Anda di halaman 1dari 35

1.

CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)

1. DEFINISI
Chronic kindey disease atau disebut juga gagal ginjal kronis. Penyakit ginjal kronik
adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal
adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).
Chronic kidney disease atau penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan
ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan Glomerulus Filtration Rate
(GFR) (Nahas & Levin,2010). Sedangkan menurut Terry & Aurora, 2013 CKD merupakan
suatu perubahan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel. Pada gagal ginja kronik, ginjal
tidak mampu mempertahankan keseimbangan cairan sisa metabolisme sehingga menyebabkan
penyakit gagal ginjal stadium akhir.
2. KLASIFIKASI
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui penghitungan nilai
Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan melihat kadar kretatinin. Kreatinin adalah produk
sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal
yang sehat.

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test)
dapat digunakan dengan rumus:
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang
mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal
tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100
persen, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya
dalam stadium.
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap
dapat berfungsi dengan baik.
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah
yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
• Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
• Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan
sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
• Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampurdengan
darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita
sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
• Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal beradandapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
• Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu
dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia
biasanya muncul pada stadium ini.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah:
 Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
e. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
• Kehilangan napsu makan
• Nausea.
• Sakit kepala.
• Merasa lelah.
• Tidak mampu berkonsentrasi.
• Gatal – gatal.
• Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
• Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
• Keram otot
• Perubahan warna kulit

3. ETIOLOGI
a.Infeksi misalnya pielonefritis kronik (Infeksi saluran kemih), glomerulonefritis
(penyakit peradangan).
Pielonefritis adalah proses infeksi peradangan yang biasanya mulai di renal pelvis,
saluran ginjal yang menghubungkan ke saluran kencing (ureter) dan parencyma
ginjal atau jaringan ginjal. Glomerulonefritis disebabkan oleh salah satu dari banyak
penyakit yang merusak baik glomerulus maupun tubulus. Pada tahap penyakit
berikutnya keseluruhan kemampuan penyaringan ginjal sangat berkurang.
b.Penyakit vaskuler hipertensif
misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
Disebabkan karena terjadinya kerusakan vaskulararisasi di ginjal oleh adanya
peningkatan tekanan darah akut dan kronik.
c.Gangguan jaringan ikat
misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik
progresif Disebabkan oleh kompleks imun dalam sirkulasi yang ada dalam membran
basalis glomerulus dan menimbulkan kerusakan (Price, 2006). Penyakit peradangan
kronik dimana sistem imun dalam tubu menyerang jaringan sehat, sehingga
menimbulkan gejala diberbagai organ.
d.Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal. Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral, dan
berekspansi yang lambat laun akan mengganggu dalam menghancurkan parenkim
ginjal normal akibat penekanan, semakin lama ginjal tidak mampu mempertahankan
fungsi ginjal sehingga ginjal akan menjadi rusak.
e.Penyakit metabolik misalnya DM (Diabetes Mellitus), gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis.
Penyebab terjadinya ini dimana kondisi genetik yang ditandai dengan adanya
kelainan dalam proses metabolisme dalam tubuhakibat defisiensi hormon dan enzim.
Proses metabolisme ialah proses memecahkan karbohidrat protein, dan lemak dalam
makanan untuk menghasilkan energi.
f.Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal.
Penyebab penyakit yang dapat dicagah bersifat refersibel, sehingga penggunaan
berbagai prosedur diagnostik.
g.Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis
netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
h.Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis Merupakan penyebab gagal
ginjal dimana benda padat yang dibentuk oleh presipitasi berbagai zat terlarut dalam
urin pada saluran kemih.

4. PATOFISIOLOGI
Disfungsi ginjal mengakibatkan keadaan patologik yang komplek termasuk
diantaranya penurunan GFR (Glumerular Filtration Rate), pengeluaran produksi urine
dan eksresi air yang abnormal, ketidakseimbangan elektrolit dan metabolik abnormal.
Homeostatis dipertahankan oleh hipertropinefron. Hal ini terjadi karena hipertrofi
nefron hanya dapat mempertahankan eksresi solates dan sisa-sisa produksi dengan
jalan menurunkan reabsorbsi air sehingga terjadi hipostenuria (kehilangan kemampuan
memekatkan urin) dan polyuria adalah peningkatan output ginjal. Hipostenuria dan
polyuria adalah tanda awal CKD dan dapat menyebabkan dehidrasi ringan.
Perkembangan penyakit selanjutnya, kemampuan memekatkan urin menjadi semakin
berkurang. Osmolitasnya (isotenuria). Jika fungsi ginjal mencapai tingkat ini serum
BUN meningkat secara otomatis, dan pasien akan beresiko kelebihan beban cairan
seiring dengan output urin yang makin tidak adekuat. Pasien dengan CKD mungkin
menjadi dehidrasi/ mengalami kelebihan beban cairan tergantung pada tingkat gagal
ginjal.
Perubahan metabolik pada gagal ginjal juga menyebabkan gangguan eksresi BUN dan
kreatinin. Kreatinin sebagian dieksresikan oleh tubulus ginjal dan penurunan fungsi
ginjal berdampak pada pembentukan serum kreatinin. Adanya peningkatan
konsentrasi BUN dan kreatinin dalam darah disebut azotemia dan merupakan salah
satu petunjuk gagal ginjal. Perubahan kardiak pada CKD menyebabkan sejumlah
gangguan system kardiovaskuler. Manifestasi umumnya diantaranya anemia,
hipertensi, gagal jantung kongestif, dan perikaraitis, anemia disebabkan oleh
penurunan tingkat eritropetin, penurunan masa hidup sel darah merah akibat dari
uremia, defisiensi besi dan asam laktat dan perdarahan gastrointestinal. Hipertropi
terjadi karena peningkatan tekanan darah akibat overlood cairan dan sodium dan
kesalahan fungsi system renin. Angiostin aldosteron CRF menyebabkan peningkatan
beban kerja jantung karena anemia, hipertensi, dankelebihan cairan (Brunner &
Suddart, 2007).Tahap gangguan ginjal antar lain:
1.Tahap 1 : Diminishid Renal ReserveTahap ini penurunan fungsi ginjal, tetapi tidak
terjadi penumpukan sisa-sisa metabolik dan ginjal yang sehat akan melakukan
kompensasi terhadap gangguan yang sakit tersebut.
2. Tahap II : Renal Insufficiency (insufisiensi ginjal)Pada tahap ini dikategorikan
ringan apabila 40-80% fungsi normal, sedang apabia 15-140% fungsi normal dan
berat bila fungsi ginjal normal hanya 2-20%. Pada insufisiensi ginjal sisa-sisa
metabolik mulai berakumulasi dalam darah karena jaringan ginjal yang lebih sehat
ridak dapat berkompensasi secara terus menerus terhadap kehilangan fungsi ginjal
karena adanya penyakit tersebut. Tingkat BUN, Kreatinin, asam urat, dan fosfor
mengalami peningkatan tergntung pada tingkat penurunan fungsi ginjal.
3.Tahap III : End Stage Renal Desease (penyakit ginjal tahap lanjut) Sejumlah besar
sisa nitrogen (BUN, Kreatinin) berakumulasi dalam darah dan ginjal tidak mampu
mempertahankan hemostatis. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit terjadi bila
segera dianalisa akan menjadi fatal/ kematian.

5. MANIFESTASI KLINIS
Karena pada gagal hginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia,
maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dan
usia pasien.
a. Sistem integument
Gejala pada kulit sering menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, seperti kulit
menjadi pucat dan adanya pigmentasi urokrom. Kulit yang kering dan bersisik terjadi
akibat atropinya kelenjar minyak, menyebabkan gangguan penguapa sehingga terjadi
penumpukan kristal urea di kulit. Akibatnya kulit menjadi terasa gatal (pruritus). kuku
dan rambut juga menjadi kering dan pecah-pecah sehungga mudah rusak dan patah.
Perubahan pada kuku tersebut merupakan ciri khas kehilangan protein kronik.
b. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi bisa terjadi akibat retensi cairan dan sodium. Hal ersebut terjadi akibat
gagal ginjal kronik menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun, sehingga
mengaktivasi apparatus juxtaglomerular untuk memproduksi enzim rennin yang
menstimulasi angiotensin I dan II serta menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Angiotensin II merangsang produksi aldosteron dan korteks adreanl, meningkatkan
reabsorbsi sodium dan ginjal sehingga akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan
sodium dalam ginjal sehingga akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan sodium
dalam darah. Manifestasi lain yang dapat ditemukan adalah gagal jantung kongestif
dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh toksin uremik).
c. Sistem respirasi
Gejala yang sering dtemukan adalah edem apulmoner dan pneumonia yang sering
menyertai gagal jantung akibat retensi cairan yang berlebihan. Gejala lainnya adalah
pernafasan kussmaul dan nafas berbau uremik.
d. Sistem gastrointestinal
Gejala yang sering terjadi adalah anoreksia, mual, muntah, kelaianan periodontal dan
ulserasi pada saluran gastrointestinal. Perdarahan saluran cerna juga bisa terjadi dan
akan menjadi berbahaya pada pasien dengan kelainan pembekuan darah.
e. Sistem sirkulasi dan imun
Pasien gagal ginjal kronis sering mengalami anemia dengan kadar Hb <6 g/dL atau
hematokrit <25-30%. Bagi pasien yang menjalani hemodialisis, hematokrit berkisar
antara 39-45%. Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah mera, defisiensi nutrisi (seperti zat besi, asam
folat dan vitamin B12) atau kehilangan nutrisi selama hemodialisa dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Selain sering mengalami anemia, pasien gagal ginjal tahap akhir juga
renan terhadap infeksi akibat adanya defisiensi immunoglobulin.
f. Sistem saraf
Retensi produk sampah dalam darah dan ketidakseimbangan elektrolit menurunkan
kemampuan neurotransmisi dalam berbagai oragan yang bisa berlanjut kepada
gangguan sistem saraf perifer yang menyebabkan burning pain, restless leg syndrome,
spasme otot dan kram.
g. Sistem reproduksi
Perubahan esterogen, progesteron dan testosteron menyebabkan tidak teraturnya atau
berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi akibat perubahan
psikologis dan fisik yangmenyebabkan atropi organ reproduksi dan kehilangan hasrat
seksual.
h. Sistem muskuloskeletal
Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut osteodistrofi
renal, disebabkan karena perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan
parathormon.
i. Penglihatan
Pasien gagal ginjal kronik bisa mengalami iritasi mata atau sindrom mata merah akibat
terjadinya deposit kalsium dalam konjunctiva. Konjunctiva juga bisa mengalami
edema akibat rendahnya kadar albumin.
j. Gangguan tidur
Pasien gagal ginjal tahap akhir sering mengalami uremia akibat penimbunan sampah
metabolisme. Uremia mengakibatkan gangguan fungsi sistem saraf dan menyebabkan
restless leg syndrome. Restless leg syndrome merupakan salah satu bentuk gangguan
tidur dan penyebab insomnia pada pasien hemodialisis. Pasien gagal ginjal kronis
yang menjalani hemodialisis sering mengalami gangguan tidur berupa kesulitan
memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur dan bangun terlalu dini.

Pada gagal ginjal kronis akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR menurun
5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita
sindrom uremik, yaitu suatu komplek gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan
retensi metabolit nitrogen akibat gagal ginjal. Manifestasi sindrom uremik dapat
dilihat pada Tabel 1.3.
Tabel 1.3 Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis
Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis
Biokimia Asidosis metabolik (HCO3- serum 18-20
mEq/L, azotemia (penurunan GFR
menyebabkan peningkatan BUN dan
kreatinin), retensi Na, hipermagnesia,
hiperuresemia.
Saluran cerna Anoreksia, mual, muntah, napas bau
amoniak, mulut kering, perdarahan saluran
cerna, diare stomatitis, parotis.
Perkemihan Poliuria, berlanjut menuju oliguri, lalu
anuri, noktura, BJ urin 1.010, proteinuria.
Metabolisme Protein, sintesis abnormal hiperglikemia,
kebutuhan insulin menurun, lemak,
peningkatan kadar trigliserid.
Sex Libido menghilang, amnore, impotensi dan
sterilitas
Neuromuskuler Mudah lelah, otot mengecil dan lemah,
SSP penurunan ketajaman mental,
konsentrasi buruk, kekacauan mental,
koma, otot berkedut, kejang.
Kardiovaskuler Hipertensi, retinopati dan ensefalopati
hipertensif, beban sirkulasi berlebih,
edema, gagal jantung kongestif, dan
disritmia.
Gangguan kalsium Hiperfosfatemia, hipokalsemia,
hiperparatiroidisme, deposit garam kalsium
pada sendi, pembuluh darah, jantung dan
paru-paru, konjungtivitis (uremia mata
merah).
Kulit Pucat, pruritus, kristal uremia, kulit kering,
dan memar
Hematologik Anemia, hemolisis, kecenderungan
perdarahan, resiko infeksi.
Sumber: Hidayati, 2012
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah,
HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan glomerulus
bila SDM dan fragmen juga ada.
 Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung DL : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang dari 78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme
protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis
karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
 Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke
dalam ureter, terensi.
 Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi
pada saluran perkemihan bagian atas.
 Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histoligis.
 Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
 EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa
.
7. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pada penyakit gagal ginjal kronis adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer & Barre,
2008). Penatalaksanaan gagal ginjal kronis dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Terapi konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal ginjal
sedini mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif bertujuan untuk menghilangkan gejala
yang mengganggu penderita, sehingga penderita dapat hidup secara normal. Yang
termasuk pengobatan konservatif gagal ginjal kronis adalah:
a. Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi
asupan kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal dari
protein. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari,
apabila penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur.
b. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium
dikurangi. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kaliumnya dapat
menyebabkan hiperkalemia. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEg/hari.
c. Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan
natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer,
edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.
d. Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran
cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Aturan yang
dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah jumlah urin yang
dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Tanda seperti ini akan muncul
bila kenaikan berat badan pasien lebih dari 2 kg. Akumulasi cairan yang dapat
ditoleransi adalah 1-2 kg selama periode intradialitik.
2. Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)
Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap penyakit gagal ginjal
kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari komplikasi dan
memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti ginjal dibagi menjadi dua, antara lain
dialisis dan transplantasi ginjal (Shahgholian et.al, 2008).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis,ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru
dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah
persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah,
dan astenia berat (Sukandar, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di
pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-
anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien
dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup,
dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-
medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya adalah suatu terapi
definitif yang paling tepat dan ideal untuk penatalaksanaan suatu keadaan gagal ginjal
yang sangat berat. Prinsip dari pelaksanaan terapi cangkok ginjal ini adalah
pencangkokan ginjal sehat ke dalam tubuh pasien. Permasalahan yang paling sering
dihadapi dalam cangkok ginjal adalah adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien
sebagai resepien terhadap ginjal baru yang dicangkokkan ke dalam tubuhnya. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaannya harus dipilih ginjal yang paling cocok sehingga
memberikan reaksi penolakan yang paling minimal. Setelah pelaksanaan
transplantasipun, resepien juga masih harus minum obat imunosupresan seumur
hidupnya untuk menekan reaksi penolakan oleh tubuhnya terhadap ginjal baru dalam
tubuhnya (Aziz, 2008).
2. CKD dengan HIPERURESEMIA

Hiperurisemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar asam urat dalam darah.


Batasan hiperurisemia untuk pria danwanita tidak sama. Seorang pria dikatakan menderita
hiperurisemia bila kadar asam urat serumnya lebih dari 7,0 mg/dL. Sedangkan
hiperurisemia pada wanita terjadi bila kadar asam urat serum di atas 6,0 mg/dL(Berry,et
al., 2004; Hediger et al., 2005; Putra, 2006).
Asam urat sendiri merupakan hasil akhir dari metabolisme purin. Proses
pembentukan asam urat sebagian besar berasal dari metabolisme nukleotida purin
endogen, guanylic acid (GMP), inosinic acid (IMP), dan adenylic acid (AMP). Perubahan
intermediate hypoxanthine dan guanine menjadi xanthine dikatalisis oleh enzim xanthine
oxidase dengan produk akhir asam urat. Asam urat merupakan produk yang tidak dapat
dimetabolisme lebih lanjut. Hanya 5% asam urat yang terikat plasma dan sisanya akan
difiltrasi secara bebas oleh glomerulus. Dari semua asam urat yang difiltrasi, 99% akan
direabsorpsi oleh tubulus proksimal. Kemudian 7-10% fraksi asam urat akan disekresi
oleh tubulus distal (Vedercchia et al., 2000; Dincer et al., 2002; Berry et al., 2004).
Kadar asam urat pada tiap individu sangat bervariasi tergantung pada sintesis dan
ekskresinya. Hiperurisemia terjadi bila kadar asam urat melebihi daya larutnya dalam
plasma yaitu 6,7 mg/dl pada suhu 37°C. Kondisi ini dapat disebabkan karena
ketidakseimbangan antara produksi yang berlebihan, penurunan ekskresi atau gabungan
keduanya. Produksi yang berlebihan terjadi pada keadaan diet tinggi purin, alkoholisme,
turnover nukleotida yang meningkat, obesitas, dan dislipidemia. Sedangkan penurunan
ekskresi asam urat terjadi pada penyakit ginjal, hipertensi, penggunaan diuretik, resistensi
insulin, dan kadar estrogen yang rendah (Johnson et al., 2003; Berry et al., 2004; Hediger
et al., 2005).

Penyakit ginjal kronis (PGK) berhubungan dengan peningkatan risiko vaskular. Pada
populasi umum, kadar asam urat serum berhubungan dengan kadarkreatinin serum dan
berhubungan terbalik dengan estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR). Kadar asam
urat serum berhubungan dengan ekskresi albumin urin pada pasien dengan diabetes tipe 2
danpada beberapa penelitian, pada pasien dengan hipertensi. Namun demikian, pada
beberapa penelitian dengan pasien yang mengalami hipertensi atau normotensi, kadar asam
urat serum tidak berhubungan dengan mikroalbuminuria (Tziomalos, et al., 2010; Jie
Dong, et al., 2014).
Dikatakan bahwa asam urat dapat berhubungan dengan perburukan dari PGK. Pada
penelitian dengan hewan percobaan, hiperurisemia eksperimental berhubungan dengan
peningkatan proteinuria, perburukan fungsi ginjal, glomerulosklerosis, fibrosis interstisial
ginjal, dan vaskulopati preglomerular. Peningkatan ekspresi renin ginjal sepertinya
merupakan implikasi dari efek samping hiperurisemia terhadap fungsi ginjal. Pada
manusia, hiperurisemia juga berhubungan dengan sistem renin angiotensin intrarenal yang
teraktivasi. Beberapa penelitian pada populasi umum menunjukkan hubungan antara kadar
asam urat serum dan peningkatan insiden pada PGK. Pada Cardiovascular Health Study,
kadar asam urat serum tidak dapat memprediksi insiden PGK tetapi secara independen
berhubungan dengan progresivitas dari PGK yang sudah terjadi (Tziomalos, et al., 2010,
Hsu, et al., 2013).
3. HEMODIALISISA

DEFINISI
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah
yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan
sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V
dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti
ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD
darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al.,2007).

TUJUAN
1. Membuang produk sisa metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darah dan bagian
cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif (penghisap) dalam kompartemen
dialisat.
3. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

INDIKASI HEMODIALISIS
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al.,2007):
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
B. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur hidup
penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika
GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama,
sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut
di bawah ini (Daurgirdas et al.,2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

PERALATAN HEMODIALISA
1) Dialiser atau Ginjal Buatan
Terdiri dari membran semi permeabel yang memisahkan kompartemen darah dan dialisat.
2) Dialisat atau Cairan Dialisis
Yaitu cairan yang terdiri dari air dan elektrolit utama dari serum normal. Dialisat ini
dibuat dalam sistem bersih dengan air kran dan bahan kimia saring. Bukan merupakan
sistem yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial
terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat
menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeabel yang besar, maka air
untuk dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan
oleh pabrik komersildan umumnya digunakan oleh unit kronis.
3) Sistem Pemberian Dialisat
Yaitu alat yang mengukur pembagian proporsi otomatis dan alat mengukur serta pemantau
menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.
4) Aksesori Peralatan
a. Perangkat Keras, terdiri dari :
- Pompa darah, pompa infus untuk mendeteksi heparin
- Alat pemonitor suhu tubuh apabila terjadi ketidakamanan konsentrasi dialisat,
perubahan tekanan udara dan kebocoran darah.
b. Perangkat Disposibel yang digunakan selain ginjal buatan :
- Selang dialisis yang digunakan untuk mengalirkan darah antara dialiser dan pasien.
- Transfer tekanan untuk melindungi alat monitor dari pemajanan terhadap darah.
- Kantong cairan garam untuk membersihkan sistem sebelum digunakan.

AKSES PADA SIRKULASI DARAH PASIEN


Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula dan femoralis, fistula,
tandur.
1) Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai melalui
kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke
dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara.
2) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada lengan
bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung (anastomosis) pembuluh arteri
dengan vena secara side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula
tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan.
Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena
fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan ukuran
14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan
mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali
(reinfus) darah yang sudah didialisis.
3) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis, sebuah tandur dapat
dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau vena dari sapi, material Gore-tex
(heterograft) atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila
pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula.

TEKNIK HEMODIALISA
1) Persiapan Mesin dan Perangkat HD
- Pipa pembuangan sudah masuk dalam saluran pembuangan
- Sambungkan kabel mesin dengan stop kontak
- Hidupkan mesin ke rinse selama 15-30 menit
- Pindahkan ke posisi dialyze lalu sambungkan slang dialisat ke jaringan tempat dialisat
yang telah disiiapkan.
- Tunggu sampai lampu hijau
- Tes conductivity dan temperatur
- Gantungkan saline normal sebanyak 4 flatboth yang telah diberikan heparin sebanyak
25-30 unit dalam masing-masing flatboth
- Siapkan ginjal buatan sesuai dengan kebutuhan pasien
- Siapkan blood lines dan AV fiskula sebanyak banyaknya
- Ginjal buatan dan blood lines diisi saline normal (priming)
- Sambungkan dialisatelines pada ginjal buatan
- Sambil mempersiapkan pasien slang inlet dan outlet disambungkan lalu jalankan
blood pump (sirkulasi tertutup)
2) Langkah-Langkah HD :
- Timbang dan catat berat badan
- Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk menginterpretasikan kelebihan
cairan)
- Tentukan akses darah yang akan ditusuk
- Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu alcohol 70% kemudian
ditutup pakai duk steril
- Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil : spuit 2,5 cc sebanyak 1, spuit 1
cc 1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan kasa steril
- Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonest dan heparin
- Pakai masker dan sarung tangan steril
- Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusuk
- Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000 unit pada inlet
sedangkan outlet sebanyak 1000 unit
- Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah disediakan
- Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menit kemudian dinaikkan perlahan
sampai 200 ml/menit
- Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan
- Segera ukur kembali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah yang digunakan
dicatat dalam status yang telah tersedia.
3) Perawatan Pasien Hemodialisa
a. Perawatan sebelum hemodialisa
- Mempersiapkan perangkat HD
- Mempersiapkan mesin HD
- Mempersiapkan cara pemberian heparin
- Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor bio psiko sosial, agar
penderita dapat bekerja sama dalam hal program HD
- Mempersiapkan akses darah
- Menimbang berat badan, mengukur tekanan darah, nadi, pernapasan
- Menentukan berat badan kering
- Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu
b. Perawatan Selama Hemodialisa
Observasi terhadap pasien HD
- Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu dicatat dalam status
- Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam dalam status
- Cairan yang masuk perparenteral maupun peroral dicatat jumlahnya dalam status
- Akses darah dihentikan
Observasi terhadap mesin HD
- Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran dialisat/Qd dicatat setiap 1 jam
- Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat setiap jam
- Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila perlu diukur
- Jumlah cairan dialisa, jumlah air diperhatikan setiap jam
- Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat dikontrol setiap 1 jam.
4) Perawatan Sesudah Hemodialisa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu cara menghentikan HD pada pasien dan
mesin HD.
a. Cara mengakhiri HD pada pasien
- Ukur tekanan darah dan nadi sebelum slang inlet dicabut
- Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
- Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
- Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai saline normal sebanyak 50-100
cc, lalu memakai udara hingga semua darah dalam sirkulasi ekstrakorporeal kembali
ke sirkulasi sistemik
- Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10 menit, hingga darah berhenti
dari luka tusukan
- Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu catat
- Timbang berat badan lalu dicatat
- Kirimkan darah ke laboratorium
PRINSIP dan CARA KERJA HEMODIALISIS

Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)


kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian masuk ke
dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis, darah yang telah
bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar di dalam tubuh. Proses dialisis
(pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al.,2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan
(kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini dengan larutan lain
(kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel (dialiser). Perpindahan solute
melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme
difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya
secara acak, utrafiltrasi adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya
solute berukuran kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama
molekul air melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme
hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau mekanisme
osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,2007).

KOMPLIKASI HEMODIALISIS
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal.
Tindakan ini rutin dilakukan pada penderitapenyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau
gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan
yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat
menjalani HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD
adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF
atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40%penderita yang
menjalani HD reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru
meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension
(HID) (Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung.
Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual
muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil
(Daurgirdas et al.,2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering
terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau
HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia,
tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,
neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al.,2007).
Komplikasi kronik Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan
hemodialisis kronik.
4. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
b. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.
c. Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.
2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.
3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
d. Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.
e. Pemeriksaan Fisik :
1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:
Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum,
kental dan banyak.
Tanda:
Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa
sputum.
2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:
Riwayat hipertensi lama atau berat.Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak
nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda
Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak
tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub
perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.
3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.
4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala:
Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna
urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi.
Tanda:Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau
anuria.
5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan
Diare
6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam
hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda:
Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur
tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan
gerak sendi.
f. Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik
sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan
yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah
dimengerti pasien.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum
yang kurang.dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status
kesehatan klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat
badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia),
Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan
berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran,
kejang, rambut tipis, kuku rapuh.
3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat,
tidak dapat kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine,
(pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
4) Pola tidur dan Istirahat
Gelisah, cemas, gangguan tidur.
5) Pola Aktivitas dan latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak
mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot,
kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran).
7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa
pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat
dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan
dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).
9) Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun
ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan
libido, amenorea, infertilitas.
10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak
mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor
stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.Menolak,
ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal
ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien

2. Diagnosa Keperawatan
 Pre Hemodialisa
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
2. Resiko ketidak efektifan perfusi ginjal berhubungan dengan penyakit
ginjal (CKD)
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alrveolar kapiler (edema paru)
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi (peningkatan
usaha nafas)
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2
dan kebutuhan
6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine,
diet cairan berlebih, retensi cairan & natrium.
7. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema
sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
8. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
9. Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis (pembengkakan
renal)
10. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh
behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta
kadar asam basa dalam tubuh.
 Intra Hemodialisa
1. Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi saat
dan setelah pemasangan AV shunt
2. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses hemodialisa yang
mengerluarkan cairan dari dalam tubuh
3. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemasangan AV shunt
4. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.

 Post Hemodialisa
1. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
2. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberia heparin
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
sindrom ketidak seimbangan dialisa
a. Rencana Asuhan Keperawata
Dx. 1 Resiko tinggi kelebihan volume cairan b.d tidak adekuatnya gradient osmotik,
retensi cairan (malposisi kateter atau terlipat atau adanya bekuen, distensi usus,
peritonitis dan jaringan parut peritonium). aatau masukan peroral berlebihan.

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kelebihan volume
caiaran.

Kriteria Hasil :

1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan


2. Tidak mengalami peningkatan BB secara cepat, edema dan kongesti paru.
3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar.
4. Tidak terjadi nyeri perut

Intervensi Rasional

1. Catat volume cairan yang masuk, 1. Jumlah aliran harus sama atau
keluar dan kumulasi lebih dari yang dimasukkan.
keseimbangan caiaran. Keseimbangan positif
2. Menimbang berat badan pasien menunjukkan kebutuhan evaluasi
sebelum dan sesudah menjalani lebih lanjut.
dialisat 2. Indikator akurat status
keseimbangan cairan.
keseimbangan positif dengan
peningkatan BB menunjukakn
retensi cairan.
3. Kaji patensi kateter, kesulitan 3. Melambatnya kecepatan
drainase, perhatikan adanya aliran/adanya fibrin menunjukkan
lembaran atau plak fibrin. hambatan keteter parsial yang
perlu dievaluasi.
4. Tinggikan kepala tempat tidur, 4. dapat meningkatkan aliran bila
lakukan tekanan perlahan pada kateter salah posisi/obstruktif oleh
abdomen. omentum.
5. Perhatikan adanya distensi 5. Distensi abdomen/konstipasi dapat
abdomen sehubungan dengan mempengaruhi keseimbangan
penurunan bising usus, perubahan cairan.
konsistensi feses, keluhan
konstipasi.
6. Observati TTV, perhatikan adanya 6. Peningkatan nadi menunjukkan
hipertensi berat, nadi kuat, distensi hipovolume. Peningkatan
JVD. edema perifer. kelebihan cairan berpotensi
Gjk./edema paru.
7. Evaluasi adanya takipnea, 7. Distensi abdomen/kompresi
dispnea, peningkatan upaya diafragma dapat mengganggu
pernapasan. napas.
Kolaborasi:
8. perubahan mungkin diperlukan
8. Perubahan program dialisat sesuai
dalam konsentrasi glukosa atau
indikasi
natrium untuk memudahkan
efisiensi dialysis.

9. Awasi natrium serum 9. Hipernatremia dapat terjadi,


meskipun kadar serum dapat
menunjukkan efek pengenceran
dari kelebihan cairan.
10. Tambahkan heparin pada 10. mencegah dalam
dialisat awal, bantu irigasi kateter pembentukan fibrin yang dapat
dengan garam faal heparinasi menghambat kateter peritoneal.
11. Pertahankan pembatasan 11. Pembatasan caiaran dapat
cairan sesuai dengan indikasi dilanjutkan untuk menurunkan
kelebihan volume cairan.

Dx. 2 Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d penggunaan dialisat hipertonik
sehingga pembuangan cairan berlebihan.

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi kekurangan volume
caiaran.

Kriteria Hasil :

1. Aliran dialisat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan


2. Tidak mengalami penurunan BB secara cepat.
3. Terjadi balance cairan antara yang masuk dan keluar (kseimbangan negatif).
4. TTV dalam batas normal.
5. Tidak mengalami tanda-tanda dehidrasi.
Intervensi Rasional

1. Catat volume cairan yang masuk, 1. Memberikan informasi tentang


keluar dan kumulasi keseimbangan status keseimbangan cairan pada
caiaran. akhir setip pertukaran.
2. Berikan jadwal untuk pengaliran 2. Waktu tinggal lama, khususnya
dialisat dari abdomen. bila menggunakan cairan glukosa
4,5 dapat menyebabkan
kehilangan cairan berlebihan.
3. Menimbang berat badan pasien 3. Mendeteksi kecepatan
sebelum dan sesudah menjalani pembuangan cairan dengan
dialisat. membandingkan dengna berat
badan dasar.
4. Awasi TD dan nadi. Perhatikan 4. Penurunan TD, hipotensi postural
tingginya pulsasi jugular. dan takikardi adalah tanda didi
hipovolemia.
5. Perhatikan keluhan pusing, mual, 5. Dapat menunjukkan hipovolemia.
peningkatan rasa haus.
6. Inspeksi kelembapan mukosa, 6. Indikator dehidrasi dan
turgor kulit, nadi perifer dan CRT. membutuhkan peningkatan
pemasukan /perubahan dalam
kekuatan dialisat.
7. Kolaborasi: 7. Caiaran hipertonik dapat
Awasi pemeriksaan laboratorium menyebabkan hipernatremia dan
sesuai indikasi: natrium serum dan membuang lebih banyak air
kadar glukosa. daripada natrium.. Selain itu
glukosa dapat diabsorbsi dri
dialisat sehingga meningkatkan
glukosa serum.
8. Hipokalemia dapat terjadi dan
8. Kadar kalium serum.
dapat menyebabkan disritmia
jantung.

Dx. 3 Resiko tinggi trauma b.d kateter dimasukkan dalam rongga peritoneal.

Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, tidak terjadi injuri pada rongga
peritoneum.

Kriteria hasil :

Tidak ada tanda-tanda terjadi injuri pada rongga peritoneum

Klien tidak mengeluh nyeri pada abdomen.

Intervensi Rasional

1. Biarkan klien mengosonkan 1. Kandung kemih kososng lebih jauh


kandung kemih, usus untuk dari tempat pemasukan kateter dan
menghindari penusukan organ mlam enurunkan kemungkinan
interna tertusuk saat pemasangan kateter.
2. Fiksasi keteter dengan plester. 2. Menurunkan resiko trauma dengan
Tekankan pentingnya pasien manipulasi kateter.
menghindari penarikan atau
pendorongan kateter.
3. Perhatikan adanya fekal dalam
dialisat atau dorongan kuat untuk 3. Menduga perforasi usus dengan
defikasi, disertai diare berat. percampuran dialisat dan isi usus.
4. Perhatikan keluhan tiba-tiba ingin
berkemih, atau haluaran urine 4. Menunjukkan perforasi kandung
besar menyertai berjalannya kemih dengan kebocoran dialista
dialysis awal. dalam kandung kemih. Adanya
kandungan glukosa dalam dialisat,
akan meninggikan kadar glukosa
5. Hentikan dialysis bila terjadi
urine.
perforasi usus/kandung kemih.
5. Tindakan cepat akan mencegah
Biarkan kateter dialysis pada
cidera selanjutnya. Bedah
tempatnya.
perbaikan segera dibutuhkan.
Membiarkan kateter pada
tempatnya memudahkan diagnosa
/lokasi perforasi.

Dx. 4 Nyeri akut b.d pemasangan kateter pada lapisan abdomen

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam, keluhan nyeri klien dapat diatasi.
Kriteria Hasil :

1. Klien menyatakan penurunan keluhan nyeri.


2. Ekspresi wajah rileks
3. Klien dapat beristirahat dengan baik.
Intervensi Rasional

1. Kaji keluhan nyeri klien, ukur 1. Membantu identifikasi sumber


dengan skala nyeri. nyeri dan intervensi yang tepat.
2. Jelaskan ketidaknyamanan awal 2. Penjelasan dapat meningkatkan
biasanya hilang setelah pertukaran ansietas dan kenyamanan.
pertama
3. Awasi nyeri yang mulai selama 3. Nyeri dapat terjadi pada waktu ini
aliran dan berlanjut selama fase bila dialim menyebabkan iritasi
equilibrasi. lambatkan keceatan kimia terhadap membrane
infuse sesuai dengan indikasi. peritoneum.
4. Perhatikan ketidaknyamanan yang 4. Mungkin akibat distensi abdomen
paling dirasakan mendekati akhir dari dialisat. jumlah infuse mungkin
aliran masuk. masukkan tidak lebih harus dikurangi pada walnya.
dari 2000ml dalam sekali watu. 5. Masuknya udara yang kurang hati-
5. Perhatikan keluhan nyeri pada hati ke dalam abdomen mengiritasi
area bahu. cegah udara masuk ke diafragma dan mengakibatkan
rongga peritoneum selama infuse. nyeri pada bahu. Pertukaran lebih
kecil mungkin diperlukan sampai
kondisi klien membaik.
6. Perubahan posisi dapat
menghilangkan ketidaknyamanan.

6. Tinggikan kepala tempat tidur


pada interval tertentu. Balikkan
pasien dari satu sisi ke sisi lain.
7. Dapat meningkatakan kecepatan
Berikan perawatan punggung dan
pembuangan ureum melelui
masasae ringan .
dialysis pembuluh darah. dialisat
7. Hangatkan dialisat sebelum
yang terlalu dingan dapat
diinfuskan.
menyebabkan vasokonstriksi,
ketidaknyamanan, dan dapat
mencetuskan henti jantung.
8. Dapat mengindikasikan adanya
peritonitis.
9. Mengurangi ketidaknyamanan.

8. Awasi nyeri abdomen hebat dan


10. Menghilangkan nyeri dan
peningkatan sushu tubuh.
ketidaknyamanan.
9. Dorong penggunaan teknik
11. Kadang digunakan untuk
relaksasi.
mengubah pH bila klien tidak
Kolaborasi:
toleran terhadap keasaman
10. Pemberian analgesic. dialisat.

11. Tambahkan natrium hidroksida


pada dialisat sesuai indikasi.

Dx. 5 Resiko tinggi infeksi (peritonitis) b.d kontaminasi kateter selama pemasangan.

Tujuan :

Setelah dilakuakn perawatan selama 4-8 jam, klien tidak mengalami infeksi akibat
proses dialysis.

Kriteria Hasil :

Klien tidak menunjukkan tanda-tanda Infeksi: nyeri, hipertermi, kemerahan terdapat


pus

Intervensi Rasional

1. Gunakan teknik aseptic saat 1. Mencegah introduksi organism dan


pemasangan kateter. ganti balutan komtaminasi yang dapat
kapanpun balutan dibuka dang anti menyebaban infeksi.
selang sesuai dengan protocol.
2. Ganti balutan dengan hati-hati dan
2. Perubahan atau pergerakan
tidak mengubah posisi kateter.
kateter menyebabkan perdarahan
Perhatikan karater, warna. bau
drainase dari sekitar tempat
pemasangan.
3. Observasi warna dan kejernihan 3. Keluaran keruh diduga infeksi
haluaran. peritoneal.
4. Berikan pelindung betadine pada 4. Menurunkan resiko masuknya
distal, klem bagian kateter bila bakteri melalui kateter.
terapi intermiten digunakan.
5. Selidiki keluhan mual muntah, 5. Menunjukkan peritonitis yang
nyeri abdomen, nyeri tekan lepas, membutuhanintervensi segera.
demam, dan leukositosis.
6. KIE pada pasien cara pencegahan
6. SDP pada awal dapat
infeksi
menunjukkan respon normal
terhadap subtsansi asing, namun
berlanjutnya peningkatan
menunjukkan adanya infeksi.

Kolaborasi:

7. Awsi jumlah SDP dari haluaran


7. Mengidentifikasi organism dan
intervensi yang tepat.
8. Ambil specimen darah atau 8. Antibiotik dan dosis pilihan akan
keluaran caiarn untuk dikultur dipengaruhi oleh fungsi ginjal.
sensitivitasnya.
9. Awasi klirens ginjal (BUN,
9. Mengetahui fungsi ginjal
kretinine)
10. Berikan antibiotic secara
10. Mengurangi infeksi dan
sistemik atau dalam dialisat sesuai
mencegah sepsis.
indikasi.

Dx. 6 Pola pernapasan tidak efektif b.d penekanan pada abdomen, diafragma.

Tujuan :

Setelah dilakukan perawatan selama 4-8 jam tidak terjadi gangguan pola napas.

Kriteria Hasil :

1. Pola napas efektif yang ditunjukkan oleh: bunyi napas jelas dan tidak ada suara
napas tambahan.
2. GDA dalam batas normal
3. tidak ada distress napas (takipnea, diaphoresis, gelisah)
Intervensi Rasional

1. Kaji frekuensi napas dan 1. Gangguan pola napas selam


kedalaman napas dialysis diduga akibat tekanan
diafragma, distensi abdomen atau
terjadinya komplikasi.
2. Auskultasi bunyi napas
2. Suara napas yang tidak normal
dapat disebabkan peningkatan
caiaran dalam paru, tertahannya
sekresi atau infeksi.
3. Tinggikan kepala tempat tidur 3. Memudahkan ekspansi dada.
dan tingkatkan latihan napas
dalam dan batuk.

Kolaborasi

4. Kaji GDA, oksimetri


4. Perubahan pada PaO2/PaCO2 dan
kongesti pada hasil foto dapat
menunjukkan masalah pada paru.
5. Berikan O2 sesuai indikasi 5. Memaksimalkan oksigen untuk
penyerapan vascular, pencegahan
hiposia.
6. Menghilangkan nyeri, pernapasan
6. Berikan analgesic sesuai indikasi
nyaman, upaya batuk maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta :
EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2011. Nursing care plans: Guidelines
for planning and documenting patients care. Jakarta: EGC
D. Goldsmith et al. (eds.). Cardio-Renal Clinical Challenges. DOI 10.1007/978-3-319-
09162-4_12, © Springer International Publishing Switzerland 2015.
Hung SC, Lin YP, Huang HL, Pu HF, Tarng DC. Aldosterone and mortality in
hemodialysis patients: role of volume overload. PLoS One. 2013;8:e57511.
Mihaela Dora Donciu , Luminita Voroneanu , and Adrian Covic. Volume Overload
in CKD: Pathophysiology, Assessment Techniques, Consequences and Treatment. .
DOI: 10.1007/978-3-319-09162-4_12. September 2015.
Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2010

Anda mungkin juga menyukai