Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) dengan ANEMIA


DI RUANG IGD RSUD RAA SOEWONDO PATI

DISUSUN OLEH:
NAMA : DWI KUMALA SARI
NIM : 232021010063

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN AJARAN 2023/2024

1. (CHRONIC KIDNEY DISSEASE) CKD


1.1 Pengertian CKD
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) (Brunner & Suddarth, 2014). Gagal ginjal kronik
berdasarkan National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome
Quality Initiative 2006 definisi penyakit gagal ginjal kronik (GGK) adalah
kerusakan ginjal > 3 bulan, berupa kelainan struktur ginjal, dapat atau
tanpa disertai penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang ditandai
dengan:
1. Kerusakan ginjal yang dimaksud adalah adanya abnormalitas
patologis atau adanya kerusakan ginjal, termasuk abnormalitas pada
pemeriksaan darah dan komposisi urine
2. LFG < 60 ml/ menit/1,73 m2 selama >3 bulan, dapat disertai atau
tanpa disertai kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat
kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari 60
ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik

1.2 Klasifikasi CKD


Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan
melalui penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk
menghitung GFR dokter akan memeriksakan sampel darah penderita ke
laboratorium untuk melihat kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah
produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari
dalam darah oleh ginjal yang sehat. Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal
ginjal kronis sebagai berikut :
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance
Creatinin Test) dapat digunakan dengan rumus berikut ini:

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( Kg )


72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

Stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :


1) Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum
merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada
ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal
meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100%, sehingga banyak
penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium.
2) Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh
karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik.
3) Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
Pada tingkat ini akumulasi sisa-sisa metabolisme akan
menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Gejala-gejala juga
terkadang mulai dirasakan seperti :
a. Fatique, rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh
anemia.
b. Kelebihan cairan, hal ini membuat penderita akan mengalami
pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau
tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat
teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
c. Perubahan pada urin, urin yang keluar dapat berbusa yang
menandakan adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna
urin juga mengalami perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau
merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa
bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering
trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
d. Rasa sakit pada ginjal, rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal
berada dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai
masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
e. Sulit tidur, sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk
tidur disebabkan munculnya rasa gatal.
4) Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat
mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti
ginjal / dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi
penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada
stadium ini. Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah
Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal,
sulit tidur, Nausea (muntah atau rasa ingin muntah), perubahan cita
rasa makanan (dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak
terasa seperti biasanya), dan bau mulut uremic (ureum yang
menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau pernafasan
yang tidak enak).
5) Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya
untuk bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi
pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat
bertahan hidup. Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain
kehilangan nafsu makan, nausea, sakit kepala, merasa lelah, tidak
mampu berkonsentrasi, gatal-gatal, urin tidak keluar atau hanya
sedikit sekali, bengkak (terutama di seputar wajah, mata dan
pergelangan kaki).

1.3 Penyebab CKD


Penyebab CKD menurut Price, dibagi menjadi delapan kelas,
antara lain:
a. Infeksi misalnya pielonefritis kronik
b. Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya
timbul pasca infeksi streptococcus.Untuk glomerulus akut, gangguan
fisiologis utamanya dapat mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-
zat nitrogen berkurang sehingga timbul edema dan azotemia,
penigkatan aldosteron menyebabkan retensi air dan natrium. Untuk
glomerulonefritis kronik, ditandai dengan kerusakan glomerulus secara
progresif lambat, akan nampak ginjal mengkerut, berat lebih kurang
dengan permukaan bergranula. Ini disebabkan jumlah nefron
berkurang karena iskemia, karena tubulus mengalami atropi, fibrosis
intestisial dan penebalan dinding arteri
c. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada
ginjal. Sebaliknya CKD dapat menyebabkan hipertensi melalui
mekanisme retensi Na dan H2O, pengaruh vasopresor dari system
renin, angiotensin dan defisiensi prostaclandin. Gangguan jaringan
penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa,sklerosis sistemik progresif
d. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal
polikistik,asidosis tubulus ginjal
Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista multiple,
bilateral yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu
dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat penekanan.
Asidosis tubulus ginjal merupakan gangguan ekskresi H+ dari tubulus
ginjal/kehilangan HCO3 dalam kemih walaupun GFR yang mamadai
tetap dipertahankan, akibatnya timbul asidosis metabolic.
e. Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amyloidosis
Kadar gula darah yang tidak terkontrol dalam jangka waktu yang
panjang akan mengakibatkan ginjal tidak dapat menyaring darah
secara normal sehingga terjadi kerusakan glomerulus yang dapat
mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria.
Salah satu komplikasi DM yang dapat menyebabkan CKD yaitu
nefropati diabetik
f. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli
neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher
kandung kemih dan uretra.

1.4 Patofisiologi CKD


Pasien PGK biasanya mengalami anemia. Penyebab utamanya adalah
defisiensi produksi eritropoietin (EPO) yang dapat meningkatkan risiko
kematian, uremia penghambat eritropoiesis, pemendekan umur eritrosit,
gangguan homeostasis zat besi. Antagonis EPO yaitu sitokin proinflamasi
bekerja dengan menghambat sel-sel progenitor eritroid dan menghambat
metabolisme besi. Penyebab lain anemia pada pasien PGK adalah infeksi
dan defisiensi besi mutlak. Kehilangan darah adalah penyebab umum dari
anemia pada PGK. Hemolisis, kekurangan vitamin B12 atau asam folat,
hiperparatiroidisme, hemoglobinopati dan keganasan, terapi angiotensin-
converting-enzyme (ACE) inhibitor yang kompleks dapat menekan
eritropoiesis. Pasien PGK mengalami defisiensi zat besi yang ditunjukkan
dengan ketidakseimbangan pelepasan zat besi dari penyimpanannya
sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk eritropoiesis yang
sering disebut juga reticuloendothelial cell iron blockade.
Reticuloendothelial cell iron blockade dan gangguan keseimbangan
absorbsi zat besi dapat disebabkan oleh kelebihan hepsidin. Hepsidin
merupakan hormon utama untuk meningkatkan homeostasis sistemik zat
besi yang diproduksi di liver dan disekresi ke sirkulasi darah. Hepsidin
mengikat dan menyebabkan pembongkaran Ferroportin pada enterosit
duodenum, retikuloendotelial makrofag, dan hepatosit untuk menghambat
zat besi yang masuk ke dalam plasma. Peningkatan kadar hepsidin pada
pasien PGK dapat menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia.

1.5 Pathway
1.6 Manifestasi CKD
Manifestasi klinis berdasarkan sistem tubuh menurut Smeltzer dan Bare
(2018) yaitu
a. Gastrointestinal
 Anoreksia, nausea, dan vomitus, yang berhubungan dengan
gangguan metabolisme protein di dalam usus, terbentuknya zat –
zat toksik akibat metabolisme bakteri usus seperti sub mukosa
usus.
 Foetor uremicum disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada
air liur diubah oleh bakteri di mulut menjadi amonia sehingga
nafas berbau amonia. Akibat yang lain adalah timbulnya stomatitis
dan parotitis.
b. Kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum
jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder.
Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan
paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka .
c. Sistem hematologi
1) Berkurangnya produksi eritropoitin, sehingga rangsangan
eritropoisis pada sumsum tulsng menurun.
2) Hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritroosit dalam
suasana uremia toksik.
3) Difisiensi besi, asam folat akibat nafsu makan yang kurang.
4) Perdarahan pada saluran cerna dan kulit
d. Sistem saraf dan otot
a) Resties leg syndrome: Pasien merasa pegal pada kakinya
sehingga selalu digerakkan.
b) Burning feet syndrome: Rasa semutan dan seperti terbakar
terutama ditelapak kaki.
c) Ensefalopati metabolik: Lemah tidak bisa tidur, gangguan
konsentrasi tremor.
d) Miopati: Kelemahan dan hipotropi otot-otot terutama otot-otot
ekstremitas proksimal.
e. Sistem kardiovaskuler
1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau
peningkatan aktifitas system renin-angiotensin-aldosteron.
2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi pericardial,
penyakit jantung koroner akibat arterosklerosis dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi.
f. Sistem endokrin
1) Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan sekresi
dan insulin.
2) Gangguan metabolisme.
3) Gangguan metabolisme vitamin D.
g. Ginjal dan sistem urin
Semula perubahan berupa tekanan darah rendah, mulut kering,
tonus kulit hilang, lesu, lelah, mual. Karena ginjal kehilangan
kemampuan mengekskresikan natrium, penderita akan mengalami
retensi natrium dan kelebihan natrium, sehingga penderita
mengalami iritasi dan menjadi lemah. Keluaran urin mengalami
penurunan serta mempengaruhi komposisi kimianya.
1.7 Pemeriksaan Diagostik CKD
1. Urine

Volume Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)

Warna Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya
darah, HB, mioglobin.

Berat Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat).
Jens

Osmolitas Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio urine/serum
sering 1:1

Clerance Mungkin agak menurun


Creatinin

Natrium Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium

Protein Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan glomerulus
bila SDM dan fragmen juga ada.

2. Darah

BUN / Kreatin Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16


mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)

Hitung darah lengkap Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari 78 g/dL

SDM Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada


azotemia.

GDA pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena


kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan
amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun,
PCO2 menurun

Natrium Serum Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).

Kalium Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan


perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada
tahap akhir, perubahan

Magnesium / Fosfat Meningkat

Kalsium Menurun

Protein (khususnya Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein


Albumin) melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau
penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial

Osmolalitas Serum Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.

3. Pemeriksaan Pencitraan
(Radiologi)
a. foto polos abdomen : melihat bentuk, besar ginjal ataupun
batu dalam ginjal.
b. ultrasonografi (USG) : menilai besar dan bentuk ginjal, tebal
korteks, kandung kemih serta prostat
c. foto dada : terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat
kelebihan air, efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikardial.
d. Piolegram Intravena
1) Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas
pelvis ginjal dan ureter.
2) Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan
mengidentifikasi ekstravaskular massa.
e. Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung
kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.
f. Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
g. Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis histoligis.
h. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan
pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif.
i. EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam/basa.

1.8 Penatalaksanaan CKD


a. Terapi Medis
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
ginjal .
1. Dialisis : memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan
cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas,
menghilangkan kecenderungan perdarahan, dan membantu
penyembuhan luka. Dialisis adalah suatu proses difusi zat
terlarut dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari
suatu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya.
Terdapat dua teknik yang digunakan dalam dialisis, yaitu :
a) Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan atau produk limbah karena dalam
tubuh penderita gagal ginjal tidak mampu melaksanakan
proses tersebut (Brunner&Suddarth, 2002). Menurut corwin
(2000), hemodialisis adalah dialisa yang dilakukan di luar
tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh
melalui sebuah kateter masuk kedalam sebuah mesin yang
dihubungkan dengan sebuah membran semipermeable
(dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan
dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat,
sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah dilakukan
pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam
tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt). Tindakan
terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak
boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m²,
mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat.

b) Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisa pada


penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Pengobatan ini
jarang dipakai untuk jangka panjang. Akhir-akhir ini sudah
populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik
CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih
dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT
(gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup,
dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri),
dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
2. Transplantasi Ginjal: Dengan pencangkokan ginjal yang sehat
ke pasien GGK, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal baru.
Pertimbangan program transplantasi ginjal :
a) Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh 100% fungsi
dan faal ginjal
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Survival rate meningkat
d) Komplikasi (biasanya dapat di antisipasi) terutama
berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah
reaksi penolakan.
e) Tindakan standar adalah dengan merotasi ginjal donor dan
meletakkan pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter
kemudian lebih mudah beranastomosis atau berimplantasi
kedalam kemih resipien. Arteri renalis berimplantasi pada
arteri iliaca interna dan vena renalis beranastomosis dengan
vena iliaca komunis atau eksterna.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Hitung intake dan output yaitu cairan : 500 cc ditambah
urine dan hilangnya cairan dengan cara lain (kasat mata) dalam
waktu 24 jam sebelumnya.
c. Penatalaksanaan Diet
1) Kalori harus cukup : 2000 – 3000 kalori dalam waktu 24
jam.
2) Karbohidrat minimal 200 gr/hari untuk mencegah terjadinya
katabolisme protein
3) Diet uremia dengan memberikan vitamin : tiamin, riboflavin,
niasin dan asam folat.
4) Diet rendah protein karena urea, asam urat dan asam
organik, hasil pemecahan makanan dan protein jaringan
akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat
gagguan pada ginjal. Protein yang diberikan harus yang
bernilai biologis tinggi seperti telur, daging sebanyak 0,3 –
0,5 mg/kg/hari
1.9 Komplikasi CKD
1) Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic,
katabolisme dan masukan diet berlebih.
2) Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat
retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi
system rennin-angiotensin-aldosteron
4) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna
kehilangan drah selama hemodialisa
5) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat,
kadar kalsium serum yang rendah dan metabolisme vitamin D
abnormal
2. Anemia
2.1 Pengertian Anemia
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan
konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause
dan < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines
untuk penatalaksanaan anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik
mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dl pada
wanita, 13,5 gr/dl pada laki-laki dibawah atau sama dengan 70 tahun dan 12,0
gr/dl pada laki-laki diatas 70 tahun. The National Kidney Foundation’s Kidney
Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) merekomendasikan anemia pada
pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl (hematokrit
<33%) pada wanita premenopause dan pasien prepubertas, dan < 12,0 gr/dl
(hematokrit <37%) pada laki-laki dewasa dan wanita postmenopause.

2.2 Penyebab Anemia


Faktor-faktor yang berkaitan dengan anemia pada penyakit ginjal kronik
termasuk kehilangan darah, pemendekan masa hidup sel darah merah,
defisiensi eritropoetin, defisiensi besi dan inflamasi.
1) Kehilangan Darah
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan
darah oleh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan
darah pada pasien-pasien ini adalah dari dialisis, terutama hemodialisis dan
nantinya menyebabkan defisiensi besi juga. Pasien-pasien hemodialisis dapat
kehilangan 3 -5 gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per
hari sehingga kehilangan besi pada pasien-pasien dialisis 10-20 kali lebih
banyak.
2) Pemendekan masa hidup eritrosit
Masa hidup eritrosit berkurang sekitar sepertiga pasien-pasien
hemodialisis
3) Defisiensi Eritropoetin
Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada
pasien-pasien penyakit ginjal kronik. Sel-sel peritubular yang menghasilkan
eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas
penyakit ginjalnya, sehingga produksi eritropoetin tidak serendah sesuai
dengan derajat anemianya. defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal
kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus.
CKD menyebabkan turunnya kadar eritropoetin (EPO), hormone yang
dihasilkan oleh ginjal yang sehat untuk memproduksi sel darah merah. Apabila
tubuh kekurangan kadar oksigen maka ginjal yang sehat akan melepas
hormone EPO yang akan merangsang sumsum tulang (bone marrow) untuk
memproduksi lebih banyak sel darah merah, semakin banyak sel darah merah
dalam aliran darah maka secara otomatis semakin banyak oksigen yang dapat
dipasok ke tubuh. CKD menyebabkan anemia berat yang secara bertahap
mempengaruhi kemampuan normal, penampilan diri, dan aktivitas sosial
pasien. Hal ini akan menyebabkan turunnya kualitas hidup secara umum.
4) Defisiensi Besi
Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik.
Untuk alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi),
kadar transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar
normal, menghilangkan kapasitas sistem transport besi. Situasi ini yang
kemudian mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari
makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjal kronik.
5) Inflamasi
Anemia pada inflamasi juga ditandai dengan kadar besi serum yang
rendah, saturasi transferin yang rendah dan gangguan pengeluaran cadangan
besi yang bermanifestasi dengan tingginya serum feritin. Peningkatan jumlah
sitokin-sitokin inflamasi di sirkulasi seperti interleukin berhubungan dengan
respon yang buruk terhadap pemberian eritropoetin pada pasien-pasien gagal
ginjal terminal

2.3 Patofisiologi Anemia


Pasien GGK biasanya mengalami anemia. Penyebab utamanya adalah
defisiensi produksi eritropoietin (EPO) yang dapat meningkatkan risiko
kematian, uremia penghambat eritropoiesis, pemendekan umur eritrosit,
gangguan homeostasis zat besi. Antagonis EPO yaitu sitokin proinflamasi
bekerja dengan menghambat sel-sel progenitor eritroid dan menghambat
metabolisme besi. Resistensi EPO disebabkan oleh peradangan maupun
neocytolysis. Beberapa mekanisme patofisiologi mendasari kondisi ini,
termasuk terbatasnya ketersediaan besi untuk eritropoiesis, gangguan
proliferasi sel prekursor eritroid, penurunan EPO dan reseptor EPO, dan
terganggunya sinyal transduksi EPO. Penyebab lain anemia pada pasien GGK
adalah infeksi dan defisiensi besi mutlak.
Kehilangan darah adalah penyebab umum dari anemia pada GGK.
Hemolisis, kekurangan vitamin B12 atau asam folat, hiperparatiroidisme,
hemoglobinopati dan keganasan, terapi angiotensin-converting-enzyme (ACE)
inhibitor yang kompleks dapat menekan eritropoiesis. Pasien GGK mengalami
defisiensi zat besi yang ditunjukkan dengan ketidakseimbangan pelepasan zat
besi dari penyimpanannya sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk
eritropoiesis yang sering disebut juga reticuloendothelial cell iron blockade.
Reticuloendothelial cell iron blockade dan gangguan keseimbangan absorbsi
zat besi dapat disebabkan oleh kelebihan hepsidin. Hepsidin merupakan
hormon utama untuk meningkatkan homeostasis sistemik zat besi yang
diproduksi di liver dan disekresi ke sirkulasi darah. Hepsidin mengikat dan
menyebabkan pembongkaran ferroportin pada enterosit duodenum,
retikuloendotelial makrofag, dan hepatosit untuk menghambat zat besi yang
masuk ke dalam plasma. Peningkatan kadar hepsidin pada pasien GGK dapat
menyebabkan defisiensi zat besi dan anemia.

2.4 Manifestasi klinis Anemia


Anemia mulai muncul stage ke 3 CKD ketika GFR < 60 ml/menit, jauh
sebelum dialysis dibutuhkan. Anemia semakin memburuk seiring dengan
progesivitas CKD.
1) Onset anemia pada CKD merangsang secara gradual sehingga seringkali
pasien tidak menyadari masalah tersebut. Mereka mungkin merasakan
kelelahan dan kelemahan atau merasa kurang tidur. Pasien dengan
anemia krang memiliki energy dan antusiasme
2) Tekanan darah pada anemia biasanya rendah dengan tanda awal
tekanan darah menurun ketika pasien berdiri, dan relative normal ketika
pasien duduk atau berbaring. Tanda awal lainnya yaitu seyang besar
antara tekanan sistolik dan diastolic. Selisih yang normal biasanya adalah
sekitar 50 tetapi pada anemia selisih ini biasanya lebih bertambah besar.
Hal ini disebabkan oleh jantug yang berusaha memompa lebih keras
ketika oksigen yang dialirkan ke sel-sel rendah, dan ditambah dengan
akumulasi dari kelelahan seperti karbondioksida akan menyebabkan
relaksasipembuluh darah dan menurunkan tekanan diastolic.
3) Konjungtiva anemis
4) Pusing khususnya ketika berdiri
5) Sulit untuk focus dan berkonsentrasi
6) Pada pasien gagal jantung, nafas pendek dan kelebihan cairan mungkin
akan tampak. Seperti yang telah disebutkn sebelumnya, anemia
menyebabkan jantung memompa lebih keras dan cepat sehingga jumlah
oksigen yang sama dapat mencapai sel. Jika jantung tidak dapat
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh, gagal jantung dapat terjadi. Gagal
jantung awal dapat berhubungan dengan batuk kering, kesulitan
berbaring dengan posisi datar, atau nafas pendek. Pasien dapat
mengalami edema atau pembengkakan, khususnya di ekstermitas bawah.
Gagal jantung merupakan masalah yang serius. Ketika jantung megalami
dekompensasi, darah dapat mengalir balik ke paru-paru dan hepar.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik Anemia


Pemeriksaan awal berupa anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan darah rutin dan hapusan darah selalu harus dilakukan. Pada
pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik, normokrom, dan terdapat sel
burr pada anemia berat, leukosit dan trombosit masih dalam batas normal,
retikulosit biasanya menurun. Evaluasi anemia dimulai Hb < 10 g/dl, Ht < 30%.
Diagnosis laboratorium anemia yaitu
a) Hemoglobin, hematrokrit
b) Hitung retikulosit nilai normal 0,5 kurang lebih 1,5%
c) Status besi : saturasi transferin : saturasi transferin menujukkan jumlah
beredar dalam sirkulasi. Nilai normal saturasi transferin adalah >20%.
d) ST = KBS/KIBT x 100%
KBS : kadar besi serum atau serum iron
KIBT : kapasitas ikat besi total atau total iron binding capity
e) Ferritin serum (Fs )
Kadar feritin serum menggambarkan jumlah cadangan besi tubuh.
Nilai normal ferritin serum adalah > 100 g/ml.
2.6 Penatalaksanaan Anemia
a. Terapi Besi dan Pemantauan Status Besi
Bila status besi kurang, maka harus diberikan terapi besi terlebih dahulu
sebelum diberikan terapi EPO
1) Terapi besi intravena
Merupakan cara pemberian besi yang paling baik dibandingkan
suntika IM maupun oral, terutama pada pasien yang mendapat EPO.
Stimulasi eritropoiesis yang kuat pada terapi EPO menyebabkan
kebutuhan besi meningkat dengan cepat yang tidak tercukupi oleh
asupan besi oral. Contoh preparat besi untuk suntikan intravena : iron
Dextran, Sodium ferric gluconate complex, iron hydroxysaccharate.
a) Dosis uji coba (test dose) : dilakukan sebelum mulai terapi besi.
25 mg iron dextran di dalam 50 ml NaCl 0,9%, diberikan intravena
selama 30 menit. Bila tidak ada reaksi alergi, lanjutkan dengan
terapi induksi besi.
b) Terapi induksi besi
Tujuannya adalah untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi
absolute dan fungsional, sampai kadar feritin serum mencapai >
100 µg/L dan ST >20%. Iron dextran 100 mg diencerkan dengan
50 ml NaCl 0.9 % diberikan IV selama 1-2 jam pertama
hemodialisis melalui venous blood line. Dosis ini diulang tiap
hemodialisis sampai 10x (dosis mencapai 1000 mg). Evaluasi
status besi dilakukan 2 minggu pasca terapi induksi besi. Bila
target status besi sudah tercapai (FS>100 µg/L dan ST >20%),
lanjutkan dengan terapi pemeliharaan besi. Bila target belum
tercapai, ulangi terapi induksi besi.
c) Terapi pemeliharaan besi
Efek samping terapi besi intravena adalah reaksi alergi dan shock
anafilaktik. Kontraindikasi terapi besi, antara lain bila terdapat
reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati berat, dan
kandungan besi tubuh berlebih.
b. Terapi besi intramuskuler
Merupakan terapi besi alternative bila preparat IV tak tersedia. Jenis
preparat yang tersedia adalah iron dextran. Suntikan pada regio gluteus
kuadran luar atas dengan teknik Z track injection. Dosis ujicoba (0.5ml IM).
Dosis terapi induksi besi: Jika FS < 30 µg/L diberikan 6 x 100 mg dalam 4
minggu. Jika FS 31 µg/L sampai <100>L diberikan 4 x 10mg dalam 4
minggu. Suntikan besi IM selain terasa sakit, juga dapat menyebabkan
komplikasi abses, perdarahan, dan kemungkinan terjadi myosarkoma pada
daerah suntikan.
c. Terapi besi oral
Preparat oral masih bermanfaat terutama pada anemia defisiensi besi
yang tidak mendapat terapi EPO. Akan tetapi sering hasilnya tidak seperti
yang diharapkan karena berbagai hal seperti absorpsi besi yang tidak
adekwat pada pasien hemodialisis dan kurangnya kepatuhan minum obat
akibat rasa mual. Banyak penelitian yang menunjukan bahwa terapi besi
oral tidak memadai pada pasien yang mendapat EPO, namun demikian
tetap saja dapat diberikan bila preparat IV dan IM tidak tersedia. Dosis
minimal 200 mg besi elemental perhari, dalam dosis terbagi 2-3x/hari.
Efek samping terapi besi intravena dan intramuskuler adalah reaksi
alergi dan syok anafilaktik. Obat-obat emergensi untuk mengatasi keadaan
ini harus disediakan sebelum terapi dimulai. Kontraindikasi terapi besi
antara lain bila terdapat hipersensitivitas, gangguan fungsi hati berat dan
kandungan besi tubuh berlebih (iron overload).
d. Terapi Eritropoietin
Indikasi terapi EPO bila Hb >100 ug/L dan ST > 20%) dan tidak ada
infeksi berat. Kontraindikasi terapi bila terdapat reaksi hipersensitivitas
terhadap EPO dan pada keadaan hipertensi berat. Hati- hati pada keadaan
hipertensi yang tidak terkendali, hiperkoagulasi dan keadaan overload
cairan.
Terapi induksi EPO. Mulai dengan 2000-4000 IU/xhemodialisis
subkutan, selama 4 minggu, Target respons yang diharapkan adalah Ht
naik 2-4% dalam 2-4 minggu atau Hb naik 1-2g/dL dalam 4 minggu. Kadar
Hb dan Ht dipantau setiap 4 minggu. Bila target respons tercapai,
pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL). Bila target
belum tercapai naikkan dosis EPO 50 %. Namun bila Hb naik terlalu cepat,
8 g/dL dalam 4 minggu turunkan dosis EPO 25 %. Selama terapi induksi
EPO ini status besi di pantau setiap bulan.
Terapi pemeliharaan EPO. Diberikan bila target Hb sudah tercapai > 10
g/dL atau Ht > 30%. Angka ini lebih rendah dibanding panduan DOQI
(Dialysis Outcomes Quality Initiative) yang menargetkan Hb 11-12 g/dL dan
Ht 3336%. Dosis pemeliharaan EPO yang dianjurkan 1-2 kali 2000
IU/minggu. Selama terapi pemeliharaan Hb/Ht diperiksa setiap bulan dan
status besi setiap 3 bulan. Bila dengan terapi pemeliharaan EPO Hb
mencapai >12 g/dL , dosis EPO diturunkan sebanyak 25%.
e. Transfusi Darah
Transfusi darah memiliki risiko terjadinya reaksi transfusi dan
penularan penyakit seperti Hepatitis virus B dan C, Malaria, HIV dan potensi
terjadinya kelebihan cairan (overload). Disamping itu transfusi yang
dilakukan berulangkali menyebabkan penimbunan besi pada organ tubuh.
Karena itu transfusi hanya diberikan pada keadaan khusus, yaitu:
1) Perdarahan akut dengan gejala hemodinamik
2) Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO atau
yang telah dapat terapi EPO tapi respons belum adekuat, sementara
preparat besi IV/IM belum tersedia. Untuk tujuan mencapai status besi
yang cukup sebagai syarat terapi EPO, transfusi darah dapat diberikan
dengan hati-hati. Target pencapaian Hb dengan transfusi 7-9 g/dL, jadi
tidak sama dengan target pencapaian Hb pada terapi EPO. Bukti klinis
menunjukkan bahwa pemberian transfusi sampai Hb 10-12 g/dL tidak
terbukti bermanfaat dan menimbulkan peningkatan mortalitas.

3. KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN KEPERAWATAN


Data yang perlu dikaji
1. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia
muda, dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
2. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau
(ureum), gatal pada kulit.
3. Riwayat penyakit
1) Sekarang : Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi
anafilaksis, renjatan kardiogenik.
2) Dahulu : Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih,
payah jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik,
Benign Prostatic Hyperplasia, prostatektomi.
3) Keluarga : Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
4. Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas
cepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
5. Pemeriksaan Fisik :
1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala: Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk
dengan/tanpa sputum, kental dan banyak.
Tanda : Takipnue, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif
dengan / tanpa sputum.
2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala: Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada
atau angina dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Tanda: Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada
kaki, telapak tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi
ortostatik, friction rub perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan,
kuning. Kecendrungan perdarahan.
3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai
koma.
4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)
Gejala : Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari
400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak dapat
kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung,
diare atau konstipasi.
Tanda : Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan)
oliguria atau anuria.
5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis
erosiva dan Diare
6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki,
(memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.
Tanda : Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis
pada kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan
lunak, sendi keterbatasan gerak sendi.
a. Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata
laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak
gagal ginjal kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif
terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur
pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya
penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
2) Pola nutrisi dan metabolism
Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake
minum yang kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang
dapat mempengaruhi status kesehatan klien. Peningkatan berat
badan cepat (oedema) penurunan berat badan (malnutrisi) anoreksia,
nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan diuretic,
Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang,
rambut tipis, kuku rapuh.
3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua
dan pekat, tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria,
anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi,
Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau
anuria.
4) Pola tidur dan Istirahat
Gelisah, cemas, gangguan tidur.
5) Pola Aktivitas dan latihan
Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien
tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal,
Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran).
7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati /
mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma.
Klien mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien
mengalami disorientasi/ tidak.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan
penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan
menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran
pada keluarga (self esteem).

9) Pola seksual dan reproduksi


Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual,
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada
proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan libido, amenorea,
infertilitas.
10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor
stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat
menyebabkan klien tidak mampu menggunakan mekanisme koping
yang konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak
ada harapan, tak ada kekuatan. Menolak, ansietas, takut, marah,
mudah terangsang, perubahan kepribadian.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh
serta gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam
melaksanakan ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien.
3.2 Diagnosis Kperawatan
a. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine, diet
berlebih dan retensi cairan serta natrium.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
anoreksia, mual dan muntah, pembatasan diet, dan
perubahan membrane mukosa mulut.
c. Kerusakan integritas kulit b.d gangguan volume cairan,
perubahan pigmentasi
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan curah
jantung (beban Jantung yang meningkat)
e. Gangguan pertukaran gas b.d peningkatan beban jantung,
tekanan vena pulmonalis, edema paru.
f. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi, produksi
sampah.
3.3 Intervensi
1. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine, diet berlebih
dan retensi cairan serta natrium.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x4 jam,
tanda-tanda kelebihan volume cairan teratasi dengan kriteria hasil:
 Bebas dari edema
 BB ideal
 Tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
a) Monitor BB dengan alat ukur yang sama
b) Monitor intake dan output
c) Monitor TTV
d) Monitor perubahan edema perifer
e) Batasi pemasukan cairan
f) Evaluasi derajat edema jika ada
g) Kolaborasi untuk dialysis sesuai indikasi

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia,


mual dan muntah, pembatasan diet, dan perubahan membrane mukosa
mulut. Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan
kriteria hasil:
Menunjukan BB stabil
Intervensi:
1) Awasi konsumsi makanan / cairan
2) Perhatikan adanya mual dan muntah
3) Berikan makanan sedikit tapi sering
4) Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
5) Berikan perawatan mulut
6) Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian terapi nutrisi yang
sesuai

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2019. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta :
EGC
Corwin, E.J. 2014. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Herdman, T. Heather. 2012.NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan. Jakarta :


EGC

K/DOQI. 2015. Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive


Agent in Chronic Kidney Disease. In Guideline 2 In:Evaluation of Patient
with CKD or Hypertension. CKD 2006: 1-18.

KDIGO. 2013. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Kid Int Supplements(3); 18-27.

Smeltzer SC dan Bare BG. 2021.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth.Ed.8. Vol.2. Jakarta: Kedokteran EGC

Suwitra K. 2014. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Anda mungkin juga menyukai