Anda di halaman 1dari 17

PEMBERIAN OBAT PADA PASIEN GANGGUAN FUNGSI GINJAL

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ginjal, ureter, kandung kemih, dan urethra merupakan satu sistem
yang berperan sebagai filtrasi dan pembuangan zat yang tidak bermanfaat dan
merugikan keluar tubuh bersama urin. Dalam menjalankan fungsi tersebut,
ginjal melaksanakan tugas ultrafiltrasi pada glomerulus, sekresi pada tubulus
dan reabsorpsi pada tubulus kontortus. Melihat fungsi tersebut jelas ginjal
menanggung beban kerja yang tidak ringan, untuk mempertahankan tubuh
dari zat yang kurang bermanfaat atau racun serta mempertahankan
homeostatis serta keseimbangan elektrolit.

Beberapa peneliti melaporkan bahwa 20-25% dari kasus gagal ginjal


yang dirawat disebabkan oleh obat atau zat kimia, dan peneliti lain
melaporkan gagal ginjal akibat pembedahan sebesar 37%. Peneliti lain
mencatat dari tahun 1976- 1980, sebanyak 28 penderita gagal ginjal yang
dirawat, 4 penderita (14,3%) disebabkan karena nefrotoksin. Kerusakan ginjal
atau organ lain dalam sistem saluran kemih dapat dicegah atau diketahui lebih
dini dengan memantau fungsi ginjal secara teratur pada setiap penggunaan
obat yang mempunyai potensi tinggi untuk menimbulkan kerusakan pada
ginjal (Saleh dan Danu, 1995).

Kasus gagal ginjal di dunia sekarang ini meningkat lebih dari 50%.
Indonesia sendiri termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal
cukup tinggi. Saat ini, di Indonesia jumlah penderita gagal ginjal diperkirakan
sekitar 150 ribu orang. Dari jumlah itu, permasalahan penyakit gagal ginjal
yang dihadapi masyarakat adalah tidak mampu berobat atau cuci darah
(hemodialisa) karena biayanya sangat mahal yang harus dilakukan 2-3x
seminggu. Akibatnya, tidak sedikit penderita yang meninggal dunia.
Kecenderungan kenaikan penderita gagal ginjal itu antara lain terlihat dari
meningkatnya jumlah pasien cuci darah yang jumlah rata-ratanya sekitar 250
orang/tahun (Anonima , 2006).

1
Obat telah diketahui dapat merusak ginjal melalui berbagai
mekanisme. Bentuk kerusakan yang paling sering dijumpai adalah interstitial
nephritis dan glomerulonephritis. Penggunaan obat apapun yang diketahui
berpotensi menimbulkan nefrotoksisitas sedapat mungkin harus dihindari
pada semua penderita gangguan ginjal. Penderita dengan ginjal yang tidak
berfungsi normal dapat menjadi lebih peka terhadap beberapa obat, bahkan
jika eliminasinya tidak terganggu (Kenward dan Tan, 2003).

Penggunaan obat-obatan tertentu dapat menyebabkan gangguan


terhadap fungsi ginjal. Diantaranya adalah penggunaan obat-obat
antihipertensi, antibiotik, dan AINS pada penderita gagal ginjal. Obat
antibiotik dan AINS merupakan obat- obat yang sering digunakan dalam
penyembuhan penyakit yang diderita banyak orang. Kedua obat ini
penggunaannya perlu diperhatikan karena dapat menyebabkan nefrotoksisitas
pada ginjal (Kenward dan Tan, 2003). Hipertensi merupakan penyakit yang
dapat menyebabkan kerusakan organ vital terutama jantung, otak dan ginjal.
Terjadinya hipertensi mempercepat kerusakan ginjal dan konsekuensinya
adalah terjadinya gagal ginjal akibat peningkatan tekanan darah. Kira-kira
90% pasien GGK dengan hipertensi meninggal dalam 12 bulan dari tanda-
tanda awal. Terapi hipertensi dapat digunakan pada pasien GGK untuk
menurunkan tekanan darah dan bisa untuk memperlambat progresifitas
penyakit pada pasien dengan atau tanpa penyakit hipertensi. Obat yang
mempunyai efek seperti diatas merupakan pilihan obat antihipertensi pada
pasien gagal ginjal. Selain itu perlu dilakukan penyesuaian dosis obat yang
digunakan pada pasien gagal ginjal terutama obat yang dimetabolisme oleh
ginjal (Widyariningsih, 2006).

Peresepan untuk penderita dengan gagal ginjal memerlukan


pengetahuan mengenai fungsi hati dan ginjal penderita, riwayat pengobatan,
metabolisme dan aktivitas obat, lama kerja obat serta cara ekskresinya.
Pengobatan yang benarbenar bermanfaat diperlukan oleh pasien dengan
gangguan ginjal dan penyesuaian dosis berupa penurunan terhadap total dosis
penjagaan harian sering kali diperlukan. Perubahan dosis obat yang sering

2
dijumpai adalah penurunan dosis atau perpanjangan interval pemberian obat
atau gabungan keduanya (Kenward dan Tan, 2003).

3
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Gangguan Ginjal Kronik

2.1.1 Definisi

Penyakit ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama ≥ 3


bulan, berdasarkan kelainan struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan
laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan presentasi berupa kelainan struktur hispatologi
ginjal, dan pertanda kerusakan ginjal meliputi kelainan komposisi darah dan urin,
atau uji pencitraan ginjal, serta LFG < 60 mL/menit/1,73m2 (Sukandar, 2006).

2.1.2 Epidemiologi

Saat ini jumlah penyakit ginjal kronik sudah bertambah banyak dari tahun ke
tahun. Jumlah kejadian penyakit ginjal kronik di dunia tahun 2009 menurut United
State Renal Data System (USRDS) terutama di Amerika rata-rata prevalensinya 10-
13% atau sekitar 25 juta orang yang terkena penyakit ginjal kronik, dan terjadi
peningkatan pada tahun 2013 di Amerika Serikat menjadi 20 – 25% setiap tahun.
Berdasarkan hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia (2009) menyebutkan
bahwa prevalensi di Indonesia sebesar 12,5% atau 18 juta orang dewasa yang terkena
penyakit ginjal kronik dan diperkirakan terdapat 70.000 penderita gagal ginjal di
Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar 10% setiap tahunnya. Dilaporkan
juga menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahwa Prevalensi tertinggi terdapat di
Provinsi Sulawesi Tengah dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur, NTB, DKI
Jakarta, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Selatan, dan Riau
(Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan literatur yang ada, beberapa penelitian mengenai penyesuaian


dosis pasien GGK telah dilakukan dibeberapa Rumah Sakit di Indonesia. Salah
satunya penelitian yang telah dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil tahun 2011
menunjukkan terdapat 7,84% penggunaan obat kategori dosis berlebih yang diterima
pasien gagal ginjal kronik (Trisnawati, 2011). Penelitian terkait juga telah dilakukan
oleh Diantari dan Woro tahun 2005 pada pasien GGK di RSUP Dr. Sardjito

4
Yogyakarta dalam evaluasi penggunaan ACE-I kategori ketepatan dosis
menununjukkan bahwa 95% kasus telah tepat dosis, dan sebesar 67,74% tidak tepat
dosis pada pasien GGK yang mendapat terapi hemodialisis (Diantari dan Woro,
2005). Namun di kota medan sendiri belum didapatkan secara pasti data – data
terbaru yang menunjukkan seberapa besar persentase pengggunaan obat pada pasien
gangguan ginjal kronik yang memerlukan penyesuaian dosis.

2.1.3 Etiologi

Penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan terjadinya hipertensi begitupun


sebaliknya pada hipertensi kronik dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal.
Kira – kira 10% hipertensi yang terdapat pada GGK berhubungan dengan aktivitas
sistem renin – angiotensin – aldosteron (Sukandar, 2006). Dalam kondisi normal
terdapat autoregulasi pada ginjal yang memungkinkan terdapatnya aliran darah yang
tetap pada ginjal sekaligus mempertahankan laju filtrasi glomerolus (LFG) pada
tekanan rerata arteri sebesar 80 – 160 mmHg. Mekanisme ini berjalan melalui
mekanisme reflek miogenik dan tubuloglomerular feedback. Pada kondisi yang
abnormal kemampuan vasodilatasi sebagai akibat autoregulasi ginjal hanya dapat
dilakukan sampai tekanan arteri rerata sebesar 80 mmHg. Di bawah nilai tersebut
laju filtrasi ginjal dan aliran darah ginjal ikut turun. Tekanan arteri rerata yang tinggi
tidak dapat lagi diatur oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan tekanan
intraglomerulus yang dapat mengakibatkan kerusakan glomerulus dan menurunnya
fungsi ginjal (Williams, 2005).

2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi derajat penurunan LFG sangat penting untuk panduan terapi


konservatif dan saat dimulai terapi pengganti faal ginjal. Derajat penyakit ginjal
kronik berdasarkan LFG sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF-K/DOQI) (2004) dapat dilihat
pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi GGK berdasarkan derajat penyakit ginjal kronik

Derajat Penjelasan LFG

5
(ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
atau meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun 60-89
ringan
3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun 30-59
sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
Sumber: NKF-K/DOQI (2004)

Adapun untuk mengetahui klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG
dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG

Derajat Primer (LFG) Sekunder = Kreatinin (mg%)


A Normal Normal
B 50 - 80% Normal Normal – 2,4
C 20 - 50% Normal 2,5 – 4,9
D 10 - 20% Normal 5,0 – 7,9
E 5 - 10% Normal 8,0 – 12,0
F < 5% Normal >12,0
Sumber: International committee for nomenclature and nosology of renal disease
(1975) dalam (Sukandar, 2006).

Berikut adalah hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik pada pasien
gangguan ginjal yaitu:

a. penurunan cadangan faal ginjal (LFG = 40 – 75%)


Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi masih dapat
dipertahankan normal. Kelompok pasien ini sering ditemukan kebetulan pada
pemeriksaan laboratorium rutin.

6
b. insufisiensi renal (LFG = 20 – 50%)
Pasien GGK pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal walaupun sudah
memperlihatkan keluhan – keluhan yang berhubungan dengan retensi azotemia. Pada
pemeriksaan hanya ditemukan hanya ditemukan hipertensi, anemia dan
hiperurikemia. Pasien tahap ini mudah terjun ke sindrom gagal ginjal akut (GGA)
pada seseorang pasien gagal ginjal kronik (GGK), dengan faktor pencetus yang
memperburuk faal ginjal (LFG) sindrom ini sering berhubungan dengan faktor-faktor
yang memperburuk faal ginjal.

c. gagal ginjal (LFG = 5 – 25%)


Gambaran klinik dan laboratorium makin nyata: anemia, hipertensi, dehidrasi,
kelainan laboratorium seperti hiperurikemia, kenaikan ureum dan kreatinin serum,
kalium K+ serum biasanya masih normal.

d. sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5%)


Sindrom azotemia (istilah lama uremia) dengan gambaran klinik sangat komplek dan
melibatkan banyak organ (multi organ) (Sukandar, 2006).

2.2 Farmakokinetik pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik

Ginjal termasuk organ eliminasi utama disamping hati. Oleh sebab itu
normalitas fungsi ginjal merupakan faktor penentu ekskresi senyawa endogen dan
eksogen (termasuk obat), dan akumulasinya di dalam tubuh. Dalam proses ekskresi,
ginjal melakukan filtrasi, sekresi dan reabsorbsi, yang mana proses ini dipengaruhi
oleh kecepatan dan aliran darah ginjal. Karena berkaitan dengan sirkulasi sistemik,
maka jumlah dan kecepatan ekskresi obat melalui ginjal juga ditentukan oleh curah
jantung, khususnya aliran darah yang menuju dan di ginjal (renal blood flow)
(Hakim, 2013).

Oleh sebab itu setiap kejadiaan yang mengubah aliran darah ginjal akan
mengubah kecepatan dan jumlah obat yang dieksresi oleh ginjal. Disamping itu
dalam proses filtrasi oleh glomeruli, karena yang lolos filtrasi adalah obat yang tak
terikat protein (albumin atau AAG), maka kadar protein darah menentukan jumlah

7
obat yang terekskresi. Seperti diketahui, karena biosintesis protein terjadi di hati,
maka normalitas fungsi hati secara tidak langsung turut menentukan kapasitas
ekskresi ginjal. Jadi jumlah dan kecepatan ekskresi renal tidak hanya ditentukan oleh
fungsi ginjal, tetapi juga fungsi kardiovaskular dan hati, selain faktor fisiko-kimiawi
obat itu sendiri. Obat – obat yang memiliki rasio ekskresi renal tinggi (misalnya
golongan penisilin dan glukuronat), ekskresinya lebih tergantung dari perubahan
kecepatan aliran darah di ginjal dibandingkan obat yang memiliki rasio ekskresi renal
rendah (misalnya digoksin, furosemid, dan tetrasiklin). Perubahan aliran darah ginjal
sering dapat disamakan dengan perubahan LFG ketika merancang regimen dosis
pada gagal ginjal (Hakim, 2013).

Faktor penting dalam pemberian obat adalah menentukan dosis obat


terapeutik dicapai dan menghindari terjadinya efek toksik. Penentuan dosis obat ini
sangat tergantung pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Pada gagal ginjal,
farmakokinetik dan farmakodinamik obat akan terganggu sehingga diperlukan
penyesuaian dosis obat yang efektif dan aman bagi tubuh. Bagi pasien gagal ginjal
yang menjalani dialisis, beberapa obat dapat dengan mudah terdialisis, sehingga
dibutuhkan dosis obat yang lebih tinggi untuk mencapai dosis terapeutik (Nasution,
et al,. 2003).

Bertitik tolak dari perubahan yang terjadi pada gagal ginjal, beberapa hal
yang harus diperhatikan adalah:

a. penyesuaian dosis obat agar tidak terjadi akumulasi dan intoksikasi obat

b. pemakaian obat yang bersifat nefrotoksik seperti aminoglikosida, OAINS,


zat kontras dan siklosporin harus dihindari untuk mencegah gangguan fungsi
ginjal yang lebih berat

c. pada pasien yang menjalani dialisis, penyesuaian dosis obat yang mudah
terdialisis harus dilakukan seperti aminoglikosida dan sefalosporin untuk
mencapai efek terapeutik

8
d. beberapa obat yang dikonver menjadi metabolit aktif dan eliminasinya
melaui ginjal, harus disesuaikan dosisnya (Nasution, et al,. 2003).

2.2.1 Absorbsi dan Bioavailabilitas


Bagian obat yang terpakai dan kecepatan obat memasuki sirkulasi merupakan
hal penting pada pemakaian obat. Pemberian obat secara parenteral akan segera
memasuki pembuluh darah dan masa kerjanya menjadi lebih cepat. Gagal ginjal akan
menurunkan absorbsi dan mengganggu bioavailabilitas obat yang diberikan secara
oral, hal ini terjadi karena waktu pengosongan lambung yang memanjang, perubahan
pH lambung, berkurangnya absorbsi usus dan gangguan metabolisme di hati. Untuk
mengatasi hal ini dapat dilakukan berbagai upaya antara lain mengganti cara
pemberian, memberikan obat yang merangsang motilitas lambung dan menghindari
pemberian bersama dengan obat yang mengganggu absorbsi dan motilitas (Nasution,
et al,. 2003).
2.2.2 Volume Distribusi
Volume distribusi (Vd) merupakan rasio antara dosis obat yang diberikan dan
konsentrasi obat dalam plasma. Obat dengan konsentrasi plasma rendah, seperti
digoksin, volume distribusinya hampir sama dengan cairan tubuh total, sedangkan
obat dengan ikatan protein yang kuat mempunyai volume distribusi lebih rendah.
Gangguan fungsi ginjal tidak berpengaruh banyak terhadap volume distribusi ini.
Akan tetapi untuk obat yang sangat kuat berikatan dengan albumin, oleh karena
terjadi gangguan pengikatan albumin, menyebabkan peningkatan jumlah obat bebas
sehingga terjadi perubahan volume distribusi (Nasution, et al,. 2003).
2.2.3 Metabolisme
Ginjal merupakan tempat untuk metabolisme dalam tubuh, tetapi efek
gangguan ginjal hanya bermakna secara klinis pada dua kasus saja, yaitu ginjal
bertanggung jawab terhadap tahap akhir aktivitas vitamin D dan kebutuhan insulin
pada pasien diabetes yang mengalami gagal ginjal akut sering menjadi berkurang.
Pada gagal ginjal kronik terjadi juga perubahan kapasitas metabolisme di hati, dan
organ eliminasi selain ginjal. Jadi pada keadaan ini bukan hanya obat – obat yang
sebagian besar tereliminasi oleh ginjal saja yang terpengaruh, namun obat – obat

9
yang sebagian besar termetabolisme juga mengalami perubahan klirens (Hakim,
2013).
2.2.4 Ekskresi Ginjal
Fungsi ekskresi ginjal rata – rata berkurang 6 – 10% tiap sepuluh tahun,
ketika seseorang mulai menginjak usia 40 tahun. Akibatnya, karena terjadi
perlambatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular, maka obat dan metabolitnya
cenderung terakumulasi didalam darah, sehingga dapat memperlama waktu paruh
eliminasi dan durasi efek obat. Dilaporkan bahwa kecepatan aliran darah ginjal
berkurang dari 618 – 689 mL/menit pada usia dewasa menjadi 349 – 485 mL/menit
pada usia lanjut (Hakim, 2013).
Ginjal merupakan rute eliminasi utama untuk berbagai obat dan metabolitnya.
Ekskresinya dapat melalui filtrasi glomeruler, sekresi tubulus atau reabsorpsi.
Ekskresi merupakan parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh
gangguan ginjal. LFG atau klirens kreatinin dapat digunakan sebagai perkiraan
jumlah nefron yang berfungsi. Apabila filtrasi glomerular terganggu oleh penyakit
ginjal, maka klirens obat tereliminasi terutama melalui mekanisme ini menjadi lebih
panjang. Gagal ginjal juga akan mengubah reabsorpsi pasif secara tidak langsung,
dengan cara mengubah laju aliran urin dan pH. Contohnya yaitu digoksin,
gentamisin, metotreksat, dan furosemid (Hakim, 2013).
2.3 Penilaian Terhadap Fungsi Ginjal
Kreatinin merupakan metabolit endogen yang sangat berguna untuk menilai
fungsi glomerulus. Zat ini umumnya berasal dari metabolisme otot dalam jumlah
bilangan yang masih kasar. Dari kesemuanya diekskresikan melalui ginjal dengan
proses filtrasi glomerulus bebas dengan sekresi tubulus yang minimal. Dalam
keadaan normal (fungsi ginjal, pengaturan diet, massa otot dan metabolisme normal)
kreatinin diproduksi dalam jumlah yang sama dan dieksresikan melalui urin setiap
hari. Sedangkan sekresi melalui tubulus dan saluran pencernaan hanya dalam jumlah
yang sedikit. Dengan demikian penilaian LFG dengan mengukur konsentrasi
kreatinin plasma atau bersihan kreatinin dapat menjadi over non-glomerulus
meningkat akibat terganggunya fungsi ginjal. Over estimasi ini menjadi lebih
progresif dan berat sehingga akibatnya LFG menurun. Beberapa jenis obat – obatan
dapat mempengaruhi sekresi kreatinin melalui tubulus yang dapat menyebabkan

10
peningkatan konsentrasi kreatinin dan penurunan bersihan kreatinin tanpa perubahan
LFG (Hakim, 2013).
Untuk mengukur bersihan kreatinin, urin pasien harus dikumpulkan selama
24 jam. Konsentrasi plasma kreatinin (per mmol/L) dan konsentrasi kreatinin urin
(mmol/L) juga harus diperiksa. Juga lamanya pengumpulan urin dan volume urin.
Kemudian dapat dihitung bersihan kreatinin. Nilai normal bersihan kreatinin berkisar
120 ml/menit yang bervariasi dengan ukuran yang dapat dinilai dari luas permukaan
tubuh (Hakim, 2013).

2.3.1 Pemeriksaan kreatinin serum


Dosis obat perlu diukur berdasarkan fungsi ginjal. Semakin buruk fungsi
ginjal, akan semakin rendah pula dosis yang dibutuhkan, untuk itu pemeriksaan
fungsi ginjal sangat penting. Pemeriksaan yang biasa digunakan sebagai acuan
adalah pemeriksaan LFG atau klirens kreatinin (Ashley dan Currie, 2009).
Pemeriksaan konsentrasi kreatinin serum sangat mudah dan secara klinis sangat
berguna untuk menilai LFG (fungsi ginjal). Kreatinin klirens menggambarkan
kesetimbangan antara produksi kreatinin (hasil metabolisme otot) dengan
pengeluarannya oleh ginjal. Peningkatan kreatinin serum dari 1,0 menjadi 2,0 mg/dl
menunjukkan penurunan fungsi ginjal, dengan perhitungan secara kasar ± 50%
(Hakim, 2013).

2.4 Drug Related Problems (DRPs)


Drug Related Problems (DRPs) adalah peristiwa atau keadaan yang tidak
diinginkan yang dialami pasien terkait penggunaan atau diduga melibatkan
penggunaan obat dan berpotensi mempengaruhi hasil optimal pengobatan yang
diinginkan pasien. Kesesuaian dosis merupakan salah satu dari delapan kategori
masalah terkait obat (drug related problems) yang diidentifikasi sebagai kejadian
terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien yang ditinjau dari
kategori dosis terlalu rendah dan dosis terlalu tinggi. Identifikasi DRPs adalah fokus
penilaian dan keputusan terakhir yang dibuat dalam langkah dari proses perawatan
pasien. Oleh karena itu seorang farmasis harus memahami dan mempelajari agar
dapat mencegah terjadinya DRPs tersebut sehingga dapat mengurangi angka

11
kematian dan kesakitan dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Cipolle, et al,.
1998).

2.5 Penyesuaian Dosis pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik


Pada gagal ginjal riwayat penyakit ginjal dan penyakit lainnya (seperti
kelaninan hati) yang mempengaruhi metabolisme obat perlu diketahui dengan jelas.
Juga perlu ditelusuri riwayat pemakaian obat dan kemungkinan alergi obat. Catatan
medis harus diteliti dengan cermat terutama bila ada penambahan obat baru.
Pemeriksaan fisis seperti tinggi badan, berat badan, bentuk tubuh, status nutrisi dan
adanya edema atau dehidrasi perlu diidentifikasi untuk pengaturan dosis obat
(Nasution, et al,. 2003).

2.5.1 Dosis Loading


Dosis loading dibutuhkan bila secara klinis diinginkan pencapaian dosis
terapeutik yang lebih cepat. Dalam keadaan normal pencapaian dosis terapeutik
memakan waktu 4-5 x waktu paruh obat. Pada gagal ginjal waktu paruh beberapa
jenis obat akan memanjang sehingga dibutuhkan pemberian dosis loading. Umumnya
dosis loading semua pasien hampir sama tanpa memperhatikan fungsi ginjal. Akan
tetapi penyesuaian dosis tetap diperlukan sesuai dengan perhitungan berdasarkan
berat badan, status hidrasi dan adanya sepsis (Nasution, et al,. 2003).
2.5.2 Dosis Pemeliharaan
Bila kadar terapeutik obat sudah diperoleh, konsentrasi ini harus tetap
dipertahankan untuk menghindarkan toksisitas. Obat dengan waktu paruh panjang
dan cakupan terapi luas, interval pemberiannya dapat diperpanjang, atau juga dapat
dilakukan dengan interval tetap, namun dosisnya disesuaikan. Regimen pengobatan
yang telah diberikan harus tetap dipantau pemakaiannya dengan ketat, karena kadar
obat dapat turun sehingga tidak mencapai efek terapeutik. Pemeriksaan kadar obat
sangat dianjurkan setidaknya setelah pemberian dosis ketiga sampai kelima. Secara
umum dapat diambil kesimpulan bahwa dosis loading dengan manfaat cepat,
sedangkan dosis pemeliharaan berkaitan degan toksisitas obat (Hakim, 2013).

12
2.6 Penyakit Hipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Tujuan dari pengobatan hipertensi pada penyakit GGK adalah untuk
menurunkan tekanan darah, untuk menurunkan resiko terjadinya Cardio Vaskular
Disease pada pasien hipertensi dan memperlambat progresi penyakit ginjal pada
pasien dengan atau tanpa hipertensi (NKF, 2004). Berkembangnya penyakit GGK
dapat diatasi dengan pengobatan hipertensi. Diuretik, β-blocker, ACE-I, dan
antagonis kalsium semuanya efektif pada pasien dengan gagal ginjal dini. ACE-I dan
Calsium Channel blocker (CCB) tidak mengubah metabolisme glukosa atau lipid,
memiliki efek yang diinginkan pada hipertrofi ventrikel kiri dan memiliki efek
nefroprotektif potensial dengan mengurangi peningkatan resistensi vaskular ginjal.
ACE-I memiliki manfaat tambahan berupa berkurangnya proteinuria pada pasien
baik dengan penyakit diabetik maupun nondiabetik. Obat ini harus diberikan dengan
hati-hati karena bisa menurunkan aliran darah ginjal dan memicu gagal ginjal akut,
khususnya bila ada stenosis arteri renalis (Suwitra, 2006).
2.6.1 Obat-obat yang Perlu Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK
Sebagian besar obat yang larut air diekskresikan dalam jumlah tertentu dalam
bentuk utuh melalui ginjal. Dosis obat – obat tersebut butuh penyesuaian yang hati –
hati apabila obat tersebut diresepkan pada pasien dengan fungsi ginjal yang telah
menurun. Akumulasi dan toksisitas dapat meningkat dengan cepat apabila dosis tidak
disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal. Sebagian besar
obat juga memiliki efek samping nefrotik, sehingga dosis juga harus disesuaikan
pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal (Sukandar, 2006).
Strategi untuk menyesuaikan dosis pada pasien gagal ginjal dapat membantu
dalam terapi obat individu dan membantu meningkatkan keamanan obat. Metode
yang direkomendasikan dalam mengatur penyesuaian dosis adalah dengan
mengurangi dosis, memperpanjang interval dosis atau kombinasi keduanya (Munar
dan Singh, 2007). Pengetahuan penyesuaian dosis obat untuk pasien dengan
insufisiensi ginjal sangat penting untuk mencegah dan mengurangi akumulasi obat
tersebut dalam tubuh. Angka kejadian efek samping obat pada pasien GGK ternyata
lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang mempunyai faal ginjal normal
(Sukandar, 2006).

13
Bila kreatinin klirens dibawah 60 mL/menit maka perlu penyesuaian dosis
obat yang dikonsumsi. Penyesuaian dapat dengan cara mengurangi dosis obat atau
memperpanjang interval minum obat. Penyesuaian ini bertujuan untuk mendapat
efek terapeutik maksimal tanpa efek samping. Berikut beberapa macam obat – obat
yang perlu penyesuaian dosis saat diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal,
yaitu:

a. antibiotik/antifungi: aminoglikosida (gentamisin) carbapenems (meropenem)

b. antikoagulan: low molecular weight heparins (enoxaparin)

c. obat jantung: digoksin dan atenolol

d. diuretik: bila klirens kreatinin kurang dari 30 mL/menit maka hindari penggunaan
obat diuretik yang menahan kalium, obat thiazide akan berkurang efektifitasnya

e. psikotropika/antikejang: lithium dan topiramate

f. obat hipoglikemik: metformin, glibenklamid dan insulin

g. obat lain: methotrexate dan penicillamine (Ashley dan Currie, 2004).

2.6.2 Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik


Pasien dengan hipertensi kronis akan terjadi perubahan pada arteriol ginjal
temasuk arteriol aferen yang mengakibatkan kehilangan refleks miogeniknya
sehingga tekanan intraglomerular menjadi bervariasi menyesuaikan dengan tekanan
arteri rerata. Gangguan pada autoregulasi ginjal menjelaskan mengapa pada pasien
dengan hipertensi dan penyakit ginjal kronik lebih cenderung terjadi peningkatan
kadar serum kreatinin ketika tekanan darah menurun (Williams, 2005).
Terdapat banyak kelas atau golongan obat antihipertensi yang dapat
digunakan, tetapi beberapa obat yang sering digunakan dan direkomendasikan
sebagai first-line therapy, yaitu ACE-inhibitor, β-blocker, CCB dan diuretik.
Penggunaan obat-obat ini harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemilihan obat
awal pada pasien harus mempertimbangkan banyak faktor antara lain: umur, riwayat

14
perjalanan penyakit, faktor risiko, kerusakan target organ, diabetes, indikasi dan
kontraindikasi. Indikasi spesifik dan target dalam strategi pemilihan obat
antihipertensi tergantung dari profil faktor risiko, penyakit penyerta seperti diabetes,
penyakit ginjal, dan pembesaran atau disfungsi ventrikel kiri (Sutter, 2007).
a. Golongan Diuretik
Salah satu contoh obat yang termasuk dalam golongan diuretik kuat adalah
furosemid. Furosemid biasanya digunakan pada penderita hipertensi
dengangangguan fungsi ginjal dengan kadar kreatinin serum lebih dari 2,3 mg/dl
(Lim, 2009). Secara farmakokinetik furosemid memiliki volume distribusi sebesar
0,07-0,2 L/kg, terikat oleh protein plasma sebesar 91-99% dan 80-90% diekskresikan
dalam bentuk tidak berubah. Selain diuretik kuat juga terdapat diuretik tiazid yang
dapat mengurangi tekanan sebesar 10-15 mmHg. Diantara obat tiazid, hidroklortiazid
merupakan obat yang paling sering digunakan. Secara farmakokinetik diabsorbsi
dengan baik dalam traktus gastrointestinal (GI). Hidroklortiazid memiliki kekuatan
ikat protein yang lebih lemah dibandingkan dengan furosemid. Waktu paruh tiazid
lebih panjang daripada diuretik kuat. Maka untuk alasan ini tiazid harus diberikan
pada pagi hari untuk menghindari nokturia (Ashley dan Currie, 2009).
Furosemid lebih efektif daripada tiazid, bekerja dengan cepat, dan memiliki
lama kerja yang lebih pendek daripada tiazid kerja pendek, dan diekskresi lebih cepat
(Sukandar, 2006). Jenis obat diuretik lainnya yang sering digunakan adalah
spironolakton. Spironolakton mengalami metabolisme yang cepat dan luas. Sebagian
besar pemberian peroral diubah menjadi metabolit aktif (Raharjo, 2008).
Penggunaan diuretik dapat efektif untuk mencegah hiperkalemi, tetapi
penggunaan diuretik tiazid hanya dapat diberikan pada kadar kreatinin di bawah 1,8
mg/dL. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dapat dilakukan pemantauan
kadar kalium setiap 1-2 minggu pada awal terapi (Williams, 2005).

b. Golongan ACE-Inhibitor
Obat golongan ACE-I yang sering digunakan adalah kaptopril. Setelah
pemberian secara oral kaptopril secara cepat diabsorpsi dan mencapai kadar puncak
dalam 1 jam, adanya makanan dalam saluran gastrointestinal akan menurunkan
absorpsi sebesar 30-40%. Dalam distribusinya sekitar 25-30% terikat oleh protein,

15
90% diekskresikan melalui ginjal, dan waktu paruhnya sekitar 3 jam, serta 40-
50%nya dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (Ashley dan Currie, 2009). Oleh
karena itu golongan ACE-I seperti kaptopril, benazapril dan ramipril diperlukan
penyesuaian dosis yaitu penurunan dosis berdasarkan nilai LFG dan diberikan
tunggal.

c. Golongan β – blocker
Golongan β – blocker merupakan salah satu obat yang sering digunakan
untuk mengatasi hipertensi. Dalam distribusinya sekitar 30% terikat oleh protein dan
sebesar 50% dieksresikan tidak berubah dalam urin dengan waktu paruh selama 9 –
12 jam (Ashley dan Currie, 2009). Beberapa β – blocker tidak dianjurkan untuk
pasien gagal ginjal dengan atau tanpa dialisis (seperti acebutol, atenolol, nadolol,
pindolol dan sotalol). Carvedilol dapat diberikan pada gagal ginjal dengan dosis
harian 6,25 - 12,5 mg b.i.d, tidak tereliminasi dengan prosedur HD (non – dialyzable
drugs). Namun terdapat obat yang memerlukan penyesuaian dosis seperti bisoprolol,
maka penyesuaian dosis dilakukan berdasarkan nilai LFG pada pasien dengan
gangguan ginjal kronik (lampiran 6) (Sukandar, 2006).

d. Golongan Calcium Channel Blockers (CCB)


Golongan Calcium Channel Blockers yang sering digunakan diantaranya
adalah nifedipin dan amlodipin. Nifedipin mudah diabsorbsi pada pemberian per oral
dan sublingual, sebesar 92-98% terikat oleh protein plasma dan sebesar 1%
dieksresikan dalam bentuk metabolit tidak aktif melalui urin serta mempunyai
volume distribusi sebesar 1,4 L/kg. Nifedipin dalam dosis tunggal dieksresikan
sebesar 80% dalam waktu 24 jam. Insufisiensi ginjal tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap farmakokinetik nifedipin (Ashley dan Currie, 2009).
Setelah pemberian dosis terapeutik secara oral, amlodipin diabsorbsi dengan
baik dan kadar puncak dalam plasma tercapai setelah 6 – 12 jam. Volume distribusi
amlodipin kira-kira 20 L/kg. Waktu paruh eliminasi plasma terminal adalah 35 – 50
jam dan konsisten pada pemberian dosis sekali sehari. Sebanyak 97,5% amlodipin
dalam sirkulasi terikat dengan protein plasma. Amlodipin sebagian besar
dimetabolisme dihati menjadi metabolit inaktif, diekskresikan melalui urin sebesar

16
10% dalam bentuk tidak berubah dan 60% sebagai metabolit (Ashley dan Currie,
2009).

e. Golongan Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


Golongan obat antihipertensi Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
dianjurkan untuk pasien dialisis, karena tidak diperlukan penyesuaian dosis, semua
ARB termasuk non – dialyzable drugs. Misalnya: Candesartan, Losartan dan
Valsartan (Sukandar, 2006). Secara farmakokinetik valsartan mempunyai distribusi
sekitar 94-97% terikat oleh protein dan mempunyai volume distribusi sebesar 17
L/kg serta sebesar 13% dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (Ashley dan Currie,
2009).
Saat terapi obat antihipertensi telah diberikan pada pasien maka harus
dilakukan pemantauan dan di follow up serta dilakukan penyesuaian dosis sesuai
kondisi pasien secara terus menerus sampai tercapai tekanan darah yang diinginkan.
Kunjungan lebih diperlukan pada pasien dengan hipertensi derajat 2 atau dengan
penyakit penyerta. Kadar kalium dan kreatinin plasma harus dimonitor paling tidak
1-2 kali dalam 1 tahun. Setelah tekanan darah dicapai dan stabil maka follow up
biasanya dapat dilakukan dengan interval 3 – 6 bulan sekali, tetapi adanya penyakit
penyerta seperti gagal jantung, diabetes akan mempengaruhi frekuensi kunjungan
berkaitan dengan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk memonitor
perkembangan penyakit (Yogiantoro, 2006).

17

Anda mungkin juga menyukai