor resiko serta komplikasi yang sudah terjadi.

Angka kematian pada penyakit ginjal kronik cenderung lebih tinggi pada
laki-laki, kulit hitam, pada pasien yang melakukan dialisis pada 6 bulan awal,
pada pasien dengan keadaan gagal ginjal dan gagal jantung kongestif yang
melakukan peritoneal dialisis. Penyebab tersering dari kematian yang tiba-tiba
pada pasien dengan gagal ginjal adalah kondisi hyperkalemia3.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. KR
Tanggal Lahir : 24 Mei 1975
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki – Laki
Alamat : Menyali , Sawan , Buleleng
MRS : 22 Desember 2021
Tanggal Pemeriksaan : 22 Desember 2021
Nomor Rekam Medis : 05.45.90

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Sesak

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang sadar ke UGD RS KDH BROS dengan keluhan sesak , dimana
sesak dirasakan oleh pasien sejak dua hari yang lalu, dikatakan awal nya pasien
datang ke rumah sakit pukul 02.00 pagi untuk melakukan HD namun saat
menunggu pasien merasakan sesak yang membuat pasien menjadi lemas dan tidak

20
nyaman sampai akhirnya pasien dibawa ke UGD untuk mendapatkan pemeriksaan
dan penanganan lebih lanjut. Pasien mengatakan sesak yang dirasakan oleh pasien
membaik saat pasien sedang sedang duduk dan bertambah berat saat pasien
tertidur namun setelah diberikan oksigen pasien merasa lebih baik . Selain itu
pasien juga mengeluhkan batuk (+) sejak tiga hari yang lalu namun batuk disertai
dengan dahak yang sulit keluar sehingga menganggu tidur pasien , darah dikatkan
tidak ada , beberapa hari yang lalu pasien juga mengatakan pasien sempat demam
namun setelah pasien mengkonsumsi obat penurun panas pasien merasa lebih baik
, mual (-) , muntah (-) .

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki penyakit ginjal dan sudah melakukan cuci darah sejak 4,5 tahun
yang lalu , selain itu pasien juga memiliki riwayat batu ginjal . Riwayat penyakit
jantung (-) , diabetes (-) , hipertensi (-) , alergi (-) .

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit ginjal , penyakit jantung , hipertensi , diabetes melitus dalam
keluarga disangkal oleh pasien .

Riwayat Pengobatan
Setiap hari nya pasien rutin mengkonsumsi asam folat , calsifat , vitamin BC ,
candesartan , amlodipine , furosemide , meloxicam dan omeprazole . Setiap
minggu pasien rutin melakukan cuci darah sebanyak dua kali di RS KDH .

Riwayat Pribadi, Sosial, dan Lingkungan


Sehari hari pasien tinggal bersama keluarga pasien dan pasien tidak menlakukan
pekerjaan yang berat .

3.3 Pemeriksaan Fisik (12/12/2021)


Status Present
Kesan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos mentis

21
Tekanan Darah : 141/89 mmHg
Nadi : 120 kali/menit, regular, isi cukup
Respirasi : 30 kali/menit, regular
Suhu Aksila : 36 °C
Saturasi Oksigen : 99 % udara ruangan

Status General
Kepala : normosepali
Mata : konjungtiva pucat (+/+), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor,
edema palpebra (-/-), mata cowong (-/-)
THT
Telinga : serumen (-/-), membran timpani intak (+/+)
Hidung : sekret (-), napas cuping hidung (-), epistaksis (-)
Tenggorokan : faring hiperemis (-) , tonsil T1/T1 tidak hiperemis
Lidah : lidah kotor (-), sianosis (-)
Bibir : sianosis (-), mukosa kering (-)
Leher : pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-), PJVP (-)
Thoraks
Cor
Inspeksi : precordial bulging (-), iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba, kuat angkat (-), thrill (-)
Auskultasi : S1S2 normal regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : bentuk normal, gerakan dinding dada simetris saat statis dan
dinamis, retraksi (-)
Palpasi : gerakan dinding dada teraba simetris, nyeri tekan (-)
Perkusi : suara sonor (+/+)
Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), ronki (+/+), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

22
Palpasi : Nyeri tekan simfisis (-), Nyeri tekan epigastrium (-) , turgor
kulit kembali cepat, hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
massa tidak ada
Perkusi : timpani (+), shifting dullness (-).
Extremitas : akral hangat (+), sianosis (-), edema (-), CRT < 2 detik
Kulit : kutis marmorata (-), sianosis (-)
Genitalia Eksterna : Laki Laki

Status Neurologis
Kaku kuduk : Negatif
Kernig sign : Negatif
Brudzinzki I : Negatif
Brudzinzki II : Negatif
Tonus : N N
N N
5555 5555
Tenaga :
5555 5555

Trofi N N :
N N

Refleks fisiologis : ++ ++
++ ++

Refleks patologis : -/-


Kesan : defisit neurologis fokal tidak ada

3.4 Pemeriksaan Penunjang


 Darah Lengkap (22 Desember 2021)
JENIS HASIL NILAI KETERANGAN
PEMERIKSAA RUJUKAN
N
WBC 19.8 x 109 /L 4.0 – 10.0 H
- Lymph # 1.8 x 109 /L 0.8 - 4.0
- Mid # 1.8 x 109 /L 0.2 – 1.5 H

23
- Gran # 16.2 x 109 /L 2.0 – 7.0 H
- Lymph % 8.9 % 20.0 – 40.0 L
- Mid % 9.2 % 3.0 – 15.0
- Gran % 81.9 % 50.0 – 70.0 H
HGB 7.5 g/dL 11.0 – 15.0 L
RBC 3.13 x 1012 /L 3.50 – 5.00 L
HCT 22.0 % 37.0 – 47.0 L
MCV 70.3 fl 80.0 – 100.00 L
MCH 23.9 pg 27.0 – 34.0 L
MCHC 34.0 g/dL 32.0 – 36.0
PLT 328 x 109 /L 100 – 500
PCT 0.288 % 0.108 – 0.282 H

 Faal Ginjal dan Glukosa (22 Desember 2021)


JENIS HASIL NILAI KETERANGAN
PEMERIKSAAN RUJUKAN
BUN 86.0 mg/dL 8.0 – 23.0 H
SC 18.15 mg/dL 0.70 – 1.20 H
GDS 129 mg/dL 70 – 149

 Swab Antigen (22 Desember 2021)


o Negatif
 Thoraks (22 Desember 2021)

24
o Cor : Jantung tampak membesar dengan CTR > 50
o Pulmo : tampak infiltrate/nodule , Corakan bronkovaskuler
kesan meningkat , hillus kanan kiri menebal
o Diaphragma kanan tampak mendatar kiri normal
o Sinus costophrenicus kanan kiri tumpul
o Tulang tulang : Tidak tampak kelainan
o KESIMPULAN : Kesan Kardiomegali , Efusi Pleura
 Ekg

o Irama : Sinus
o Heart Rate : 116 x/menit
o Aksis : Normal
o Gelombang P : Normal
o PR Interval :Normal
o Kompleks QRS : Normal
o Segmen ST-T : Normal
o Kesimpulan : Sinus Tachicardi

3.5 Diagnosis
 ACKD stage V renal on HD
 Cardiomegali
 Obs dyspneu ec Efusi Pleura
3.6 Penatalaksanaan
 IVFD NaCl 0.9 % - 8 tpm
 O2 nasal canul – 2 lpm
 Nebul lasal 2 x 1
 Injeksi Furosemide 40 mg (ekstra) – dilanjutkan dengan 3 x 20 mg
 Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr iv

25
 Injeksi ranitidine 2 x 50 mg iv
 Ambroxol syr 3 x C1
 Asam Folat 2x1
 Calsifar 3 x 1
 Candesartan 3 x 1 mg
 Amlodipin 1 x 5 mg
 HD
3.7 Monitoring
 Keluhan
 Tanda Tanda Vital

3.8 Prognosis
Ad vitam : dubius ad bonam
Ad fungsionam : dubius ad bonam
Ad sanationam : dubius ad bonam

3.9 Perkembangan Pasien

Catatan Integrasi Rawat Inap


Tanggal
S O A P
22 Sesak (+) St Present : Parasetamol
Desember membaik ,  TD :
ACKD stage 3x500 PO
2021 batuk (+) , 140/80
mual (-) , mmHg V on HD Nebul Lasal 2x1
Muntah (-) ,  N : 98
renal
makan/minum x/menit HD
 RR : 26
(+) menurun ,
x/menit
demam (+) Cardiomegali Terapi Lanjut
 Tax : 37.8
C
 SpO2 : 99 Efusi Pleura
%
St General :
Thoraks : simetris
Cor : S1S2 tunggal
regular murmur (-)
Pulmo : Ves +/+ ,

26
Rh +/+ , Whz -/-
23 Sesak (-) , St Present : Terapi Lanjut
Desember Batuk (-) , mual  TD :
ACKD stage
2021 (-) , muntah 140/80
(-) , demam mmHg V on HD
(-) ,  N : 88
renal
makan/minum x/menit
 RR : 20
(+) normal
x/menit
Cardiomegali
 Tax : 36.8
C
 SpO2 : 99 Efusi Pleura
%
St General :
Thoraks : simetris
Cor : S1S2 tunggal
regular murmur (-)
Pulmo : Ves +/+ ,
Rh +/+ , Whz -/-

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. 2017. Situasi Penyakt Ginjal Kronis. Diakses


pada: http://emojione.com.
2. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 1035-1040.
3. Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, Wheeler DC, Abboud OI, Adler S, dkk.
KDIGO clinical practice guideline for evaluation and management of CKD.
2012;3(1).
4. Suwitra K, dkk. Chronic Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Dalam:
Putra TR, Suega K, Artana IGNB, penyunting. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Denpasar: Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah; 2013.
5. Suhardjono. Penyakit ginjal kronik, suatu epidemiologi global baru: protect
your kidney save your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI);
2010.
6. Lau KK, Wyatt RJ. Glomerulonephritis. Adeolescent Medicine Clinics. 2005;
16: 67-85.
7. Uchida S. Differential diagnosis of chronic kidney diasease (CKD): by
primary diseases. Japan Medical Association Journal. 2011; 54(1): 22-26.
8. Indonesian Renal Registry. 7th Report of Indonesian Renal Registry. 2014.
9. Fauci AS, Lane LC. Chronic Kidney Disease. Dalam: Longo DL, Fauci AS,
Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J, penyunting. Harrison’s
principles of internal medicine. Edisi ke-18. New York: McGraw-Hill; 2012.
10. Ghazali. 2014. Gastroenteritis. Diakses pada 31 Mei 2018, dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40470/4/Chapter%20II.pdf.
11. Anonim. Gastroenteritis. Diakses pada 31 Mei 2018, dari:
http://eprints.ums.ac.id/20516/19/NASKAH_PUBLIKASI.pdf.
12. Amin, Lukman Zulkifli. Tatalaksana Diare Akut. Diakses pada 31 Mei 2018,
dari:http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_230CME-Tatalaksana%20Diare
%20Akut.pdf

28
29

Anda mungkin juga menyukai