LAPORAN PENDAHULUAN
OLEH :
A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronis (GGK) adalah hasil dari perkembangan dan
ketidakmampuan kembalinya fungsi nefron. Gejala klinis yang serius sering
tidak terjadi sampai jumlah nefron yang berfungsi menjadi rusak setidaknya 70-
75% di bawah normal. Bahkan, konsentrasi elektrolit darah relatif normal dan
volume cairan tubuh yang normal masih bisa di kembaikan sampai jumlah
nefron yang berfungsi menurun di bawah 20-25 persen.(Guyton and Hall, 2014).
Menurut Syamsir (2007) Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kasus
penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronis
(menahun).Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease) terjadi apabila
kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam keadaaan
yang cocok untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua ginjal bersifat
ireversibel. CKD disebabkan oleh berbagai penyakit. Brunner and Suddarth
(2014) menjelaskan bahwa ketika pasien telah mengalami kerusakan ginjal yang
berlanjut sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal secara terus menerus,
kondisi penyakit pasien telah masuk ke stadium akhir penyakit ginjal kronis,
yang dikenal juga dengan gagal ginjal kronis.
Ahli lain menyatakan bahwa Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisi atau transplantasi ginjal
(Cynthia Lee Terry,2011)
Dari beberapa pengertian diatas dapat dikemukakan bahwa gagal ginjal
kronis adalah kerusakan ginjal yang ireversibel sehingga fungsi ginjal tidak
2
optimal dan diperlukan terapi yang membantu kinerja ginjal serta dalam
beberapa kondisi diperlukan transplantasi ginjal.
B. ETIOLOGI
Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya chronic kidney disease. Faktor
tersebut yaitu diabetes, hipertensi, riwayat keluarga dengan penyakit ginjal,
penyakit kardiovaskular, infeksi HIV, riwayat batu ginjal, usia, aktivitas fisik
rendah, merokok, dan obesitas.
1. Diabetes
Diabetes dapat menyebabkan nefropati sebagai komplikasi mikrovaskuler.
Diabetes nefropati merupakan glomerulopati yang paling banyak terjadi,
dan merupakan penyebab pertama dari end stage renal disease atau gagal
ginjal tahap akhir di USA dan Eropa. (Molich et al, 2014)
2. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan glomerulo nefropati dengan menurunkan aliran
darah ke renal yang menjadikan arteriolar vaskulopati, obstruksi vaskular
dan penurunan densitas vaskular. Kejadian ini akan dikompensasi hingga
tak lama akan terjadi penurunan GFR. (Setyaningsih FET, 2014)
3. Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal.
Penelitian Freedman et al (1997), spekman et al (2006) menunjukan riwayat
penyakit keluarga dengan CKD tingkat akhir dilaporkan oleh 20% orang
dengan CKD tingkat akhir (The National Collaborating Centre for Chronic
Condition, 2008)
4. Penyakit kardiovaskular
Dalam penelitian yang dilakukan Elsayed et al (2005),orang dengan
penyakit kardiovaskular telah menunjukan peningkatan resiko secara
signifikan pada penurunan fungsi ginjal dibanding orang tanpa penyakit
kardovaskular. (The National Collaborating Centre for Chronic Condition,
2008) penyakit kardiovaskular menyebabkan menurunya aliran darah ke
ginjal. Penurunan perfusi ginjal mengaktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron yang menyebabkan vasokonstriksi arteriol dan meningkatkan
3
tekanan glomerulus sehingga dapat menjadikan nefron rusak. Keruskan
nefron ini berdampak pada penurunan laju filtrasi glomerulus.
5. Infeksi HIV
Disfungsi ginjal merupakan komplikasi yang umum dari pasien yang
terinfeksi HIV baik aikbat kerusakn dari virus maupun dari keraunan obat.
HIV yang berjalan dalam jangka waktu lama meningkatkan berkembangnya
kerusakan ginjal. (Biagio, et al, 2011). Hasil penelitian Biagio (2011) lebih
lanjut menjelaskan kerusakan yang terjadi melalui terpajan langsung virus
HIV Associated Nephropathy (HIVAN). Selain itu, kerusakan bisa terjadi
akibat lamanya terpaan obat yang berpotensial bersifat nefrotoksik seperti
IDV dan TDF, juga obat yang digunakan dalam penanganan profilaksis
infeksi oportunistik.
6. Riwayat batu ginjal
Penelitian Joseph J Keller, Yi-Kuang Chen dan Herng-Ching Lin (2012)
menunjukkan adanya hubungan antara gagal ginjal dan batu ginjal tanpa
memperhatikan lokasi batu ginjal tersebut.
7. Usia
Pada empat cross sectional study oleh Drey et al (2003), Coresh et al (2003),
Hallan et al (2006), Chadban et al (2003) menunjukan bahwa lansia (usia
diatas 65 tahun) memiliki resiko lebih besar GFR <60ml/menit/1,73m2
dibandingkan usia muda (The National Collaborating Centre for Chronic
Condition, 2008)
8. Aktivitas fisik rendah
Penelitian Stengel et al (2003) membuktikan orang dengan aktivitas fisik
sedang tidak signifikan mempunyai resiko gagal ginjal dibandingkan
dengan orang dengan aktivitas fisik yang tinggi (The National Collaborating
Centre for Chronic Condition, 2008)
9. Merokok
Pada penelitian kohort oleh Orth et al (2005) ditemukan bahwa kelompok
perokok mengalami penurunan fungsi ginjal sebanyak 20% setelah 5 tahun
4
dibandingkan dengan bukan perokok (The National Collaborating Centre
for Chronic Condition, 2008).
10. Obesitas
Penelitian kohort (Kaiser) menemukan bahwa oran dengan Body Mass
Index (BMI) > 25 merupakan independen faktor untuk terjadinya gagal
ginjal. Sedangkan retrospectictive study di Norway menemukan bahwa
resiko terjadinya CKD meningkat bagi pasien prehipertensi dengan BMI >
30. (The National Collaborating Centre for Chronic Condition, 2008).
Gelbert et al (2015) membuktikan bahwa resiko CKD meningkat seiring
peningkatan BMI ditunjukan pada kelompok laki-laki dengan peningkatan
BMI > 10% daripada laki-laki dengan BMI normal. (The National
Collaborating Centre for Chronic Condition, 2008)
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronis pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai
upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktifitas
aksis reninangiostensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.Aktivitas
jangka panjang aksis renin-angiostensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor β (TGF- β).Beberapa hal yang
juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronis adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.Terdapat variabilitas
5
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomelurus maupun
tubulointersitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronis, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve) pada keadaan dimana basal LFG (Laju Filtrasi
Glomelurus) masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
hipertensi gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah
dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan cairan seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah
15%akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal (Brunner and Suddarth, 2014).
D. MANIFESTASI
Menurut Suyono (2011) menjelaskan bahwa manifestasi klinis pada gagal ginjal
kronik adalah sebagai berikut :
1. Sistem gastrointestinal
a. Anoreksia, nausea, vomitus yag berhubungan dengan ganguan
metabolisme protein di dalam usus, terbentuknya zat-zat toksin akibat
metabolisme bakteri usus seperti ammonia danmelil guanidine serta
sembabnya muosa usus.
6
b. Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur
diubah oleh bakteri dimulut menjadi amoni sehinnga nafas berbau
amonia.
c. Gastritis erosife, ulkus peptic dan colitis uremik.
2. Sistem Integumen
a. Kulit berwarna pucat, anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom. Gatal-gatal akibat toksin uremin dan
pengendapan kalsium di pori-pori kulit.
b. Ekimosis akibat gangguan hematologi.
c. Ure frost : akibat kristalsasi yang ada pada keringat.
d. Bekas-bekas garukan karena gatal.
3. Sistem Hematologi
a. Anemia yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
Berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis akibat berkurangnya
masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksin, defisiensi besi, asam
folat, dan lain-lain akibat nafsu makan yang berkurang, perdarahan, dan
fibrosis sumsum tulang akibat hipertiroidism sekunder.
b. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.
4. Sistem saraf dan otot
a. Restless Leg Syndrome, pasien merasa pegal pada kakinya sehingga
selalu digerakkan.
b. Burning Feet Syndrome, rasa semutan dan seperti terbakar terutama di
telapak kaki.
c. Ensefalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsetrasi,
tremor, asteriksis, mioklonus, kejang.
d. Miopati, kelemahan dan hipertrofi otot terutama ekstermitas proksimal.
5. Sistem kardiovaskuler
a. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan
aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron.
b. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis atau gagal jantung akibat
penimbunan cairan hipertensif.
7
c. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis, gangguan elektrolit dan
klasifikasi metastasik.
d. Edema akibat penimbuna cairan.
6. Sistem Endokrin
a. Gangguan seksual, libido, fertilitas, dan ereksi menurun pada laki-laki
akibat testosteron dan spermatogenesis menurun. Pada wanita timbul
gangguan menstruasi, gangguan ovulasi, sampai amenore.
b. Gangguan metabolisme glokusa, resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin.
c. Gangguan metabolisme lemak.
d. Gangguan metabolisme vitamin D.
7. Gangguan Sistem Lain
a. Tulang osteodistropi ginjal, yaitu osteomalasia, osteoslerosis, osteitis
fibrosia dan klasifikasi metastasik.
b. Asidosis metabolik akibat penimbuna asam organik sebagai hasil
metabolisme.
c. Elektrolit : hiperfosfotemia, hiperkalemia, hipokalsemia.
E. KOMPLIKASI
1. Anemia
Anemia sebagi keadaan diaman kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dL,
atau menerima terapi erythropoiesis srimulating agent (ESA). Anemia pada
gagal ginjal kronik disebabkan oleh defisiensi eritropoetin sebagai penyebab
utama. Faktor lainnya yaitu berkurangnya masa hidup eritrosit, serta
defisiensi zat besi dan vitamin. Anemia terobservasi muncul pada tahap
awal gagal ginjal (stage 3) dan pravalensinya semakin meningkat seiring
dengan proses perkembangan gagal ginjal (Iseki & Kohagura, 2007)
2. Chronic Kidney Disease-Mineral Bone Disorder (CKD-MBD)
Perubahan pada mekanisme kontrol kalsium dan hemostasis phospat
muncul pada awal gagal ginjal dan berlanjut sesuai dengan proses
penurunan fungsi ginjal. Perubahan yang muncul meliputi abnormalitas
8
metabolisme kalsium, phospat, hormon paratiroid dan vitamin D bersama
dengan mineralisasi, klasifikasi jaringan dan pembuluh darah. Penelitian
menunjukan bahwa pada penderita gagal ginjal mengalami hipokalsemia,
peningkatan serum phospat, hiperparatiroid, dan penurunan
dihydroxyvitamin D. Perubahan-perubahan tersebut yang menyebabkan
terjadinya CKD-MBD. Klasifikasi CKD-MBD meliputi dynamic bone
disease, osteofibrosa cystic, osteomalasia, dan osteodistrofi (Stompor,
Zablocki, & Lesiow, 2013)
3. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik merupakan komplikasi umum dari gagal ginjal.
Asidosis metabolisme mempunyai efek yang merugikan padda pasien gaga
ginjal meliputi resistensi insulin, pembuangan energi dari protein, dan
mempercepat berkembangnya gagal ginjal. Asidosis metabolik ini terjadi
karena berkurangnya masa ginjal dan kerusakan eksresi asam oleh ginjal.
4. Gangguan Kardivaskular
Gangguan kardiovaskuler dapat berupa hipertensi renal, chronic hearth
failure, kardiomegalu dapat terjadi karena hipertensi maupun
ketidakseimbangan elektrolit. Ion Ca dalam kondisi hiperkalsemia dapat
mengaktivasi AKT, sebuah protrin- kinase yang berperan mengambangkan
kardiak hipertofi (Savica, et al, 2013). Kondisi hiperkalsemia juga
mempunyai efek toksik pada miosit/sel-sel jantung sehingga dapat
menyebabkan miokard remodeling dan berakibat pada iskemik jantung.
F. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari manajemen adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin.Semua faktor yang berkontribusi terhadap gagal
ginjal kronis dan semua faktor yang reversibel (misal obstruksi) diindentifikasi
dan diobati. Manajemen dicapai terutama dengan obat obatan dan terapi diet,
meskipun dialisis mungkin juga diperlukan untuk menurunkan tingkat produk
limbah uremik dalam darah (Brunner and Suddarth, 2014)
1. Terapi farmakologis
9
Komplikasi dapat dicegah atau ditunda dengan pemberian resep
antihipertensi, eritropoitin, suplemen Fe, suplemen fosfat, dan kalsium
(Brunner and Suddarth, 2014).
2. Antasida
Hyperphosphatemia dan hipokalsemia memerlukan antasid yang
merupakan zat senyawa alumunium yang mampu mengikat fosfor pada
makanan di dalam saluran pencernaan.Kekhawatiran jangka panjang
tentang potensi toksisitas alumunium dan asosiasi alumunium tingkat tinggi
dengan gejala neurologis dan osteomalasia telah menyebabkan beberapa
dokter untuk meresepkan kalsium karbonat di tempat dosis tinggi antasid
berbasis alumunium.Obat ini mengikat fosfor dalam saluran usus dan
memungkinkan penggunaan dosis antasida yang lebih kecil. Kalsium
karbonat dan fosforbinding, keduanya harus di berikan dengan makanan
yang efektif.Antasid berbasis magnesium harus dihindari untuk mencegah
keracunan magnesium (Brunner and Suddarth, 2014).
3. Antihipertensi dan kardiovaskuler agen
Hipertensi dapat dikelola dengan mengontrol volume cairan
intravaskular dan berbagai obat antihipertensi.Gagal jantung dan edema
paru mungkin juga memerlukan pengobatan dengan pembatasan cairan, diet
rendah natrium, agen diuretik, agen inotropik seperti digitalis atau
dobutamin, dan dialisis.Asidosis metabolik yang disebabkan dari gagal
ginjal kronis biasanya tidak menghasilkan gejala dan tidak memerlukan
pengobatan, namun suplemen natrium bikarbonat atau dialisis mungkin
diperlukan untuk mengoreksi asidosis jika hal itu menyebabkan gejala
(Brunner and Suddarth, 2014).
4. Agen antisezure
Kelainan neurologis dapat terjadi, sehingga pasien harus diamati jika
terdapat kedutan untuk fase awalnya, sakit kepala, delirium, atau aktivitas
kejang. Jika kejang terjadi, onset kejang dicatat bersama dengan jenis,
durasi, dan efek umum pada pasien, dan segera beritahu dosen segera.
Diazepam intravena (valium) atau phenytoin (dilantin) biasanya diberikan
10
untuk mengendalikan kejang. Tempat tidur pasien harus diberikan
pengaman agar saat pasien kejang tidak terjatuh dan mengalami cidera
(Brunner and Suddarth, 2014).
5. Eritropoetin
Anemia berhubungan dengan gagal ginjal kronis diobati dengan
eritropoetin manusia rekombinan (epogen).Pasien pucat (hematokrit kurang
dari 30%) terdapat gejala nonspesifik seperti malaise, fatigability umum,
dan intoleransi aktivitas.Terapi epogen dimulai sejak hematokrit 33%
menjadi 38%, umumnya meredakan gejala anemia.Epogen diberikan baik
intravena atau subkutan tiga kali seminggu.Diperlukan 2-6 minggu untuk
meningkatkan hematokrit, oleh karena itu epogen tidak diindikasikan untuk
pasien yang perlu koreksi anemia akut. Efek samping terlihat dengan terapi
epogen termasuk hipertensi (khususnya selama awal tahap pengobatan),
peningkatan pembekuan situs askes vaskular, kejang, dan kelebihan Fe
(Brunner and Suddarth, 2014).
6. Terapi gizi
Intervensi diet pada pasien gagal ginjal kronis cukup kompleks, asupan
cairan dikurangi untuk mengurangi cairan yang tertimbun dalam tubuh.
Asupan natrium juga perlu diperhatikan untuk menyeimbangkan retensi
natrium dalam darah, natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2
gr natrium), dan pembatasan kalium. Pada saat yang sama, asupan kalori
dan asupan vitamin harus adekuat. Protein dibatasi karena urea, asam urat,
dan asam organik hasil pemecahan makanan dan protein menumpuk dalam
darah ketika ada gangguan pembersihan di ginjal.
Pembatasan protein adalah dengan diet yang mengandung 0,25 gr protein
yang tidak dibatasi kualitasnya per kilogram berat badan per hari. Tambahan
karbohidrat dapat diberikan juga untuk mencegah pecahan protein tubuh.
Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan hingga 60-80 gr/ hari (1,0
kg per hari) apabila penderita mendapatkan pengobatan hemodialisis teratur
(Price dan wilson, 2006). Asupan cairan sekitar 500 sampai 600 ml lebih
banyak dari output urin selama 24 jam. Asupan kalori harus adekuat untuk
11
pencegahan pengeluaran energi berlebih.Vitamin dan suplemen diperlukan
kerena diet protein yang dibatasi.Pasien dialisis juga kemungkinan
kehilangan vitamin yang larut dalam darah saat melakukan hemodialisa
(Brunner and Suddarth, 2014).
7. Terapi dialisis
Hiperkalemi biasanya dicegah dengan memastikan dialisis yang
memadai, mengeluarkan kalium dan pemantauan seksama terhadap semua
obat obatan baik peroral maupun intravena. Pasien harus diet rendah kalium.
Kayexalate, resin kation terkadang diberikan peroral jika diperlukan.Pasien
dengan peningkatan gejala kronis gagal ginjal progresif. Dialisis biasanya
dimulai ketika pasien tidak dapat mempertahankan gaya hidup yang wajar
dengan pengobatan konservatif (Brunner and Suddarth, 2014).
12
BAB II
KONSEP DASAR HEMODIALISA
A. PENGERTIAN
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari
hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau
end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau
permanen. Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen
yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto
dan Madjid, 2009).
Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah
buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal
atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat.
Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian.
Hemodialisis tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak
mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang
dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap
kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2006 ; Nursalam, 2006).
B. TUJUAN
Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut
diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi
(membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan
sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan
cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat,
meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal
serta Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain (Suharyanto dan Madjid, 2009).
13
Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang melalui
membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi elektrokimia.
Tujuan utama Hemodialisis adalah untuk mengembalikan suasana cairan ekstra
dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi dari ginjal normal. Dialisis
dilakukan dengan memindahkan beberapa zat terlarut seperti urea dari darah ke
dialisat. dan dengan memindahkan zat terlarut lain seperti bikarbonat dari
dialisat ke dalam darah. Konsentrasi zat terlarut dan berat molekul merupakan
penentu utama laju difusi. Molekul kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan
molekul yang susunan yang kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2-
microglobulin, dan albumin, dan zat terlarut yang terikat protein seperti p-cresol,
lebih lambat berdifusi. Disamping difusi, zat terlarut dapat melalui lubang kecil
(pori-pori) di membran dengan bantuan proses konveksi yang ditentukan oleh
gradien tekanan hidrostatik dan osmotik – sebuah proses yang dinamakan
ultrafiltrasi (Cahyaning, 2009)). Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak ada
perubahan dalam konsentrasi zat terlarut; tujuan utama dari ultrafiltrasi ini
adalah untuk membuang kelebihan cairan tubuh total. Sesi tiap dialisis, status
fisiologis pasien harus diperiksa agar peresepan dialisis dapat disesuaikan
dengan tujuan untuk masing-masing sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan
menyatukan komponen peresepan dialisis yang terpisah namun berkaitan untuk
mencapai laju dan jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat terlarut yang
diinginkan. Dialisis ditujukan untuk menghilangkan komplek gejala (symptoms)
yang dikenal sebagai sindrom uremi (uremic syndrome), walaupun sulit
membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun organ tertentu merupakan penyebab
dari akumulasi zat terlarut tertentu pada kasus uremia (Lindley, 2011).
14
semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan
dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam
cairan dialisat akan terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner
& Suddarth, 2006).
Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses
difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke
cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah (Lavey, 2011). Cairan
dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel
yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses
osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien
tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi
(tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat
ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini
sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air
(Elizabeth, et all, 2011).
15
berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh
darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer.
Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang
sudah didialisis (Barnett & Pinikaha, 2007).
Tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah arteri
atau vena dari materia gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan lumen
sebagai tempat penusukan jarum dialisis. Ttandur dibuat bila pembuluh darah
pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula (Brunner & Suddart, 2008).
16
memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Resiko timbulnya efek
toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak & Gallo, 2010).
F. KOMPLIKASI
Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi, emboli
udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus. Masing –
masing dari point tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan
keseimbangan dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa faktor. Hipotensi
terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan. Terjadinya hipotensi
dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisis natrium,
penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan berat cairan.
Emboli udara terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak &
Gallo, 2010 ). Nyeri dada dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh, sedangkan gangguan keseimbangan
dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan
kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala
uremia yang berat. Pruritus terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit (Smelzer, 2008)
Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom
disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan
intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat
dialisis dan hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi. (Brunner &
Suddarth, 2008).
17
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian Fokus
Pengkajian fokus gagal ginjal kronis menurut Doenges (2000), dan Smeltzer
dan Bare (2002) ada berbagai macam, meliputi :
a. Demografi
Lingkungan yang tercemar, sumber air tinggi kalsium beresiko untuk
gagal ginjal kronik, kebanyakan menyerang umur 20-50 tahun, jenis
kelamin lebih banyak perempuan, kebanyakan ras kulit hitam.
b. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat infeksi saluran kemih, penyakit peradangan, vaskuler
hipertensif, gangguan saluran penyambung, gangguan kongenital dan
herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik dan neropati obstruktif.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit vaskuler hipertensif, penyakit metabolik, riwayat
menderita penyakit gagal ginjal kronik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Pemeliharaan kesehatan
Personal hygiene kurang, konsumsi toxik, konsumsi makanan
tinggi kalsium, purin, oksalat, fosfat, protein, kebiasaan minum
suplemen, kontrol tekanan darah dan gula darah tidak teratur pada
penderita tekanan darah tinggi dan diabetes mellitus.
2) Aktivitas / Istirahat
Gejala :
a) Kelelahan ekstremitas, kelemahan, malaaise.
b) Gangguan tidur (insomnia, gelisah, somnolen).
18
Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang
gerak.
3) Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat, Palpitasi, nyeri dada
(angina).
Tanda :
a) Hipertensi, peningkatan vena jugularis, nadi kuat, edema
jaringan umum dan pitting pada telapak kaki dan telapak
tangan,
b) Disretmia jantung,
c) Nadi lemah, dan halus, hipotensi ortostatik menunjukkan
hipovolemia yang jarang pada penyakit tahap akhir,
d) Friction rub pericardial (respon terhadap akumulasi sisa),
e) Pucat, kulit kekuningan,
f) Kecederungan perdarahan.
4) Integritas Ego
Gejala :
a) Faktor stress, contoh : finansial, hubungan, dan sebagainya.
b) Perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.
Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian.
5) Eliminasi
Gejala:
a) Penurunan frekuensi urin, oliguri, anuria (gagal ginjal tahap
lanjut)
b) Abdomen kembung, diare, atau konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urin, contoh : kuninng pekat, merah,
coklat berawan, oliguria, dapat menjadi anuria.
6) Makanan dan cairan
Gejala :
a) Peningkatan BB cepat (edema) penurunan BB (malnutrisi).
19
b) Anoreksia, nyeri ulu hati, mual, muntah.
c) Rasa metalik tak sedap pada mulut (pernapasan amonia)
d) Penggunaan diuretik.
Tanda :
a) Distensi abdomen atau asites, pembesaran hati tahap akhir.
b) Penuruna turgor kulit dan kelmbapan.
c) Edema.
d) Penurunan otot, penuruna lemak, subkutan, penampilan tak
bertenaga.
7) Neurosensori
Gejala :
a) Sakit kepala dan penglihatan kabur.
b) Kram otot/ kejang : sindrom “kaki gelisah” ; kebas dan rasa
terbakar pada kaki.
c) Kebas/ kesemutan dan kelmahan, khususnya ekstremita bawah
(neuropati perifer)
Tanda :
a) Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran, stupor, koma.
b) Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang.
c) Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
8) Nyeri/ kenyamanan
Gejala :
a) Nyeri panggul, sakit kepala.
b) Kram otot/ nyeri kaki (memperburuk saat malam hari).
Tanda : Perilaku hati-hati/ distraksi, gelisah.
9) Pernapasan
Gejala :
a) Napas pendek, dispnea noktural proksimal.
b) Batuk dengan tanpa sputum kental dan banyak.
20
Tanda :
a) Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi dan kedalaman
(pernapasan kusmaul).
b) Batuk produktif dengan sputum merah muda dan encer (edema
paru).
10) Keamanan
Gejala : Kulit gatal, ada berulangnya infeksi.
Tanda :
a) Pruritus.
b) Demam (sepsis, dehidrasi) : normotermia dapat secara aktual
terjadi peningkatan pada tubuh yang mengalami suhu tubuh
lebih rendah dari normal (efek gagal ginjal kronis/ depresi
respon imun).
c) Petekie, area ekimosis pada kulit.
d) Fraktur tulang,: deposit fostfat kalsium (klasifikasi metastasi)
pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak sendi.
11) Seksualitas
Gejala : Penurunan libido, amenore, infertilitas.
12) Interaksi Sosial
Gejala : Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran biasanya dalam berkeluarga.
13) Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala :
a) Riwayat diabetes melitus (DM), keluarga (resiko tinggi untuk
gagal ginjal), penyakt polikistik, netresis herediter.
b) Riwayat terpajan pada toksin, contoh obat, racun lingkungan.
c) Penggunaan antibiotik nefrotoksik saat ini berulang.
2. Pengkajian Fisik
a. Keluhan umum : lemas, nyeri pinggang.
b. Tingkat kesadaran komposmentis sampai koma.
21
c. Pengukuran antropometri : berat badan menurun, lingkar lengan atas
(LILA) menurun.
d. Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah,
disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur.
e. Kepala
1) Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan
kabur, edema periorbital.
2) Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.
3) Hidung : pernapasan cuping hidung
4) Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia,
mual,muntah serta cegukan, peradangan gusi.
5) Leher : pembesaran vena leher.
6) Dada dan toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis,
edema pulmoner, friction rub pericardial.
7) Abdomen : nyeri area pinggang, asites.
8) Genital : atropi testikuler, amenore.
9) Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik, kuku rapuh dan
kusam serta tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada
10) telapak kaki, foot drop, kekuatan otot.
11) Kulit : ekimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu,
mengkilat atau hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan
rapuh, memar (purpura), edema.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik menurut Doenges
(2000) adalah :
a. Urine
1) Volume, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine
tidak ada (anuria).
2) Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.
22
3) Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010
menunjukkan kerusakan ginjal berat)
4) Klirens kreatinin, mungkin menurun
5) Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsobsi natrium.
6) Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus.
b. Darah
1) Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia, Hb
biasanya kurang dari 7-8 gr
2) Sel darah merah, menurun pada defesien eritropoetin seperti
azotemia.
3) GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi
karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi
hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme prtein,
bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.
4) Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan)
5) Magnesium fosfat meningkat
6) Kalsium menurun
7) Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan atau sintesa karena kurang asam
amino esensial.
8) Osmolaritas serum: lebih beasr dari 285 mOsm/kg, sering sama
dengan urin.
4. Pemeriksaan radiologik
a. Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan
bladder/KUB): menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung kemih,
dan adanya obstruksi (batu).
23
b. Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, masa
c. Sistouretrogram berkemih; menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluks kedalam ureter dan retensi.
d. Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa,
kista, obstruksi pada saluran perkemuhan bagian atas.
e. Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopik, untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis hostologis.
f. Endoskopi ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan pelis
ginjal (keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif).
g. Elektrokardiografi (EKG): mungkin abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
h. Fotokaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan, dapat
menunjukkan demineralisasi, kalsifikasi.
i. Pielogram intravena (IVP), menunjukkan keberadaan dan posisi
ginjal, ukuran dan bentuk ginjal.
j. CT scan untuk mendeteksi massa retroperitoneal (seperti
penyebararn tumor).
k. Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendeteksi struktur
ginjal, luasnya lesi invasif ginjal
24
B. PATHWAY
25
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut Doeges
(2000), dan Smeltzer dan Bare (2002) adalah :
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine,
diet berlebihan dan retensi cairan dan natrium.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat, mual, muntah, anoreksia, pembatasan diet dan penurunan
membrane mukosa mulut.
3. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan
cairan mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler
sistemik, gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung, akumulasi toksik,
kalsifikasi jaringan lunak.
4. Perubahan proses fikir berhubungan dengan perubahan fisiologis seperti
akumulasi toksin (urea, amonia)
5. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit dan gangguan turgor kulit, gangguan status metabolik.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
7. Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit gagal
ginjal kronik berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah interpretasi
informasi dan kurangnya informasi.
26
D. INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine, diet berlebihan dan retensi cairan dan natrium.
Batasan Karakteristik: Sesak Napas, Gangguan elektrolit, Anasarka, Ansietas,
Azotemia, Perubahan tekanan darah, Perubahan status mental, Perubahan pola
pernapasan, Penurunan hematokrit, Penurunan hemoglobin, Dispneu
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
KH:
1. Menunjukkan perubahan-perubahan berat badan yang lambat.
2. Mempertahankan pembatasan diet dan cairan.
3. Menunjukkan turgor kulit normal tanpa edema.
4. Menunjukkan tanda-tanda vital normal.
5. Menunjukkan tidak adanya distensi vena leher.
6. Melaporkan adanya kemudahan dalam bernafas atau tidak terjadi nafas
pendek.
7. Melakukan hygiene oral dengan sering.
8. Melaporkan penurunan rasa haus.
9. Melaporkan berkurangnya kekeringan pada membrane mukosa mulut.
Intervensi Rasional
O:
1. kaji status cairan 1. Pengkajian merupakan dasar
a. Timbang berat badan harian berkelanjutan untuk memantau
b. Keseimbangan masukan dan perubahan dan mengevaluasi
haluaran intervensi.
c. Turgor kulit dan adanya edema 2. Sumber kelebihan cairan yang
d. Distensi vena leher tidak diketahui dapat diidentifikasi
e. Tekanan darah, denyut dan irama
nadi.
2. Identifikasi sumber potensial
cairan
27
a. Medikasi dan cairan yang
digunakan untuk pengobatan,
oral dan intravena
b. Makanan
N:
1. Batasi masukan cairan 1. Pembatasan cairan akan
2. Bantu pasien dalam menghadapi menentukan berat tubuh ideal
ketidaknyamanan akibat haluaran urine dan respons
pembatasan cairan. terhadap terapi.
3. Tingkatkan dan dorong hygiene 2. Kenyamanan pasien meningkatkan
oral dengan sering. kepatuhan terhadap pembatasan
diet.
3. Hygiene oral mengurangi
kekeringan membran mukosa
mulut.
E:
1. Jelaskan pada pasien dan keluarga 1. Pemahaman meningkatkan
tentang pembatasan cairan. kerjasama pasien dan keluarga
dalam pembatasan cairan.
C:
1. Konsultasikan diet dengan ahli gizi 1. Diet rendah garam dan protein
meminimalkan terjadinya edema.
2.
Batasan Karakteristik:
Batasan karakteristik : Kram abdomen, Nyeri abdomen, Menghindari makanan,
Berat badan 20% atau lebih di bawah badan ideal, Diare, Bising usus hiperaktif,
Kurang minat pada makanan, Tonus otot menurun.
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
KH:
28
1. Mengkonsumsi protein yang mengandung nilai biologis tinggi
2. Memilih makanan yang menimbulkan nafsu makan dalam pembatasan diet
3. Mematuhi medikasi sesuai jadwal untuk mengatasi anoreksia dan tidak
menimbulkan rasa kenyang
4. Menjelaskan dengan kata-kata sendiri rasional pembatsan diet dan
hubungannya dengan kadar kreatinin dan urea
5. Mengkonsulkan daftar makanan yang dapat diterima
6. Melaporkan peningkatan nafsu makan
7. Menunjukkan tidak adanya perlambatan atau penurunan berat badan yang
cepat
8. Menunjukkan turgor kulit yang normal tanpa edema, kadar albumin plasma
dapat diterima
Intervensi Rasional
O:
1. Kaji status nutrisi: perubahan 1. Menyediakan data dasar untuk
berat badan, pengukuran memantau perubahan dan
antropometrik, nilai mengevaluasi intervensi.
laboratorium (elektrolit serum, 2. Pola diet sekarang dan dahulu
BUN, kreatinin, protein, dapat dipertimbangkan dalam
transferin dan kadar besi). menyusun menu.
2. Kaji pola diet dan nutrisi 3. Menyediakan informasi mengenai
pasien: riwayat diet, makanan faktor lain yang dapat diubah atau
kesukaan, hitung kalori. dihilangkan untuk meningkatkan
3. Kaji faktor-faktor yang dapat masukan diet.
merubah masukan nutrisi:
Anoreksia, mual dan muntah,
Diet yang tidak menyenangkan
bagi pasien, Depresi, Kurang
memahami diet
N:
29
1. Menyediakan makanan kesukaan 1. Mendorong peningkatan masukan
pasien dalam batas-batas diet. diet.
2. Tingkatkan masukan protein yang 2. Protein lengkap diberikan untuk
mengandung nilai biologis tinggi: mencapai keseimbangan nitrogen
telur, produk susu, daging. yang diperlukan untuk
3. Ubah jadwal medikasi sehingga pertumbuhan dan penyembuhan.
medikasi ini tidak segera diberikan 3. Ingesti medikasi sebelum makan
sebelum makan. menyebabkan anoreksia dan rasa
kenyang.
E:
1. Anjurkan camilan tinggi kalori, 1. Mengurangi makanan dan protein
rendah protein, rendah natrium, yang dibatasi dan menyediakan
diantara waktu makan. kalori untuk energi, membagi
2. Jelaskan rasional pembatasan diet protein untuk pertumbuhan dan
dan hubungannya dengan penyakit penyembuhan jaringan.
ginjal dan peningkatan urea dan 2. Meningkatkan pemahaman pasien
kadar kreatinin. tentang hubungan antara diet, urea,
kadar kreatinin dengan penyakit
renal.
C:
1. Konsultasikan diet dengan ahli gizi 1. Diet rendah garam dan protein
meminimalkan terjadinya edema.
30
DAFTAR PUSTAKA
Guyton and Hall. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. edisi 12. Jakarta : EGC
Brunner & Suddarth. 2014. Textbook of Medical-Surgical Nursing. Edisi ke-
13. America : Woltes Kluwer Health.
Molitch, M.E , et al (2014). American Diabetes Association: Nephropathy in
diabetes. Diabets Care, Vol 27: 79-83
Setyaningsih FET, 2014. Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Ginjal Kronik dalam
Konteks Kesehatan Masyarakat Perkotaan. KTI. Universita Indonesia. Fakultas
Ilmu Keperawatan Profesi NERS. Jakarta
The National Collaborating Centre For Chronic Condition (2008). Chronic Kidney
Disease: National Clinical Guideline for Early Identification And Management In
Adults In Primary And Secondary Care. London Royal College Of Physicians.
Biagio, A.D., et al. 2011. Risk factors for chronic kidney disease among human
immunodeficiency virus-infected patients: a European case control study. Clinical
Nephrology, vol 75: 518-523
Suyono, S. 2011. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Savica, V., et al. 2013. An update on calcium metabolism alterations and
cardivascular risk in patients with chronic kidney disease: question, myths and
facts. Journal of nephrology, vol 26: 456-464
Stompor, T., Zablocki, M., & Lesiow, M. 2013. Osteoporosis in mineral and bone
disorder of chronic kidney disease. Polskie Archiwum Medycyny Wewnetrznej,
vol 123: 314-320.
Madjid dan Suharyanto. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Toto Suharyanto, Abdul Madjid; Copy Editor:
Agung Wijaya, A.md. Jakarta : TIM
Iseki, K., & Kohagura,K. 2007. Anemia as a risk factor for chronic kidney disease.
International society of nephrology, vol 72: S4-S9
Nursalam Baticaca, Fransisca B. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika
31
Lindley, Aspinal, Gardiner & Garthwaite. 2011. Management Of Fluid Status In
Hemodyalisis Patients; The Roles Of Technologi And Dietary Advice
Lavey. 2011. Acute Complication During Hemodyalisis.
Elizabeth, Lindley, Aspinal, Claire & Garthwaite. 2011. Management Of Fluid
Status In Haemodialysis Patients: The Roles Of Technologi And Dietary Advice .
Departemen Of Renal Medicine, Leeds Teaching Hospital NHS Trust United
Kingdom.
Hudak, S.M & Gallo.2010. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (Critical Care
Nursing : A Holistik Approach). Edisi 6 Jakarta : EGC
32