Disusun Oleh :
SUPRIADIN
24.21.1637
LEMBAR PENGESAHAN
Telah Disahkan “Laporan Pendahuluan Gagal Ginjal Kronik di Unit Hemodialisa RSUD
Wonosari” guna memenuhi tugas Stase (Keperawatan Medikal Bedah) Profesi Ners
Angkatan XXIX STIKes Surya Global Yogyakarta Tahun 2023
Diajukan Oleh:
SUPRIADIN
24211637
Mengetahui,
E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis yang ditimbulkan Chronic Kidney Disease (CKD) menurut Guswanti
(2019) antara lain:
1. Hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin –
angiotensin - aldosteron)
2. Gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan)
3. Perikarditis (akibat iritasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia,
mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran,
tidak mampu berkonsentrasi)
Sedangkan menurut Ismail (2018) tanda gejala CKD dibagi menjadi 7 yaitu:
1. Gangguan pada sistem gastrointestinal
a. Anoreksia, nausea, vomitus yag berhubungan dengan gangguan metabolisme
protein di dalam usus, terbentuknya zat-zat toksin akibat metabolisme bakteri
usus seperti ammonia danmelil guanidine serta sembabnya mukosa usus.
b. Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh
bakteri dimulut menjadi amoni sehinnga nafas berbau amonia.
c. Gastritis erosife, ulkus peptic dan colitis uremik.
2. Kulit
a. Kulit berwarna pucat, anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan
urokrom.
b. Gatal-gatal akibat toksin uremin dan pengendapan kalsium di poripori kulit.
c. Ekimosis akibat gangguan hematologi.
d. Ure frost : akibat kristalsasi yang ada pada keringat.
e. Bekas-bekas garukan karena gatal.
3. Sistem hematologi
a. Anemia yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : Berkurangnya
produksi eritropoitin, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksin, defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain akibat nafsu
makan yang berkurang, perdarhan, dan fibrosis sumsum tulang akibat
hipertiroidism sekunder.
b. Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.
4. Sistem saraf dan otot
a. Restless Leg Syndrome, pasien merasa pegal pada kakinya sehinnga selalu
digerakkan.
b. Burning Feet Syndrome, rasa semutan dan seperti terbakar terutama di telapak
kaki.
c. Ensefalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsetrasi, tremor,
asteriksis, mioklonus, kejang.
d. Miopati, kelemahan dan hipertrofi otot terutama ekstermitas proksimal.
5. Sistem kardiovaskuler
a. Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas
sistem renin angiotensin aldosteron.
b. Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis atau gagal jantung akibat
penimbunan cairan hipertensif.
c. Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis, gangguan elektrolit dan
klasifikasi metastasik.
d. Edema akibat penimbuna cairan.
6. Sistem endokrin
a. Gangguan seksual, libido, fertilitas, dan ereksi menurun pada lakilaki akibat
testosteron dan spermatogenesis menurun. Pada wanita tibul gangguan
menstruasi, gangguan ovulasi, sampai amenore.
b. Gangguan metabolisme glokusa, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
c. Gangguan metabolisme lemak.
d. Gangguan metabolisme vitamin D.
7. Gangguan sistem lain
a. Tulang osteodistropi ginjal, yaitu osteomalasia, osteoslerosis, osteitis fibrosia
dan klasifikasi metastasik.
b. Asidosis metabolik akibat penimbuna asam organik sebagai hasil metabolisme.
c. Elektrolit: hiperfosfotemia, hiperkalemia, hipokalsemia
F. KOMPLIKASI
Menurut (NKDEP, 2015) yang mungkin akan terjadi atau timbul akibat gagal ginjal
kronis, antara lain :
1. Hiperkalemia
Hiperkalimia adalah kelebihan kalium yang terjadi bila kalium yang normal
diekskresikan melalui ginjal terakumulasi didala darah. Keseimbangan elektrolit
ini dapat mengakibatkan serangan jantung, memberikan gejala seperti lemas,
merasa tidak nyaman, merasa kram diperut.
2. Gastrointestinal
Meningkatnya kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum lebih sering terjadi pada
pasien dengan gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun
demikian, gejala mual, muntah anoreksia, dan dada seperti terbakar. Insiden
esofagitis seperti angiodisplasia
lebih tinggi, keduanya dapat menyebutkan perdarahan. Gangguan pengecap dapat
berkaitan dengan bau nafas yang menyerupai urin.
3. Hipertensi
Penyakit vaskular dan hipertensi merupakan penyebab utama kematian pada
gagal ginjal kronik. Pada pasien yang tidak menderita diabetes, hipertensi,
mungkin merupakan salah satu faktor yang penting. Sebagian besar hipertensi
pada penyakit ginjal kronik disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan
air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk yang bisa menimbulkan
edema, namun mungkin terdapat ritem jantung tripel. Hipertensi seperti ini
biasanya memberikan respons terhadap restriksi natrium dan pengendalian
volume tubuh melalui dialysis, jika fungsi ginjal memadai, pemberia furosemid
dapat bermanfaat.
4. Anemia
Anemia harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi Penyakit Gagal Ginjal
Kronik, dan perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk
faal ginjal (LFG). Kadar eritropoietin dalam sirkulasi rendah. Eritropoietin
rekombinan parenteral meningkatkan kadar hemoglobin, memperbaiki toleransi
terhadap aktivitas fisik, dan mengurangi kebutuhan tranfusi darah. Pada pasien
gagal ginjal stadium lanjut sebelum dialisis, eritropoiten mengkoreksi anemia dan
memperaiki keadaan umum tanpa mempengaruhi tingkat penurunan ginjal.
Hipertensi tergantung dosis terjadi pada 35% pasien dan biasanya bisa
dikendalikan dengan obatobatan penurunan tekanan darah, walawpun
enselafalopati hipertensi bisa timbul mendadak.
5. Penyakit tulang
Hipokalisemia akibat penurunan sistesis 1,25 (OH)2D3 hiperfosfatemia, dan
retensi terhadap kerja PTH diperifer, semuanya turut menyebabkan penyakit
tulang adrenal. Terapinya dengan pembatasan fosfat makana dengan atau tanpa
mengikat fofat (kalsium bikarbonat bila kalsium belum meningkat akhibat
hiperparatiroidisme tersier) dan penggunaan derivate lahidroksilasi vitamin D
dosis rendah sedini mungkin.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada pasien penyakit ginjal kronik, meliputi (Anggraini,
2022) :
1. Urinalisis
Pada pemeriksaan urinalisis yang dinilai adalah warna urin, bau urin yang khas,
turbiditas, volume, dan osmolalitas urin serta pH, hemoglobin (Hb), glukosa dan
protein yang terdapat di urin. Kelainan urinalisis yang terdapat pada gambaran
laboratoris penyakit ginjal kronik meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast
serta isostenuria.
2. Pemeriksaan Fungsi
Ginjal Parameter untuk mengetahui fungsi ginjal dan progresifitas penyakit adalah
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dan kemampuan eksresi ginjal. Kemampuan
eksresi ginjal dilakukan dengan mengukur zat sisa metabolisme tubuh melalui urin
seperti ureum dan kreatinin. Peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum
merupakan indikasi terjadinya penurunan fungsi ginjal. Pemeriksaan kadar ureum
yang sering dilakukan dengan menggunakan metode enzimatik yaitu enzim urease
menghidrolisis ureum dan menghasilkan ion ammonium yang kemudian diukur.
Kadar ureum merupakan tanda yang paling baik untuk timbulnya uremia toksik.
Pemeriksaan kadar kreatinin juga digunakan untuk menilai fungsi ginjal dengan
metode Jaffe Reaction. Kadar kreatinin digunakan dalam perhitungan klirens
kreatinin dan LFG. Diagnosis gagal ginjal dapat ditegakkan saat nilai kreatinin
serum meningkat di atas nilai rujukan normal. Pada keadaan gagal ginjal dan
uremia, ekskresi kreatinin oleh glomerulus dan tubulus ginjal menurun.
Pemeriksaan lainya meliputi pemeriksaan kadar asam urat, cystatin C, β2
microglobulin, inulin, dan juga zat berlabel radioisotop.
3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk menentukan diagnosis. Beberapa
gambaran radiologis yang tampak pada pasien PGK, meliputi: Pada foto polos
abdomen tampak batu radioopak
a. Pielografi intravena jarang digunakan karena zat kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus dan khawatir terjadinya efek toksik oleh zat kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
b. Ultrasonografi (USG) ginjal pada pasien PGK dapat memperlihatkan ukuran
ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu
ginjal, kista, massa dan kalsifikasi ginjal.
c. Pemeriksaan renografi atau pemindaian ginjal dapat dilakukan apabila ada
indikasi.
4. Biopsi Ginjal dan Pemeriksaan Histopatologi
Ginjal Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal dapat memberikan gambaran dasar klasifikasi dan
kontraindikasi bila dilakukan pada keadaan ukuran ginjal sudah mengecil
(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
H. PENATALAKSAAN MEDIS
Menurut Wijaya & Putri (2019) Penatalaksanaan medis pada pasien dengan CKD
dibagi tiga yaitu :
1. Konservatif
a. Melakukan pemeriksaan lab darah dan urine
b. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam. Biasanya
diusahakan agar tekanan vena jugularis sedikit meningkat dan terdapat edema
betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui pemantauan berat badan, urine serta
pencatatan keseimbangan cairan.
c. Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein). Diet rendah protein (20-240 gr/hr)
dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia serta
menurunkan kadar ereum. Hindari pemasukan berlebih dari kalium dan garam.
d. Kontrol hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal,
keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung pada tekanan
darah. Sering diperlukan diuretik loop selain obat anti hipertensi.
e. Kontrol ketidak seimbangan elektrolit. Yang sering ditemukan adalah
hiperkalemia dan asidosis berat. Untuk mencegah hiperkalemia hindari
pemasukan kalium yang banyak (batasi hingga 60 mmol/hr), diuretik hemat
kalium, obat-obat yang berhubungan dengan ekskresi kalium (penghambat ACE
dan obat anti inflamasi nonsteroid), asidosis berat, atau kekurangan garam yang
menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut dalam kaliuresis. Deteksi
melalui kalium plasma dan EKG.
2. Dialisys
Peritoneal dialysis Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan
dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD
(Continues Ambulatori Peritonial Dialysis).
3. Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan
menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah
femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan: AV fistule :
menggabungkan vena dan arteri Double lumen : langsung pada daerah jantung
(vaskularisasi ke jantung) Tujuannya yaitu untuk menggantikan fungsi ginjal dalam
tubuh fungsi eksresi yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti
ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
4. Operasi
a. Pengambilan batu
b. Transplantasi ginjal
I. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
Untuk mengetahui permasalahan yang ada pada pada pasien Chronic Kidney Disease
(CKD) perlu dilakukan pengkajian yang lebih menyeluruh dan mendalam dari
berbagai aspek yang ada sehingga dapat ditemukan masalah-masalah yang ada pada
pasien dengan CKD menurut (Muttaqin & Sari, 2014) adalah sebagai berikut:
1. Pengkajian
a. Biodata
Mengenai identitas pasien meliputi nama lengkap, tanggal lahir, alamat dan
sebagainya.
b. Keluhan utama
Pada pasien CKD dengan masalah kulit biasanya memiliki keluhan seperti kulit
kering sampai bersisik, kasar, pucat, gatal, mengalami iritasi karena garukan,
edema.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien akan mengeluhkan mengalami penurunan urine output (oliguria) sampai
pada anuria, anoreksia, mual dan muntah, fatigue, napas berbau urea, adanya
perubahan pada kulit. Kondisi ini terjadi karena penumpukan (akumulasi) zat
sisa metabolisme/toksin dalam tubuh karena ginjal mengalami kegagalan dalam
filtrasi.
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat pemakaian obat-obatan, ada riwayat gagal ginjal akut, ISK, atau faktor
predisposisi seperti diabetes melitus dan hipertensi biasanya sering dijumpai
pada penderita CKD.
e. Pola nutrisi
Pada pasien CKD terjadi peningkatan BB karena adanya edema, namun bisa
juga terjadi penurunan BB karena kebutuhan nutrisi yang kurang ditandai
dengan adanya anoreksia serta mual atau muntah.
f. Pola eliminasi
Pada pasien CKD akan terjadi oliguria atau penurunan produksi urine kurang
dari 30 cc/jam atau 500 cc/24 jam. Bahkan bisa juga terjadi anuria yaitu tidak
bisa mengeluarkan urin selain itu juga terjadi perubahan warna pada urin seperti
kuning pekat, merah dan coklat
g. Pola istirahat dan tidur
Pada pasien CKD istirahat dan tidur akan terganggu karena terdapat gejala nyeri
panggul, sakit kepala, kram otot dan gelisah dan akan memburuk pada malam
hari
h. Pola aktivitas
Pada pasien CKD akan terjadi kelemahan otot dan kelelahan yang ekstrem
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan TTV
1) Tekanan darah Pada pasien CKD tekanan darah cenderung mengalami
peningkatan dari hipertensi ringan hingga berat.
2) Nadi Pada pasien CKD biasanya teraba kuat dan jika disertai dengan
disritmia jantung nadi akan teraba lemah halus.
3) Suhu Pada pasien CKD biasanya suhu akan mengalami peningkatan karena
adanya sepsis atau dehidrasi sehingga terjadi demam.
4) Frekuensi pernapasan Pada pasien CKD akan cenderung meningkat karena
terjadi takipnea dan dispnea.
5) Keadaan umum Pada pasien CKD cenderung lemah dan nampak sakit berat
sedangkan untuk tingkat kesadaran menurun karena sistem saraf pusat yang
terpengaruhi sesuai dengan tingkat uremia yang mempengaruhi
b. Kepala
Pada pasien CKD, rambut tampak tipis dan kering, berubah warna dan mudah
rontok, wajah akan tampak pucat, kulit tampak kering dan kusam
c. Telinga
Pemeriksaan kesimetrisan telinga, produksi serumen, warna, kebersihan dan
kemampuan mendengar.
d. Mata
Pada pasien CKD akan tampak kalsifikasi (endapan mineral kalsium fosfat)
akibat uremia yang berlarut-larut di daerah pinggir mata, di sekitar mata akan
tampak edema, penglihatan kabur dan konjungtiva akan terlihat pucat jika ada
yang mengalami anemia berat. Pada palpasi bola mata akan teraba kenyal dan
melenting, pada sekitar mata akan teraba edema
e. Hidung
Periksa adanya produksi sekret, ada atau tidak pernapasan cuping hidung,
kesimetrisan kedua lubang hidung.
f. Mulut
Pada saat bernapas akan tercium bau ammonia karena faktor uremik, ulserasi
pada gusi, bibir tampak kering.
g. Leher
Periksa ada massa atau tidak, pembengkakan atau kekakuan leher, kulit kering,
pucat, kusam. Palpasi adanya pembesaran kelenjar limfe, massa atau tidak.
h. Dada
Pada pasien CKD pergerakan dada akan cepat karena pola napas juga cepat dan
dalam (kusmaul), batuk dengan ada tidaknya sputum kental dan banyak apabila
ada edema paru batuk akan produktif menghasilkan sputum merah muda dan
encer, pada kulit akan ditemukan kulit kering, uremic frost, pucat atau
perubahan warna kulit dan bersisik. Pada pemeriksaan palpasi periksa
pergerakan dinding dada teraba sama atau tidak, terdapat nyeri dan edema atau
tidak. Pada perkusi pada seluruh lapang paru normalnya resonan dan pada CKD
pekak apabila paru terisi cairan karena edema.
i. Abdomen
Pada saat inspeksi kulit abdomen akan tampak mengkilap karena asites dan kulit
kering, pucat, bersisik, warna cokelat kekuningan, akan muncul pruritus.
Auskultasi bunyi bising usus di keempat kuadran abdomen. Pasien dengan CKD
akan mengeluh nyeri pada saat dilakukan pemeriksaan di sudut costo-vertebrae
pada penderita penyakit ginjal Pemeriksaan palpasi pada daerah terakhir
diperiksa yang terasa nyeri, teraba ada massa atau tidak pada ginjal
j. Kulit dan kuku
Pemeriksaan kuku akan menjadi rapuh dan tipis, kulit menjadi pucat, kering dan
mengelupas, bersisik, akan muncul pruritus, warna cokelat kekuningan,
hiperpigmentasi, memar, uremic frost, ekimosis, petekie, CRT > 3 detik, kulit
teraba kasar dan tidak rata.
k. Ekstermitas
Pada pasien CKD terdapat edema pada kaki karena adanya gravitasi biasanya
ditemukan di betis dan paha pada klien yang bedrest, kelemahan, kelelahan,
kulit kering, hiperpigmentasi, bersisik, turgor kulit > 3 detik karena edema, kulit
teraba kering dan kasar
3. Diagnosa keperawatan
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon pasien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial (PPNI, 2017). Diagnosis kepewatan yang
mungkin muncul pada pasien dengan penyakit yaitu (Black & Hawk, 2021) :
a. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi – perfusi d.d dispnea,
PCO2 meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardia, pH arteri
meningkat/menurun, bunyi napas tambahan
b. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi d.d ortopnea, dispnea,
paroxysmal nocturnal dyspnea, edema anasarka dan/atau edema perifer, berat
badan meningkat dalam waktu singkat, JVP dan atau CVP meningkat, reflek
hepatojugular positif.
c. Perfusi perifer tidak efektif d.d penurunan konsentrasi hemoglobin
d. Gangguan integritas kulit dan jaringan b.d perubahan sirkulasi
e. Nausea b.d ganguan biokimia (uremia)
f. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
g. Ketidakpatuhan b.d program terapi kompleks dan/atau lama
h. Gangguan mobilitas fisik b.d perubahan metabolism
i. Resiko gangguan perfusi renal d.d hiperglikemia
4. Intervensi (SIKI)
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang diharapkan (PPNI, 2018). Intervensi keperawatan yang dapat
diberikan kepada pasien CKD dari diagnosis keperawatan yang diangkat
berdasarkan Standart Intervensi Keperawatan Indonesia yaitu:
a. Diagnosis Ganguan Pertukaran Gas: pemantauan respirasi, terapi oksigen.
b. Diagnosis Hipervolemia: manajemen hipervolemia, pemantauan cairan.
c. Diagnosis Perfusi Perifer Tidak Efektif: perawatan sirkulasi, manajemen sensasi
perifer
d. Diagnosis Defisit Nutrisi: manajemen nutrisi, promosi berat badan
5. Implementasi dan evaluasi
Implementasi merupakan langkah keempat dalam proses asuhan keperawatan
dengan melaksanakan berbagai strategi kesehatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan yang di prioritaskan.
Evaluasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi dilakukan terus-menerus terhadap
respon pasien pada tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi proses
atau promotif dilakukan setiap selesai tindakan. Evaluasi dapat dilakukan
menggunakan SOAP sebagai pola pikirnya.
S : Respon subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respon objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A : Analisa ulang data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah
teratasi, masalah teratasi sebagian, masalah tidak teratasi atau muncul masalah
baru.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon pasien
HEMODIALISA
A. PENGERTIAN
Dialisis adalah strategi dialisis yang memanfaatkan peritoneum atau massa bagian
dalam daerah tengah sebagai saluran. Peritoneum memiliki sejumlah besar vena kecil
yang berjalan seperti ginjal. Strategi ini diakhiri dengan membuat titik masuk kecil di
dekat tombol usus sebagai jalan masuk ke silinder atau kateter khusus. Kateter untuk
semua waktu dimasukkan ke dalam depresi perut. Kapasitasnya adalah untuk
menyajikan dialisat (Vadakedath & Kandi, 2017).
Hemodialisis adalah cara paling umum untuk menghilangkan sisa metabolisme
dan zat berbahaya lainnya melalui lapisan semipermeabel yang berfungsi sebagai
lapisan pemisah antara darah dan cairan biaksial yang dibuat khusus di dalam dialyzer
(Wijaya dan Putri, 2017).
B. TUJUAN
Hemodialisis berencana untuk membuang produk sampingan dari pencernaan
protein: urea, kreatinin dan asam urat, membuang cairan yang berlebihan dengan
mempengaruhi proporsi ketegangan antara darah dan cairan, mengikuti atau
membangun kembali kerangka bantalan tubuh, mengikuti atau membangun kembali
kadar elektrolit tubuh (Wijaya dan Putri, 2017).
C. INDIKASI
1. Pasien yang membutuhkan hemodialisis mengalami kekecewaan ginjal yang
persisten dan kekecewaan ginjal yang intens sementara sampai kapasitas ginjal
pulih kembali (laju filtrasi globular 200 mg%, kreatinin serum > 6 mEq/L,
kelebihan beban cairan, penyakit serius, dan muntah-muntah.
2. Asidosis, kekecewaan terhadap pengobatan sedang, kadar ureum/kreatinin darah
tinggi (urea > 200 mg%, kreatinin serum > 6 mEq/L, kelebihan beban cairan,
penyakit serius, dan muntah-muntah.
3. Ketergantungan pada obat-obatan dan zat sintetis.
4. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang ekstrem.
5. Gangguan hepatorenal dengan standar: K+pH darah 5 hari, GFR 200 mg/dl
(Wijaya dan Putri, 2017)
D. KONTRA INDIKASI
1. Hipertensi berat (TD >200/100 mmHg)
2. Hipotensi (TD < 100 mmHg)
3. Adanya perdarahan hebat
4. Demam tinggi (wijaya & Putri 2017)
E. PRINSIP
Tiga standar, diseminasi, masuk dan ultrafiltrasi, mendasari dibuat oleh
hemodialisis. Racun dan efek samping dalam darah dikeluarkan dengan diseminasi
dari darah fokus tinggi ke dialisat fiksasi rendah.
Seperti yang ditunjukkan oleh Price dan Wilson 2013, cairan dialisat terbuat dari
elektrolit yang relatif banyak dengan konsentrasi yang ideal untuk tubuh. Komponen
yang biasanya ada adalah Ca++, Mg+, K+, Na, Cl- , glukosa dan turunan asam asetat.
Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat akan mudah berdifusi dari darah ke dalam cairan
dialisis karena cairan dialisis tidak mengandung komponen-komponen tersebut
(Fahmi, 2016).
Kelimpahan air diambil dari tubuh selama interaksi infiltrasi. Kemalangan air
dapat dibatasi dengan membuat sudut regangan di mana air bergerak dari area
bertekanan tinggi (tubuh pasien) ke tekanan lebih rendah (dialisat). Sudut ini dapat
diperluas dengan menambahkan regangan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi ke
mesin dialisis. Strain negatif diterapkan pada gadget sebagai daya tarik pada film dan
bekerja dengan menghilangkan air. (Fahmi, 2016).
F. AKSES SIRKULASI
1. Kateter dialisis perkutan yaitu pada vena pulmonalis atau vena subklavikula
2. Cimino : dengan membuat fistula interna arteriovenosa~ operasi (LA.Radialis dan
V. Sefalika pergelangan tangan) pada tangan non dominan. Darah dipirau dari A ke
V sehingga vena membesar hubungan ke sistem dialisis dengan 1 jarum di distal
(garis arteri) dan diproksimal (garis vena), lama pemakaian -+ 4 tahun, masalah
yang mungkin timbul: Nyeri pada punksi vena,trombosis, Aneurisme, kesulitan
hemostatik post dialisa, Iskemia tangan. Kontra indikasi : Penyakit perdarahan,
Kerusakan prosedur sebelumnya, Ukuran pembuluh darah klien/halus.
3. AV Graft : tabung plastik dilingkarkan yang menghubungkan arteri ke vena..
operasi graf seperti operasi fistula AV, digunakan 2-3 minggu setelah operasi.
(Wijaya dan Putri, 2017)
G. PROSEDUR
Klien hemodialisa harus mendapatkan gizi begitu memuaskan agar tetap
mendapat nutrisi baik. Ketidaksehatan merupakan indikator kematian signifikan pada
pasien hemodialisis (Wijaya dan putri, 2017).
Status cairan menentukan kecukupan cairan dan perawatan cairan yang
dihasilkan. Status cairan pada pasien PGK dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan
edema, ketegangan sirkulasi, kekuatan otot, garis lengan atas, nilai IDWG dan
penanda biokimia yang meliputi natrium, kalium, kalsium, magnesium, fluorida,
bikarbonat dan fosfat (Wijaya dan putri, 2017).
Asupan protein diandalkan 1-1,2 g/kgBB/hari dengan setengahnya terdiri dari
konsumsi protein dengan nilai alami tinggi. Penerimaan kalium diberikan 40-70
meq/hari. Pembatasan kalium sangat penting, mengingat fakta bahwa itu tinggi dalam
varietas makanan kalium, misalnya, produk tanah tidak disarankan untuk digunakan.
Berapa banyak cairan yang masuk dibatasi oleh berapa banyak kencing yang ada dan
mati rasa air. Penerimaan natrium dibatasi hingga 40-120 mEq.hari untuk mengontrol
ketegangan sirkulasi dan edema. Natrium yang tinggi menyebabkan rasa dahaga
hingga ingin minum. Dengan asumsi pemasukan cairan tidak masuk akal, selama
jalannya dialisis akan ada kenaikan massa tubuh yang sangat besar (Wijaya dan putri,
2017).
Banyak obat dikeluarkan seluruhnya atau sampai batas tertentu melalui ginjal.
Pasien yang membutuhkan resep (pengaturan glikosida jantung, agen anti-infeksi,
antiaritmia, antihipertensi) harus diamati dengan hati-hati untuk memastikan bahwa
tingkat darah dan jaringan dari obatobatan ini dapat dipertahankan tanpa
menyebabkan pengumpulan racun. Bahaya menciptakan dampak beracun dari obat
harus dipikirkan (Wijaya dan putri, 2017).
H. KOMPLIKASI
Wijaya dan Putri (2017) menjabarkan komplikasi hemodialisa sebagai berikut :
1. Hipotensi Ini adalah keterikatan intens berturut-turut dengan kejadian 15-30%. Ini
mungkin karena volume plasma berkurang, kerusakan otonom, vasodilatasi energi
panas, atau obat antihipertensi.
2. Kram otot Terjadi pada 20% pasien yang menjalani hemodialisis dan bersifat
idiopatik, namun diyakini karena penarikan yang intens yang disebabkan oleh
peningkatan volume ekstraseluler.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, D. (2022). Aspek Klinis Dan Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Ginjal
Kronik. An-Nadaa: Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 9(2).
Black & Hawks.2021. Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis untuk Hasil
yang Diharapkan Edisi 8 Buku 2. Jakarta: Salemba Medika
Brunner, L. S., Smeltzer, S. C. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2014).
Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical-surgical Nursing: Suzanne
C. Smeltzer...[et Al.]: Wolters Kluwer Health.
Corwin, M. T., Chang, M., Fananapazir, G., Seibert, A., & Lamba, R. (2015). Accuracy
and radiation dose reduction of a limited abdominopelvic CT in the diagnosis of
acute appendicitis. Abdominal Imaging, 40(5), 1177-1182.
Fahmi, F. Y., & Hidayati, T. (2016). Gambaran self care status cairan pada pasien
hemodialisa (literatur review). Care: Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, 4(2), 53-63.
Ismail, M. D., Jalalonmuhali, M., Azhari, Z., Mariapun, J., Lee, Z. V., Zainal Abidin,
I., ... & Zuhdi, A. S. M. (2018). Outcomes of STEMI patients with chronic kidney
disease treated with percutaneous coronary intervention: the Malaysian National
Cardiovascular Disease Database–Percutaneous Coronary Intervention (NCVD-
PCI) registry data from 2007 to 2014. BMC cardiovascular disorders, 18(1), 1-8.
KDIGO. (2022) Kdigo Clinical Practice Guideline On Diabetes Mangement In Chronic
Kidney Disease Confidential : Do Not Distribute Public Review Draft. Kdigo
Clin Pract Guidel Diabetes Mangement Chronic Kidney Dis ;(12):1–152.
Montesanto A, et al. (2014) Glomerular Filtration Rate In The Elderly And In The
Oldest Old: Correlation With Frailty And Mortality. Age (Omaha) ;36(3):1503–
14
Musso CG, & Oreopoulos DG. (2011) Aging And Physiological Changes Of The
Kidneys Including Changes In Glomerular Filtration Rate. Nephron –
Physiol ;119(SUPPL. 1):1–5
Muttaqin & Sari. (2014). Asuhan keperawatan gangguan sistem perkemihan. Jakarta:
Salemba Medika
Perhimpunan Nefrologi Indonesia. (2011). Konsensus Pada Penyakit Ginjal Kronik.
Vol. I, Pernefri. 1–48 p.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Purwati, S. (2018). Analisa Faktor Risiko Penyebab Kejadian Penyakit Gagal Ginjal
Kronik (GGK) Di Ruang Hemodialisa RS Dr. Moewardi. (JKG) Jurnal
Keperawatan Global, 3(1).
Raman M, Middleton RJ, Kalra PA, Green D. (2017). Estimating Renal Function In
Old People: An Indepth Review. Int Urol Nephrol.;49(11):1979–88.
Vadakedath, S., & Kandi, V. (2017). Dialysis: a review of the mechanisms underlying
complications in the management of chronic renal failure. Cureus, 9(8).
Webster, A. C., Nagler, E. V., Morton, R. L., & Masson, P. (2017). Chronic kidney
disease. The lancet, 389(10075), 1238-1252.
Wijaya & Putri. (2017). KMB I Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Teori Dan
Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika