1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ginjal, ureter, kandung kemih, dan urethra merupakan satu sistem
yang berperan sebagai filtrasi dan pembuangan zat yang tidak bermanfaat dan
merugikan keluar tubuh bersama urin. Dalam menjalankan fungsi tersebut,
ginjal melaksanakan tugas ultrafiltrasi pada glomerulus, sekresi pada tubulus
dan reabsorpsi pada tubulus kontortus. Melihat fungsi tersebut jelas ginjal
menanggung beban kerja yang tidak ringan, untuk mempertahankan tubuh
dari zat yang kurang bermanfaat atau racun serta mempertahankan
homeostatis serta keseimbangan elektrolit.
Kasus gagal ginjal di dunia sekarang ini meningkat lebih dari 50%.
Indonesia sendiri termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal
cukup tinggi. Saat ini, di Indonesia jumlah penderita gagal ginjal diperkirakan
sekitar 150 ribu orang. Dari jumlah itu, permasalahan penyakit gagal ginjal
yang dihadapi masyarakat adalah tidak mampu berobat atau cuci darah
(hemodialisa) karena biayanya sangat mahal yang harus dilakukan 2-3x
seminggu. Akibatnya, tidak sedikit penderita yang meninggal dunia.
Kecenderungan kenaikan penderita gagal ginjal itu antara lain terlihat dari
meningkatnya jumlah pasien cuci darah yang jumlah rata-ratanya sekitar 250
orang/tahun (Anonima , 2006).
1
Obat telah diketahui dapat merusak ginjal melalui berbagai
mekanisme. Bentuk kerusakan yang paling sering dijumpai adalah interstitial
nephritis dan glomerulonephritis. Penggunaan obat apapun yang diketahui
berpotensi menimbulkan nefrotoksisitas sedapat mungkin harus dihindari
pada semua penderita gangguan ginjal. Penderita dengan ginjal yang tidak
berfungsi normal dapat menjadi lebih peka terhadap beberapa obat, bahkan
jika eliminasinya tidak terganggu (Kenward dan Tan, 2003).
2
dijumpai adalah penurunan dosis atau perpanjangan interval pemberian obat
atau gabungan keduanya (Kenward dan Tan, 2003).
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
Saat ini jumlah penyakit ginjal kronik sudah bertambah banyak dari tahun ke
tahun. Jumlah kejadian penyakit ginjal kronik di dunia tahun 2009 menurut United
State Renal Data System (USRDS) terutama di Amerika rata-rata prevalensinya 10-
13% atau sekitar 25 juta orang yang terkena penyakit ginjal kronik, dan terjadi
peningkatan pada tahun 2013 di Amerika Serikat menjadi 20 – 25% setiap tahun.
Berdasarkan hasil survei Perhimpunan Nefrologi Indonesia (2009) menyebutkan
bahwa prevalensi di Indonesia sebesar 12,5% atau 18 juta orang dewasa yang terkena
penyakit ginjal kronik dan diperkirakan terdapat 70.000 penderita gagal ginjal di
Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar 10% setiap tahunnya. Dilaporkan
juga menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahwa Prevalensi tertinggi terdapat di
Provinsi Sulawesi Tengah dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur, NTB, DKI
Jakarta, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Selatan, dan Riau
(Kemenkes RI, 2013).
4
Yogyakarta dalam evaluasi penggunaan ACE-I kategori ketepatan dosis
menununjukkan bahwa 95% kasus telah tepat dosis, dan sebesar 67,74% tidak tepat
dosis pada pasien GGK yang mendapat terapi hemodialisis (Diantari dan Woro,
2005). Namun di kota medan sendiri belum didapatkan secara pasti data – data
terbaru yang menunjukkan seberapa besar persentase pengggunaan obat pada pasien
gangguan ginjal kronik yang memerlukan penyesuaian dosis.
2.1.3 Etiologi
2.1.4 Klasifikasi
5
(ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
atau meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun 60-89
ringan
3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun 30-59
sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
Sumber: NKF-K/DOQI (2004)
Adapun untuk mengetahui klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan LFG
dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
Berikut adalah hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik pada pasien
gangguan ginjal yaitu:
6
b. insufisiensi renal (LFG = 20 – 50%)
Pasien GGK pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal walaupun sudah
memperlihatkan keluhan – keluhan yang berhubungan dengan retensi azotemia. Pada
pemeriksaan hanya ditemukan hanya ditemukan hipertensi, anemia dan
hiperurikemia. Pasien tahap ini mudah terjun ke sindrom gagal ginjal akut (GGA)
pada seseorang pasien gagal ginjal kronik (GGK), dengan faktor pencetus yang
memperburuk faal ginjal (LFG) sindrom ini sering berhubungan dengan faktor-faktor
yang memperburuk faal ginjal.
Ginjal termasuk organ eliminasi utama disamping hati. Oleh sebab itu
normalitas fungsi ginjal merupakan faktor penentu ekskresi senyawa endogen dan
eksogen (termasuk obat), dan akumulasinya di dalam tubuh. Dalam proses ekskresi,
ginjal melakukan filtrasi, sekresi dan reabsorbsi, yang mana proses ini dipengaruhi
oleh kecepatan dan aliran darah ginjal. Karena berkaitan dengan sirkulasi sistemik,
maka jumlah dan kecepatan ekskresi obat melalui ginjal juga ditentukan oleh curah
jantung, khususnya aliran darah yang menuju dan di ginjal (renal blood flow)
(Hakim, 2013).
Oleh sebab itu setiap kejadiaan yang mengubah aliran darah ginjal akan
mengubah kecepatan dan jumlah obat yang dieksresi oleh ginjal. Disamping itu
dalam proses filtrasi oleh glomeruli, karena yang lolos filtrasi adalah obat yang tak
terikat protein (albumin atau AAG), maka kadar protein darah menentukan jumlah
7
obat yang terekskresi. Seperti diketahui, karena biosintesis protein terjadi di hati,
maka normalitas fungsi hati secara tidak langsung turut menentukan kapasitas
ekskresi ginjal. Jadi jumlah dan kecepatan ekskresi renal tidak hanya ditentukan oleh
fungsi ginjal, tetapi juga fungsi kardiovaskular dan hati, selain faktor fisiko-kimiawi
obat itu sendiri. Obat – obat yang memiliki rasio ekskresi renal tinggi (misalnya
golongan penisilin dan glukuronat), ekskresinya lebih tergantung dari perubahan
kecepatan aliran darah di ginjal dibandingkan obat yang memiliki rasio ekskresi renal
rendah (misalnya digoksin, furosemid, dan tetrasiklin). Perubahan aliran darah ginjal
sering dapat disamakan dengan perubahan LFG ketika merancang regimen dosis
pada gagal ginjal (Hakim, 2013).
Bertitik tolak dari perubahan yang terjadi pada gagal ginjal, beberapa hal
yang harus diperhatikan adalah:
a. penyesuaian dosis obat agar tidak terjadi akumulasi dan intoksikasi obat
c. pada pasien yang menjalani dialisis, penyesuaian dosis obat yang mudah
terdialisis harus dilakukan seperti aminoglikosida dan sefalosporin untuk
mencapai efek terapeutik
8
d. beberapa obat yang dikonver menjadi metabolit aktif dan eliminasinya
melaui ginjal, harus disesuaikan dosisnya (Nasution, et al,. 2003).
9
yang sebagian besar termetabolisme juga mengalami perubahan klirens (Hakim,
2013).
2.2.4 Ekskresi Ginjal
Fungsi ekskresi ginjal rata – rata berkurang 6 – 10% tiap sepuluh tahun,
ketika seseorang mulai menginjak usia 40 tahun. Akibatnya, karena terjadi
perlambatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerular, maka obat dan metabolitnya
cenderung terakumulasi didalam darah, sehingga dapat memperlama waktu paruh
eliminasi dan durasi efek obat. Dilaporkan bahwa kecepatan aliran darah ginjal
berkurang dari 618 – 689 mL/menit pada usia dewasa menjadi 349 – 485 mL/menit
pada usia lanjut (Hakim, 2013).
Ginjal merupakan rute eliminasi utama untuk berbagai obat dan metabolitnya.
Ekskresinya dapat melalui filtrasi glomeruler, sekresi tubulus atau reabsorpsi.
Ekskresi merupakan parameter farmakokinetika yang paling terpengaruh oleh
gangguan ginjal. LFG atau klirens kreatinin dapat digunakan sebagai perkiraan
jumlah nefron yang berfungsi. Apabila filtrasi glomerular terganggu oleh penyakit
ginjal, maka klirens obat tereliminasi terutama melalui mekanisme ini menjadi lebih
panjang. Gagal ginjal juga akan mengubah reabsorpsi pasif secara tidak langsung,
dengan cara mengubah laju aliran urin dan pH. Contohnya yaitu digoksin,
gentamisin, metotreksat, dan furosemid (Hakim, 2013).
2.3 Penilaian Terhadap Fungsi Ginjal
Kreatinin merupakan metabolit endogen yang sangat berguna untuk menilai
fungsi glomerulus. Zat ini umumnya berasal dari metabolisme otot dalam jumlah
bilangan yang masih kasar. Dari kesemuanya diekskresikan melalui ginjal dengan
proses filtrasi glomerulus bebas dengan sekresi tubulus yang minimal. Dalam
keadaan normal (fungsi ginjal, pengaturan diet, massa otot dan metabolisme normal)
kreatinin diproduksi dalam jumlah yang sama dan dieksresikan melalui urin setiap
hari. Sedangkan sekresi melalui tubulus dan saluran pencernaan hanya dalam jumlah
yang sedikit. Dengan demikian penilaian LFG dengan mengukur konsentrasi
kreatinin plasma atau bersihan kreatinin dapat menjadi over non-glomerulus
meningkat akibat terganggunya fungsi ginjal. Over estimasi ini menjadi lebih
progresif dan berat sehingga akibatnya LFG menurun. Beberapa jenis obat – obatan
dapat mempengaruhi sekresi kreatinin melalui tubulus yang dapat menyebabkan
10
peningkatan konsentrasi kreatinin dan penurunan bersihan kreatinin tanpa perubahan
LFG (Hakim, 2013).
Untuk mengukur bersihan kreatinin, urin pasien harus dikumpulkan selama
24 jam. Konsentrasi plasma kreatinin (per mmol/L) dan konsentrasi kreatinin urin
(mmol/L) juga harus diperiksa. Juga lamanya pengumpulan urin dan volume urin.
Kemudian dapat dihitung bersihan kreatinin. Nilai normal bersihan kreatinin berkisar
120 ml/menit yang bervariasi dengan ukuran yang dapat dinilai dari luas permukaan
tubuh (Hakim, 2013).
11
kematian dan kesakitan dan meningkatkan kualitas hidup pasien (Cipolle, et al,.
1998).
12
2.6 Penyakit Hipertensi pada Pasien Gangguan Ginjal Kronik
Tujuan dari pengobatan hipertensi pada penyakit GGK adalah untuk
menurunkan tekanan darah, untuk menurunkan resiko terjadinya Cardio Vaskular
Disease pada pasien hipertensi dan memperlambat progresi penyakit ginjal pada
pasien dengan atau tanpa hipertensi (NKF, 2004). Berkembangnya penyakit GGK
dapat diatasi dengan pengobatan hipertensi. Diuretik, β-blocker, ACE-I, dan
antagonis kalsium semuanya efektif pada pasien dengan gagal ginjal dini. ACE-I dan
Calsium Channel blocker (CCB) tidak mengubah metabolisme glukosa atau lipid,
memiliki efek yang diinginkan pada hipertrofi ventrikel kiri dan memiliki efek
nefroprotektif potensial dengan mengurangi peningkatan resistensi vaskular ginjal.
ACE-I memiliki manfaat tambahan berupa berkurangnya proteinuria pada pasien
baik dengan penyakit diabetik maupun nondiabetik. Obat ini harus diberikan dengan
hati-hati karena bisa menurunkan aliran darah ginjal dan memicu gagal ginjal akut,
khususnya bila ada stenosis arteri renalis (Suwitra, 2006).
2.6.1 Obat-obat yang Perlu Penyesuaian Dosis pada Pasien GGK
Sebagian besar obat yang larut air diekskresikan dalam jumlah tertentu dalam
bentuk utuh melalui ginjal. Dosis obat – obat tersebut butuh penyesuaian yang hati –
hati apabila obat tersebut diresepkan pada pasien dengan fungsi ginjal yang telah
menurun. Akumulasi dan toksisitas dapat meningkat dengan cepat apabila dosis tidak
disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal. Sebagian besar
obat juga memiliki efek samping nefrotik, sehingga dosis juga harus disesuaikan
pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal (Sukandar, 2006).
Strategi untuk menyesuaikan dosis pada pasien gagal ginjal dapat membantu
dalam terapi obat individu dan membantu meningkatkan keamanan obat. Metode
yang direkomendasikan dalam mengatur penyesuaian dosis adalah dengan
mengurangi dosis, memperpanjang interval dosis atau kombinasi keduanya (Munar
dan Singh, 2007). Pengetahuan penyesuaian dosis obat untuk pasien dengan
insufisiensi ginjal sangat penting untuk mencegah dan mengurangi akumulasi obat
tersebut dalam tubuh. Angka kejadian efek samping obat pada pasien GGK ternyata
lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang mempunyai faal ginjal normal
(Sukandar, 2006).
13
Bila kreatinin klirens dibawah 60 mL/menit maka perlu penyesuaian dosis
obat yang dikonsumsi. Penyesuaian dapat dengan cara mengurangi dosis obat atau
memperpanjang interval minum obat. Penyesuaian ini bertujuan untuk mendapat
efek terapeutik maksimal tanpa efek samping. Berikut beberapa macam obat – obat
yang perlu penyesuaian dosis saat diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal,
yaitu:
d. diuretik: bila klirens kreatinin kurang dari 30 mL/menit maka hindari penggunaan
obat diuretik yang menahan kalium, obat thiazide akan berkurang efektifitasnya
14
perjalanan penyakit, faktor risiko, kerusakan target organ, diabetes, indikasi dan
kontraindikasi. Indikasi spesifik dan target dalam strategi pemilihan obat
antihipertensi tergantung dari profil faktor risiko, penyakit penyerta seperti diabetes,
penyakit ginjal, dan pembesaran atau disfungsi ventrikel kiri (Sutter, 2007).
a. Golongan Diuretik
Salah satu contoh obat yang termasuk dalam golongan diuretik kuat adalah
furosemid. Furosemid biasanya digunakan pada penderita hipertensi
dengangangguan fungsi ginjal dengan kadar kreatinin serum lebih dari 2,3 mg/dl
(Lim, 2009). Secara farmakokinetik furosemid memiliki volume distribusi sebesar
0,07-0,2 L/kg, terikat oleh protein plasma sebesar 91-99% dan 80-90% diekskresikan
dalam bentuk tidak berubah. Selain diuretik kuat juga terdapat diuretik tiazid yang
dapat mengurangi tekanan sebesar 10-15 mmHg. Diantara obat tiazid, hidroklortiazid
merupakan obat yang paling sering digunakan. Secara farmakokinetik diabsorbsi
dengan baik dalam traktus gastrointestinal (GI). Hidroklortiazid memiliki kekuatan
ikat protein yang lebih lemah dibandingkan dengan furosemid. Waktu paruh tiazid
lebih panjang daripada diuretik kuat. Maka untuk alasan ini tiazid harus diberikan
pada pagi hari untuk menghindari nokturia (Ashley dan Currie, 2009).
Furosemid lebih efektif daripada tiazid, bekerja dengan cepat, dan memiliki
lama kerja yang lebih pendek daripada tiazid kerja pendek, dan diekskresi lebih cepat
(Sukandar, 2006). Jenis obat diuretik lainnya yang sering digunakan adalah
spironolakton. Spironolakton mengalami metabolisme yang cepat dan luas. Sebagian
besar pemberian peroral diubah menjadi metabolit aktif (Raharjo, 2008).
Penggunaan diuretik dapat efektif untuk mencegah hiperkalemi, tetapi
penggunaan diuretik tiazid hanya dapat diberikan pada kadar kreatinin di bawah 1,8
mg/dL. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dapat dilakukan pemantauan
kadar kalium setiap 1-2 minggu pada awal terapi (Williams, 2005).
b. Golongan ACE-Inhibitor
Obat golongan ACE-I yang sering digunakan adalah kaptopril. Setelah
pemberian secara oral kaptopril secara cepat diabsorpsi dan mencapai kadar puncak
dalam 1 jam, adanya makanan dalam saluran gastrointestinal akan menurunkan
absorpsi sebesar 30-40%. Dalam distribusinya sekitar 25-30% terikat oleh protein,
15
90% diekskresikan melalui ginjal, dan waktu paruhnya sekitar 3 jam, serta 40-
50%nya dieksresikan dalam bentuk tidak berubah (Ashley dan Currie, 2009). Oleh
karena itu golongan ACE-I seperti kaptopril, benazapril dan ramipril diperlukan
penyesuaian dosis yaitu penurunan dosis berdasarkan nilai LFG dan diberikan
tunggal.
c. Golongan β – blocker
Golongan β – blocker merupakan salah satu obat yang sering digunakan
untuk mengatasi hipertensi. Dalam distribusinya sekitar 30% terikat oleh protein dan
sebesar 50% dieksresikan tidak berubah dalam urin dengan waktu paruh selama 9 –
12 jam (Ashley dan Currie, 2009). Beberapa β – blocker tidak dianjurkan untuk
pasien gagal ginjal dengan atau tanpa dialisis (seperti acebutol, atenolol, nadolol,
pindolol dan sotalol). Carvedilol dapat diberikan pada gagal ginjal dengan dosis
harian 6,25 - 12,5 mg b.i.d, tidak tereliminasi dengan prosedur HD (non – dialyzable
drugs). Namun terdapat obat yang memerlukan penyesuaian dosis seperti bisoprolol,
maka penyesuaian dosis dilakukan berdasarkan nilai LFG pada pasien dengan
gangguan ginjal kronik (lampiran 6) (Sukandar, 2006).
16
10% dalam bentuk tidak berubah dan 60% sebagai metabolit (Ashley dan Currie,
2009).
17