Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

Ensefalopati Uremikum
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat dalam
Menempuh Program Internsip
Bagian Penyakit Dalam
RSUD Ratu Zalecha

Disusun Oleh :

dr. Nofian Rahadi

Pembimbing:

dr Syafitri Yuliani Sp.D

0
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu penyakit yang dikenal masyarakat sebagai
penyakit gagal ginjal kronik dimana terjadinya kerusakan nefron diikuti oleh kehilangan fungsi
ginjal yang progresif dan irreversible yang menyebabkan tubuh gagal mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit serta metabolik sehingga dapat terjadi uremia maupun
azotemia (Brunner & Suddarth, 2015). Pasien dengan GGK sebagian besar menderita masalah
berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, anemia, malnutrisi, dan gangguan
gastrointestinal (Palmer Sc, dkk. 2015).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu penyakit yang tidak menular, bersifat kronik,
yang merupakan masalah kesehatan di dunia karena tingginya angka kematian pada pasien. Data
Pongsibidang tahun 2016, menurut World Health Organization (WHO) gagal ginjal kronis
menjadi masalah penyakit di dunia dengan angka kematian sebanyak 850.000 jiwa pertahun.
Prevalensi GGK secara global diperkirakan mencapai 13%, sedangkan di Indonesia data menurut
Riskesdas tahun 2018 menjelaskan 4 dari 1.000 penduduk mengalami GGK. Pada pasien GGK
tahap akhir (PGTA), terapi pengganti ginjal (TPG) penting diberikan agar ginjal dapat berfungsi
sehingga tubuh mampu bertahan (Glassock RJ, Warnock DG, dan Delanaye P.2017). Menurut
hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, dari 260 juta penduduk terdapat 713.783 penduduk
Indonesia diatas umur 15 tahun terdiagnosis PGK (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 2018).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) telah menjadi epidemi global, perkiraan prevalensi 14% di
Amerika Serikat dan 5-15% di seluruh dunia (Nicola dan Zoccali, 2016). Banyak publikasi
melaporkan prevalensi PGK dengan berbagai variasi metode pengambilan sampel dan penilaian
fungsi ginjal, sehingga disebutkan prevalensi PGK di seluruh dunia bervariasi antara 10% hingga
50% (terutama pada populasi berisiko tinggi). PGK meningkatkan risiko terjadinya gangguan
kardiovaskular serta progresivitas yang mengarah kepada penyakit ginjal stadium akhir (end
stage renal disease atau ESRD) dan kematian (Dhondup dan Qian, 2017). Ginjal memainkan
peran untuk mengatur keseimbangan cairan, elektrolit, hormon dan asam basa. Kerusakan pada
ginjal akan mengakibatkan gangguan elektrolit seperti hiperkalemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik, dan selanjutnya menimbulkan gangguan pada otot, kelainan tulang, kalsifikasi
pembuluh darah dan kematian (Bruzel, 2018).
Menurut National Chronic Kidney Disease Fact Sheet 2017, sejumlah 30 juta (15%)
orang dewasa di Amerika Serikat mengalami penyakit GGK. Pada tahun 2018, menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) sejumlah 499.800 orang (2%) mengalami penyakit GGK dan pada
tahun 2017 sebanyak 77.892 pasien GGK yang melakukan cuci darah mengalami peningkatan.
Pada penelitian Nurseskasatmata dkk (2019) menyatakan 80 pasien yang datang ke IGD dengan
diagnosa gagal ginjal kronis dan mengalami sesak nafas, dengan ratarata pasien sudah menjalani

1
terapi hemodialisis. Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), diperoleh data sekitar
25 juta (12,5%) penduduk menderita masalah pada fungsi ginjal. Sebanyak 150 ribu penderita
GGK masalah utamanya adalah hipertensi (Ali, Masi, & Kallo, 2017). Prevalensi pada kelompok
usia 35-44 tahun (0,3%), usia 45-54 tahun (0,4%), usia 55- 74 tahun (0,5%), serta pada usia ≥75
tahun (0,6%). Kemudian berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih tinggi daripada perempuan
dengan presentase (0,3%) dan (0,2%). Untuk prevalensi di masyarakat perdesaan (0,3%), tidak
bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah kebawah masing-masing 0,3%. Di Indonesia pasien GGK
rata-rata sebesar 0.2%, yang sama dengan di Provinsi Sumatera Barat yang meliputi cuci darah
(Kemenkes, 2013). Gagal Ginjal Kronik dibagi menjadi lima stadium berdasarkan Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative membagi GGK menurut Glomerular Filtrate Rate (GFR)
yang mana End Stage Renal Disease (ESRD) adalah stadium akhir dari GGK yang dicirikan
dengan ginjal mengalami kerusakan secara permanen dan irreversibel. Menurut Maksum 2015,
pasien dengan stadium akhir memerlukan terapi pengganti ginjal dengan cuci darah, peritoneal
dialisis, dan transplantasi ginjal.
Menurut data IRR tahun 2017, sebanyak 51% penderita GGK disertai penyakit darah
tinggi. Selain itu, sebanyak 30% darah tinggi juga merupakan penyakit dasar urutan pertama dari
GGK (Pernefri 2017). Fungsi ginjal yang mengalami penurunan mewajibkan pasien untuk
melakukan terapi cuci darah dengan frekuensi 2-3 kali seminggu selama 3-4 jam per sekali
terapi. Cuci darah adalah terapi pengganti ginjal dengan cara mengalirkan darah ke dalam tabung
ginjal buatan dengan tujuan zat-zat sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan
keseimbangan elektrolit antara kompartemen dialisat melalui membran semipermeable dapat
terbuang. Menurut Manus et al., 2015, cuci darah wajib diberikan sebagai pengganti organ ginjal
yang mengalami kerusakan agar tidak terjadi uremia.
Berdasarkan usia, sebagian besar pasien hemodialisis merupakan pasien pada golongan
umur 45-64 tahun. Jika terjadi gagal ginjal maka perlu dilakukan cuci darah atau transplantasi
ginjal. Untuk itu diperlukan upaya yang komprehensif dan bukti ilmiah untuk memperkaya
pengetahuan tentang gagal ginjal kronik khususnya di Indonesia. Upaya komprehensif Indonesia
untuk menangani gagal ginjal kronik adalah dengan menganalisis gagal ginjal kronik stadium 5
berdasarkan determinan usia, jenis kelamin dan diagnosis etiologi Indonesia tahun 2018.
Prevalensi penderita GGK meningkat setiap tahun. Perbedaan suku, genetika, pola hidup, dan
pendidikan di Indonesia akan berkesinambungan dengan perbedaan prevalensi GGK di masing-
masing wilayah.
Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan nomor dua diiringi dana
pengobatan paling besar menurut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia setelah
penyakit kardiovaskular. Salahsatu komplikasi dari GGK yaitu Uremic Encephalopathy (UE)
yang merupakan suatu gangguan pada otak organik yang dialami oleh pada pasien GGA (Gagal
Ginjal Akut) atau GGK (Gagal Ginjal Kronik) yang biasanya ditandai dengan kreatinin klirens
menurun dan atau tetap dibawah 15ml/mnt (Lohr JW dan Mc Candless Dw, 2009). Insiden
Uremic Encephalopathy (UE) di dunia belum diketahui. UE bisa terjadi pada setiap pasien
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Pelonjakan kenaikan kasus ESRD sejalan beriringan

2
dengan kenaikan kasus Uremic Encephalopathy (UE). Etiologi gagal ginjal paling banyak yaitu
ginjal hipertensi (39%) disertai nefropati diabetic (22%) menurut Indonesian Renal Registry
(IRR) 2018.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik


2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit renal tahap
akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal secara progresif dan ireversibel yang
menyebabkan gangguan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism,
kesimbangan cairan dan elektrolit (Smeltzer dan Bare, 2012). ESRD disebabkan oleh
berbagai penyakit diantaranya infeksi (infeksi traktus urinarius, pielonefritis dan nefropati
refluks), glomerulonefritis, sindrom nefrotik, nefrosklerosis hipertensif (hipertensi
esensial dan ginjal), gangguan kongenital dan herediter, gangguan metabolic (diabetes
millitus), nefropatik toksik. Adapun hilangnya fungsi ginjal progresif yang berhubungan
dengan penyakit sistemik, seperti diabetes melitus (faktor resiko paling penting),
hipertensi, atau lupus eritematosus sistemik, atau terkait dengan penyakit ginjal intrinsik,
seperti acute kidney injury, glomerulonefritis kronik, pielonefritis kronik, uropati
obstruktif, atau gangguan vaskular (Price & Wilson, 2006). Acute kidney injury dapat
berkembang menjadi ESRD. National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan
kerusakan sebagai laju filtrasi glomerulus (GFR) mengacu pada penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR). Istilah insufisiensi renal dan gagal ginjal kronik masih sering
digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsi ginjal, tetapi tidak memiliki spesifisitas
dari 5 stadium yang direkomendasikan oleh NKF. End-Stage Renal Disease menurunkan
GFR dan fungsi tubulus dengan manifestasi perubahan pada semua sistem organ.

3
2.1.2 Etiologi

2.1.3 Patofisiologi
Ginjal memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi terhadap hilangnya
massa nefron. Gejala yang terjadi disebabkan oleh meningkatnya kadar kreatinin, urea
dan kalium. Perubahan pada keseimbangan garam dan air biasanya tidak terlihat sampai
fungsi ginjal menurun menjadi kurang dari 25% dari normal saat adaptasi cadangan ginjal
telah habis.
Telah diusulkan beberapa teori yang mejelaskan adaptasi terhadap hilangnya fungsi
ginjal. Hipotesis nefron intak (intact nephron hypothesis) mengusulkan bahwa hilangnya
massa nefron dengan kerusakan ginjal progresif menyebabkan nefron yang masih hidup

4
menopang fungsi ginjal tetap normal. Nefron-nefron ini mampu melakukan kompensasi
mengalami hipertropi dan ekspansi atau hiperfungsi terhadap laju filtrasi, reabsorbsi, dan
sekresi dan dapat mempertahankan kecepatan yang konstan dari ekskresi dengan adanya
penurunan GFR secara keseluruhan. Hipotesis nefron intak menjelaskan perubahan
adaptif pada regulasi pelarut dan air yang terjadi dengan memberatkan gagal ginjal.
Meskipun urine seseorang pasien ESRD kemungkinan mengandung jumlah protein
abnormal dan sel eritrosit dan leukosit atau silinder, produk akhir utama dari ekskresi
mirip dengan ginjal yang berfungsi secara normal sampai gagal ginjal stadium lanjut,
apabila ada penurunan yang bermakna dari nefron yang fungsional.
Dengan keparahan atau berulangnya cedera, sel-sel epitelial mengalami gangguan
respons proliferatif menyebabkan hilangnya kapiler interstisial dan proliferasi fibroblast.
Proses yang progresif dari glomerulosklerosis dan tubulointerstisial fibrosis berperan
terhadap ESRD dan penyakit ginjal tahap akhir. Lokasi tertentu dari kerusakan ginjal
juga mempengaruhi hilangnya fungsi ginjal. Misalnya, penyakit tubulointerstisial
merusak terutama bagian tubulus atau medula dari nefron, menghasilkan masalah seperti
renal tubular acidosis (RTA), hilangnya garam, kesulitan untuk mendilusi atau
memkatkan urine. Jika kerusakan terutama pada vaskular atau glomerulus, lebih
prominen proteinuria, hematuria, dan sindrom nefrotik.
Dua faktor yang secara konsisten diketahui menyebabkan berlanjutnya penyakit ginjal
adalah proteinuria dan aktivitas angiotensin II. Hiperfiltrasi glomerulus dan peningkatan
permeabilitas kapiler glomerulus dan hiangnya muatan negatif menyebabkan proteinuria.
Proteinuria berperan terhadap cedera tubulointerstisial melalui akumulasinya dalam ruang
interstisial dari tubulus dan mengaktifkan protein komplemen dan mediator dan sel-sel
lain, seperti makrofag, yang menyebabkan inflamasi dan fibrosis progresif. Angiotensin
II (dari aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron [SRAA]) menyebabkan hipertensi
glomerulus dan hiperfiltrasi akibat dari vasokontriksi arteriol eferen dan juga
menyebabkan hipertensi sistemik. Tekanan intraglomerulus yang persisten tinggi
meningkatkan permeabilitas kapiler glomerulus, dan berkontribusi terhadap terjadinya
proteinuria. Angiotensin II juga dapat mendorong aktivitas sffel-sel inflamasi dan faktor-
faktor pertumbuhan yang terlibat dalam fibrosis dan pembentukan parut (scarring)
tubulointerstisial.
2.1.4 Klasifikasi End-Stage Renal Disease
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National
Kidney Foundation (2016) terdapat 5 stage pada penyakit gagal ginjal kro nis.
Berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan laju filtrasi glomerulus (GFR), yang merupakan
ukuran dari tingkat fungsi ginjal.

5
2.1.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi awal pasien end-stage renal disease seringkali tidak teridentifikasi
sampai tahap uremik. Pada uremik keseimbangan cairan dan elektrolit terganggu,
pengaturan dan fungsi endokrin rusak. Manifestasi awal uremik mecakup mual, apatis,
kelemahan dan keletihan. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipertensi, perikarditis dan
hiperkalemia, pada sistem integument terjadi kulit kering dan gampang terkelupas, pada
paru-paru terdengar rhonki, takipnea, sesak napas, pada saluran cerna dapat terjadi mual
muntah, konstipasi dan perdarahan saluran cerna, pada sistem neurologik terjadi
kelemahan dan keletihan, tremor, dan pada hematologi anemia dan trombositopenia.
(Brunner & Suddart, 2013)
2.1.6 Komplikasi
2.1.6.1 Klirens Kreatinin dan Urea
Kreatinin di lepaskan secara konstan dari otot dan disekresikan terutama
melalui filtrasi glomerulus. Pada end-stage renal disease dengan menurunya laju
filtrasi glomerulus (GFR) kadar kreatinin plasma meningkat. Kliren urea
mengikuti pola yang hamper sama tetapi terfiltrasi dan reabsorpsi dan kadar nya
bervariasi tergantung statu s hidrasinya oleh karena itu kadar urea bukan indeks
yang baik untuk GFR. Pada saat GFR menurun kadar urea plasma juga
meningkat.

6
2.1.6.2 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Pada kondisi end-stage renal disease dan elektolit dan keseimbangan asam
basa terganggu secara bermakna. Pada kondisi GFR menurun hingga 25%, di
dapatkan kehilangan natrium 20 sampai 40 mEq/hari melalui kehilangan osmotic
air. asupan makanan harus di pertahankan untuk mencegah defisit natrium dan
deplesi volume. Ketika GFR terus menurun, juga didapatkan hilangnya fungsi
tubulus untuk mengencerkan dan memekatkan urine dan berat jenis urine menjadi
konstan pada sekitar 1.010. pada akhir nya ginjal kehilangan kemampuan untuk
meregulasi kesimbangan natrium dan air. Terjadi retensi natrium dan air berakibat
edema , proteinuria dan hipertensi. Pada gagal ginjal tahap awal, sekresi tubuler
dari kalium dipertahankan dan kalium dalam jumlah yang lebih besar hilang
melalui usus. Dengan onset oliguria total kalium tubuh dapat meningkat pada
kadar yang membahayakan dan harus di control melalui dialisis. Asidosis
metabolik bekembang ketika GFR menurun hingga kurang dari 20% - 25% dari
normal. Penyebab asidosis terutama terkait dengan penurunan eliminasi ion
hydrogen dan penurunan reabsorpsi bikarbonat. Pada kondisi penyakit ginjal
stadium akhir asidosis metabolic dapat memberat sehingga membutuhkan terapi
alkali dan dialisis.
2.1.6.3 Kalsium, Fosfat dan Tulang
Perubahan pada tulang dan skeletal terjadi akibat perubahan metabolisme
kalsum dan fosfat. Perubahan-perubahan ini dimulai ketika GFR menurun hingga
25% atau kurang. Hipokalsemia dipercepat akibat gangguan sintesis 1,25-
dihydraxyvitamin D3 (kalsitriol) oleh ginjal dengan penurunan penyerapan
kalsium intestinal. Ekskresi fosfat oleh ginjal juga penurunan dan peningkatan
fosfat serum yangterikat kalsium,yang berkontribusi lebih lanjut terhadap
hipokalsemia. Asidosis juga berkontribusi terhadap keseimbangan negative
kalsium. Penurunan kadar kalsium serum merangsang sekresi hormon paratiroit
dengan mobilisasi kalsium dari tulang. Efek kombinasi hiperparatiroidisme terkait
peningkatan kadar fosfat dan defisiensi vitamin D dapat menyebabkan
osteodistrofi renal (yaitu, osteoporosis, osteomalasia dan osteitis fibrosa) dengan
peningkatan resiko fraktur.
2.1.6.4 Metabolisme
Protein, Karbohidrat dan Lemak Metabolisme protein, karbohidrat, dan
lemak pada ESRD mengalami perubahan. Adanya proteinuria, asidosis metabolik,
inflamasi, dan kondisi katabolik berperan terhadap keseimbangan nitrogen
negatif. Agar protein-protein serum menurun, termasuk albumin, komplemen, dan
transferin, dan didapatkan pengurangan massa otot. Sering didapatkan resistensi
insulin dan intoleransi glukosa dan kemungkinan terkait dengan sitokin
proinflamas, dan perubahan adipokin (leptin tinggi dengan kadar adiponektin
rendah) yang mengganggu kerja insulin. Hiperparatiroidisme juga menurunkan

7
sensitivitas insulin dan mengganggu toleransi glukosa. Dyslipidemia merupakan
hal yang sering pada pasien ESRD. Terdapat rasio low-density lipoprotein (LDL)
terhadap high-density lipoprotein (HDL) yang tinggi, kadar trigliserida tinggi, dan
akumulasi partikel LDL dengan percepatan aterosklerosisdan kalsifikasi vaskuler.
Uremia menyebabkan defisiensi lipoprotein lipase dan penurunan aktifitas
lipolitik menyebabkan penurunan kadar HDL. Kadar apolipoprotein B juga
meningkat, maka terjadinya penurunan Energi sehingga mempercepat
aterogenesis.
2.1.6.5 Sistem Kardiovaskuler
Penyakit kardiovaskuler adalah penyebab utama morbiditas dan nortalitas
pada ESRD. Sitokin proinflamasi, stress oksidatif, gangguan metabolik, dan
toksin uremik merupakan kontributor yang penting. Hipertensi merupakan akibat
dari kelebihan natrium yang volume cairan dan arteriosclerosis, disfungsi sel
endotelial dan deposit kalsium menyebabkan hilangnya elastisitas pembuluh
darah dan terjadinya klasifikasi vaskuler.peningkatan kadar renin juga
merangsang sekresi aldosteron, sehingga meningkatkan absorpsi natrium.
Dislipedemia mendorong pembentukan plak ateromatosa. Akibat dari penyakit
vaskuler pada pasien dengan uremia akan meningkatkan resiko penyakit jantung
iskemia, hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung kongenstif, stroke, dan penyakit
arteri perifer. Penurunan produksi eritropoletin menyebabkan anemia, sehingga
meningkatkan autputkardiak dan menambah beban kerja jantung. Perikarditis
dapat berkembang dari inflamasi yang disebabkan adanya toksin uremia.
Akumulasi cairan dalam ruangan perikardial dapat mengganggu pengisian
ventrikel dan output kardiak. kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif (sindrom kardiorenal) yang terjadi oksigen menurun maka
kebutuhan energi menurun.
2.1.6.6 Sistem Pulmonal
Komplikasi pulmonal berkaitan dengan kelebihan cairan,gagal jantung
kongestif, dan dyspnea. Terjadinya edema pulmonal dan asidosis metabolik
menyebabkan pernapasan Kussmaul. Hipertensi pulmonal dapat berkembang
karena disfungsi ventrikel atau perubahan vaskuler terkait uremia.
2.1.6.7 Sistem Hematologi
Perubahan hematologi meliputi anemia normokrom-normositik, gangguan
fungsi trombosit, dan hiperkoagulabilitas. Produksi eritropoietin yang tidak
adekuat menurunkan produksi eritrosit dan uremia menurunkan masa hidup
eritrosit. Rasa lesu, pusing,dan hematokrit yang rendah sering ditemukan. Tidak
efektifnya agregasi trombosit dan perubahan endotel vaskuler mendorong
peningkatan kecenderungan perdarahan, peningkatan resiko memar, epistaksis,
pendarahan gastrointestinal, atau perdarahan serebrovaskuler. Perubahan pada

8
trombin dan faktor pembekuan lainnya menyebabkan hiperkoagulabilitas;
sehingga kendali koagulasi merupakan hal yang penting selama dialisis.

2.1.6.8 Sistem Imunologi


Pada ESRD terjadi disregulasi terhadap sistem imun. Terjadi penekanan
terhadap kemotaksis, fagositosis produksi antibody, dan respons imun yang
dimediasi sel. Kondisi malnutrisi, asidosis metabolik, dan hiperglikemia dapat
memperkuat supresi imun. Pelepasan sitokin inflamasi menyebabkan inflamasi
sistemik. Kegagalan sistem antioksidan juga mempromosi terjadinya inflamasi.
Terhadap defisiensi respons terhadap vaksinasi, peningkatan resiko infeksi, dan
kanker terkait virus (misal humar, papillomavirus, virus hepatitis B dan C, virus
Epstein-Barr).
2.1.6.9 Sistem Neurologi
Pada ESRD, gejala-gejala neurologic merupakan hal yang sering dan
progresif, gejala-gajala tersebut meliputi sakit kepala, nyeri, mengantuk,
gangguan tidur, gangguan konsentrasi, kehilangan memori, dan ensefalopati
uremik. Pada gagal ginjal stadium yang lanjut, gejala dapat berkembang berupa
kejang dan koma. Iritasi neuromuskuler dapat menyebabkan cegukan, kram
otot,dan otot yang berkedut. Neuropati perifer yang berkaitan dengan toksin
uremik juga dapat berkembang dengan terjadinya gangguan sensasi terutama pada
bagian bawah tubuh. Gejala-gejala membaik dengan hemodialisis tapi akan terjadi
fatigue atau kelelahan.
2.1.6.10 Sistem Gastrointestinal
Pada ESRD, komplikasi gastrointestinal merupakan hal sering terjadi.
Gastroenteritis uremik dapat menyebabkan perdarahan ulkus dan kehilangan
darah yang bermakna. Gejala-gejala yang tidak spesifik meliputi anoreksia, mual,
muntah, konstipasi, atau diare. Fetor uremikum berupa nafas tidak sedap yang
disebabkan oleh penghancuran urea oleh enzim saliva. Malnutrisi merupakan hal
yang sering terjadi.
2.1.6.11 Sistem Endokrin dan Reproduksi
Perubahan endrokin dan reproduksi berkembang dengan progresinya
ESRD. Laki-laki dan perempuan mengalami penurunan kadar steroid seks yang
bersirkulasi. Laki-laki sering mengalami penurunan kadar testosteron dan
mungkin impotensi. Oligospermia dan dysplasia sel germinal dapat menyebabkan
infertilitas. Pada perempuan dapat mengalami penurunan kadar estrogen,
amenorrhea, dan kesulitan mempertahankan kehamilan sampe aterm.
2.6.1.12 Penurunan Libido

9
Resistensi insulin merupakan hal yang sering pada uremia, dan ketika
ESRD berkembang, maka kemampuan ginjal untuk mendegradasi insulin menjadi
berkurang dan waktu paruh insulin menjadi lama. Pasien diabetes mellitus dengan
chronic kidney diseases perlu lebih berhati-hati mengatur dosis insulin. ESRD
juga menyebabkan perubahan metabolisme hormone tiroid, terutama hipotiroid,
yang dikenal dengan nonthyroidal illness syndrome. Uremia memperlambat
respons dari reseptor thyroid stimulating hormone (TSH) dan kadar triiodotironin
(T3) seringkali rendah.
2.6.1.13 Sistem Integumen
Perubahan pada kulit berkaitan dengan komplikasi lain yang berkembang
pada ESRD. Anemia dapat menyebabkan kepucatan dan perdarahan ke dalam
kulit dan menyebabkan hematoma dan ekimosis. Retensi urokrom menjadikan
warna kulit yang pucat kekuningan. Hiperparatiroidisme dan residu uremik kulit
(dikenal dengan uremic frost) berkaitan dengan inflamasi, iritasi, dan pruritus
dengan bekas garukan, ekskoriasi, dan pen ingkatan resiko infeksi. Sering
didapatkan kuku yang separuh-separuh (separuh putih dan separuh merah atau
coklat). Yang jarang ditemukan adalah lesi bula local dan fibrosis sistemik
nefrogenik. Untuk mengurangi gejala-gejala yang terjadi maka yang dilakukan
therapi hemodialisa.
2.1.7 Penatalaksanaan End-stage Renal Disease
Menurut Brunner & Suddarth (2016), Penatalaksanaan gagal ginjal kronis
mempunyai dua bagian yakni, bagian yang pertama terdiri dari tindakan non operasi yaitu
penggunaan obat, pengaturan diet dan HD, Dan tahap kedua dengan tindakan operasi
yaitu dengan transplantasi ginjal. Dalam mempertahankan kehidupan adapun
penatalaksanaannya adalah sebagai berikut:
2.1.7.1 Farmakologi
Sebelumnya terjadi kondisi lebih lanjut dan sebelum menjalani
hemodialisis pasien gagal ginjal kronis diberikan therapi obat-obatan oral antara
lain; pemberian urogetik, anti hipertensi, eritopoetin, suplemen besi, agens
pengikat pospat dan suplemen kelsium (Brunner & Suddart, 2013).
2.1.7.2 Manajemen Nutrisi
Merupakan suatu cara untuk mempertahankan fungsi ginjal secara terus
menerus dengan prinsip rendah garam, rendah protein, rendah kalium dimana
pasien harus meluangkan waktu menjalani pengobatan yang dibutuhkan
(Sumigar, Rompas, & Pondaag, 2015).
a. Diet Protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar Blood Urea Nitrogen
(BUN) dan mungkin juga hasil metabolisme toksik yang belum diketahui dan

10
juga mengurangi asupan kalium, fosfat, dan produksi ion hydrogen yang
berasal dari protein. Pembatasan asupan protein yang sangat rendah
mengurangi beban ekresi sehingga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus,
tekanan intra glomerulus, dan cedera sekunder pada nefron intake.

Jumlah kebutuhan protein biasanya dibatasi sampai 60-80 gr/hari. apabila


pasien mendapatkan program dialisis secara teratur. Contoh makanan yang
sebaiknya dibatasi seperti daging ayam, ikan, kambing, telur, keju, udang, dan
hati.
b. Diet Kalium
Masalah dalam gagal ginjal akut yang pada umumnya terjadi adalah
hyperkalemia, dan juga menjadi penting untuk mengatasi asupan kalium pada
diet. Jumlah yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari. Tindakan yang harus
dihindari adalah dengan tidak memberikan makanan atau obat-obatan dengan
tinggi kandungan kalium. Makanan atau obat ini mengandung tambahan
garam (yang mengandung ammonium klorida dan kalium klorida)
ekspektoran, kalium sitrat. Jika pemberian makanan atau obat yang tidak
diperhatikan akan menyebabkan hiperkalemia. Mengontrol asupan kalium
dapat dilakukan dengan membatasi konsumsi makanan berkalium tinggi
misalnya sayur seperti bayam, pepaya, kelapa, dan buah seperti pisang,
alpukat, durian, duku, dan jus buah lainnya.
2.1.7.3 Manajemen Cairan
Pada pasien gagal ginjal kronis keseimbangan cairan di monitor secara ketat
dengan pengukuran berat badan. Berat badan pasien adalah parameter yang sangat
penting dipantau. selain catatan yang akurat mengenai asupan dan keluaran. 500 sampai
600 ml untuk 24 jam adalah aturan yang digunakan untuk menentukan banyaknya asupan
cairan. Pengaturan natrium dalam diet memiliki arti penting dalam gagal ginjal. Jumlah
natrium yang bisa diperoleh adalah 40-90 Meq/hari (1 hingga 2 g natrium), tetapi asupan
natrium yang optimal harus disesuaikan secara individual pada setiap pasien untuk
mempertahankan hidrasi yang baik Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan
terjadinya retensi cairan, oedem perifer, oedem paru, hipertensi dan gagal jantung
kongestif.
2.1.7.4 Terapi Pengganti Ginjal

11
Terapi pengganti ginjal, dilakukan saat penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada GFR kurang dari 15 mL/menit. Terapi yang dapat dilakukan yaitu dialisis
peritoneal, hemodialisis, dan transplantasi ginjal (Husna, 2010).

BAB III
Laporan Kasus

No. Rekam Medik : 296733


Nama : Ny. Y
Umur : 43 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Suku : Banjar
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Sei Kitano RT 2 Martapura Timur

Nama Suami : Tn S
Umur : 46 tahun
Pekerjaan : Petani

MRS : 9 September 2022 dari IGD

Anamnesis Di IGD dengan cara Alloanamnesis dengan Suami (9 September 2022)


KU Tidak Sadar
RPS : Pasien datang kaku seluruh tubuh sejak 8 jam SMRS. post pemberian antipsikotik
(haloperidoldol 5 mg dan Cpz 25 mg) baru 2 hari, Didapat saat berobat dari Puskesmas
Martapura Timur., mata mendelik ke atas. Kaku tipe cogwheel rigidity tipikal parkinsonisme.
Kurang lebih 1 minggu yang lalu pasien sering meracau dan tidak nyambung saat diajak
bicara. Pasien merasa ada sesuatu yang mengejarnya. Pasien juga sulit makan dan merawat diri.
Keluarga pasien takut dikatakan pasien memiliki gangguan jiwa dan harus dibawa kerumah sakit
jiwa.
Anamnesis Di Bangsal (12 September 2022)
KU Sadar
RPS : Pasien mengatakan dia hilang ingatan sejak 1 minggu lalu SMRS dan tidak sadar sudah
di bawa ke RS. Pasien sekarang merasakan sudah enakan dan mengeluh nyeri pinggang sebelah

12
kanan. Pasien juga mengeluh merasa mual saat di beri makanan dan merasa tidak nafsu makan.
Pasien juga mengatakan bahwa badan nya terasa gatal di bagian seluruh tubuh menurutnya sudah
dirasakan kurang lebih 1 tahun. Menurut suami pasien dan pasien, pasien tidak memakan obat-
obatan sembarangan kecuali di berikan oleh dokter atau pun mantri. Tidak ada keluhan sesak
muntah dan penglihata seperti biasa. Menurut pasien dan suami BAK pasien normal tidak ada
warna merah ataupun hitam. BAB seperti biasa tidak ada keluhan warna merah atau pun hitam

RPD : Hipertensi (-) DM (-) Jantung (-) Asma (-) Ginjal (?)

RPK : Hipertensi (-) DM (-) Jantung (-) Asma (-) Ginjal (-)

Riwayat Alergi : Tidak Ada

Riwayat Psikososial : Pasien mengatakan sering minum jamu yang sudah diolah bukan sachet
an dan makan seadanya yang tersedia di rumah.

Pemeriksaan Fisik 9 september 2022 di IGD


TTV
GCS E2 V2 M5 Stupor
TD 121/81
RR 24
Nadi 99
T 36.3
SpO2 99% nasal canul 2 lpm

K/L : conjunctiva anemis (+), trismus +


Thorax Paru : Vesikular Rh- Wh-.
Cor : S1 s2 tunggal murmur (-). Gallop (-)
Abdomen ; BU + normal. Nyeri tekan –

13
Extremitas : akral hangat +, cogwheel rigidity +

Pemeriksaan Fisik 12 september 2022 di bangsal


TTV
GCS E4 V5 M6 CM
TD 112/73
RR 22
Nadi 103
T 36.5
SpO2 98%

K/L : conjunctiva anemis (+), trismus (-)


Thorax Paru : Vesikular Rh- Wh-.
Cor : S1 s2 tunggal murmur (-). Gallop (-)
Abdomen ; BU + normal. Nyeri tekan –
Extremitas : akral hangat +, cogwheel rigidity -
Pada seluruh tubuh terdapat luka lecet bekas garukan

Pemeriksaan Penunjang

No Jenis Parameter Hasil Hasil Nilai Rujukan


9-9-2022 11-9- 2022
1 Hematologi Hb 5.6 7,3 P: 12-16 (g/dL)
L: 14-18 (g/dL)
2 Jumlah Leukosit 16.020 10.400 3200-10.500 ul

3 Hematokrit 15.62 21.34 35.0-45.0 Vol %

4 Trombosit 332.000 366.000 170.000-380.000 ul


5 Eritrosit 1.79 2.45 3,8.5.0 ul
6 RBC 1.79 2.45 3.10–4.50 (x10
6/µL)

14
7 HCT 16.62 21.34 29–41 (%)

8 WBC 16.02 10.40 4.00-11.70

9 PLT 332 366 150–450 (x103/µL)

10 Lymp 6.1% 11.1 10.8-45.4%

11 Mono 5.5 6.8% 4-10%

12 Neu 88.4 82.1 46-75%

15 MCV 87.5 87 80-90  (fl) 

16 MCH 31.3 29.9 27-36.1 (pg)

17 MCHC 35.8 34.4 33-38 (%)

No Jenis Parameter Hasil Hasil Nilai Rujukan


9-9-2022 11-9-2022
1 Hematologi GDS 115 117 70-99

2 SGOT 9 P: >31
L: >37
3 SGPT <6 P: >31
L: >46
4 Ureum 338.12 248.24 10.00-50.00

5 Creatinine 27.21 17.35 P: 0.6-0.9


L: 0.7-1.1

No. Jenis Pemeriksaan Hasil Nila Normal


10-9-2022
1 Urinalisis Warna Kuning Muda Kuning Muda
2 Kejernihan Keruh Jernih
3 pH 6.0 4.5-8.0
4 Berat Jenis 1.020 1.003-1.030
5 Protein +2 Negatif
6 Reduksi - Negatif
7 Urobulin - Negatif
8 Bilirubin + Negatif
Sendimen
9 Epitel + Positif
10 Leukosit >100 LPB 1-2/LPB
11 Eritrosit 10-20 0-/LPB

15
12 Silinder/ Cash - Negatif
13 Bakteri +2 Negatif

No Jenis Pemeriksaan Hasil Hasil Nilai Normal Metode


10-9-2022 11-9-2022
1 Elektrolit Natrium (Na) 127 131 135-155
2 Kalium 7.8 4.2 Serum = 3.6-5.5
Plasma = 4.0-4.8
3 CL 96 103 Serum = 95-108 Spot Chem SE
Urine = 110-225

Swab Antigen Negatif


HIV Non Reaktif
HBsAg Non Reaktif

USG
Kesimpulan
1. Peningkatan Echo struktur ren bilateral (brenbridge 3) > cenderung proses kronis
2. Organ intraabdominal lainnya secara sonografi tak tampak kelainan

Diagnosis
1. Ensefalopati Uremikum
2. CKD Stage V belum HD dengan Hiperkalemia, Anemia Renal dan Hiperuremium

Terapi sementara igd (9-9-2022)


02 2 lpm
Ivfd RL 20 tpm
Inj. difenhidramin 1 amp (11.00)
Thp 2 mg (belum diberikan intake oral belum bisa)

16
konsul dr. Winda sp.kj via telp (11.20 wita tanggal 9-9-2022) advis :
Obs. 1- 2 jam jika membaik berikan :
Risperidone 3 x 2 mg
THP 3 x 2mg
Diazepam 1 x 5 mg k/p sulit tidur

Rawat RKPD jika keluarga mau dirawat

Konsul dr Syafitri Sp.PD (9-9-2022)


Pasang DC
Pasang NGT, alirkan. Jk jernih, diet nefrisol 3x200 cc
Cek hbsag, anti hiv, elektrolit di ruangan

NaCl 0.9% 10 tpm


Furosemide 3x20 mg iv
Pantoprazole 1x40 mg iv
Metoclorpramide 3x10 mg iv

Tranfusi PRC 3 kolf.


1-2 kolf/hri
Premed:
Diphenhydramine 1 amp iv
Dexametaxone 1 amp iv

Terapi Ruangan (10-9-2022)

17
Pre HD Atas Indikasi Ensefalopati

Diet Nefrisol 6 x 100 cc atau 3x 200 cc


NaCL 0.9% TPM
Furosemide 3x20 Mg IV
Pantoprazole 1x 40 Mg IV
Metoclorpramide 3x10 mg iv (tunda)
Ondancetron 3x 4 Mg IV
Ceftriaxone 1x2 gram dalam NaCL 0.9% 50 CC

Oral
Sucralfat 3x 15 cc
Domperidone 3x 10 MG
Callos 3x 1 tab
Follat 3x1 Tab

Tranfusi PRC 3 Kolf (1 Kolf/ hari)


Premed:
Diphenhydramine 1 amp iv
Dexametaxone 1 amp iv

Koreksi Hiperkalemia
HD hari ini (10 -9-2022) Post HD Cek DL, Ureum, Creatinin, Elektrolit
KIE Keluarga

18
BAB IV
Pembahasan

Dari hasil Anamnesis didapatkan seorang perempuan paruh baya bekerja sebagai ibu
rumah tangga datang dengan keluhan Pasien datang tidak sadar, kaku, Meracau selama 1
minggu, tidak ingat apa yg terjadi 1 minggu SMRS, Nyeri pinggang kanan, mengatakan gatal di
seluruh tubuh sudah dirasakan kurang lebih 1 tahun dan banyak luka lecet, BB turun 4 kg dalam
1 bulan, menpunyai riwayat sering minum jamu yg sudah diolah dan makan seadanya dirumah.
Pada pemeriksaan penunjang Hb 5.6, WBC >16.2, SGOT <9, SGPT <6, Ureum >338.12,
Creatinin >27.21, Leukosit urin > 100 LPB, Natrium (Na) <127, Kalium >7.8, USG
Peningkatan Echo struktur ren bilateral (brenbridge 3) > cenderung proses kronis
Pada pemeriksaan pasien ini dikonfirmasi dengan factor resiko yang terdapat pada pasien
mengatakan gatal di seluruh tubuh sudah dirasakan kurang lebih 1 tahun dan banyak luka lecet,
HB 5.6, Ureum >338.12, Creatinin >27.21, Leukosit urin > 100 LPB, Natrium (Na) <127,
Kalium >7.8, USG Peningkatan Echo struktur ren bilateral (brenbridge 3) > cenderung proses
kronis dan diberikan Terapi Pre HD Atas Indikasi Ensefalopati, Diet Nefrisol 6 x 100 cc atau 3x
200 cc, NaCL 0.9% 10 TPM, Furosemide 3x20 Mg IV, Pantoprazole 1x 40 Mg IV,
Metoclorpramide 3x10 mg iv (tunda), Ondancetron 3x 4 Mg IV, Ceftriaxone 1x2 gram dalam
NaCL 0.9% 50 CC. Oral Sucralfat 3x 15 cc, Domperidone 3x 10 MG, Callos 3x 1 tab, Follat 3x1
Tab. Tranfusi PRC 3 Kolf (1 Kolf/ hari) Premed: Diphenhydramine 1 amp iv dan Dexametaxone
1 amp iv.

19
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan suatu kasus pasien tidak sadar dan terdapat gatal-gatal pada
seluruh badan dan HB rendah, ureum creatinine meningkat serta hasil USG Peningkatan
Echo struktur ren bilateral (brenbridge 3) > cenderung proses kronis atas nama Ny Y 43
tahun masuk RSUD Ratu Zalecha pada tanggal 9 september 2022. Diagnosis ditegakan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. . Terapi Pre HD
Atas Indikasi Ensefalopati, Diet Nefrisol 6 x 100 cc atau 3x 200 cc, NaCL 0.9% 10 TPM,
Furosemide 3x20 Mg IV, Pantoprazole 1x 40 Mg IV, Metoclorpramide 3x10 mg iv
(tunda), Ondancetron 3x 4 Mg IV, Ceftriaxone 1x2 gram dalam NaCL 0.9% 50 CC. Oral
Sucralfat 3x 15 cc, Domperidone 3x 10 MG, Callos 3x 1 tab, Follat 3x1 Tab. Tranfusi
PRC 3 Kolf (1 Kolf/ hari) Premed: Diphenhydramine 1 amp iv dan Dexametaxone 1 amp
iv

20
Daftar Pustaka
1. Victor M, Ropper AH. Adams and Victor’s Principles of Neurology,8th
2. Bucurescu G. Uremic Encephalopathy. 2008. Available from : edition. New York : McGraw-
Hill Company.2005 http://emedicine.com
3. Raskin N. Renal Disease. In :Rowland LP,ed. Merrit’S Neurology. 10th
4. edition.Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2000. p886-889. Gilroy J. Basic
Neurology,3rd
5. ed. New York:McGraw-Hill;2000 Kostadarus A. Dialysis dysequilibrium Syndrome. 2008.
Available from : http://kidneydoctor.com
6. Harris Cp, Towsend JJ. Dialysis dysequilibrium Syndrome. West J Med. 1989. 151 : 52-55
7. Bagshaw SM, Peets AD, Hameed M,et al. Dialysis dysequilibrium Syndrome : Brain death
following hemodialysis for metabolic acidosis and acute renal failure. BMC Nephrology. 2004.
5:9
8. Tan MM, Carton J. Molecular basis for the dialysis disequilibrium syndrome : altered
aquaporin and urea transporter expression in the brain. Nephrology Dial Transplant. 2005 : 20;
1984-1988.
9. Wills MR, Savory J. Water content of aluminium, Dialysis Dementia and Osteomalacia.
Environmental helath perspectives. 1985. 65 :141-147

21

Anda mungkin juga menyukai