Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN

CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN MALNUTRISI DAN HEMODIALISIS

Nama Mahasiswa : Nazilatul Fidhoril Mia


NIM : 14.1.041
Ruang : Hemodialisa (HD)

I. CHRONIC KIDNEY DISEASE


1. Definisi
CKD atau biasa dikenal sebagai gagal ginjal kronik adalah progresifitas lambat dari
fungsi ginjal selama beberapa tahun yang akhirnya pasien memiliki gagal ginjal
permanen. Menurut Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI), gagal ginjal
kronik adalah kerusakan pada organ ginjal dimana terjadi penurunan tingkat filtraasi
glomerulus (Glomerular Filtration Rate - GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 dalam
kurun waktu 3 bulan atau lebih.

2. Klasifikasi

Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtration
Glomerulus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73m2 dengan rumus Kockroft
– Gault sebagai berikut :

Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)


1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

3. Gambaran Klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan
pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah
lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dam muntah masih belum
jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga
terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa
lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau
hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan
gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata
menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal
ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan
gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme
sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
e. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah
satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
f. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi,
dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK.
Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa
hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular,
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan
dapat menyebabkan kegagalan faal jantung. Pendekatan diagnosis mencapai sasaran
yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari
anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan
khusus (Sukandar, 2006).

h. Manifestasi Klinis
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya
tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada
glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis
dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik
(LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya
sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien
tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak,
buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat
berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter
dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).

c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau
hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi
sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).

d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista
yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena
kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang
lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney
disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun
(Suhardjono, 1998).
e. Komplikasi
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan
riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga
(National Kidney Foundation, 2009).
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta
Suwitra (2006) antara lain adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
f. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
1. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
b. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal ginjal pada
usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem pelviokalises,
dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises dan
ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler, parenkhim) serta sisa
fungsi ginjal
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
g. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
h. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
j. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
k. Biopsi Ginjal
dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau perlu
untuk mengetahui etiologinya.
l. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
1) Laju endap darah
2) Urin
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada (anuria).
Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio
urine / ureum sering 1:1.
3) Ureum dan Kreatinin
Ureum:
Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga
tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
4) Hiponatremia
5) Hiperkalemia
6) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
7) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
8) Gula darah tinggi
9) Hipertrigliserida
10) Asidosis metabolik

8. Penatalaksanaan Medis

Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal
yang tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta mencegah atau mengobati
komplikasi (Smeltzer, 2001; Rubenstain dkk, 2007).

a. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi
dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.

4) Kebutuhan elektrolit dan mineral


Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

b. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint)
dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
6) Hipertensi
7) Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
8) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

c. Terapi pengganti ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG

antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m イ , mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat

(Sukandar, 2006).
2) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual
tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
Menurut Sunarya, penatalaksanaan dari CKD berdasarkan derajat LFG nya, yaitu:
PATHWAY
II. MALNUTRISI PADA PASIEN DIALISIS
1. Pendahuluan
Penatalaksanaan nutrisi pada penderita Penyakit Ginjal Kronis (PGK) yang belum
memerlukan dialisis merupakan bagian dari pengelolaan konservatif penderita PGK. Tujuan
penatalaksanaan nutrisi pada penderita pra-dialisis adalah mencegah timbunan nitrogen,
mempertahankan status gizi yang optimal untuk mencegah terjadinya malnutrisi,
menghambat progresifitas kemunduran faal ginjal serta mengurangi gejala uremi dan
gangguan metabolisme.Status nutrisi merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan pada saat
penderita membutuhkan inisiasi dialisis karena merupakan prediktor untuk hasil akhir yang
bisa dicapai dan adanya malnutrisi protein-energi merupakan faktor risiko mortalitas.
Tergantung pada petanda nutrisi yang digunakan dan populasi yang diteliti,diperkirakan
50%-70% penderita dialisis menunjukkan tanda dan gejala malnutrisi. Dibutuhkan kerjasama
antara dokter, perawat dan ahli gizi dalam edukasi perubahan pola diit antara masa sebelum
dan sesudah menjalani dialisis, penatalaksanaan kebutuhan nutrisi serta mengatasi faktor-
faktor yang ikut berperan dalam terjadinya malnutrisi.

2. Malnutrisi PADA PASIEN DIALISIS


Malnutrisi protein-energi atau protein-energy malnutrition (PEM) adalah kondisi
berkurangnya protein tubuh dengan atau tanpa berkurangnya lemak, atau suatu kondisi
terbatasnya kapasitas fungsional yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan dan
kebutuhan nutrient, yang pada akhirnya menyebabkan berbagai gangguan metabolik,
penurunan fungsi jaringan, dan hilangnya massa tubuh. Dengan demikian, PEM yang terjadi
pada pasien PGK yang menjalani dialisis seharusnya dapat diperbaiki dengan memenuhi
kebutuhan nutrisinya. Pada dasarnya malnutrisi disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang,
kehilangan nutrient meningkat, dan atau katabolisme protein yang meningkat. Dalam keadaan
normal, inflamasi adalah suatu respon yang bersifat protektif. Ini merupakan mekanisme
pertahanan penting pada injury akut, dan biasanya akan berkurang ketika terjadi perbaikan.
Akan tetapi inflamasi menjadi berbahaya bila terjadi kronis. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
pada pasien dialisis yang malnutrisi didapatkan peningkatan petanda inflamasi dan sitokin-
sitokin pro-inflamasi seperti CRP dan IL-6. Adanya inflamasi dikaitkan dengan anoreksia
yang terjadi pada pasien dialisis. Inflamasi kronis juga bisa meningkatkan kecepatan
penurunan protein otot skeletal ataupun yang ada dijaringan lain, mengurangi otot dan lemak,
menyebabkan hipoalbumin dan hiperkatabolisme dimana kesemuanya tadi akan
menyebabkan kidney disease wasting (KDW). Adanya status nutrisi yang buruk akan
menyebabkan penderita malaise dan fatigue, rehabilitasi jelek, penyembuhan luka terganggu,
kepekaan terhadap infeksi meningkat dan angka rawat tinggal dan mortalitas juga meningkat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya PEM:


Asupan nutrisi kurang
a. Restriksi diit berlebihan
b. Pengosongan lambung lambat dan diare
c. Komorbid medis lainnya
d. Kejadian sakit dan rawat inap yang berulang
e. Asupan makanan lebih menurun pada hari-hari dialisis
f. Obat-obat yang menyebabkan dispepsia (pengikat fosfat, preparat besi)
g. Dialisis tidak adekuat
h. Depresi
i. Perubahan sensasi rasa

Kehilangan nutrient meningkat


a. Kehilangan darah melalui saluran cerna
b. Kehilangan nitrogen intradialytic

Katabolisme protein meningkat


a. Kejadian sakit dan rawat inap yang berulang
b. Komorbid medis lain
c. Asidosis metabolik
d. Katabolisme yang dikaitkan dengan hemodialisis
e. Disfungsi dari the growth hormone-insulin growth factor endocrine axis
f. Efek katabolik beberapa hormon (hormon parathyroid, kortisol, glukagon)

Malnutrisi pada pasien dialisis juga menyebabkan konsekwensi klinis penting lainnya.
Anemia lebih sering terjadi pada pasien dialisis yang juga menderita malnutrisi dan atau
inflamasi, dan respon terhadap erythropoietin yang minimal biasanya dikaitkan dengan
tingginya kadar sitokin pro-inflamasi. Pada pasien dialisis yang juga menderita penyakit
jantung koroner (PJK) seringkali didapatkan hipoalbumin dan peningkatan kadar petanda
inflamasi. Baik pada populasi umum maupun pasien dialisis, peningkatan indikator inflamasi
seperti CRP merupakan prediktor kuat terhadap kejadian kardiovaskuler. Hubungan antara
status nutrisi yang buruk, inflamasi yang terus berlangsung dan aterosklerosis pada pasien
dialisis ini dikenal sebagai malnutrition-inflamation-atherosclerosis (MIA) syndrome. Pada
pasien dialisis, hubungan antara kondisi gizi yang buruk dan dampaknya pada penyakit
kardiovaskuler ini memberi data epidemiologi yang berbeda atau terbalik bila dibandingkan
dengan populasi umum, dan ini dikenal sebagai reverse epidemiology. Di Negara-negara
industri atau makmur, PEM jarang menyebabkan dampak buruk pada populasi umum, justru
overnutrition dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler dan kelangsungan
hidup yang lebih pendek. Hal sebaliknya terjadi pada pasien hemodialisis, undernutrition
justru merupakan salah satu faktor risiko utama untuk kejadian kardiovaskuler. Begitu pula
untuk parameter lainnya, pada populasi umum body mass index (BMI) yang rendah dan
kadar kolesterol serum yang rendah akan menurunkan kejadian kardiovaskuler dan
memperbaiki angka kelangsungan hidup, tetapi pada pasien dialisis justru meningkatkan
morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. Pada pasien dialisis, obesitas, hiperkolesterolemia
dan hipertensi justru dikaitkan dengan angka kelangsungan hidup yang lebih panjang.
Mungkin dibutuhkan suatu standar atau target tersendiri untuk faktor-faktor risiko tradisional
penyakit kardiovaskuler (BMI, kolesterol serum, tekanan darah) pada pasien dialisis,
terutama yang menderita PEM.

3. PENETAPAN STATUS NUTRISI


Menetapkan dan memonitor status nutrisi protein-energi pasien dialisis merupakan
kegiatan penting dengan tujuan untuk mencegah, mendiagnosis serta mengobati PEM. Status
nutrisi protein-energi pada dasarnya menggambarkan status kwantitatif dan kwalitatif protein,
baik komponen visceral (non otot) maupun somatik (otot), serta status keseimbangan energi.
Sampai dengan sekarang secara definitif belum ada cara tunggal yang bisa dianggap sebagai
standar emas untuk menilai status nutrisi maupun menilai respon intervensi nutrisi. Dewasa
ini didapatkan banyak cara untuk menetapkan status nutrisi, sehingga disesuaikan dengan
sarana yang ada, bisa dilakukan sebanyak mungkin cara yang bisa membantu menetapkan
status nutrisi pasien dialisis. Metode dan cara untuk menetapkan adanya PEM pada pasien
yang menjalani dialisis, secara klasik dibagi menjadi 4 kategori, yaitu: penilaian terhadap
selera makan dan asupan makanan (assessment of appetite and dietary intake), penilaian
berdasarkan pemeriksaan biokimiawi dan laboratorium (biochemical and laboratory
assessment), pengukuran komposisi tubuh (body composition measures), dan sistim skoring
nutrisi (nutritional scoring system).
III. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Fokus Keperawatan
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada Doenges
(2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti
proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada
siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu
kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan
lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak
senyawa/ zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius
bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun
waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik
atau turun.
4. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya
adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan
tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi
peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung
kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah,
mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi
basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refill lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan
terjadi perikarditis.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada CKD adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi
cairan dan natrium.
2. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia mual
muntah.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi ke
jaringan sekunder.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan anemia, retensi produk sampah
dan prosedur dialysis.
6. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus sekunder
terhadap adanya edema pulmoner.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan
frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).
3. Rencana Asuhan Keperawatan
NO Diagnosa Keperawatan Tujuan & KH Kode NIC Intervensi Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan Tujuan: 4130 Fluid Management :
b.d penurunan haluaran urin Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Kaji status cairan ; timbang berat badan,keseimbangan
dan retensi cairan dan selama 3x24 jam volume cairan masukan dan haluaran, turgor kulit dan adanya edema
natrium. seimbang. 2. Batasi masukan cairan
Kriteria Hasil: 3. Identifikasi sumber potensial cairan
NOC : Fluid Balance 4. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan
 Terbebas dari edema, efusi, cairan
anasarka 5. Kolaborasi pemberian cairan sesuai terapi.
 Bunyi nafas bersih,tidak adanya
dipsnea 2100 Hemodialysis therapy
 Memilihara tekanan vena sentral, 1. Ambil sampel darah dan meninjau kimia darah
tekanan kapiler paru, output (misalnya BUN, kreatinin, natrium, pottasium, tingkat
jantung dan vital sign normal. phospor) sebelum perawatan untuk mengevaluasi respon
thdp terapi.
2. Rekam tanda vital: berat badan, denyut nadi,
pernapasan, dan tekanan darah untuk mengevaluasi
respon terhadap terapi.
3. Sesuaikan tekanan filtrasi untuk menghilangkan jumlah
yang tepat dari cairan berlebih di tubuh klien.
4. Bekerja secara kolaboratif dengan pasien untuk
menyesuaikan panjang dialisis, peraturan diet,
keterbatasan cairan dan obat-obatan untuk mengatur
cairan dan elektrolit pergeseran antara pengobatan
2 Gangguan nutrisi kurang Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1100 Nutritional Management
dari kebutuhan tubuh b.d selama 3x24 jam nutrisi seimbang dan 1. Monitor adanya mual dan muntah

anoreksia mual muntah. adekuat. 2. Monitor adanya kehilangan berat badan dan perubahan

Kriteria Hasil: status nutrisi.

NOC : Nutritional Status 3. Monitor albumin, total protein, hemoglobin, dan

 Nafsu makan meningkat hematocrit level yang menindikasikan status nutrisi dan
untuk perencanaan treatment selanjutnya.
 Tidak terjadi penurunan BB
4. Monitor intake nutrisi dan kalori klien.
 Masukan nutrisi adekuat
5. Berikan makanan sedikit tapi sering
 Menghabiskan porsi makan
6. Berikan perawatan mulut sering
 Hasil lab normal (albumin, kalium)
7. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet sesuai
terapi

3 Perubahan pola napas Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3350 Respiratory Monitoring
berhubungan dengan selama 1x24 jam pola nafas adekuat. 1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
hiperventilasi paru Kriteria Hasil: 2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan
NOC : Respiratory Status otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan
 Peningkatan ventilasi dan intercostal
oksigenasi yang adekuat 3. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
 Bebas dari tanda tanda distress hiperventilasi, cheyne stokes
pernafasan 4. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak
 Suara nafas yang bersih, tidak ada adanya ventilasi dan suara tambahan
sianosis dan dyspneu (mampu 3320 Oxygen Therapy
mengeluarkan sputum, mampu 1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
bernafas dengan mudah, tidak ada 2. Ajarkan pasien nafas dalam
pursed lips) 3. Atur posisi senyaman mungkin
 Tanda tanda vital dalam rentang 4. Batasi untuk beraktivitas
normal 5. Kolaborasi pemberian oksigen

4 Gangguan perfusi jaringan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 4066 Circulatory Care
berhubungan dengan selama 3x24 jam perfusi jaringan 1. Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi sirkulasi
penurunan suplai O2 dan adekuat. periper. (cek nadi priper,oedema, kapiler refil, temperatur
nutrisi ke jaringan sekunder. Kriteria Hasil: ekstremitas).
NOC: Circulation Status 2. Kaji nyeri
 Membran mukosa merah muda 3. Inspeksi kulit dan Palpasi anggota badan
 Conjunctiva tidak anemis 4. Atur posisi pasien, ekstremitas bawah lebih rendah untuk
 Akral hangat memperbaiki sirkulasi.

 TTV dalam batas normal. 5. Monitor status cairan intake dan output

 Tidak ada edema 6. Evaluasi nadi, oedema


7. Berikan therapi antikoagulan.
DAFTAR PUSTAKA

Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnoses definitions and classification 2015-2017. United
Kingdom: Blackwell.
Dochterman, J. M. & Bulecheck, G. N. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC)
fourth edition. Missouri: Mosby
Fouque D. Low Protein, Amino Acid and Ketoacid Diets to Slow the Progression of Chronic
Kidney Disease and Improved Metabolic Control of Uremia. NutrManag Renal Dis.
2013; 209-231.
Fouque D and Mitch WE, 2012. Dietary Approaches to Kidney Disease. In: Taal MW,
Chertow GM, Mars PA, Skorecki K, Yu AS and Brenner BM. Editors. Brenner &
Rector’s The Kidney. 9th ed. USA; Elsiver Saunders. 2170-2204.
Garneata L; Mircescu G. Effect of Low Protein Diet Supplemented With Keto Acids on
Progression of Chronic Kidney Disease. J Renal Nutr, 2013; 23: 210-213
Goldstein-Fuchs, D, LaPierre AM. 2014. Nutrition and Kidney Disease. In: Gilbert GJ,
Weiner ME. Editors. National Kidney Foundation’s Primer on Kidney Diseases.
Philadelphia; Elseiver Saunderz. P:467-474.
Jevuska. 2012. Gagal Ginjal Kronik atau CKD: Pengertian dan klasifikasi, diakses pada 22
Desember 2014, (Online), http://www.jevuska.com/2012/10/27/gagal-ginjal-kronik-
atau-ckd/.
Kidney Disease Outcomes Quality Iniatiative of The National Kidney Foundation. Clinical
Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and
Stratification. 2002.
Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L. & Swanson, E. 2008. Nursing Outcomes
Classification (NOC) fourth edition. Missouri: Mosby
Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.

Anda mungkin juga menyukai