Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DESEASE (CKD) et. causa HIPERTENSI


DI RUANG HAEMODIALISA RSUD dr. ASHARI PEMALANG

DISUSUN OLEH :

ANIS FADILAH.,S.Kep
170104019

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2018
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. Definisi
GGK ditandai dengan berbagai kelainan akibat penurunan jumlah total nefron.
Ginjal normal mempunyai 2 juta nefron secara total. GGK muncul hanya bila jumlah
nefron berkurang sekitar 25% dari jumlah tersebut (Chandrasoma, 2009).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan laju filtrasi
glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan
berat (Mansjoer, 2010).

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif yang
bersifat kronik dan ireversibel dimana massa ginjal yang masih ada tidak mampu lagi
untuk mempertahankan lingkungan internal tubuh (Brooker, 2008; Black & Hawks,
2011).
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan
ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah
serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal) (Nursalam,
2009).
Gagal ginjal kronis adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-
menerus. Gagal ginjal kronis dapat timbul dari hampir semua penyakit. Selain itu pada
individu yang rentan, nefropati analgesic, destruksi papilla ginjal yang terkait dengan
pamakaian harian obat-obatan analgesic selama bertahun-tahun dapat menyebabkan
gagal ginjal kronis. Apa pun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara
progresif yang ditandai dengan penurunan GFR yang progresif (Corwin, 2009).
Jadi, gagal ginjal kronik merupakan penurunan fungsi ginjal yang bersifat
irreversible ditandai dengan berbagai kelainan akibat penurunan jumlah total nefron.

B. Klasifikasi
Berdasarkan sebabnya, gagal ginjal kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan
sebabnya, yaitu sebagai berikut (Suharyanto dan Madjid, 2009):

Klasifikasi Penyakit Penyakit


Penyakit infeksi dan peradangan Pielonefritis kronik, Glomerulonefritis
Penyakit vaskuler hipertesif Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna,
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan penyambung Lupus eritematosus sistemik, Poliartritis nodusa,
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan heredite Penyakit ginjal polikistik, Asidosis tubulus
ginjal
Penyakit metabolik Diabetes Melitus, Gout Disease, Hipertiroidisme
Nefropati toksi Penyalahgunaan analgesic, Nefropati timbale
Nefropati obstruksi Saluran kemih bagian atas: kalkuli, neoplasma,
fibrosis retroperineal. Saluran kemih bagian
bawah: hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali leher kandung kemih dan uretra.
Berdasarkan tahapan penyakit dari waktu ke waktu, dapat diklasifikasikan sebagai
berikut: The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) (dalam Desita, 2010)
1. Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90 ml/min/1,73 m2)
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Kerusakan pada ginjal
dapatdideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium pertama penyakit
ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk memperlambat perkembangan CKD
dan mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh darah.
2. Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2)
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89). Saat fungsi ginjal
kitamulai menurun, dokter akan memperkirakan perkembangan CKD kita dan
meneruskan pengobatan untuk mengurangi resiko masalah kesehatan lain.
3. Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2)
Penurunan lanjut pada GFR (30-59). Saat CKD sudah berlanjut pada stadium ini,
anemiadan masalah tulang menjadi semakin umum. Kita sebaiknya bekerja
dengan dokter untuk mencegah atau mengobati masalah ini. Gejala- gejala juga
terkadang mulai dirasakan seperti :
 Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
 Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami
pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.
Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan
yang berada dalam tubuh.
 Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampurdengan
darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita
sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal
beradandapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah
ginjal seperti polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
4. Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2)
Penurunan berat pada GFR (15-29). Teruskan pengobatan untuk komplikasi CKD
dan belajar semaksimal mungkin mengenai pengobatan untuk kegagalan ginjal.
Masing-masing pengobatan membutuhkan persiapan. Bila kita memilih
hemodialisis, kita akanmembutuhkan tindakan untuk memperbesar dan
memperkuat pembuluh darah dalamlengan agar siap menerima pemasukan jarum
secara sering. Untuk dialisis peritonea,sebuah kateter harus ditanam dalam perut
kita. Atau mungkin kita ingin minta anggotakeluarga atau teman menyumbang
satu ginjal untuk dicangkok. Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4
adalah:
 Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
5. Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 ml/min/1,73 m2)
Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja cukup untuk
menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan dialisis atau pencangkokan
ginjal. Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
 Kehilangan napsu makan
 Nausea.
 Sakit kepala.
 Merasa lelah.
 Tidak mampu berkonsentrasi.
 Gatal – gatal.
 Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
 Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
 Keram otot
 Perubahan warna kulit
GFR normal adalah 90 – 120 mL/min/1.73 m2.Pada gagal ginjal kronis tahap
1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan ginjal termasuk komposisi
darah yang abnormal atau urin yang abnormal (Arora, 2009 dalam Desita, 2010).
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin
Test) dapat digunakan dengan rumus:

C. Etiologi
Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%) (Roesly, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila
penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder
apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,
lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2009).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis
(Sukandar, 2009).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus
sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien
tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak,
buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun.
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer,
2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau
idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar,
2009).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang
paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit
ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian
besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat
ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono,
2009).
D. Faktor Resiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan
riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga
(National Kidney Foundation, 2009).
E. Hubungan Hipertensi Dengan Kejadian CKD
Hipertensi merupakan salah satu penyebab GGK melalui suatu proses yang
mengakibatkan hilangnya sejumlah besar nefron fungsional yang progresif
danirreversible. Peningkatan tekanan dan regangan yang kronik pada arteriol dan
glomeruli diyakini dapat menyebabkan sklerosis pada pembuluh darah glomeruliatau
yang sering disebut degan glomerulosklerosis. Penurunan jumlah nefron
akanmenyebabkan proses adaptif, yaitu meningkatnya aliran darah, peningkatan LFG
(Laju Filtrasi Glomerulus) dan peningkatan keluaran urin di dalam nefron yangmasih
bertahan. Proses ini melibatkan hipertrofi dan vasodilatasi nefron sertaperubahan
fungsional yang menurunkan tahanan vaskular dan reabsorbsi tubulusdi dalam nefron
yang masih bertahan. Perubahan fungsi ginjal dalam waktu yanglama dapat
mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesisklerotik yang
terbentuk semakin banyak sehingga dapat menimbulkan obliterasiglomerulus, yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, danmenimbulkan lingkaran setan
yang berkembang secara lambat yang berakhirsebagai penyakit Gagal Ginjal Kronik
(Guyton and Hall, 2007).
Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah
dan lamanya menderita hipertensi. Semakin tinggi tekanan darah dalamwaktu lama
maka semakin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan (Tessy, 2009). Teori ini
diperkuat oleh Hidayati et al (2008) dalam penelitian yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara lama hipertensi dengan kejadian CKD, semakin lama menderita
hipertensi maka semakin tinggi risiko untuk mengalami kejadian CKD.
F. Manifestasi Klinis
Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifestasi klinik mengenai
di hampir semua sistem tubuh manusia, seperti:
1. Kardiovaskuler yaitu yang ditandai dengan adanya hipertensi (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron), pitting
edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial, serta
pembesaran vena leher, frekuensi jantung yang tidak regular akibat hiperkalemia.
2. Integumen yaitu yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat,kulit kering
dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner yaitu yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat, napas
dangkal seta pernapasan kussmaul
4. Gastrointestinal yaitu yang ditandai dengan napas berbau ammonia, ulserasi dan
perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, serta
perdarahan dari saluran GI.
5. Neurologi yaitu yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapakkaki, serta
perubahan perilaku
6. Muskuloskletal yaitu yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang,
fraktur tulang yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kalsium-fosfor, Resiles
leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet
syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati
( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas serta foot drop.
7. Reproduksi yaitu ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.
8. System hematologi yaitu anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang,
hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik,
dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni (Smeltzer, 2001;
Suyono, 2010).

G. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban
bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat
diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana
timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas
kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini
fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau
lebih rendah itu. (Brunner & Suddarth, 2010)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner &
Suddarth, 2010).
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Doenges (2010) adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
1) Volume : biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam (oliguria) / anuria.
2) Warna : secara abnormal urine keruh, mungkin disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat lunak, sedimen kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah Hb, mioglobulin, forfirin.
3) Berat jenis :< 1,051 (menetap pada 1.010 menunjukkan kerusakan ginjal
berat).
4) Osmolalitas :< 350 Mosm / kg menunjukkan kerusakan mubular dan rasio
urine / sering 1: 1.
5) Clearance kreatinin : mungkin agak menurun
6) Natrium :> 40 ME o /% karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
7) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara bulat, menunjukkan
kerusakan glomerulus jika SDM dan fagmen juga ada.
8) PH, kekeruhan, glokuso, ketan, SDP dan SDM.
b. Darah
1) BUN
Urea adalah produksi akhir dari metabolism protein, peningkatan BUN
dapat merupakan indikasi dehidrasi, kegagalan pre renal atau gagal ginjal.
2) Kreatinin
Produksi katabolisme otot dari pemecahan kreatinin otot dan kreatinin
posfat. Bila 50 % nefron rusak maka kadar kreatinin meningkat.
3) Elektrolit
Natrium, kalium, calcium dan phosfat
4) Hematologi : Hb, thrombosit, Ht, dan leukosit
2. Pemeriksaan Radiologi
Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui
gangguan fungsi ginjal antara lain:
a. Flat-Plat radiografy/Radiographic
Untuk mengetahui keadaan ginjal, ureter, dan vesika urinaria dengan
mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan klasifikasi dari ginjal. Pada
gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang mungkin disebabkan
karena adanya proses infeksi.
b. Computer Tomograohy (CT) Scan
Untuk melihat secara jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaannya
dengan memakai kontras atau tanpa kontras.
c. Intervenous Pyelography (IVP)
Untuk mengevaluasi keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP
biasa digunakan pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma,
pembedahan, anomali kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu
ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
d. Aortorenal Angiography
Untuk mengetahui sistem arteri, vena, dan kapiler pada ginjal dengan
menggunakan kontras. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal
arteri stenosis, aneurisma ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa gangguan
bentuk vaskuler.
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Untuk mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi neuropati, ARF,
proses infeksi pada ginjal serta post transplantasi ginjal.
f. Ultrasono ginjal
Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas.
g. Endoskopi ginjal, nefroskopi
Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan
tumor selektif.
3. Biopsi Ginjal
Untuk mendiagnosa kelainan ginjal dengan mengambil jaringan ginjal lalu
dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus glomerulonepritis, neprotik
sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan perencanaan transplantasi ginjal.
I. PENATALKSANAAN MEDIS
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit (Sukandar, 2009).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah
harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
3. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal
(LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang
tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan
Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi
elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2009).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan
ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik
dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada
adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2009).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun),
pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-
pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien
GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien
nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik,
yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2009).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan
faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
J. KOMPLIKASI
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2010) serta Suwitra (2010) antara
lain adalah:
1) Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
2) Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4) Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5) Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6) Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
7) Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8) Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9) Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfate.
K. PATHWAY
L. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, sedangkan yang menderita
hipertensi kebanyakan usia lanjut
b. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD terutama hipertensi
c. Pengkajian pola fungsional Gordon
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang
sakit parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari
dokter. Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat
bingung kenapa kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah dilarang
telah dihindari.
2) Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam
kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan
nutrisi dan air naik atau turun, perubahan turgor kulit, penampilan tak
bertenaga.
3) Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidakseimbangan antara output dan input,
oliguria, anuria, abdomen kembung, diare,. Tandanya adalah penurunan
BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah
atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu, perubahan warna urin.
4) Aktifitas dan latian
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, gangguan
tidur (insomnis, gelisah ), kelemahan otot, serta pasien tidak dapat menolong
diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
5) Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata.
Tandanya adalah pasien terliat sering menguap
6) Pola persepsi dan kognitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan
kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan
jelas.
7) Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri
sampai terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri,
tertutup, komunikasi tidak jelas.
8) Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan
kepuasan dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat
berhubungan, penurunan kualitas hubungan.
9) Pola Sirkulasi
Gejala:
a) Riwayat hipertensi lama atau berat
b) Palpitasi, nyeri dada (angina)
Tanda:
a) Hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umum dan piting pada kaki,
telapak tangan
b) Disritmia jantung
c) Nadi lemah halus, hipotensi ortostatik
d) Friction rub perikardial
e) Pucat pada kulit
f) Kecenderungan perdarahan
10) Pola persepsi diri
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi
edema, citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan
peran, dan percaya diri.
11) Pola mekanisme koping
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan
dengan tepat, mudah terpancing emosi
12) Pola kepercayaan
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah
meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan
kegiatan agama seperti biasanya.
d. Pengkajian fisik
1) Penampilan / keadaan umum
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien dari compos mentis sampai coma.
2) Tanda-tanda vital
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat
dan reguler.
3) Antropometri
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi,
atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
4) Kepala
Kaji apakah rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat
kotoran telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum,
bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
5) Leher dan tenggorokan
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
6) Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot
bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada
paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan
pada jantung.
7) Abdomen
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
8) Genital
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
9) Ekstremitas
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
10) Kulit
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.
M. Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, retensi
cairan dan natrium.
2. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah
3. Gangguan pertukaran gas
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan ketidakseimbangan asam basa, edema
paru, asidosis metabolik
5. Inefektif perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan konsentrasi
hemoglobin dalam darah.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
7. Kelelahan berhubungan dengan anemia
8. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia, mual muntah.
9. Kerusakan integritas kulit b/d efek uremia
10. Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialysis.
11. Kelebihan volume cairan b/d pemasukan cairan cepat/berlebihan.
12. Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive

N. Rencana Keperawatan
Diagnosa Intervensi
No. Tujuan dan KH
Keperawatan
1. Kelebihan volume Tujuan : NIC : Fluid
cairan b.d penurunan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Management
haluaran urine, selama … x 24 jam, volume cairan 1. Monitor TTV
kelebihan diet, dan seimbang 2. Kaji intake dan output
retensi natrium dan cairan
air KH : 3. Monitor indikasi
NOC : Fluid Balance retensi/kelebihan
Indikator 1 2 3 4 5 cairan (crackles, CVP,
edema, distensi vena
TTV
jugularis, ascites)
4. Monitor status
Edema hemodinamik (CVP,
MAP, PAP, dan
Suara
PCWP)
napas
5. Kaji lokasi dan luas
tambahan
edema
Output
6. Monitor hasil lab yang
urine
sesuai dengan retensi
cairan (BUN, Ht,
osmolalitas urine)
7. Kolaborasi pemberian
diuretik sesuai indikasi
2. Ketidakseimbangan Tujuan : NIC : Nutrition
nutrisi : kurang dari Setelah dilakukan tindakan keperawatan Management
kebutuhan tubuh b.d selama … x 24 jam, nafsu makan klien a. Kaji status nutrisi klien
anoreksia, nausea, meningkat b. Monitor BB klien
vomitus, perubahan c. Kaji adanya alergi
membran mukosa KH : makanan
oral NOC : Nutritional status : nutrient d. Monitor intake nutrisi
intake klien
Indikato 1 2 3 4 5 e. Berikan informasi
r tentang kebuthan
BB nutrisi
f. Kolaborasi dengan ahli
Intake
gizi untuk menentukan
nutrisi
jumlah kalori dan
Nafsu
nutrisi yang
makan
dibutuhkan klien
3. Intoleransi aktivitas Tujuan : NIC : Energy
b.d keletihan, Setelah dilakukan tindakan keperawatan management
anemia, retensi selama … x 24 jam, toleransi aktivitas 1. Kaji faktor yang
produk sampah klien meningkat menimbulkan
KH : keletihan
NOC : Activity tolerance 2. Tingkatkan
kemandirian dalam
Indikator 1 2 3 4 5
aktivitas perawatan diri
Respiratory rate yang dapat ditoleransi,
with activity bantu jika keletihan
terjadi
Systolic blood
3. Anjurkan aktivitas
pressure with
alternatif sambil
activity
istirahat
Diastolic blood 4. Anjurkan untuk
pressure with istirahat setelah dialisis
activity 5. Sediakan informasi
tentang indikasi tingkat
Ease of performing
keletihan
activities of Daily
Living (ADL)

1. Rencana Asuhan Keperawatan Klien CKD yang Menjalani Hemodialisa


NOC:
Hemodyalisis access
a. Warna kulit pada area shunt/fistula tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
b. Hematoma pada area shunt minimal/tidak ada
c. Edema perifer pada area distal shunt tidak ada
Pengetahuan: diet
a. Pasien mengetahui dan mematuhi diet yang direkomendasikan
b. Pasien mengetahui pembatasan makan dan minum
c. Pasien mengetahui fluktuatif berat badan yang harus diwaspadai
Pengetahuan : treatment
a. Pasien mematuhi jadwal hemodialysis yang dianjurkan
Skin care
a. Tanda-tanda inflamasi minimal
b. Pasien mengerti cara perawatan vena shunt
Fluid overload severity
a. Edema kaki tidak ada
b. Kongesti vena tidak ada
c. Peningkatan berat badan minimal
d. Pusing tidak ada
e. Kelemahan tidak ada
f. Penambahan tekanan darah minimal

NIC :

Pre-hemodialisis

1. Pertahankan intake dan output


2. Kaji adanya pertambahan berat badan
3. Monitor site insersi vena dan arteri
4. Monitor hasil lab jika diperlukan
5. Monitor vital sign
Intra hemodialysis
1. Monitor vital sign
2. Monitor blood flow
3. Monitor keadaan umum pasien: kelemahan, pusing, penurunan tekanan darah
secara tiba-tiba sebagai tanda hipotensi, hipoglikemia
4. Kaji adanya nyeri yang tak tertahankan
5. Ajari teknik relaksasi napas dalam jika terjadi nyeri saat insersi
6. Monitor kestabilan alat hemodialisis
Post hemodialysis

1. Monitor vital sign


2. Monitor keadaan umum pasien
3. Ukur berat badan pasien
4. Monitor adanya edema pada lokasi insersi
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary. 2009. Klien Gangguan Kardiovaskular : Seri Asuhan Keperawatan.


Jakarta: EGC.
Brunner dan Suddarth. 2010. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta :
EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 2010. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi (diterjemahkan oleh Nkhe Budhi
subekti). Jakarta : EGC
Dalam Jilid II. Edisi 5. Jakarta: FKUI hal.1035-40
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2009. Handbook of Dialysis. 4th ed. Phildelphia. Lipincott
William & Wilkins.
Desita, 2010. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Peningkatan Kualitas. Hidup Pasien Gagal
Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di RSUP

Doenges, Marilynn. 2010. Nursing Care Plans Guidelines For Planning and Documenting
Patients. Jakarta: EGC.
Guyton, A.C., and Hall, J.E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11thed, Jakarta:
EGC, pp. 231-237 dan 326-327.
Hidayati, T., Kushadiwijaya, H., Suhardi., 2008. Hubungan Antara hipertensi, Merokok
Dan Minuman Suplemen Energi Dan Penyakit Ginjal Kronis.
III. Edisi 5. Jakarta: FKUI hal. 2550-5

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I., dan Setiowulan, W., 2010. Kapita
Selekta Kedokteran Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius.
Mubin, Halim. 2009. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi.EGC :
Jakarta.
Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.
National Kidney Foundation, 2009. Chronic Kidney Disease. New york: National Kidney
Foundation. Available from:
Nursalam. 2009. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Ed 1.
Jakarta: Salemba Medika.

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. 2010 Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-
prosesPenyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Prodjosudjadi, W., 2009. Glomerulonefritis. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi,
I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi
keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 527-
530.
Putra T.R., 2009. Hiperurisemia, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid

Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2009. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 579-580.
Roesly, R. 2008. Hipertensi, Diabetes, dan Gagal Ginjal di Indonesia. Dalam Lubis. H. R.,
et al (eds). 2008. Hipertensi dan Ginjal. Medan: USU Press
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal
BedahBrunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Soenardi, Tuti & S. Soetardjo. 2009. Hidangan Sehat untuk Penderita Hipertensi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Suharyanto dan Abdul, Madjid. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Trans Info Media: Jakarta
Sukandar, E., 2009. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII) Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.
Suwitra K., 2010. Penyakit Ginjal Kronik, Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit

Anda mungkin juga menyukai