oleh
Susilo Eko Putra, S.Kep.
082311101019
oleh
Susilo Eko Putra, S.Kep.
082311101019
1. Kasus
Asuhan keperawatan pada chronic kidney disease (CKD) dengan tindakan
hemodialisis
A. Definisi
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
(Brunner & Suddarth, 2001).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari 3 bulan. Diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel berikut:
Batasan penyakit ginjal kronik
Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan
Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal
(Price, S.A. & Wilson, 2003)
B. Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronis menurut (Price, 2002), adalah :
1. Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (SIK) sering terjadi dan menyerang manusia tanpa
memandang usia, terutama wanita. Infeksi saluran kemih umumnya dibagi
dalam dua kategori besar : Infeksi saluran kemih bagian bawah (uretritis,
sistitis, prostatis) dan infeksi saluran kencing bagian atas (pielonepritis
akut). Sistitis kronik dan pielonepritis kronik adalah penyebab utama gagal
ginjal tahap akhir pada anak-anak.
2. Penyakit peradangan
Kematian yang diakibatkan oleh gagal ginjal umumnya disebabkan oleh
glomerulonepritis kronik. Pada glomerulonepritis kronik, akan terjadi
kerusakan glomerulus secara progresif yang pada akhirnya akan
menyebabkan terjadinya gagal ginjal.
3. Nefrosklerosis hipertensif
Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat. Hipertensi
mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada
ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi
atau ikut berperan pada hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan
air, serta pengaruh vasopresor dari sistem renin-angiotensin.
4. Gangguan kongenital dan herediter
Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan penyakit
herediter yang terutama mengenai tubulus ginjal. Keduanya dapat berakhir
dengan gagal ginjal meskipun lebih sering dijumpai pada penyakit
polikistik.
5. Gangguan metabolic
Penyakit metabolik yang dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik antara
lain diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme primer dan amiloidosis.
6. Nefropati toksik
Ginjal khususnya rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan-
bahan kimia karena alasan-alasan berikut :
a. Ginjal menerima 25 % dari curah jantung, sehingga sering dan
mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah yang besar.
b. Interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia
dikonsentrasikan pada daerah yang relatif hipovaskular.
c. Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan obat,
sehingga insufisiensi ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan
meningkatkan konsentrasi dalam cairan tubulus.
C. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan
individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit
ginjal dalam keluarga (Brunner & Suddarth, 2002).
D. Patofisiologi
Pada GGK terjadi penurunan fungsi renal yang mengakibatkan produk
akhir metabolisme protein tidak dapat diekskresikan ke dalam urine sehingga
tertimbun didalam darah yang disebut uremia. Uremia dapat mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Dan semakin banyak timbunan produk sampah uremia
maka gejala yang ditimbulkan semakin berat.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) mengakibatkan klirens
kreatinin akan menurun sehingga kreatinin akan meningkat. Kadar nitrogen
urea darah (BUN) biasanya juga meningkat. Ginjal juga tidak mampu
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urine secara normal dan sering terjadi
retensi natrium dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal
jantung kongestif, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi
sistem rennin angiotensin aldosteron.
Penurunan GFR juga mengakibatkan peningkatan kadar fosfat serum
sehingga terjadi penurunan kadar kalsium serum. Penurunan kadar kalsium
menyebabkan sekresi kadar pharathormon, terjadi respon abnormal sehingga
kalsium dalam tulang menurun menyebabkan penyakit tulang dan kalsifikasi
metastasik. Disamping itu penyakit tulang juga disebabkan penurunan produksi
metabolit aktif vitamin D (1,25 dehidrokolekalsiferol). Patogenesis gagal ginjal
kronik yaitu semakin buruk dan rusaknya nefron – nefron yang disertai
berkurangnya fungsi ginjal, ketika kerusakan ginjal berlanjut dan jumlah
nefron berkurang, maka kecepatan filtrasi dan beban solute bagi nefron
demikian tinggi hingga keseimbangan glomerolus tubulus (keseimbangan antar
peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus) tidak dapat
dipertahankan lagi. Fleksibilitas baik pada proses konversi(perubahan) solute
dan air menjadi kurang. Reabsorbsi kalium yang merupakan salah satu fungsi
ginjal juga mengalami gangguan dimana seharusnya 50% kalium direabsorbsi
di tubulus paroksimal, 40% di pars asendens tebal dan sisanya di bagian akhir
nefron duktus pengumpul di medulla. Karena kerusakan ginjal pada pasien
GGK hal ini menjadi indikasi untuk dilakukannya hemodialisa pada pasien
GGK.
Kerusakan ginjal bisa disebabkan oleh diabetes melitus yaitu pada
diabetes melitus terjadi peningkatan konsentrasi gula darah sehingga ginjal
tidak dapat menyerap semua dan jika keadaan ini terus berlanjut, maka akan
berkurangnya fungsi nefron dan terjadi kerusakan pada nefron tersebut.
Sehingga glukosa muncul di urin dan menyebabkan glukosuria serta dapat
meningkatkan pengeluaran cairan dan elektrolit. Ini mengakibatkan pada
pasien akan terjadi poliuri (banyak kencing), polidipsi (banyak minum), dan
turgor kulit menurun.
Selain itu kerusakan ginjal juga dapat disebabkan oleh glomerulonefritis
kronis (peradangan pada glomerulus) yaitu antibodi (IgG) dapat dideteksi pada
kapiler glomerular dan terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga terbentuk
agregat molekul, agregat molekul tersebut diedarkan ke seluruh tubuh dan ada
beberapa yang terperangkap di glomerulus menyebabkan respon inflamasi, jika
kejadian ini berulang akan mengakibatkan ukuran ginjal berkurang seperlima
dari ukuran normal, respon inflamasi juga menyebabkan korteks mengecil
menjadi lapisan yang tebalnya 1mm-2mm. Ini mengakibatkan berkas jaringan
parut merusak sisa korteks dan permukaan ginjal menjadi kasar dan ireguler
sehingga glomeruli dan tubulus menjadi jaringan parut serta terjadi kerusakan
glomerulus yang parah sehingga respon ginjal yang sesuai terhadap masukan
cairan dan elektrolit tidak terjadi serta terjadi retensi cairan dan natrium yang
akan menyebabkan oedem. Kerusakan glomerulus yang parah juga
menyebabkan uremia dan anemia.
Nefropati toksik juga menyebabkan kerusakan pada ginjal yang
diakibatkan karena penurunan fungsi filtrasi dan menyebabkan kerusakan
nefron sehingga dapat juga menyebabkan kerusakan glomerulus yang parah.
Penyebab kerusakan ginjal yang lain yaitu nefropati obstruktif (batu saluran
kemih), infeksi saluran kemih dan gangguan pada jaringan penyambung.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada GFR dibawah 15% akan terjadi
gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal (Soeparman, 2001).
E. Manifestasi klinik
Manifestasi klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri
dan kelainan kardiovaskular (Brunner & Suddarth, 2002).
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat
bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin
kurang dari 25 ml per menit.
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah
yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus
halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang
setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa
hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya
hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis
dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal
kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal
ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya
kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit
muka dan dinamakan urea frost
5. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput
serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan
dialisis.
6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental
berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga
sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini
sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
7. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung.
Gejala CKD menurut Mansjoer, dkk., 2000 antara lain dapat dilihat pada tabel
berikut.
Umum : Fatig, malaise, gagal tumbuh
Kulit : Pucat, mudah lecet, rapuh, leukonikia
Kepala dan Leher : Fetor uremik, lidah kering dan berselaput
Mata : Fundus hipertensif, mata merah
Kardiovaskuler : Hipertensi,kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis uremik.
: Hiperventilasi asidosis, edema paru, efusi pleura
Pernafasan : Anoreksia, nausea, gastritis, ulkus peptikum, kolitis uremik,
Gastrointestinal diare karena antibiotik.
: Nokturia, poliuria, haus, proteinuria
: Penurunan libido, amenore
Kemih
: Letargi, tremor, mengantuk, kebingungan, kejang, koma
Reproduksi
: Defisiensi vitamin D
Saraf
: Gout, kalsifikasi ekstra tulang
Tulang
: Anemia, defisiensi imun, mudah mengalami perdarahan
Sendi
Hematologi
F. Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus
(Brunner & Suddarth, 2002).
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan
yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi
GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat
memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan
objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas
dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal
ginjal.
2. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah
cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG).
b. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK)
Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit,
endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor
pemburuk faal ginjal (LFG).
3. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,
yaitu:
a. Urine: Volume, Warna, Sedimen,Berat jenis, Kreatinin, Protein
b. Darah : BUN / kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah,
Natrium serum, Kalium, Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas
serum
c. Pielografi intravena : Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan
ureter,
d. Pielografi retrograd: Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang
reversibel, Arteriogram ginjal, Mengkaji sirkulasi ginjal dan
mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
e. Sistouretrogram berkemih : Menunjukkan ukuran kandung kemih,
refluks kedalam ureter, retensi.
f. Ultrasono ginjal : Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
g. Biopsi ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologis.
h. Endoskopi ginjal nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis
ginjal ; keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor Selektif.
i. Pemeriksaan Jantung: EKG : Mungkin abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi
ventrikel dan tanda-tanda perikarditis.
j. Pemeriksaan laboratorium :
1) Urine: Volume : oliguria atau anuria, warna keruh, berat jenis
kurang dari 1,015, osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg,
klirens kreatinin mungkin agak menurun, natrium > 40 mEq/L,
proteinnuria (3-4+).
2) Darah: BUN/Kreatinin meningkat (kreatinin 10 mg/dl),
Hematokrit menurun, HB < 7-8 g/dL), Gas darah arteri : pH <
7,2, bikarbonat dan PCO2 menurun. Natrium mungkin rendah
atau normal, kalium, magnesium/ fosfat meningkat, kalsium
menurun, protein (khususnya albumin) menurun, osmolalitas
serum > 285 mOsm/kg.
G. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal
dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah
makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian berat badan (Mansjoer Arif, 2000).
H. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah
atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat
supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum
kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis
metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium
bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau
serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian
transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian
mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang
sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan
keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat
dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan
kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi
subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular
yang diderita.
B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kompensasi paru.
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan keluaran urine,
masukan cairan berlebih, dan retensi cairan dan natrium.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan renal berhubungan dengan kerusakan
nefron sehingga tidak mampu mengeluarkan sisa metabolisme.
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai oksigen ke perifer.
5. Nyeri akut berhubungan dengan penurunan suplai darah ke otak.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet.
7. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan uremia dan penurunan
turgor kulit.
8. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan fleksibelitas
nefron.
9. Konstipasi berhubungan dengan penurunan aktifitas fisik dan intake
nutrisi.
10. Perubahan citra tubuh berhubungan dengan perubahan tubuh sekunder
proses penyakit (edema).
11. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit.
12. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan kurangnya informasi.
C. Rencana Keperawatan
1. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan
dengan ketidakseimbangn cairan mempengaruhi volume sirkulasi, kerja
miokardial, dan tahanan vaskular sistemik (Doengoes, 2000:629)
Tujuan : Mempertahankan curah jantung.
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru.
b. Kaji tanda-tanda vital.
c. Kaji tingkat aktivitas.
d. Berikan posisi yang nyaman.
2. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah (Doengoes, 2000:620).
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Intervensi :
a. Kaji pemasukan diet.
b. Berikan makan sedikit tapi sering.
c. Motivasi pasien untuk makan sesuai selera.
d. Berikan lingkungan yang nyaman.
e. Konsultasi dengan ahli gizi.
f. Kolaborasi pemberian terapi.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
umum, penurunan energi cadangan (Doengoes, 2000:603).
Tujuan : Toleransi aktivitas meningkat.
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda vital.
b. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas.
b. Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
a. Berikan lingkungan yang tenang.
c. Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri
dada, pusing, kelemahan terjadi.
4. Kecemasan berhubungan dengan respon psikologi
terhadap hipoksemia atau asidosis (Doengoes, 2000:181)
Tujuan : Kecemasan dapat di atasi.
Intervensi :
a. Catat derajat ansietas atau ketakutan.
b. Jelaskan proses penyakit dan prosedur dalam tingkat kemampuan
pasien.
b. Berikan tindakan kenyamanan.
c. Dukung pasien menerima realita
d. Bantu pasien mengidentifikasi perilaku membantu.
5. Gangguan rasa nyaman : pusing berhubungan dengan
sirkulasi (Carpenito,1997)
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi.
Intervensi :
a. Observasi keadaan umum pasien.
b. Monitor tanda tanda vital.
c. Anjurkan pasien tidur tanpa bantal.
b. Beri posisi yang nyaman.
c. Anjurkan pasien untuk diet makanan yang tepat.
6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan
pemasukan lebih besar dari pengeluaran (Doegoes, 2000:615).
Tujuan : Volume cairan seimbang..
Intervensi :
a. Kaji tanda vital
b. Monitor balance cairan
b. Berikan posisi senyaman mungkin
c. Ajarkan latih gerak pasif atau aktif
d. Kolaborasi pemberian terapi.
7. Perubahan proses pikir berhubungan dengan akumulasi
toksin, asidosis metabolik hipoksia (Doengoes, 2000:632)
Tujuan : Tidak terjadi penurunan perubahan kesadaran.
Intervensi :
a. Kaji luasnya gangguan kemampuan berpikir.
b. Orientasikan kembali terhadap lingkungan.
c. Tingkatkan istirahat dan tidak mengganggu tidur.
b. Berikan lingkungan tenang.
c. Kolaborasi dengan menghindarkan penggunaan barbiturate dan
opium.
8. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi
toksin dalam kulit (Doengoes, 2000:633
Tujuan : Mempertahankan kulit utuh.
Intervensi :
a. Observasi terhadap ekimosis, purpura.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit.
b. Ubah posisi sering.
c. Pertahankan linen kering.
d. Anjurkan menggunakan katun longgar.
9. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perubahan
pemasukan diet /mal nutrisi (Deongoes, 2000:622)
Tujuan : Tidak terjadi infeksi.
Intervensi :
a. Tingkatkan cuci tangan yang baik.
b. Awasi tanda tanda vital.
c. Kaji integritas kulit.
b. Kolaborasi pemberian terapi.
10. Resiko cidera: Berhubungan dengan penekanan produksi
atau sekres eritopoetin, penurunan produksi dan SDM hidupnya, gangguan
faktor pembekuan (Doengoes, 2000:631)
Tujuan : Tidak terjadi cidera.
Intervensi :
a. Awasi tingkat kesadaran dan perilaku.
b. Observasi adanya perdarahan.
c. Evaluasi terhadap aktivitas.
d. Kolaborasi pemberian terapi.
11. Gangguan personal hygiene: kurang perawatan diri
berhubungan dengan kelemahan fisik. (Carpenito, 2000:336).
Tujuan : Gangguan personal hygiene dapat teratasi.
Interverensi :
a. Kaji tingkat kebutuhan pasien.
b. Bantu pasien dalam melakukan perawatan diri.
c. Libatkan keluarga dalam perawatan pasien.
b. Tingkatkan keterlibatan maksimal pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines
for planning and documenting patients care. Alih bahasa:
Kariasa,I.M.Jakarta: EGC; 2000
Soeparman, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
TENTANG HEMODIALISA
RSUD dr. ABDOER RAHEM SITUBONDO
oleh
Susilo Eko Putra, S.Kep.
082311101019
A. Definisi Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu membran atau selaput semi permeabel.
Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini
disebut dialisis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran
semi permiabel. Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi
pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari
peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin,
asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permiabel sebagai pemisah
darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi,
osmosis dan ultra filtrasi (Brunner & Suddarth, 2002).
Tujuan dari hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang
toksik dari dalam darah pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan
dan kemudian dikembalikan ketubuh pasien. Ada tiga prinsip yang mendasari
kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Bagi penderita gagal
ginjal kronis, hemodialisa akan mencegah kematian. Namun demikian,
hemodialisa tidak menyebabkan penyembuhan atau pemulihan penyakit ginjal
dan tidak mampu mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin
yang dilaksanakan ginjal dan tampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap
kualitas hidup pasien (Brunner & Suddarth, 2002).
B. Prinsip-prinsip Hemodialisa
Ada 3 prinsip dasar dalam HD yang bekerja pada saat yang sama yaitu:
1. Proses Difusi
Merupakan proses berpindahnya suatu zat terlarut yang disebabkan
karena adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut dalam darah dan
dialisat. Perpindahan molekul terjadi dari zat yang berkonsentrasi tinggi ke
yang berkonsentrasi lebih rendah. Pada HD pergerakan molekul / zat ini
melalui suatu membrane semi permeable yang membatasi kompartemen
darah dan kompartemen dialisat.
Proses difusi dipengaruhi oleh:
a. Perbedaan konsentrasi
b. Berat molekul (makin kecil BM suatu zat, makin cepat zat itu keluar)
c. QB (Blood Pump)
d. Luas permukaan membrane
e. Temperatur cairan
f. Proses konvektik
g. Tahanan / resistensi membrane
h. Besar dan banyaknya pori pada membrane
i. Ketebalan / permeabilitas dari membrane
Faktor-faktor di atas menentukan klirens dialiser. Klirens suatu dializer
adalah kemampuan dializer untuk mengeluarkan zat-zat yaitu jumlah atau
banyaknya darah yang dapat dibersihkan dari suatu zat secara komplit oleh
suatu dializer yang dinyatakan dalam ml/mnt.
Klirens (K) =
K : klirens solute
Qb : kecepatan aliran darah (ml/mnt)
Cbi : Konsentrasi darah arteri (masuk ke dalam dializer)
Cbo : konsentrasi darah vena (keluar dari dializer)
Qf : Laju ultrafiltrasi (ml/mnt)
Laju aliran dialisat + 2 – 2,5 x Qb.
2. Proses Ultrafiltrasi
Berpindahnya zat pelarut (air) melalui membrane semi permeable
akibat perbedaan tekanan hidrostatik pada kompartemen darah dan
kompartemen dialisat. Tekanan hidrostatik / ultrafiltrasi adalah yang
memaksa air keluar dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat.
Besar tekanan ini ditentukan oleh tekanan positif dalam kompartemen
darah (positive pressure) dan tekanan negative dalam kompartemen
dialisat (negative pressure) yang disebut TMP (trans membrane pressure)
dalam mmHg.
Perpindahan & kecepatan berpindahnya dipengaruhi oleh:
a. TMP
b. Luas permukaan membrane
c. Koefisien Ultra Filtrasi (KUF)
d. Qd & Q
e. Perbedaan tekanan osmotic
TMP =
Pbi : Tekanan di blood inlet
Pdi : Tekanan di dialisat inle
Pbo : Tekanan di blood outle
Pdo : Tekanan di dialisat outlet
KUF (koefisien ultra filtrasi) dalam ml/jam /mmHg merupakan
karakteristik dari dializer yang menyatakan kemampuan atau koefisien
untuk mengeluarkan air dan luas permukaan dializer.
3. Proses Osmosis
Air yang berlebihan dikeluarkan dari tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan tekanan gradient
dengan kata lain air bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi (tubuh
pasien) ke tempat yang lebih rendah (cairan dialisat).
D. Komponen Hemodialisa
Proses osmosis ini lebih banyak ditemukan pada peritoneal dialysis. Komponen
Utama pada Hemodialisis:
HD terdiri dari 3 komponen dasar yaitu:
1. Sirkulasi darah
Bagian yang termasuk dalam sirkulasi darah adalah mulai dari jarum /
kanula arteri (inlet), arteri blood line (ABL), kompartemen darah pada
dializer, venus blood line (VBL), sampai jarum / kanula vena (outlet).
Sirkulasi darah ada 2:
a. Di dalam tubuh pasien (sirkulasi sistemik)
b. Di luar tubuh pasien (sirkulasi ekstrakorporeal)
Dimana kedua sirkulasi tersebut berhubungan langsung melalui akses
vascular.
2. Sirkulasi dialisat
Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk prosedur HD. Berada dalam
kompartemen dialisat berseberangan dengan kompartemen darah yang
dipisahkan oleh selaput semi permeable dalam dializer.
Ada 2 dialisat :
a. Dialisat pekat (concentrate) ialah dialisat yang tersedia dalam
kemasan gallon, merupakan cairan pekat yang belum dicampur atau
diencerkan dengan air. Dialisat pekat ada yang berisi Acetate (acid)
pada port A dan ada yang berisi Bicarbonat (port B).
b. Air, Jumlah air yang dibutuhkan untuk 1 kali HD + 150 liter selama
5 jam HD. Kualitas air yang dibutuhkan harus memenuhi standar
untuk proses HD yang sudah diolah melalui pengolahan air (water
treatment).
3. Dializer
Membrane semi permeable adalah suatu selaput atau lapisan yang sangat
tipis dan mempunyai lubang (pori) sub mikroskopis. Dimana partikel
dengan BM kecil & sedang (small dan middle molekuler) dapat melewati
pori membrane, sedangkan partikel dengan BM besar (large molekuler)
tidak dapat melalui pori membrane tersebut.
Dializer merupakan suatu tabung yang terdiri dari 2 ruangan (2
kompartemen) yang dipisahkan oleh selaput semi permeable. Darah
mengalir di 1 sisi membrane dan dialisat pada membrane lainya. Di dalam
dializer ini terjadi proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Material membrane :
a. Cellulose
b. Subtitusi cellulose
c. Cellulosynthetic
d. Synthetic
Berbagai sifat dializer :
a. Luas permukaan dializer
b. Ukuran besar pori atau permeabilitas ketipisanya
c. Koefisien ultrafiltrasi
d. Volume dializer
e. Kebocoran darah tidak boleh terjadi
f. Dapat di re-use tanpa merubah kemampuan klirens dan
ultrafiltrasinya.
g. Harga
Pada mulanya HD dilakukan dengan menggunakan membrane yang
mempunyai klirens dan ultrafiltrasi yang rendah yang memerlukan waktu
sampai 6 jam untuk mendialisis pasien. Kemajuan biomaterial dializer
memungkinkan dialysis lebih pendek lagi (4 jam) dalam 3 kali seminggu.
Preskripsi Hemodialisis
Sebelum pasien dilakukan HD, sebelumnya harus direncanakan dahulu
hal-hal sebagai berikut:
a. Lama & frekwensi dialysis
b. Tipe dializer
c. Kecepatan aliran darah
d. Dosis antikoagulan / heparin
e. Banyaknya UF & UFR
f. Vaskulerisasi yang dipakai.
E. Asesoris Peralatan
1. Dialyzer: berfungsi sebagai ginjal buatan
2. Air untuk dialysis
3. Cairan dialisat
4. Mesin hemodialisa: terdiri dari blood pump, sistempengaturan dialisat,
system monitor pengawasdan komponentambahan berupa pompa heparin
5. Blood line
6. Cairan infuse
7. Akses vascular
8. Aksesori peralatan
a. Pompa darah
b. Pompa infuse untuk pemberian heparin
c. Alat monitor untuk mendeteksi suhu tubuh
d. Konsentrasi dialisat → minitor
e. Monitor perubahan tekanan udara dan kebocoran darah
2. Sirkulasi
1. Dialiser ( ginjal buatan)
Kapiler (Hollow Fiber)
Paralel Plate
Coil.
Sediaan dialiser : -. Pemakaian baru atau pertaa.
-. Basah
-. Kering
2. Selang darah : Artei dan vena (AVBL)
Priming
Pengisian pertama sirkulasi Ekstrakorporeal
Tujuan :
1. Mengisi = Filing
2. Membilas = Rinsing
3. Membashi atau melembabkan = Soaking
Perlengkapan :
1. Dialiser ( ginjal buatan)
2. AVBL
3. Set Infus
4. NaCl (cairan fisiologis) 500 cc ( 2-3 Kolf)
5. Spuit 1 cc
6. Heparin injeksi ( + 2000 Unit)
7. Klem
8. Penapung cairan ( Wadah)
9. Kapas Alkohol
Prosedur
1. Keluarkan peralatan dari pembungkusnya (dialiser,AVHL,selang infus,
Naci)
2. Tempatkan dialiser pada tempatnya (Holder) dengan posisi inlet di atas
(merah) outlet di bawah (biru).
3. Hubungkan selang dialisat ke dialiser
Inlet dari bawah (to kidney)
Outlet dari atas (from kidney)
Kecepatan dialiasat (qd) = 500cc / menit
Berikan tekanan negativ (negative pressure) + 100 mmhg.
Biarkan proses ini berlangsung selama 10 menit (soaking)
4. Pasang ABL, tempatkan segmen pumb pada pompa darah (blood
pump) dengan baik.
5. Pasang VBL dan bubble trap (perangkap udara) dengan posisi tegak
(vertical).
6. dengan teknik aseptic, buka penutup ( pelindung yang terdapat di
ujung ABL dan tempatkan pada dialiser) (inlet) . Demikian juga
dengan VBL.
7. Hubungkan selang monitor tekanan arteri (arterial Pressure) dan
selang monitor tekanan vena (venous pressure).
8. Setiap 1000 cc NaCL, masukan 2000 Heparin kedalam kolf
(2000/11).
Cairan ini gunasny untuk membilas dan mengisi sirkulasi
ekstrakorporeal.
Siapkan NaCL 1 kolf lagi (500 cc) untuk di gunakan selama HD
bilamana di perlukan, dan sebagai pembilas pada waktu pengakiran
HD.
9. Hubungkan NaCL melalui set infus ke ABL, yakinkan bahwa set infus
bebas dari udara dengan cara mengisinya terlebih dahulu.
10. Tempatkan ujung VBL ke dalam penampung. Hindarkan kontaminasi
dengan penampung dan jangan sampai terendam cairan yang keluar.
11. Putar dialiser dan peralatannya sehingga inlet di bawah,outlet di atas
(posisi terbalik)
12. Buka semua klem termasuk klem infus.
13. Lkukan pengisian dan pembilasan sirkulasi ekstrakorporeal dengan
cara :
Jalankan pompa darah dengan kecepatan (qb) + 100cc/Mnt
Perangkap udara (bubble tra[) di isi ¾ bagian
Untuk mengeluarkan udara lakukan tekanan secara intermiten
dengan menggunakan klem pada VBL (tekanan tidak boleh lebih
dari 200 mmHg).
14. Teruskan priming sampai NaCL habis 1 liter dan sirkulasi bebas dari
udara yang sudah kolf yang baru (500 cc).
15. Ganti kolf NaCL yang sudah kosong dengan kolf yang baru (500cc).
16. Matikan pompa darah, klem kedua ujung AVBL, kemudian
hubungkan kedua ujung dengan konektor,semua klemdi buka.
17. Lakukan sirkulasi selama 5 menit dengan qb + 200 cc / mnt
18. Matikan pompa darah, kembalikan dialiser ke posisi semula.
19. Periksa fungsi peralatan yang lain sebelum HD di mulai, seperti
misalnya:
Temperatur dialisat
Konduktifitas
Aliran (flow)
Monitor tekanan
Detector udara dan kebocoran darah.
3. Memulai HD
Persiapan pasien
- Timbang berat bada pasien (bila memungkinkan)
- Tidur terlentang dan berikan posisi yang nyaman.
- Ukur tekanan darah atau, nadi, suhu, pernafasan.
- Observasi kesadaran dan keluhan pasien dan berikan
perawatan mental.
- Terangkan secara gratis besar prosedur yang akan di
lakukan.
1. Menyiapkan sarana hubungan sirkulasi
Perlengkapan
1. Jarum punksi :
- jarum metal (AV. Fistula G.16,15,14) 1 – 1
¼ inch.
- Jarum dengan katheter (IV Catheter
G.16,15,14) 1 – 1 ¼ inchi.
2. NaCL (untuk pengenceran)
3. Heparin injeksi
4. Anestesi local (lidocain, procain)
5. Spuit 1 cc,5 cc, 20 cc, 30 cc.
6. Kassa
7. Desinfektan (alcohol bethadin)
8. Klem arteri (mosquito) 2 buah.
9. Klem desimfektam
10. Bak kecil + mangkuk kecil
11. Duk (biasa,split, bolong)
12. Sarung tangan
13. Plester
14. pengalas karet atau plastik
15. Wadah pengukur cairan
16. botol pemeriksa darah
Persiapan
1. Tentukan tempat punksi atau periksa tempat
shut atau katheter di pasang dan di buka balutan.
2. Alas dengan pengalas karet / plastik.
3. Atur posisi
4. Kumpulkan peralatan dan dekatkan ke pasien
5. Siapkan heparin injeksi
Prosedur
Punksi Fistula (Cimino)
1. Pakai sarung tangan
2. Desinfeksi daerah daerah yang akan di punksi
dengan bethadin dan alcohol
3. Letakan duk sebagai pengalas dan penutup
4. Punksi outlet (vena), yaitu jalan masuknya darah ke
dalam tubuh K/P lakukan anesteshi local
5. Ambil darah untuk pemeriksaan lab (bila
diperlukan)
6. Bolus heparin injeksi yang sudah diencerkan dengan
NaCL (dosis awal)
7. Fiksasi dan tempat punksi di tutup kasa.
Shunt (Scribner)
1. Desinfeksi kanula, konektor dan daerah dimana
shunt terpasang.
2. Letakan duk sebagai pengalas dan penutup
3. Klem kedua kanula (arteri dan
vena),sebelumnya di alas dengan kassa
4. Lepaskan /buka konektor
5. Cek kedua kanula apakan alirannya lancar
6. Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
(bila di perlukan).
7. Bolus Heparin injeksi yang sudah di encerkan
dengan NaCL (dosis awal).
8. Fiksasi dan tutup daeah exit site.
9. Konektor di bersihkan dengan NaCL dan di
simpan dalam bak.
Punksi femoral
1. Desinfeksi daerah lipatan paha
dan daerah outle akan di puksi.
2. Letakan duk sebagai pengalas
dan penutup.
3. Punksi outlet (vena) yaitu jalan
masuknya darah ke dalam tubuh, k/p lakukan
anesteshi local.
4. Ambil darah untuk
pemeriksaan laboratorium (bila di perlukan)
5. Bolus heparin injeksi yang
sudah di encerkan dengan NaCL (dosis awal).
6. Fiksasi dan tempat punksi di
tutup dengan kassa
7. Punksi inlet (vena femoralis),
yaitu tempat jalan kelurnya darah dari tubuh,
dengan cara lakukan anesteshi infiltrasi sambil
mencari vena femoralis.
8. Vena femoralis di punksi
secara perkutaneous dengan jarum punksi (AV
Fistula).
9. Fiksasi.
2. Mengalirkan darah kedalam sirkulasi
ekstrakorporeal
Hubungkan ABL dengan inlet (Punksi Inlet atau
canula arteri). Ujung ABL disuci hamakan terlebih
dahulu.
Tempat ujung VBL didalam wadah pengukur.
Perhatikan jangan sampai terkontaminasi.
Buka klem AVBL, canula arteri, klem slang infus
ditutup, klem canula vena tetap tertutup.
Darah dialirkan kedalam sirkulasi dengan
menggunakan pompa darah (QB + 100 cc / menit)
dan cairan priming terdorong keluar.
Cairan priming ditampung diwadah pengukur.
Biarkan darah memasuki sirkulasi sampai cairan
buble trap VBL berwarna merah mudah.
Pompa darah dimatikan, VBL di klem.
Ujung VBL disuci hamakan, kemudian
dihubungkan dengan canula vena (perhatikan :
Harus bebas udara) . Klem VBL dan canula vena
dibuka.
Pompa darah dihidupkan kembali dengan QB + 150
cc/menit .
Fiksasi canula arteri dan vena, AVBL tidak
mengganggu pergeraan.
Hisupkan pompa heparin ( dosis maintenance.)
Buka klem Slang monitor tekanan (AVP)
Hidupkan detector udara, kebocoran (Air dan Blood
Leak detector)
Ukur tekanan darah, Nadi dan pernapasan.
Observasi Kesadaran dan keluhan pasien
Cek mesin dan sirkulasi dialisa.
Programkan HD.
Lakukan pencatatan (Isi formulir HD)
Rapikan peralatan.