Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Profesi Ners Departemen Medikal Bedah
Pembimbing Akademik: Ns. Endah Panca L. F., M.Kep. Sp.Kep.MB.
Pembimbing Lahan: Ns. Nurul Hidayati, S.Kep

“CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)”

Oleh:
Muchammad Nouval Do Akbar
NIM: 220170100111053
Kelompok 4A

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


DEPARTEMEN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
A. DEFINISI
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron)
yang berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan
menetap yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik)
sehingga ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan
gejala sakit (Hudak & Gallo, 1996).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448). Gagal ginjal kronis terjadi dengan
lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap
dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam gejala-gejala,
menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal
seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit
ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m², sebagai berikut:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal. (Sumber: Chonchol, 2005).

B. ETIOLOGI
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak
sebagai berikut glomerulonefritis, diabetes melitus, hipertensi dan ginjal
polikistik (Roesli, 2008).
a) Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan
sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari
ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus
eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa
keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau
keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b) Diabetes mellitus
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena
penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai
macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul
secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya
perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih
sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung
lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter
dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 2006).
c) Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolic ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi
(Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua
golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut
juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d) Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista.Pada keadaan ini
dapat ditemuka n kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks
maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat
disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang
lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult
polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi
pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus,
bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai
daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).
Penyebab GGK menurut Price, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik
2. Penyakit peradangan misalnya glomerulonephritis
Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul
pasca infeksi streptococcus.Untuk glomerulus akut, gangguan fisiologis
utamanya dapat mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen
berkurang sehingga timbul edema dan azotemia, penigkatan aldoeteron
menyebabkan retensi air dan natrium. Untuk glomerulonefritis kronik,
ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat, akan
nampak ginjal mengkerut, berat lebig kurang dengan permukaan
bergranula. Ini disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia,
karena tubulus mengalami atropi, fibrosis intestisial dan penebalan
dinding arteri.
3. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada
ginjal.Sebaliknya CKD dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme
retensi Na dan H2O, pengaruh vasopresor dari system renin, angiotensin dan
defisiensi prostaclandin, keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama
GGK, terutama pada populasi bukan orang kulit putih.
4. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif
5. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal
Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista multiple, bilateral yang
mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan. Asidosis tubulus ginjal merupakan
gangguan ekskresi H+ dari tubulus ginjal/kehilangan HCO 3 dalam kemih
walaupun GFR yang mamadai tetap dipertahankan, akibatnya timbul asidosis
metabolic.
6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme, amyloidosis)
7. Nefropati toksik (penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal)
8. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,
fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

C. TANDA DAN GEJALA


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia
sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri
dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).
a) Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat
bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin
kurang dari 25 ml per menit
b) Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Patogenesis mual dam
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi
oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan
saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.
c) Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik.Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya
hemodialisis.Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan
pupil asimetris.Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi
maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.
Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan
gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat
penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d) Kelainan kulit
e) Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini
akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering
dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka
dan dinamakan urea frost.
f) Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Kelainan selaput
serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis
g) Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.Kelainan mental
berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga
sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini
sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung
dari dasar kepribadiannya (personalitas).
h) Kelainan kardiovaskuler
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung.
D. KLASIFIKASI
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui
penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR
dokter akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk
melihat kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal
dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang
sehat.
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut:
(Klasifikasi CKD menurut K. K. Zadeh (2011) dan E. Chang (2010))

Stadium Keterangan LFG (ml/mnt/1,73 m2)


1 Fungsi ginjal normal  90
2 Penurunan fungsi ginjal 60-89
3 Insufisien ginjal 30-59
4 Gagal ginjal 15-29
5 Gagal ginjal stadium terminal <15

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance


Creatinin Test) dapat digunakan dengan rumus : 
Clearance creatinin (ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatinine serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
Sesuai dengan tes kreatinin klirens maka gagal ginjal kronik dapat
diklasifikasikan derajat penurunan faal ginjal sebagai berikut:
Derajat Primer LFG (%) Sekunder Kreatinin
A Normal Normal
B 50-80 Normal-2,4
C 20-50 2,5-4,9
D 10-20 5-7,9
E 5-10 8-12
F <5 >12
Stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut:
a. Stadium 1, dengan GFR normal (>90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala
yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya.Hal ini disebabkan
ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak
lagi 100 persen, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi
ginjalnya dalam stadium
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal
tetap dapat berfungsi dengan baik
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
Pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam
darah yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan
seperti:
1. Fatique: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
2. Kelebihan cairan:  Hal ini membuat penderita akan mengalami
pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.
Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akibat terlalu banyak cairan
yang berada dalam tubuh.
3. Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orange tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
terkadang penderita sering terbangun untuk buang air kecil di tengah
malam.
4. Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti  polikistik dan infeksi.
5. Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s/d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam
waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau
melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam
darah atau uremia biasanya  muncul pada stadium ini. Gejala yang mungkin
dirasakan pada stadium 4 adalah:
1. Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pda urin, sakit pada ginjal, sulit
tidur
2. Nausea: muntah atau rasa ingin muntah.
3. Perubahan cita rasa makanan: dapat terjadi bahwa makanan yang
dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
4. Bau mulut uremic: ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak
e. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal
(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang
dapat timbul pada stadium 5 antara  lain:
1. Kehilangan napsu makan
2. Nausea
3. Sakit kepala
4. Merasa lelah
5. Tidak mampu berkonsentrasi
6. Gatal-gatal
7. Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali
8. Bengkak, terutama di seputar wajah, mata, dan pergelangan kaki
9. Keram otot
10. Perubahan warna kulit

E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya bergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kurang lebih sama. Ginjal mempunyai kemampuan untuk beradaptasi,
pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, kemudian
terjadi proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis
reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka
panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor β (TGF-β) Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap  terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia. (Basuki, 2019). 
Pada stadium paling dini penyakit CKD, gejala klinis yang serius belum
muncul, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan
dimana basal LGF masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan, tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%,
mulai terjadi keluhan pada penderita antara lain penderita merasakan letih dan
tidak bertenaga, susah berkonsentrasi, nafsu makan menurun dan penurunan
berat badan, susah tidur, kram otot pada malam hari, bengkak pada kaki dan
pergelangan kaki pada malam hari, kulit gatal dan kering, sering kencing
terutama pada malam hari. Pada LFG di bawah 30% pasien memperlihatkan
gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Selain itu pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran cerna, maupun infeksi saluran nafas. Sampai pada LFG di
bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai
pada stadium gagal ginjal. Di samping itu, ketika BUN meningkat secara
otomatis, dan pasien akan mengalami risiko kelebihan beban cairan seiring
dengan output urin yang makin tidak adekuat.
Pasien dengan CKD mungkin menjadi dehidrasi atau mengalami
kelebihan beban cairan tergantung pada tingkat gagal ginjal. Perubahan
metabolik pada gagal ginjal juga menyebabkan gangguan eksresi BUN dan
kreatinin. Kreatinin sebagian dieksresikan oleh tubulus ginjal dan penurunan
fungsi ginjal berdampak pada pembentukan serum kreatinin. Adanya
peningkatan konsentrasi BUN dan kreatinin dalam darah disebut azotemia dan
merupakan salah satu petunjuk gagal ginjal. Perubahan kardiak pada CKD
menyebabkan sejumlah gangguan system kardiovaskuler. Manifestasi umumnya
diantaranya anemia, hipertensi, gagal jantung kongestif, dan perikaraitis, anemia
disebabkan oleh penurunan tingkat eritropetin, penurunan masa hidup sel darah
merah akibat dari uremia, defisiensi besi dan asam laktat dan perdarahan
gastrointestinal. Hipertropi terjadi karena peningkatan tekanan darah akibat
overlood cairan dan sodium dan kesalahan fungsi system renin. Angiostin
aldosteron CRF menyebabkan peningkatan beban kerja jantung karena anemia,
hipertensi, dan kelebihan cairan.
Tahap gangguan ginjal antara lain:
 Tahap I: Diminishid Renal Reserve Tahap ini penurunan fungsi ginjal,
tetapi tidak terjadi penumpukan sisasisa metabolik dan ginjal yang sehat
akan melakukan kompensasi terhadap gangguan yang sakit tersebut.
 Tahap II: Renal Insufficiency (insufisiensi ginjal) Pada tahap ini
dikategorikan ringan apabila 40-80% fungsi normal, sedang apabia 15-
140% fungsi normal dan berat bila fungsi ginjal normal hanya 2-20%.
Pada insufisiensi ginjal sisa-sisa metabolik mulai berakumulasi dalam
darah  karena jaringan ginjal yang lebih sehat ridak dapat berkompensasi
secara terus menerus terhadap kehilangan fungsi ginjal karena adanya
penyakit tersebut. Tingkat BUN, Kreatinin, asam urat, dan fosfor
mengalami peningkatan tergntung pada tingkat penurunan fungsi ginjal.
 Tahap III: End Stage Renal Desease (penyakit ginjal tahap lanjut)
Sejumlah besar sisa nitrogen (BUN, Kreatinin) berakumulasi dalam
darah dan ginjal tidak mampu mempertahankan hemostatis.
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit terjadi bila segera dianalisa
akan menjadi fatal/ kematian. (Brunner and Sudarth, 2017)
F. PATHWAY
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka
perlu  pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun
kolaborasi antara  lain:
 Urine
- Volume: Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak
keluar (anuria)
- Warna: Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus
bakteri, lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan
menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.
- Berat jenis: Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan
kerusakan ginjal berat).
- Osmolalitas: Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular,
dan rasio urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin: Mungkin agak menurun
- Natrium: Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
- Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen ada
 Darah
- BUN/Kreatin: Meningkat, biasanya dalam proporsi kadar kreatinin 16
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya
kurang ari 78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada
azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia
atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2
menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas
normal (menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir,
perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat dan Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan
pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan
urine
 Piolegram Intravena
- Piolegram Retrograd: Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
- Arteriogram Ginjal: Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa.
 Sistouretrogram Berkemih
Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.
 Ultrasono Ginjal
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
 Biopsi Ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histoligis
 Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan
tumor selektif
 EKG
Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.

H. PENATALAKSANAAN
Menurut Nurani dan Widayati (2017) penatalaksanaan pada pasien CKD
dibagi tiga, yaitu:
1) Konservatif 
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal
secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
 Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. 
 Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuatn
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif 
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
 Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
 Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2) Dialysis 
 Peritoneal dialysis Biasanya dilakukan pada kasus-kasus emergency.
Sedangkan dyalisis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CAPD (Continues Ambulatori Peritonial Dialysis).
 Hemodialisa yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena
dengan menggunakan mesin.Pada awalnya hemodialisis dilakukan melalui
daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan AV fistulr
(menggabungkan vena dan arteri) dan Double lumen yaitu, langsung pada
daerah jantung (vaskularisasi ke jantung). 
3) Operasi
Operasi ini dapat dilakukan untuk pengambilan batu atau transplantasi ginjal

I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain (Nuari &
Widyati, 2017):
1) Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan kondisi ketika kadar kalium dalam aliran darah
sangat tinggi. Akibatnya, penderita hiperkalemia dapat merasakan gejala-
gejala, seperti rasa mual, badan lelah dan otot terasa lemah serta kesemutan.
Akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diit
berlebih.
2) Perikarditis
Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik dan
dialisis yang tidak adekuat
3) Hipertensi
Akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-angiotensin-
aldosteron
4) Anemia
Akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah
5) Penyakit tulang
Akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah, metabolisme vitamin D
dan peningkatan kadar aluminium.
6) Asidosis metabolic, Osteodistropi ginjal & Sepsis, Neuropati perifer,
Hiperuremia (Smeltzer & Bare, 2001)

J. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA PENDUKUNG


No Data Pendukung Masalah Keperawatan
1. Gejala dan Tanda Mayor Gangguan pertukaran gas
Subjektif: (D.0003)
1. Dispnea
Objektif:
1. PCO2 meningkat/menurun
2. PO2 menurun
3. Takikardia
4. pH arteri meningkat/menurun
5. Bunyi nafas tambahan

Gejala dan tanda Minor


Subjektif:
1. Pusing
2. Penglihatan kabur
Objektif:
1. Sianosis
2. Diaphoresis
3. Gelisah
4. Napas cuping hidung
5. Pola napas abnormal
(cepat/lambat, regular/ireguler,
dalam/dangkal)
6. Warna kulit abnormal (mis.
Pucat, kebiruan)
7. Kesadaran menurun
2. Gejala dan Tanda Mayor Perfusi perifer tidak efektif
Subjektif: (D.0009)
(tidak tersedia)
Objektif:
1. Pengisian kapiler >3 detik
2. Nadi perifer menurun atau tidak
teraba
3. Akral teraba dingin
4. Warna kulit pucat
5. Turgor kulit menurun
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif:
1. Parastesia
2. Nyeri ekstremitas (klaudikasi
intermiten)
Objektif:
1. Edema
2. Penyembuhan luka lambat
indeks ankle-brachial <0,90
3. Bruit femoral
3. Gejala dan Tanda Mayor Hipervolemia (D.0022)
Subjektif:
1. Ortopnea
2. Dispnea
3. Paroxysmal rocturnal dyspnea
(PND)
Objektif:
1. Edema anasarca dan/atau edema
perifer
2. Berat badan meningkat dalam
waktu singkat
3. Jugular venous pressure (JVP)
dan/atau Cental Venous
Pressure (CVP)
4. Refleks hepatojugular positif

Gejala dan Tanda Minor


Subjektif:
(tidak tersedia)
Objektif:
1. Distensi vena jugularis
2. Terdengar suara napas tambahan
3. Hepatomegaly
4. Kadar Hb/Ht turun
5. Oliguria
6. Intake lebih banyak dari output
(balans cairan positif
7. Kongesti paru

K. DIAGNOSIS KEPERAWATAN YANG MUNGKIN TIMBUL (MINIMAL


3)
1. (SDKI-D.0003) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, perubahan membran alveoluskapiler
2. (SDKI-D.0009) Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
konsentrasi HB
3. (SDKI-D.0022) Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi, kelebihan
asupan cairan, kelebihan asupan natrium

L. TUJUAN RENCANA KEPERAWATAN DAN KRITERIA HASIL


No Diagnosa Keperawatan SLKI
1. Gangguan pertukaran gas Pertukaran Gas (L.01003)
(D.0003) Ekspektasi: meningkat
Kriteria hasil:
- Tingkat kesadaran meningkat
- Dispnea menurun
- Bunyi napas tambahan menurun
- Pusing menurun
- Penglihatan kabur menurun
- Diaforesis menurun
- Gelisah menurun
- Napas cuping hidung menurun
- PCO2 membaik
- PO2 membaik
- Takikardia membaik
- pH arteri membaik
- Sianosis membaik
- Pola napas membaik
- Warna kulit membaik
2. Perfusi perifer tidak efektif Perfusi Perifer (L.02011)
(D.0009) Ekspektasi: Meningkat
Kriteria hasil:
- Denyut nadi perifer meningkat
- Penyembuhan luka meningkat
- Sensasi meningkat
- Warna kulit pucat menurun
- Edema perifer menurun
- Nyeri ekstremitas menurun
- Parastesia menurun
- Kelemahan otot menurun
- Kram otot menurun
- Bruit femoralis menurun
- Nekrosis menurun
- Pengisian kapiler membaik
- Akral membaik
- Turgor kulit membaik
- Tekanan darah sistolik membaik
- Tekanan darah diastolik membaik
- Tekanan arteri rata-rata membaik
- Indeks anklebrachial membaik
3. Hipervolemia (D.0022) Keseimbangan Cairan (L.03020)
Ekspektasi: meningkat
Kriteria hasil:
- Asupan cairan meningkat
- Haluaran urin meningkat
- Kelembaban membran mukosa
meningkat
- Asupan makanan meningkat
- Edema menurun
- Dehidrasi menurun
- Asites menurun
- Konfusi menurun
- Tekanan darah membaik
- Denyut nadi radial membaik
- Tekanan arteri ratarata membaik
- Membran mukosa membaik
- Mata cekung membaik
- Turgor kulit membaik
- Berat badan membaik

M. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan SIKI
1. Gangguan pertukaran gas Pemantauan Respirasi (I.01014)
(D.0003) Observasi
1. Monitor frekuensi, irama kedalaman
dan upaya napas
2. Monitor pola napas (seperti
bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne Stokes, Biot,
ataksik)
3. Monitor kemampuan batuk efektif
4. Monitor adanya produksi sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan
napas
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x-ray toraks
Terapeutik
11. Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
12. Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
13. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
14. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu

2. Perfusi perifer tidak efektif Perawatan Sirkulasi (I.02079)


(D.0009) Observasi
1. Periksa sirkulasi periver (mis. Nadi
perifer, edema, pengisian kapiler,
warna, suhu, ankle brachial index)
2. Identifikasi faktor resiko gangguan
sirkulasi (mis. Diabetes, perokok,
hipertensi dan kolestrol tinggi)
3. Monitor panas, kemerahan,
nyeri atau bengkak pada
ekstermitas
Terapeutik
4. Hindari pemasangan infus atau
pengambilan darah di daerah
keterbatasan perfusi
5. Hindari pengukuran tekanan darah
pada ekstermitas dengan
keterbatasan perfusi
6. Hindari penekanan dan pemasangan
tourniquet pada area yang cidera
7. Lakukan pencegahan infeksi
8. Lakukan perawatan kaki dan kuku
Edukasi
9. Anjurkan berhenti merokok
10. Anjurkan berolah raga rutin
11. Anjurkan mengecek air mandi
untuk menghindari kulit
terbakar
12. Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan darah,
antikoagulan,dan penurun
kolestrol, jika perlu
13. Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan darah
secara teratur
14. Anjurkan menggunakan obat
penyekat beta
15. Ajarkan program diet untuk
memperbaiki sirkulasi (mis.
Rendah lemak jenuh, minyak
ikam omega 3)
16. Informasikan tanda dan gejala
darurat yang harus dilaporkan
(mis. Rasa sakit yang tidak
hilang saat istirahat, luka tidak
sembuh, hilangnya rasa)
3. Hipervolemia (D.0022) Manajemen Hipervolemia (I.03114)
Observasi
1. Periksa tanda dan gejala
hipervolemia (mis. Ortopnea,
dispnea, edema, JVP/CVP
meningkat, refleks hepatojugular
positif, suara npas tambahan)
2. Identifikasi penyebab hipervolemia
3. Monitor status hemodinamik (mis.
frekuensi jantung, tekanan darah,
MAP, CVP, PAP, PCWP, CO, CI),
jika tersedia
4. Monitor intake dan output cairan
5. Monitor tanda hemokonsentrasi
(mis. kadar natrium, BUN,
hematokrit, berat jenis urine)
6. Monitor tanda peningkatan tekanan
onkotik plasma (mis. kadar protein
dan albumin meningkat)
7. Monitor keceptan infus secara ketat
8. Monitor efek samping diuretik (mis.
Hipotensi ortostatik, hipovolemia,
hipokalemia, hiponatremia)
Terapeutik
9. Timbang berat badan setiap hari
pada waktu yang sama
10. Batasi asupan cairan dan garam
11. Tinggikan kepala tempat tidur 30-
40
Edukasi
12. Anjurkan melapor jika haluaran
urin <0,5 mL/kg/jam dalam 6 jam
13. Anjurkan melapor jika BB
bertambah > 1 kg dalam sehari
14. Ajarkan cara menguku dan
mencatat asupan dan haluaran
cairan
15. Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
16. Kolaborasi pemberian diuretic
17. Kolaborasi penggantian kehilangan
kalium akibat diuretic
18. Kolaborasi pemberian continuous
renal replacement therapy (CRRT),
jika perlu

N. DAFTAR PUSTAKA
1. Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses
keperawatan), Bandung.
2. Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih
bahasa: Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli, Kuncara., I.made karyasa,
EGC, Jakarta.
3. Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2
Jakarta : EGC
4. Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis,
alih bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
5. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000 . Nursing Care
Plans : Guidelines For Planning And Documenting Patients Care. Alih
bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta: EGC
6. Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa:
7. Hundak, Gallo, 1996, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Volume II,
Jakarta, EGC.
8. Price & Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
EGC: Jakarta. Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4. EGC: Jakarta.
9. Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC:
Jakarta.
10. TIM POKJA SDKI PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
11. TIM POKJA SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan
Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
12. TIM POKJA SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Anda mungkin juga menyukai