Ensefalopati Uremikum
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat dalam
Menempuh Program Internsip
Bagian Penyakit Dalam
RSUD Ratu Zalecha
Disusun Oleh :
Pembimbing:
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
terapi hemodialisis. Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), diperoleh data sekitar
25 juta (12,5%) penduduk menderita masalah pada fungsi ginjal. Sebanyak 150 ribu penderita
GGK masalah utamanya adalah hipertensi (Ali, Masi, & Kallo, 2017). Prevalensi pada kelompok
usia 35-44 tahun (0,3%), usia 45-54 tahun (0,4%), usia 55- 74 tahun (0,5%), serta pada usia ≥75
tahun (0,6%). Kemudian berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih tinggi daripada perempuan
dengan presentase (0,3%) dan (0,2%). Untuk prevalensi di masyarakat perdesaan (0,3%), tidak
bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah kebawah masing-masing 0,3%. Di Indonesia pasien GGK
rata-rata sebesar 0.2%, yang sama dengan di Provinsi Sumatera Barat yang meliputi cuci darah
(Kemenkes, 2013). Gagal Ginjal Kronik dibagi menjadi lima stadium berdasarkan Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative membagi GGK menurut Glomerular Filtrate Rate (GFR)
yang mana End Stage Renal Disease (ESRD) adalah stadium akhir dari GGK yang dicirikan
dengan ginjal mengalami kerusakan secara permanen dan irreversibel. Menurut Maksum 2015,
pasien dengan stadium akhir memerlukan terapi pengganti ginjal dengan cuci darah, peritoneal
dialisis, dan transplantasi ginjal.
Menurut data IRR tahun 2017, sebanyak 51% penderita GGK disertai penyakit darah
tinggi. Selain itu, sebanyak 30% darah tinggi juga merupakan penyakit dasar urutan pertama dari
GGK (Pernefri 2017). Fungsi ginjal yang mengalami penurunan mewajibkan pasien untuk
melakukan terapi cuci darah dengan frekuensi 2-3 kali seminggu selama 3-4 jam per sekali
terapi. Cuci darah adalah terapi pengganti ginjal dengan cara mengalirkan darah ke dalam tabung
ginjal buatan dengan tujuan zat-zat sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan
keseimbangan elektrolit antara kompartemen dialisat melalui membran semipermeable dapat
terbuang. Menurut Manus et al., 2015, cuci darah wajib diberikan sebagai pengganti organ ginjal
yang mengalami kerusakan agar tidak terjadi uremia.
Berdasarkan usia, sebagian besar pasien hemodialisis merupakan pasien pada golongan
umur 45-64 tahun. Jika terjadi gagal ginjal maka perlu dilakukan cuci darah atau transplantasi
ginjal. Untuk itu diperlukan upaya yang komprehensif dan bukti ilmiah untuk memperkaya
pengetahuan tentang gagal ginjal kronik khususnya di Indonesia. Upaya komprehensif Indonesia
untuk menangani gagal ginjal kronik adalah dengan menganalisis gagal ginjal kronik stadium 5
berdasarkan determinan usia, jenis kelamin dan diagnosis etiologi Indonesia tahun 2018.
Prevalensi penderita GGK meningkat setiap tahun. Perbedaan suku, genetika, pola hidup, dan
pendidikan di Indonesia akan berkesinambungan dengan perbedaan prevalensi GGK di masing-
masing wilayah.
Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan nomor dua diiringi dana
pengobatan paling besar menurut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia setelah
penyakit kardiovaskular. Salahsatu komplikasi dari GGK yaitu Uremic Encephalopathy (UE)
yang merupakan suatu gangguan pada otak organik yang dialami oleh pada pasien GGA (Gagal
Ginjal Akut) atau GGK (Gagal Ginjal Kronik) yang biasanya ditandai dengan kreatinin klirens
menurun dan atau tetap dibawah 15ml/mnt (Lohr JW dan Mc Candless Dw, 2009). Insiden
Uremic Encephalopathy (UE) di dunia belum diketahui. UE bisa terjadi pada setiap pasien
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Pelonjakan kenaikan kasus ESRD sejalan beriringan
2
dengan kenaikan kasus Uremic Encephalopathy (UE). Etiologi gagal ginjal paling banyak yaitu
ginjal hipertensi (39%) disertai nefropati diabetic (22%) menurut Indonesian Renal Registry
(IRR) 2018.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1.2 Etiologi
2.1.3 Patofisiologi
Ginjal memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi terhadap hilangnya
massa nefron. Gejala yang terjadi disebabkan oleh meningkatnya kadar kreatinin, urea
dan kalium. Perubahan pada keseimbangan garam dan air biasanya tidak terlihat sampai
fungsi ginjal menurun menjadi kurang dari 25% dari normal saat adaptasi cadangan ginjal
telah habis.
Telah diusulkan beberapa teori yang mejelaskan adaptasi terhadap hilangnya fungsi
ginjal. Hipotesis nefron intak (intact nephron hypothesis) mengusulkan bahwa hilangnya
massa nefron dengan kerusakan ginjal progresif menyebabkan nefron yang masih hidup
4
menopang fungsi ginjal tetap normal. Nefron-nefron ini mampu melakukan kompensasi
mengalami hipertropi dan ekspansi atau hiperfungsi terhadap laju filtrasi, reabsorbsi, dan
sekresi dan dapat mempertahankan kecepatan yang konstan dari ekskresi dengan adanya
penurunan GFR secara keseluruhan. Hipotesis nefron intak menjelaskan perubahan
adaptif pada regulasi pelarut dan air yang terjadi dengan memberatkan gagal ginjal.
Meskipun urine seseorang pasien ESRD kemungkinan mengandung jumlah protein
abnormal dan sel eritrosit dan leukosit atau silinder, produk akhir utama dari ekskresi
mirip dengan ginjal yang berfungsi secara normal sampai gagal ginjal stadium lanjut,
apabila ada penurunan yang bermakna dari nefron yang fungsional.
Dengan keparahan atau berulangnya cedera, sel-sel epitelial mengalami gangguan
respons proliferatif menyebabkan hilangnya kapiler interstisial dan proliferasi fibroblast.
Proses yang progresif dari glomerulosklerosis dan tubulointerstisial fibrosis berperan
terhadap ESRD dan penyakit ginjal tahap akhir. Lokasi tertentu dari kerusakan ginjal
juga mempengaruhi hilangnya fungsi ginjal. Misalnya, penyakit tubulointerstisial
merusak terutama bagian tubulus atau medula dari nefron, menghasilkan masalah seperti
renal tubular acidosis (RTA), hilangnya garam, kesulitan untuk mendilusi atau
memkatkan urine. Jika kerusakan terutama pada vaskular atau glomerulus, lebih
prominen proteinuria, hematuria, dan sindrom nefrotik.
Dua faktor yang secara konsisten diketahui menyebabkan berlanjutnya penyakit ginjal
adalah proteinuria dan aktivitas angiotensin II. Hiperfiltrasi glomerulus dan peningkatan
permeabilitas kapiler glomerulus dan hiangnya muatan negatif menyebabkan proteinuria.
Proteinuria berperan terhadap cedera tubulointerstisial melalui akumulasinya dalam ruang
interstisial dari tubulus dan mengaktifkan protein komplemen dan mediator dan sel-sel
lain, seperti makrofag, yang menyebabkan inflamasi dan fibrosis progresif. Angiotensin
II (dari aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron [SRAA]) menyebabkan hipertensi
glomerulus dan hiperfiltrasi akibat dari vasokontriksi arteriol eferen dan juga
menyebabkan hipertensi sistemik. Tekanan intraglomerulus yang persisten tinggi
meningkatkan permeabilitas kapiler glomerulus, dan berkontribusi terhadap terjadinya
proteinuria. Angiotensin II juga dapat mendorong aktivitas sffel-sel inflamasi dan faktor-
faktor pertumbuhan yang terlibat dalam fibrosis dan pembentukan parut (scarring)
tubulointerstisial.
2.1.4 Klasifikasi End-Stage Renal Disease
Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National
Kidney Foundation (2016) terdapat 5 stage pada penyakit gagal ginjal kro nis.
Berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan laju filtrasi glomerulus (GFR), yang merupakan
ukuran dari tingkat fungsi ginjal.
5
2.1.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi awal pasien end-stage renal disease seringkali tidak teridentifikasi
sampai tahap uremik. Pada uremik keseimbangan cairan dan elektrolit terganggu,
pengaturan dan fungsi endokrin rusak. Manifestasi awal uremik mecakup mual, apatis,
kelemahan dan keletihan. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipertensi, perikarditis dan
hiperkalemia, pada sistem integument terjadi kulit kering dan gampang terkelupas, pada
paru-paru terdengar rhonki, takipnea, sesak napas, pada saluran cerna dapat terjadi mual
muntah, konstipasi dan perdarahan saluran cerna, pada sistem neurologik terjadi
kelemahan dan keletihan, tremor, dan pada hematologi anemia dan trombositopenia.
(Brunner & Suddart, 2013)
2.1.6 Komplikasi
2.1.6.1 Klirens Kreatinin dan Urea
Kreatinin di lepaskan secara konstan dari otot dan disekresikan terutama
melalui filtrasi glomerulus. Pada end-stage renal disease dengan menurunya laju
filtrasi glomerulus (GFR) kadar kreatinin plasma meningkat. Kliren urea
mengikuti pola yang hamper sama tetapi terfiltrasi dan reabsorpsi dan kadar nya
bervariasi tergantung statu s hidrasinya oleh karena itu kadar urea bukan indeks
yang baik untuk GFR. Pada saat GFR menurun kadar urea plasma juga
meningkat.
6
2.1.6.2 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Pada kondisi end-stage renal disease dan elektolit dan keseimbangan asam
basa terganggu secara bermakna. Pada kondisi GFR menurun hingga 25%, di
dapatkan kehilangan natrium 20 sampai 40 mEq/hari melalui kehilangan osmotic
air. asupan makanan harus di pertahankan untuk mencegah defisit natrium dan
deplesi volume. Ketika GFR terus menurun, juga didapatkan hilangnya fungsi
tubulus untuk mengencerkan dan memekatkan urine dan berat jenis urine menjadi
konstan pada sekitar 1.010. pada akhir nya ginjal kehilangan kemampuan untuk
meregulasi kesimbangan natrium dan air. Terjadi retensi natrium dan air berakibat
edema , proteinuria dan hipertensi. Pada gagal ginjal tahap awal, sekresi tubuler
dari kalium dipertahankan dan kalium dalam jumlah yang lebih besar hilang
melalui usus. Dengan onset oliguria total kalium tubuh dapat meningkat pada
kadar yang membahayakan dan harus di control melalui dialisis. Asidosis
metabolik bekembang ketika GFR menurun hingga kurang dari 20% - 25% dari
normal. Penyebab asidosis terutama terkait dengan penurunan eliminasi ion
hydrogen dan penurunan reabsorpsi bikarbonat. Pada kondisi penyakit ginjal
stadium akhir asidosis metabolic dapat memberat sehingga membutuhkan terapi
alkali dan dialisis.
2.1.6.3 Kalsium, Fosfat dan Tulang
Perubahan pada tulang dan skeletal terjadi akibat perubahan metabolisme
kalsum dan fosfat. Perubahan-perubahan ini dimulai ketika GFR menurun hingga
25% atau kurang. Hipokalsemia dipercepat akibat gangguan sintesis 1,25-
dihydraxyvitamin D3 (kalsitriol) oleh ginjal dengan penurunan penyerapan
kalsium intestinal. Ekskresi fosfat oleh ginjal juga penurunan dan peningkatan
fosfat serum yangterikat kalsium,yang berkontribusi lebih lanjut terhadap
hipokalsemia. Asidosis juga berkontribusi terhadap keseimbangan negative
kalsium. Penurunan kadar kalsium serum merangsang sekresi hormon paratiroit
dengan mobilisasi kalsium dari tulang. Efek kombinasi hiperparatiroidisme terkait
peningkatan kadar fosfat dan defisiensi vitamin D dapat menyebabkan
osteodistrofi renal (yaitu, osteoporosis, osteomalasia dan osteitis fibrosa) dengan
peningkatan resiko fraktur.
2.1.6.4 Metabolisme
Protein, Karbohidrat dan Lemak Metabolisme protein, karbohidrat, dan
lemak pada ESRD mengalami perubahan. Adanya proteinuria, asidosis metabolik,
inflamasi, dan kondisi katabolik berperan terhadap keseimbangan nitrogen
negatif. Agar protein-protein serum menurun, termasuk albumin, komplemen, dan
transferin, dan didapatkan pengurangan massa otot. Sering didapatkan resistensi
insulin dan intoleransi glukosa dan kemungkinan terkait dengan sitokin
proinflamas, dan perubahan adipokin (leptin tinggi dengan kadar adiponektin
rendah) yang mengganggu kerja insulin. Hiperparatiroidisme juga menurunkan
7
sensitivitas insulin dan mengganggu toleransi glukosa. Dyslipidemia merupakan
hal yang sering pada pasien ESRD. Terdapat rasio low-density lipoprotein (LDL)
terhadap high-density lipoprotein (HDL) yang tinggi, kadar trigliserida tinggi, dan
akumulasi partikel LDL dengan percepatan aterosklerosisdan kalsifikasi vaskuler.
Uremia menyebabkan defisiensi lipoprotein lipase dan penurunan aktifitas
lipolitik menyebabkan penurunan kadar HDL. Kadar apolipoprotein B juga
meningkat, maka terjadinya penurunan Energi sehingga mempercepat
aterogenesis.
2.1.6.5 Sistem Kardiovaskuler
Penyakit kardiovaskuler adalah penyebab utama morbiditas dan nortalitas
pada ESRD. Sitokin proinflamasi, stress oksidatif, gangguan metabolik, dan
toksin uremik merupakan kontributor yang penting. Hipertensi merupakan akibat
dari kelebihan natrium yang volume cairan dan arteriosclerosis, disfungsi sel
endotelial dan deposit kalsium menyebabkan hilangnya elastisitas pembuluh
darah dan terjadinya klasifikasi vaskuler.peningkatan kadar renin juga
merangsang sekresi aldosteron, sehingga meningkatkan absorpsi natrium.
Dislipedemia mendorong pembentukan plak ateromatosa. Akibat dari penyakit
vaskuler pada pasien dengan uremia akan meningkatkan resiko penyakit jantung
iskemia, hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung kongenstif, stroke, dan penyakit
arteri perifer. Penurunan produksi eritropoletin menyebabkan anemia, sehingga
meningkatkan autputkardiak dan menambah beban kerja jantung. Perikarditis
dapat berkembang dari inflamasi yang disebabkan adanya toksin uremia.
Akumulasi cairan dalam ruangan perikardial dapat mengganggu pengisian
ventrikel dan output kardiak. kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif (sindrom kardiorenal) yang terjadi oksigen menurun maka
kebutuhan energi menurun.
2.1.6.6 Sistem Pulmonal
Komplikasi pulmonal berkaitan dengan kelebihan cairan,gagal jantung
kongestif, dan dyspnea. Terjadinya edema pulmonal dan asidosis metabolik
menyebabkan pernapasan Kussmaul. Hipertensi pulmonal dapat berkembang
karena disfungsi ventrikel atau perubahan vaskuler terkait uremia.
2.1.6.7 Sistem Hematologi
Perubahan hematologi meliputi anemia normokrom-normositik, gangguan
fungsi trombosit, dan hiperkoagulabilitas. Produksi eritropoietin yang tidak
adekuat menurunkan produksi eritrosit dan uremia menurunkan masa hidup
eritrosit. Rasa lesu, pusing,dan hematokrit yang rendah sering ditemukan. Tidak
efektifnya agregasi trombosit dan perubahan endotel vaskuler mendorong
peningkatan kecenderungan perdarahan, peningkatan resiko memar, epistaksis,
pendarahan gastrointestinal, atau perdarahan serebrovaskuler. Perubahan pada
8
trombin dan faktor pembekuan lainnya menyebabkan hiperkoagulabilitas;
sehingga kendali koagulasi merupakan hal yang penting selama dialisis.
9
Resistensi insulin merupakan hal yang sering pada uremia, dan ketika
ESRD berkembang, maka kemampuan ginjal untuk mendegradasi insulin menjadi
berkurang dan waktu paruh insulin menjadi lama. Pasien diabetes mellitus dengan
chronic kidney diseases perlu lebih berhati-hati mengatur dosis insulin. ESRD
juga menyebabkan perubahan metabolisme hormone tiroid, terutama hipotiroid,
yang dikenal dengan nonthyroidal illness syndrome. Uremia memperlambat
respons dari reseptor thyroid stimulating hormone (TSH) dan kadar triiodotironin
(T3) seringkali rendah.
2.6.1.13 Sistem Integumen
Perubahan pada kulit berkaitan dengan komplikasi lain yang berkembang
pada ESRD. Anemia dapat menyebabkan kepucatan dan perdarahan ke dalam
kulit dan menyebabkan hematoma dan ekimosis. Retensi urokrom menjadikan
warna kulit yang pucat kekuningan. Hiperparatiroidisme dan residu uremik kulit
(dikenal dengan uremic frost) berkaitan dengan inflamasi, iritasi, dan pruritus
dengan bekas garukan, ekskoriasi, dan pen ingkatan resiko infeksi. Sering
didapatkan kuku yang separuh-separuh (separuh putih dan separuh merah atau
coklat). Yang jarang ditemukan adalah lesi bula local dan fibrosis sistemik
nefrogenik. Untuk mengurangi gejala-gejala yang terjadi maka yang dilakukan
therapi hemodialisa.
2.1.7 Penatalaksanaan End-stage Renal Disease
Menurut Brunner & Suddarth (2016), Penatalaksanaan gagal ginjal kronis
mempunyai dua bagian yakni, bagian yang pertama terdiri dari tindakan non operasi yaitu
penggunaan obat, pengaturan diet dan HD, Dan tahap kedua dengan tindakan operasi
yaitu dengan transplantasi ginjal. Dalam mempertahankan kehidupan adapun
penatalaksanaannya adalah sebagai berikut:
2.1.7.1 Farmakologi
Sebelumnya terjadi kondisi lebih lanjut dan sebelum menjalani
hemodialisis pasien gagal ginjal kronis diberikan therapi obat-obatan oral antara
lain; pemberian urogetik, anti hipertensi, eritopoetin, suplemen besi, agens
pengikat pospat dan suplemen kelsium (Brunner & Suddart, 2013).
2.1.7.2 Manajemen Nutrisi
Merupakan suatu cara untuk mempertahankan fungsi ginjal secara terus
menerus dengan prinsip rendah garam, rendah protein, rendah kalium dimana
pasien harus meluangkan waktu menjalani pengobatan yang dibutuhkan
(Sumigar, Rompas, & Pondaag, 2015).
a. Diet Protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar Blood Urea Nitrogen
(BUN) dan mungkin juga hasil metabolisme toksik yang belum diketahui dan
10
juga mengurangi asupan kalium, fosfat, dan produksi ion hydrogen yang
berasal dari protein. Pembatasan asupan protein yang sangat rendah
mengurangi beban ekresi sehingga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus,
tekanan intra glomerulus, dan cedera sekunder pada nefron intake.
11
Terapi pengganti ginjal, dilakukan saat penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada GFR kurang dari 15 mL/menit. Terapi yang dapat dilakukan yaitu dialisis
peritoneal, hemodialisis, dan transplantasi ginjal (Husna, 2010).
BAB III
Laporan Kasus
Nama Suami : Tn S
Umur : 46 tahun
Pekerjaan : Petani
12
kanan. Pasien juga mengeluh merasa mual saat di beri makanan dan merasa tidak nafsu makan.
Pasien juga mengatakan bahwa badan nya terasa gatal di bagian seluruh tubuh menurutnya sudah
dirasakan kurang lebih 1 tahun. Menurut suami pasien dan pasien, pasien tidak memakan obat-
obatan sembarangan kecuali di berikan oleh dokter atau pun mantri. Tidak ada keluhan sesak
muntah dan penglihata seperti biasa. Menurut pasien dan suami BAK pasien normal tidak ada
warna merah ataupun hitam. BAB seperti biasa tidak ada keluhan warna merah atau pun hitam
RPD : Hipertensi (-) DM (-) Jantung (-) Asma (-) Ginjal (?)
RPK : Hipertensi (-) DM (-) Jantung (-) Asma (-) Ginjal (-)
Riwayat Psikososial : Pasien mengatakan sering minum jamu yang sudah diolah bukan sachet
an dan makan seadanya yang tersedia di rumah.
13
Extremitas : akral hangat +, cogwheel rigidity +
Pemeriksaan Penunjang
14
7 HCT 16.62 21.34 29–41 (%)
2 SGOT 9 P: >31
L: >37
3 SGPT <6 P: >31
L: >46
4 Ureum 338.12 248.24 10.00-50.00
15
12 Silinder/ Cash - Negatif
13 Bakteri +2 Negatif
USG
Kesimpulan
1. Peningkatan Echo struktur ren bilateral (brenbridge 3) > cenderung proses kronis
2. Organ intraabdominal lainnya secara sonografi tak tampak kelainan
Diagnosis
1. Ensefalopati Uremikum
2. CKD Stage V belum HD dengan Hiperkalemia, Anemia Renal dan Hiperuremium
16
konsul dr. Winda sp.kj via telp (11.20 wita tanggal 9-9-2022) advis :
Obs. 1- 2 jam jika membaik berikan :
Risperidone 3 x 2 mg
THP 3 x 2mg
Diazepam 1 x 5 mg k/p sulit tidur
17
Pre HD Atas Indikasi Ensefalopati
Oral
Sucralfat 3x 15 cc
Domperidone 3x 10 MG
Callos 3x 1 tab
Follat 3x1 Tab
Koreksi Hiperkalemia
HD hari ini (10 -9-2022) Post HD Cek DL, Ureum, Creatinin, Elektrolit
KIE Keluarga
18
BAB IV
Pembahasan
Dari hasil Anamnesis didapatkan seorang perempuan paruh baya bekerja sebagai ibu
rumah tangga datang dengan keluhan Pasien datang tidak sadar, kaku, Meracau selama 1
minggu, tidak ingat apa yg terjadi 1 minggu SMRS, Nyeri pinggang kanan, mengatakan gatal di
seluruh tubuh sudah dirasakan kurang lebih 1 tahun dan banyak luka lecet, BB turun 4 kg dalam
1 bulan, menpunyai riwayat sering minum jamu yg sudah diolah dan makan seadanya dirumah.
Pada pemeriksaan penunjang Hb 5.6, WBC >16.2, SGOT <9, SGPT <6, Ureum >338.12,
Creatinin >27.21, Leukosit urin > 100 LPB, Natrium (Na) <127, Kalium >7.8, USG
Peningkatan Echo struktur ren bilateral (brenbridge 3) > cenderung proses kronis
Pada pemeriksaan pasien ini dikonfirmasi dengan factor resiko yang terdapat pada pasien
mengatakan gatal di seluruh tubuh sudah dirasakan kurang lebih 1 tahun dan banyak luka lecet,
HB 5.6, Ureum >338.12, Creatinin >27.21, Leukosit urin > 100 LPB, Natrium (Na) <127,
Kalium >7.8, USG Peningkatan Echo struktur ren bilateral (brenbridge 3) > cenderung proses
kronis dan diberikan Terapi Pre HD Atas Indikasi Ensefalopati, Diet Nefrisol 6 x 100 cc atau 3x
200 cc, NaCL 0.9% 10 TPM, Furosemide 3x20 Mg IV, Pantoprazole 1x 40 Mg IV,
Metoclorpramide 3x10 mg iv (tunda), Ondancetron 3x 4 Mg IV, Ceftriaxone 1x2 gram dalam
NaCL 0.9% 50 CC. Oral Sucralfat 3x 15 cc, Domperidone 3x 10 MG, Callos 3x 1 tab, Follat 3x1
Tab. Tranfusi PRC 3 Kolf (1 Kolf/ hari) Premed: Diphenhydramine 1 amp iv dan Dexametaxone
1 amp iv.
19
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan suatu kasus pasien tidak sadar dan terdapat gatal-gatal pada
seluruh badan dan HB rendah, ureum creatinine meningkat serta hasil USG Peningkatan
Echo struktur ren bilateral (brenbridge 3) > cenderung proses kronis atas nama Ny Y 43
tahun masuk RSUD Ratu Zalecha pada tanggal 9 september 2022. Diagnosis ditegakan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. . Terapi Pre HD
Atas Indikasi Ensefalopati, Diet Nefrisol 6 x 100 cc atau 3x 200 cc, NaCL 0.9% 10 TPM,
Furosemide 3x20 Mg IV, Pantoprazole 1x 40 Mg IV, Metoclorpramide 3x10 mg iv
(tunda), Ondancetron 3x 4 Mg IV, Ceftriaxone 1x2 gram dalam NaCL 0.9% 50 CC. Oral
Sucralfat 3x 15 cc, Domperidone 3x 10 MG, Callos 3x 1 tab, Follat 3x1 Tab. Tranfusi
PRC 3 Kolf (1 Kolf/ hari) Premed: Diphenhydramine 1 amp iv dan Dexametaxone 1 amp
iv
20
Daftar Pustaka
1. Victor M, Ropper AH. Adams and Victor’s Principles of Neurology,8th
2. Bucurescu G. Uremic Encephalopathy. 2008. Available from : edition. New York : McGraw-
Hill Company.2005 http://emedicine.com
3. Raskin N. Renal Disease. In :Rowland LP,ed. Merrit’S Neurology. 10th
4. edition.Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2000. p886-889. Gilroy J. Basic
Neurology,3rd
5. ed. New York:McGraw-Hill;2000 Kostadarus A. Dialysis dysequilibrium Syndrome. 2008.
Available from : http://kidneydoctor.com
6. Harris Cp, Towsend JJ. Dialysis dysequilibrium Syndrome. West J Med. 1989. 151 : 52-55
7. Bagshaw SM, Peets AD, Hameed M,et al. Dialysis dysequilibrium Syndrome : Brain death
following hemodialysis for metabolic acidosis and acute renal failure. BMC Nephrology. 2004.
5:9
8. Tan MM, Carton J. Molecular basis for the dialysis disequilibrium syndrome : altered
aquaporin and urea transporter expression in the brain. Nephrology Dial Transplant. 2005 : 20;
1984-1988.
9. Wills MR, Savory J. Water content of aluminium, Dialysis Dementia and Osteomalacia.
Environmental helath perspectives. 1985. 65 :141-147
21