Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

GAGAL GINJAL KRONIK E.C HIPERTENSI

oleh

Ula Hovi Roseifa, S.Kep


NIM 202311101139

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

GAGAL GINJAL KRONIK E.C HIPERTENSI

Disusun guna memenuhi tugas Program Studi Pendidikan Profesi Ners (PSP2N)
Stase Keperawatan Medikal

oleh
Ula Hovi Roseifa, S.Kep
NIM 202311101139

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Gagal ginjal kronik adalah suatu gangguan yang terjadi pada ginjal yang
berlangsung lebih dari tiga bulan dengan kriteria laju filtrasi glomerulus (LFG) <60
mL/min/1,73 m2. Gagal ginjal kronik ini biasanya ditandai dengan adanya protein didalam
urin, gangguan fungsi ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) (Kamasita dkk.,
2018).

Menurut Departemen Kesehatan (2017) gagal ginjal kronik ialah kerusakan yang
terjadi pada ginjal dimana tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). Gagal ginjal kronik ini terjadi secara progresif dan
lambat, biasanya berlangsung selama beberapa bulan atau tahun dan sifatnya tidak dapat
disembuhkan dan harus menjalani pengobatan seumur hidup.

Pasien yang sudah terdiagnosa penyakit GGK mempunyai ginjal yang tidak dapat
berfungsi dengan baik, ginjal yang dimiliki oleh penderita mengalami gangguan untuk
memfiltrasi darah sehingga zat sisa metabolisme tubuh seperti urea, asam urat, dan keratin
tidak dapat dieksresikan, hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah bagi tubuh
(Bayhakki, Y. 2013). Hal yang paling berbahaya jika terjadi akibat penyakit gagal ginjal
kronik yaitu kerusakan ginjal dengan LFG normal >90 ml/menit, kerusakan ginjal dengan
dengan LFG 60-89 ml/menit (disertai dengan meningkatnya tekanan darah), terjadinya
penurunan LFG sedang 30-59 ml/menit (disertai hiperfosfatemia, hipokalacemia, anemia,
hiperparatiroid, dan tekanan darahh tinggi), penurunan LFG berat 15-29 ml/menit (disertai
malnutrisi, asidosis metabolic, cenderung hyperkalemia, dan dyslipidemia) serta gagal
ginjal (Sudoyo, 2007).

Hipertensi atau sering disebut dengan tekanan darah tinggi merupakan penyakit
mematikan nomor satu di dunia karena hipertensi merupakan penyumbang utama yang
dapat mengakibatkan penyakit kardiovaskular dan stroke (WHO, 2013). Hipertensi juga
merupakan gangguan asimptomatik (tidak ada gejala) yang ditandai dengan meningkatnya
tekanan darah secara terus menerus, dimana sistolik dan diastolik meningkat tidak stabil
diatas 140/90 mmHg (Potter dan Perry, 2010). Hipertensi tidak hanya beresiko tinggi
menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti penyakit saraf,
penyakit ginjal dan pembuluh darah dan semakin tinggi tekanan darah semakin besar risiko
yang akan terjadi (Sylvia, A. 2006). Hipertensi atau tekanan darah tinggi sering
menyebabkan terjadinya penyakit ginjal, berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2012
hipertensi merupakan penyebab terjadinya gagal ginjal di Indonesia urutan nomor tiga
dengan 25,8% dari keseluruhan penyebab penyakit ginjal, hipertensi pada dasarnya
dapat merusak pembuluh darah jika pembuluh darahnya ada pada ginjalnya yang
mengalami kerusakan, dan apabila salah satu ginjal memproduksi hormon angiotensin II
dapat menyebabkan pembuluh darah mengkerut atau menjadi keras, pada hal seperti ini
yang dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi, hipertensi bisa berakibat gagal ginjal,
sedangkan bila sudah menderita gagal ginjal sudah pasti mengalami hipertensi (Pudji, R
2008).

B. Riview Anatomi Fisiologi Ginjal

Ginjal terletak di bagian dinding posterior abdomen terutama di daerah lumbal dan di
sebelah kanan dan kiri dari tulang belakang. Ginjal mempunyai ukuran panjang kurang
lebih 6 sampai 7,5 cm dengan ketebalan sekitar 1,5 sampai 2,5 cm. Ginjal mempunyai
bentuk seperti biji kacang dengan sisi dalam atau hileum menghadap ke tulang punggung
sedangkan sisi luar dari ginjal berbentuk cembung. Ginjal terdiri dari dua bagian yaitu
bagian kanan dan kiri. Kedua ginjal terletak diantara vertebra T12 sampai L3. Ginjal kanan
terletak sedikit ke bawah dibandingkan dengan ginjal kiri yang bertujuan untuk
memberikan tempat lobus hepatis dexter yang besar. Bagian ginjal kanan sedikit lebih
rendah dari ginjal kiri, hal ini dikarenakan hati pada ginjal kanan menduduki banyak ruang
(Evelyn, 2017).

Gambar 1: Ginjal
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut dengan kapsula fibrosa yang
didalamnya terdapat 2 struktur ginjal yaitu bagian luar atau korteks renalis berwarna coklat
gelap dan bagian dalam atau medulla renalis berwarna coklat terang. Pada bagian medula
renalis tersusun atas 15 sampai 16 massa yang berbentuk piramida disebut dengan piramis
ginjal. Puncak dari bagian medula langsung mengarah pada hilum dan berakhir pada kalises
yang menghubungkan dengan pelvis ginjal. Hilum merupakan pinggir medial ginjal yang
berbentuk konkaf dan berfungsi sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe,
ureter dab nervus. Ginjal memiliki fungsi utama antara lain untuk mengeluarkan bahan
buangan yang tidak diperlukan oleh tubuh dan untuk mensekresi air yang berlebihan dalam
darah. Selain itu ginjal juga berfungsi untuk mengeluarkan zat- zat metabolisme tubuh melalui
urine, menjaga keseimbangan air, asam-basa, elektrolit dalam tubuh, membantu pembentukan
sel darah merah (menghasilkan eritropoietin) dan mengatur tekanan darah (Evelyn, 2017).
C. Epidemiologi

Terdapat 57 juta kematian di dunia, dimana proportional mortality rate


(PMR) penyakit tidak menular di dunia sebesar 36 juta (63%) (WHO,
2008). WHO juga mengatakan bahwa terdapat pertumbuhan jumlah
penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun
sebelumnya, perkiraan WHO setiap 1 juta jiwa terdapat 23-30 orang yang
mengalami gagal ginjal kronik pertahunnya, 6 Negara dunia dengan
penduduk melebihi 50% penduduk dunia adalah Cina, India, USA,
Indonesia, Brazil, dan Rusia, tiga Negara terakhir termasuk negara
berkembang dimana terdapat penyakit ginjal kronik namun tidak dapat
ditanggulangi secara baik (WHO, 2013). Prevalensi penderita gagal ginjal
kronis di Indonesia menurut riset kesehatan dasar tahun 2013 jumlah
populasi penderita gagal ginjal kronis dari seluruh total Indonesia tercatat
sebanyak 0,2%, dan dari jumlah tersebut terdapat 30% diantaranya
meninggal dunia akibat keterlambatan pengobatan (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2012 hipertensi adalah
penyebab u t a m a terjadinya gagal ginjal di Indonesia urutan ke tiga dengan
25,8% dari keseluruhan penyebab penyakit ginjal (sukandar, 2013).

D. Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit gagal ginjal kronik sampai saat ini belum
diketahui, namun ada beberapa kondisi atau penyakit yang sangat berhubungan
erat dengan pembulih darah atau struktur lain di ginjal dapat mengarah ke
gagal ginjal kronik, penyebab yang sering muncul antara lain, yaitu:
a. Hipertensi, tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol merupakan
penyebab utama yang dapat menjadi penyebab menurunnya fungsi ginjal
dan tekanan darah sering menjadi penyebab utama terjadinya gagal ginjal
kronik (WebMD, 2015)
b. Diabetes mellitus, kadar gula darah yang tinggi juga sering dapat
menyebabkan diabetes mellitus, jika kadar gula darah terlalu tinggi selama

6
beberapara tahun, hal ini sangat dapat menyebabkan menurunnya fungsi
ginjal (WebMD, 2015).
c. Kondisi lain yang dapat merusak ginjal antara lain, yaitu: penyakit ginjal
dan infeksi ginjal seperti kista, arteri renal yang sempit, penggunaan obat
dalam jangka waktu yang lama dapat merusak ginjal seperti, obat non
streroid anti inflamasi, celecoxib, ibuprofen, dan penggunaan antibiotic
(WebMD, 2015).

E. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala p a d a gagal ginjal kronik menurut Kemenkes 2019
yaitu, antara lain:

a. Hipertensi

b. Berubahnya frekuinsi dan jumlah saat BAK

c. Terdapat darah di urin

d. Merasa susah tidur dan badan terasa lelah

e. Nafsu makan menurun

f. Sering merasakan pusing

g. Sulit untuk diajak berkonsentrasi

h. Selalu merasa gatal

i. Sering merasa sesak napas

j. Sering merasakan mul dan juga muntah

k. Terjadi pembengkakan, terutama pada kaki dan pergelangan kaki, serta


pada kelopak mata di pagi hari

F. Klasifikasi

Tahap 1: fungsi sedikit berkurang, kerusakan ginjal dengan GFR normal atau
relative tinggi (≥ 90 ml/min/1.73 m2). Merusakknya yang terjadi

7
pada ginjal didefinisikan sebagai kelainan patologis atau sebgagai
tanda kerusakan, termasuk kelainan pada tes darah atau urin atau.

Tahap 2: ringan pengurangan GFR (60-89 ml/min/1.73 m2) dengan terjadinya


kerusakan ginjal. Kerusakan pada ginjal didefinisikan sebagai
kelainan patologis atau penanda sebagai kerusakan, termasuk
kelainan pada tess darah atau urine.
Tahap 3: sedang penurunan pada GFR (30-59 ml/min/1.73 m2) pedoman
Inggris membedakan antara tahap 3A (GFR 45-59) dan tahap 3B
(GFR 30-44) yang bertujuan untuk skrining dan rujukan.
Tahap 4: penurunan parah pada GFR (15-29 ml/min/1.73 m2) terapi
pengganti ginjal dapat dipersiapkan.
Tahap 5: ditetapkan gagal ginjal (GFR <15 ml/min/1.73 m2) terapi ginjal
yang dilakukan secara permanen (RRT).

G. Patofisiologi dan Clinical Pathway


Tingginya penderita tekanan darah tinggi sangat mudah seseorang
mengalami terjadinya gagal ginjal kronik. Tekanan darah yang tinggi juga
dapat menyebabkan perlukaan pada arteriol aferen ginjal sehingga dapat
terjadi menururnnya filtrasi (NIDDK, 2016). Pada glomerulonefritis, ketika
antigen yang berasal dari luar memicu antibodi spesifik dan membentuk
kompleks imun yang terdiri atas antigen, antibodi, dan sistem komplemen.
Endapan kompleks imun dapat memicu terjadinya proses inflamasi dalam
glomerulus. Endapan kompleks imun akan mengaktivasi jalur klasik dan
dapat menghasilkan Membrane Attack Complex yang dapat menyebabkan
lisisnya sel epitel glomerulus (Sudoyo, 2009). Terdapat mekanisme progresif
berupa hiperfiltrasi dan hipertrofi pada nefron yang masih sehat sebagai
kompensasi ginjal akibat pengurangan nefron. Namun, ketika proses
kompensasi ini berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti oleh proses
maladaptif berupa nekrosis nefron yang tersisa (Isselbacher dkk, 2012).
Proses yang telah terjadi tersebut akan menyebabkan menurunnya fungsi
nefron secara progresif. Selain itu, aktivitas dari renin-angiotensinaldosteron

8
juga berkontribusi untuk terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresivitas
dari nefron (Sudoyo, 2009). Hal tersebut disebabkan karena aktivitas
reninangiotensin-aldosteron menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
vasokonstriksi dari arteriol aferen (Tortora, 2011). Pada pasien gagal ginjal
kronik, terjadi peningkatan kadar air dan natrium dalam tubuh.
Hal tersebut disebabkan karena adanya gangguan ginjal yang dapat
mengganggu keseimbangan glomerulotubular sehingga dapat terjadi
peningkatan intake natrium yang akan menyebabkan retensi natrium dan
meningkatkan volume cairan ekstrasel (Isselbacher dkk, 2012). Reabsorbsi
natrium akan menstimulasi osmosis air dari lumen tubulus menuju kapiler
peritubular sehingga dapat terjadi tekanan darah tinggi (Tortora, 2011).
Tekanan darah tinggi dapat mengakibatkan meningkatnya kerja juantung
dan dapat merusak pembuluh darah pada ginjal. Rusaknya pembuluh darah
yang berada di ginjal mengakibatkan terjadinya gangguan filtrasi dan
keparahan dari tekanan darah tinggi dapat meningkat (Saad, 2014). Gangguan
proses filtrasi menyebabkan banyak substansi dapat melewati glomerulus dan
keluar bersamaan dengan urin, antara lain seperti eritrosit, leukosit, serta
protein (Harrison, 2012). Penurunan kadar protein dalam tubuh
mengakibatkan edema karena terjadi penurunan tekanan osmotik plasma
sehingga cairan dapat berpindah dari intravaskular menuju interstitial
(Kidney Failure, 2013). Sistem renin- angiotensin-aldosteron juga memiliki
peranan yang sangat penting dalam hal ini. Berpindahnya cairan dari
intravaskular menuju interstitial dapat menyebabkan menurunnya aliran darah
ke ginjal. Penurunan aliran darah ke ginjal akan mengaktivasi sistem renin
angiotensin-aldosteron sehingga dapat terjadi peningkatan aliran darah
(Tortora, 2011). Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan insufisiensi produksi
eritropoetin (EPO). Eritropoetin merupakan faktor pertumbuhan hemopoetik
yang mengatur diferensiasi dan proliferasi prekursor eritrosit. Gangguan pada
EPO menyebabkan terjadinya penurunan produksi eritrosit dan dapat
mengakibatkan anemia (Harrison, 2012).

9
Clinical Pathway
Hipertensi

Meningkatnya volume darah

Fungsi Ginjal terganggu

Menurunnya GFR

Gagal Ginjal Kronik

Retensi Na
Terganggunya Sekresi eritropoitin
sekresi protein

Total CES
Menurunnya Produksi HB
Syndrome uremia

Tekanan Kapiler
naik Oksihemoglobin
Perpospatemia

Meningkatnya
Volume interstitial Suplai O2 kasar
Pruritus

Gangguan Edema
Integritas Perfusi perifer
kulit/jaringan tidak efektif

Hipervolemia

1
0
H. Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium

1) Laju endap darah: meninggi, diperberat oleh adanya anemia dan


hipoalbuminemia, anemia normositer normokrom dan jumlah
retikulosit yang rendah.
2) Ureum dan kreatinin: meninggi, biasanya perbandingan antara ureum
dan keratinin kurang lebih 30:1, perbandingan bisa meninggi oleh
adanya perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan
steroid, dan obstruksi saluran kemih. Perbandingan ini berkurang
apabila ureum lebih kecil dari keratinin pada diet rendah protein, dan
tes klirens kreatinin yang menurun.
3) Hiponatremi: umumnya karena kelebihan cairan.

4) Hiperkalameia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama


dengan terjadinya penurunan diuresis.
5) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia: hal ini dapat terjadi karena adanya
pengurangan sintesis vitamin D yang berada pada gagal ginjal kronik.
6) Phosphate alkalin meninggi yang dapat mengakibatkan gangguan
metabolisme tulang, terutama isoenzim fosfataselin di tulang.
7) Hipoalbuminemia dan hipokolesteromia, pada umumnya disebabkan
karena adanya gangguan metabolisme serta diet rendah protein.
8) Meningkatnya kadar gula darah akibat gangguan metabolisme
karbohidrat pada gagal ginjal (resistensi terhadap pengaruh insulin pada
jaringan perifer).
9) Hipertrigliserida: akibat adanya gangguan metabolisme lemak, yang
disebabkan karena adanya peningkatan hormone insulin serta
menurunnya kadar lipoprotein lipase.
10) Asidosis metabolic dengan kompensasi respirasi menunjukan Ph yang
menurun, BE yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya itu
dapat disebabkan karena adanya retensi asam-basa organik pada gagal
ginjal.

1
1
b. Radiologi

1) Foto polos abdomen yang berfungsi untuk menilai bentuk dan


keadaan besar ginjal (adanya batu atau adanya suatu obstruksi),
dehidrasi akan dapat memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu
penderita diharapkan tidak berpuasa.

2) Intra vena pielografi (IVP) berfungsi untuk menilai sistem pelviokalises


dan ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal
pada keadaan tertentu misalnya usia lanjut, diabetets mellitus dan
nefropati asam urat.
3) USG berfungsi untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim
ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih dan prostat.
4) Renogram berfungsi untuk mengidentifikasi fungsi ginjal kanan dan
kiri, lokasi dari gangguan (vascular, parenkim, eksresi) serta sisa fungsi
ginjal.
5) EKG digunakan untuk melihat kemungkinan: hipertrofi ventrikel kiri,
tanda-tanda pericarditis, aritmia, gangguan elektrolit (hyperkalemia).

I. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan gangguan ginjal kronis yaitu:

1. Terapi Nonfarmakologis

Terdapat beberapa tindakan keperawatan yang bisa dilakukan untuk


mencegah penyakit ini berkembang semakin parah seperti halnya yang
telah dipulikasikan oleh (Kidney International Supplements, 2013), antara
lain:
a) Pembatasan protein: dapat menunda kerusakan ginjal. Intake protein
yang dilakukan 0.8g/kg/hari untuk pasien dewasa dengan atau tanpa
diabetes serta LFG 1.3 g/kgBB/hari beresiko memperburuk gagal ginjal
kronik.

1
2
b) Pembatasan Glukosa: disarankan pemeriksaan hemoglobin A1c
(HbA1c) 7.0% (53 mmol/mol) berguna untuk mencegah serta menunda
terjadinya perkembangan komplikasi mikrovaskuler diabetes pada
pasien gagal ginjal kronik dengan diabetes.
c) Kebiasaan merokok dihentikan

d) Diet natrium, diusahakan < 2.4 g per hari.

e) Berat badan harus tetap terjaga

f) BMI (Body Mass Index) < 102cm untuk pria, dan < 88cm untuk wanita.

g) Olahraga sangat Direkomendasikan untuk pasien dengan gagal ginjal


kronik, melakukan olahraga ringan 30-60 menit seperti jalan santai,
jogging, bersepeda atau berenang selama 4-7 hari tiap minggu.

Terapi non farmakologi lainnya terutama pasien gagal ginjal kronik


terutama yang sudah pada stage 5 adalah :
a) Hemodialisis: merupakan tindakan yang dilakukan untuk membuang
sampah metabolisme yang tidak bisa dikeluarkan oleh tubuh, seperti
adanya ureum di dalam darah. Hal tersebut dilakukan jika pasien
menderita gagal ginjal kronik stadium 5 dan telah diberikan diuretik
namun tidak ada efeknya.
b) Operasi AV Shunt (arterio veno shunting): merupakan tindakan yang
harus pertama kali dilakukan kepada pasien sebelum menjalankan
hemodialisis rutin. Operasi ini merupakan operasi yang bertujuan
untuk membuat saluran untuk hemodialisis.
2. Terapi farmakologi

Penanganan pada penderita gangguan ginjal kronis (menurut NICE


guidelines, 2014) antara lain:
a. Dapat mengontrol tekanan darah

b. Pasien dengan gangguan gagal ginjal kronis, seharusnya dapat


mengontrol tekanan darah sistolik < 140 mmHg (dengan target antara
120-139 mmHg) dan tekanan darah diastolik < 90 mmHg.

1
3
c. Pasien dengan gangguan ginjal kronis dan diabetes dan juga pada pasien
dengan ACR (Albumin Creatinin Ratio) 70 mg/mmol atau lebih, harus
dapat menjaga tekanan darah sistolik < 130 mmHg (dengan target
antara 120-129 mmHg) dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg.
d. Pemilihan obat antihipertensi

e. Pemilihan obat antihipertensi golongan ACE Inhibitor atau ARBs


diberikan kepada pasien gangguan ginjal kronis dan: (1). Diabetes dan
nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 3 mg/mmol atau lebih.
f. Hipertensi dan nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 30 mg/mmol atau
lebih.

g. Nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 70 mg/mmol atau lebih


(terlepas dari hipertensi atau penyakit kardiovaskular).

J. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pemeriksaan Fisik
Seperti halnya yang sudah dijelaskan oleh Muttaqin (2011), pengkajian
pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut, antara
lain:
1) Identitas: gagal ginjal kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70
tahun), usia muda, dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70%
pada pria.
2) Keluhan utama: keluhan utama yang didapatkan biasanya bervariasi,
mulai dari urine output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah
sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), dan
kulit terasa gatal.
3) Riwayat kejadian: kaji onset penurunan output, penurunan
kesadaran, perubahan pola nafas, adanya kelemahan fisik, adanya
oerubahan pada kulit, nafas yang berbau ammonia dan perubahan

1
4
pemenuhan nutrisi. Kaji sudah kemana saja klien meminta
pertolongan untuk mengatasi masalahnya dan mendapatkan
pengobatan apa saja.
4) Riwayat penyakit: kaji riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi
saluran kemih, payah jantung, penggunaan obat-obatan nefrotoksik,
benign prostatic hyperplasia dan prostatektomi. Kaji adanya riwayat
penyakit batu saluran kemih, infeksi system perkemihan yang
berulang, penyakit DM, dan penyakit hipertensi pada masa
sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab. Penting untuk
dikaji mengenai riwayat obat obatan yang telah dipakai di masa lalu
dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat selanjutnya di
dokumentasikan.
5) Keadaan umum: keadaan umum klien lemah terlihat berat. Tingkat
kesadaran menurun sesuai dengan tingkat uremis dimana dapat
mempengaruhi system saraf pusat. Pada pengukuran TTV sering
didapatkan adanya perubahan seperti RR meningkat, tekanan darah
terjadi adanya perubahan dari hipertensi ringan menjadi hipertensi
berat.

6) Psikososial: adanya perubahan fungsi struktur tubuh dan adanyan


tindakan dialysis akan menyebabkan penderita mengalami gangguan
pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya
perawatan dan pengobatan menyebabkan klien menagalami
kecemasan, gangguan konsep diri, dan gangguan peran pada
keluarga.
7) Airway: kaji jalan nafas, apakah paten atau terjadi obstruksi. Kaji
adanya retraksi clavikula dan adanya pernafasan cuping hidung,
observasi adanya sputum apkah kental dan banyak.
8) Breathing: kaji pergerakan dada apakah simetris atau asimetris,
adanya penggunaan alat bantu nafas, auskultasi suara nafas, nafas
cepat dan dalam (kussmaul), dyspnea nocturnal paroksismal (DNP),
takipnea (peningkatan frekuensi), adanya suara nafas tambahan,

1
5
batuk dengan/tanpa sputum, keluhan adanya sesak nafas, irama
pernafasan, dan pemakaian alat bantu nafas.
9) Circulation: pada kondisi uremi berat, tindakan auskultasi perawat
akan menemukan adanya friction rub adalah tanda khas efusi
pericardial, yang bisa didapatkan tanda dan gejala gagal jantung
kongestif, TD meningkat, akral dingin, CRT >3, palpitasi, nyeri pada
dada atau angina, dan adanya sesak nafas, gangguan irama jantung,
edema, penurunan perfusi perifer sekunder dari penurunan curah
jantung akibat hiperkalemi dan gangguan pada konduksi elektrikal
otot ventrikel.
10) B1 (breathing): klien bernafas dengan bau urine (fetor ammonia)
hal ini sering didaptkan pada fase ini. Respon uremia didaptkan
adanya pernafasan kusmaul, pola nafas cepat dan dalam adalah
upaya untuk melakukan pembuangan karbondioksida yang dapat
menumpuk di sirkulasi.
11) B2 (blood): pada kondisi uremia berat, pada tindakan auskultasi
perawat akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda
khas efusi pericardial. Didapatkan adanya tanda dan gejala gagal
jantung kongestif, TD meningkta, akral dingin, CRT >3 detik,
palpitasi, nyeri pada dada atau angina dan a d a n y a sesak
nafas, gangguan irama p a d a jantung, edema penurunan perfusi
perifer sekunder dari menurunnya curah jantung yang diakibatkan
dari hyperkalemia dan gangguan konduksi elektrikal otot ventrikel.
Pada system hematologi sering didapatkan adanya adanya anemia.
Anemia sebagai akibat dari penurunan produksi eritropoetin,
kecenderungan mengalami perdarahan sekunder dari
trombositopenia.
12) B3 (brain): didapatkan menurunnya tingkat kesadaran, disfungsial
serebral, seperti proses piker dan disorientasi. Pasien akan sering
didapatkan kejang, adanya neuropati perifer, burning feet syndrome,
restless leg syndrome, kram pada otot serta nyeri pada otot.

1
6
13) B4 (bladder): menurunnya urine output <400 ml/hari sampai
anuria, terjadi penurunan libido berat.
14) B5 (bowel): didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia dan
diare sekunder dari bau mulut ammonia, peradangan mukosa mulut,
dan ulkus saluran cerna sehingga sering didapatkan penurunan intake
nutrisi kebutuhan.
15) B6 (bone): didapatkan adanya nyeri pada panggul, mudah terjadi
pusing, kram otot, nyeri pada kaki (hal ini akan memburuk saat
malam hari), terasa gatal pada kulit, ada atau berulangnya infeksi,
pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), petekie, area ekimosis pada
kulit, jaringan lunak dan keterbatasan gerak sendir. Didapatkan
adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia dan
penurunan perfusi perifer dari tekanan darah tinggi.

b. Diagnosa Keperawatan

1. Perfusi perifer tidak efektif

Kategori :Fisiologi

Subkategori : Respirasi

D.0009 Perfusi perifer tidak efektif

Definisi penurunan sirkulasi darah pada level kapiler yang dapat


mengganggu metabolisme
a) Gejala dan tanda mayor
Subjektif: -
Objektif:

1. Pengisian kapiler >3 detik

2. Nadi perifer menurun atau tidak teraba

3. Akral teraba dingin

4. Warna kulit pucat

1
7
5. Turgor kulit menurun

b) Gejala dan tanda Minor


Subjektif:
1. Parastesia

2. Nyeri ekstremitas (klaudikasi intermiten)

Objektif:
1. Edema

2. Penyembuhan luka lambat

3. Indeks ankle-brachial <0,90

4. Bruit femoral

2. Hipervolemia

Kategori : Fisiologis

Subkategori : Nutrisi dan cairan

D.0022 Hipervolemia

Definisi peningkatan volume cairan intravaskular, interstisial, dan/atau


intraselular

a) Gejala dan Tanda mayor

Subjektif:

1. Ortopnea

2. Dipsnea

3. Paroxysmal nocturnal dyspnea

Objektif

1. Edema anasarka dan/atau edema perifer

2. Berat badan meningkat dalam waktu yang singkat

1
8
3. Jugular Venous Pressure (JVP) dan/atau Cental Venous
Pressure (CVP) meningkat

4. Refleks hepatojugular positif

b) Gejala dan Tanda Minor

Subjektif : -

Objektif :

1. Distensi vena jugular

2. Terdengar suara napas tambahan

3. Hepatomegali

4. Kadar Hb/Ht menurun

5. Oliguria

6. Intake lebih banyak dari output (balance cairan positif)

7. Kongesti paru

3. Gangguan Integritas Kulit/Jaringan

Kategori : Lingkungan

Subkategori : keamanan dan proteksi

D.0129 Gangguan Integritas Kulit/Jaringan

Definisi kulit (dermis dan/atau epidermis) atau jaringan (membran


mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi
dan/atau ligamen)

a) Gejala dan tanda Mayor

Subjektif :-

Objektif :

1. Kerusakan jaringan dan/atau lapisan kulit

1
9
b) Gejala dan tanda Minor

Subjektif :-

Objektif :

1. Nyeri

2. Perdarahan

3. Kemerahan

4. Hematoma

2
0
c. Perencanaan / Nursing Plan

No Diagnosa Keperawatan Luaran (SLKI) Intervensi (SIKI)


(SDKI)
1. Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan intervensi keperawatan Perawatan Sirkulasi (I.02079)
Kategori :Fisiologi selama 2x24 jam, maka L.02011 Perfusi Observasi:
Subkategori : Respirasi Perifer meningkat dengan kriteria hasil: 1. Periksa sirkulasi perifer (mis, nadi perifer,
D.0009 Perfusi perifer 1. Denyut nadi perifer meningkat edema, pengisian kapiler, warn)
tidak efektif 2. Nyeri ekstremitas menurun 2. identifikasi faktor risiko gangguan (mis,
Definisi penurunan sirkulasi 3. Parastesia menurun diabetes, perokok, orang tua, kadar
darah pada level kapiler yang 4. Tekanan darah sustolik membaik kolestrol tinggi)
dapat mengganggu 5. Tekanan darah diastolik membaik 3. monitor panas, kemerahan, nyeri, atau
metabolisme bengkak pada ekstremitas
Terapeutik:
4. hindari pengukuran tekanan darah pada
ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
Edukasi:
5. anjurkan untuk meminum obat pengontrol
tekanan darah secara teratur
2. Hipervolemia Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipervolemia (I.03114)
keperawatan selama 2x24 jam, maka Observasi:
Kategori : Fisiologis
L.02009 Keseimbangan Cairan 1. periksa tanda dan gejala hipervolemia
Subkategori : Nutrisi
meningkat dengan kriteria hasil: (mis, ortopnea, dipsnea, suara napas
dan cairan D.0022
1. Asupan cairan meningkat tambahan)
Hipervolemia
2. Asupan makanan meningkat 2. monitor intake dan output cairan
Definisi peningkatan volume
3. Edema menurun Terapeutik:
cairan intravascular, intrstisial,
4. Tekanan darah membaik 3. batasi asupan cairan dan garam
dan/atau intra seluler
5. Turgor kulit memaik 4. Tinggikan kepala tempat tidur 30-40
derajat
Kolaborasi:
5. Kolaborasi pemberian diuretik
3. Gangguan integritas kulit/ Setelah dilakukan intervensi Perawatan Integritas Kulit (I.11353)
jaringan keperawatan selama 2x24 jam, maka Observasi:
Kategori : Lingkungan L.14125 Integritas Kulit dan 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas
Subkategori : Keamanan Jaringan meningkat dengan kriteria kulit (mis, perubahan sirkulasi,
Dan Proteksi hasil: penurunan kelembaban, suhu lingkungan)
D.0129 Gangguan 1. Perfusi jaringan menurun Terapeutik:
Integritas kulit / 2. Nyeri menurun 2. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
jaringan 3. Kemerahan menurun 3. Gunakan produk berbahan petroleum
Definisi kerusakan kulit (dermis 4. Hematoma menurun atau minyak pada kulit kering
dan Edukasi:
4. anjurkan Minum air putih yang cukup
/ atau epidermis) atau jaringan
5. Anjurkan menggunkan pelembab (mis,
(membrane mukosa, kornea,
lotion, serum)
fasia, otot, tendon, tulang,
6. Anjurkan mandi dan mengunakan
kertilago,
sabun secukupnya
kapsul sendi dan / atau
ligament).
DAFTAR PUSTAKA

Aisara, S., S. Azmi., dan M. Yanni. 2018. Gambaran Klinis Penderita Penyakit
Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. Vol 7(1): 42-50

Evelyn, C. E. 2017. Anatomi dan Fisiologi untuk Medis. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama

Kamasita, S. E., S. Y. Nurdiana., Y. Hermasnyah., E. Junaidi.,dan M.


Fatekurohman. 2018. Pengaruh Hemodialisis Terhadap Kinetik Segmen
Ventrikel Kiri Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Stadium V. Nurseline
Journal. Vol 3(1): 10-19.

Nuari, N. A., dan D. Widayati. 2017. Gangguan Pada Sistem Perkemihan dan
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: CV Budi Utama.

Pranandari, R., dan W. Supadmi. 2015. Faktor Risiko Gagal Ginjal Kronik Di
Unit Hemodialisis RSUD Wates Kulon Progo. Vol 11(2): 316-320

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator


Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia

PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia

PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia

Rahmawati, F. 2017. Aspek Laboratorium Gagal Ginjal Kronik. Jurnal Ilmiah


2
4
Kedokteran Wijaya Kusuma. Vol 6(1): 14-22.

Verdiansah. 2016. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. CKD-237. Vol 43(2): 148-154.

2
5

Anda mungkin juga menyukai