Anda di halaman 1dari 32

1.

CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)

1. DEFINISI
Chronic kindey diseaseatau disebut juga gagal ginjal kronis. Penyakit ginjal kronik adalah
suatu proses patofisiologis dengan etiologiyang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progresif, dan padaumumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah
suatu keadaan klinisyang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu
derajatyang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atautransplantasi
ginjal (Suwitra, 2009).
2. KLASIFIKASI
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui penghitungan nilai
Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan melihat kadar kretatinin. Kreatinin adalah produk sisa
yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang
sehat.

Untuk

menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test) dapat
digunakan dengan rumus:

Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :


a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang
mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap
berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100 persen,
sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium.

b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)


Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap
dapat berfungsi dengan baik.
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah
yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
• Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
• Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan
sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
• Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan
menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampurdengan darah.
Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering
trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
• Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal beradandapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
• Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu
dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia
biasanya muncul pada stadium ini.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah:
 Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui
bau pernafasan yang tidak enak.
e. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
• Kehilangan napsu makan
• Nausea.
• Sakit kepala.
• Merasa lelah.
• Tidak mampu berkonsentrasi.
• Gatal – gatal.
• Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
• Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
• Keram otot
• Perubahan warna kulit

3. ETIOLOGI
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR)
pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis,
diabetes melitus, hipertensi dan ginjal polikistik (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri / infeksi
sehingga terjadi peradangan sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik
(LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik
glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan
urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes mellitus
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak
menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil
lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama
tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar
glukosa darahnya (Waspadji, 2006).
c. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan
genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu
dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena
sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.

4. PATOFISIOLOGI (terlampir)

5. MANIFESTASI KLINIS
Karena pada gagal hginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia,
maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dan usia
pasien.
a. Sistem integument
Gejala pada kulit sering menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, seperti kulit
menjadi pucat dan adanya pigmentasi urokrom. Kulit yang kering dan bersisik terjadi
akibat atropinya kelenjar minyak, menyebabkan gangguan penguapa sehingga terjadi
penumpukan kristal urea di kulit. Akibatnya kulit menjadi terasa gatal (pruritus). kuku dan
rambut juga menjadi kering dan pecah-pecah sehungga mudah rusak dan patah.
Perubahan pada kuku tersebut merupakan ciri khas kehilangan protein kronik.
b. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi bisa terjadi akibat retensi cairan dan sodium. Hal ersebut terjadi akibat gagal
ginjal kronik menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun, sehingga mengaktivasi
apparatus juxtaglomerular untuk memproduksi enzim rennin yang menstimulasi
angiotensin I dan II serta menyebabkan vasokonstriksi perifer. Angiotensin II
merangsang produksi aldosteron dan korteks adreanl, meningkatkan reabsorbsi sodium
dan ginjal sehingga akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan sodium dalam ginjal
sehingga akhirnya meningkatkan cairan intersitiil dan sodium dalam darah. Manifestasi
lain yang dapat ditemukan adalah gagal jantung kongestif dan perikarditis (akibat iritasi
pada lapisan pericardial oleh toksin uremik).
c. Sistem respirasi
Gejala yang sering dtemukan adalah edem apulmoner dan pneumonia yang sering
menyertai gagal jantung akibat retensi cairan yang berlebihan. Gejala lainnya adalah
pernafasan kussmaul dan nafas berbau uremik.
d. Sistem gastrointestinal
Gejala yang sering terjadi adalah anoreksia, mual, muntah, kelaianan periodontal dan
ulserasi pada saluran gastrointestinal. Perdarahan saluran cerna juga bisa terjadi dan
akan menjadi berbahaya pada pasien dengan kelainan pembekuan darah.
e. Sistem sirkulasi dan imun
Pasien gagal ginjal kronis sering mengalami anemia dengan kadar Hb <6 g/dL atau
hematokrit <25-30%. Bagi pasien yang menjalani hemodialisis, hematokrit berkisar
antara 39-45%. Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah mera, defisiensi nutrisi (seperti zat besi, asam
folat dan vitamin B12) atau kehilangan nutrisi selama hemodialisa dan kecenderungan
untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Selain sering mengalami anemia, pasien gagal ginjal tahap akhir juga
renan terhadap infeksi akibat adanya defisiensi immunoglobulin.
f. Sistem saraf
Retensi produk sampah dalam darah dan ketidakseimbangan elektrolit menurunkan
kemampuan neurotransmisi dalam berbagai oragan yang bisa berlanjut kepada
gangguan sistem saraf perifer yang menyebabkan burning pain, restless leg syndrome,
spasme otot dan kram.
g. Sistem reproduksi
Perubahan esterogen, progesteron dan testosteron menyebabkan tidak teraturnya atau
berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi akibat perubahan
psikologis dan fisik yangmenyebabkan atropi organ reproduksi dan kehilangan hasrat
seksual.
h. Sistem muskuloskeletal
Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut osteodistrofi
renal, disebabkan karena perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan
parathormon.
i. Penglihatan
Pasien gagal ginjal kronik bisa mengalami iritasi mata atau sindrom mata merah akibat
terjadinya deposit kalsium dalam konjunctiva. Konjunctiva juga bisa mengalami edema
akibat rendahnya kadar albumin.
j. Gangguan tidur
Pasien gagal ginjal tahap akhir sering mengalami uremia akibat penimbunan sampah
metabolisme. Uremia mengakibatkan gangguan fungsi sistem saraf dan menyebabkan
restless leg syndrome. Restless leg syndrome merupakan salah satu bentuk gangguan
tidur dan penyebab insomnia pada pasien hemodialisis. Pasien gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisis sering mengalami gangguan tidur berupa kesulitan memulai tidur,
kesulitan mempertahankan tidur dan bangun terlalu dini.

Pada gagal ginjal kronis akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR menurun 5-10%
dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita sindrom uremik,
yaitu suatu komplek gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen
akibat gagal ginjal. Manifestasi sindrom uremik dapat dilihat pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3 Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis

Manifestasi Klinis Sindrom Uremik pada Gagal Ginjal Kronis


Asidosis metabolik (HCO3- serum 18-20
Biokimia
mEq/L, azotemia (penurunan GFR
menyebabkan peningkatan BUN dan
kreatinin), retensi Na, hipermagnesia,
hiperuresemia.
Anoreksia, mual, muntah, napas bau amoniak,
Saluran cerna
mulut kering, perdarahan saluran cerna, diare
stomatitis, parotis.
Poliuria, berlanjut menuju oliguri, lalu anuri,
Perkemihan
noktura, BJ urin 1.010, proteinuria.
Protein, sintesis abnormal hiperglikemia,
Metabolisme
kebutuhan insulin menurun, lemak,
peningkatan kadar trigliserid.
Libido menghilang, amnore, impotensi dan
Sex
sterilitas
Mudah lelah, otot mengecil dan lemah, SSP
Neuromuskuler
penurunan ketajaman mental, konsentrasi
buruk, kekacauan mental, koma, otot berkedut,
kejang.
Hipertensi, retinopati dan ensefalopati
Kardiovaskuler
hipertensif, beban sirkulasi berlebih, edema,
gagal jantung kongestif, dan disritmia.
Hiperfosfatemia, hipokalsemia,
Gangguan kalsium
hiperparatiroidisme, deposit garam kalsium
pada sendi, pembuluh darah, jantung dan
paru-paru, konjungtivitis (uremia mata merah).
Pucat, pruritus, kristal uremia, kulit kering, dan
Kulit
memar
Anemia, hemolisis, kecenderungan
Hematologik
perdarahan, resiko infeksi.

Sumber: Hidayati, 2012

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak, partikel
koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, HB,
mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan glomerulus
bila SDM dan fragmen juga ada.
 Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16 mg/dL
diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung DL : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang dari 78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme
protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal (menunjukan
status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis
karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
 Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam
ureter, terensi.
 Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi
pada saluran perkemihan bagian atas.
 Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histoligis.
 Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
 EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa
.
7. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pada penyakit gagal ginjal kronis adalah untuk mempertahankan
fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer & Barre, 2008). Penatalaksanaan
gagal ginjal kronis dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Terapi konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih ada,
menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal ginjal sedini
mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif bertujuan untuk menghilangkan gejala yang
mengganggu penderita, sehingga penderita dapat hidup secara normal. Yang termasuk
pengobatan konservatif gagal ginjal kronis adalah:
a. Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi
asupan kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal dari
protein. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila
penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur.
b. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium
dikurangi. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kaliumnya dapat
menyebabkan hiperkalemia. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEg/hari.
c. Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan natrium
yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru,
hipertensi dan gagal jantung kongestif.
d. Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran
cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Aturan yang
dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah jumlah urin yang
dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL).Tanda seperti ini akan muncul bila
kenaikan berat badan pasien lebih dari 2 kg. Akumulasi cairan yang dapat ditoleransi
adalah 1-2 kg selama periode intradialitik.
2. Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)
Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap penyakit gagal ginjal kronik
atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari komplikasi dan memperpanjang umur
pasien. Terapi pengganti ginjal dibagi menjadi dua, antara lain dialisis dan transplantasi ginjal
(Shahgholian et.al, 2008).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut
dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis,ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen
(BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal
di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua
(umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis,
kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya adalah suatu terapi
definitif yang paling tepat dan ideal untuk penatalaksanaan suatu keadaan gagal ginjal yang
sangat berat. Prinsip dari pelaksanaan terapi cangkok ginjal ini adalah pencangkokan ginjal
sehat ke dalam tubuh pasien. Permasalahan yang paling sering dihadapi dalam cangkok ginjal
adalah adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien sebagai resepien terhadap ginjal baru yang
dicangkokkan ke dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus dipilih ginjal
yang paling cocok sehingga memberikan reaksi penolakan yang paling minimal. Setelah
pelaksanaan transplantasipun, resepien juga masih harus minum obat imunosupresan seumur
hidupnya untuk menekan reaksi penolakan oleh tubuhnya terhadap ginjal baru dalam tubuhnya
(Aziz, 2008).
2. CKD dengan VOLUME OVERLOAD

Berdasarkan jurnal yang berjudul “Volume Overload in CKD: Pathophysiology,


Assessment Techniques, Consequences and Treatment” yang disusun oleh Mihaela Dora
Donciu , Luminita Voroneanu , and Adrian Covic pada September 2015, menjelaskan tentang
peran penting interstitial dalam mekanisme mendasar yang terlibat dalam homeostasis cairan
telah diakui. Tekanan cairan interstisial ditentukan oleh interaksi yang kompleks antara
masuknya cairan (filtrasi kapiler darah), aliran keluar cairan (aliran getah bening), dan
kemampuan kompartemen untuk memperluas (kepatuhan jaringan). Tekanan cairan interstisial
negatif pada subyek sehat dan positif pada pasien CKD, namun tidak ada hubungan antara
volume cairan tubuh dan tekanan darah. Terlebih lagi, nampaknya peningkatan tekanan cairan
interstisial yang diamati pada pasien CKD dapat dikaitkan dengan perubahan kompensasi pada
mikrosirkulasi lokal dan ini selanjutnya dapat menyebabkan penyaringan transkapsil yang
berkurang di interstitial, atau aliran limph yang meningkat.

Volume Overload (VO) interstisial akut dikaitkan dengan peningkatan tekanan cairan
interstisial yang relatif cepat, sementara kelebihan cairan interstisial pada keadaan edematosa
kronis hanya menyebabkan peningkatan tekanan interstisial moderat, menunjukkan bahwa
kepatuhan ruang interstisial merupakan penentu pentingnya untuk homeostasis tekanan cairan
interstisial. Perubahan cairan relatif dari interstisial ke ruang intravaskular disebabkan oleh
asupan sodium yang tinggi. Dalam penelitian Heer dkk, manusia normalnya membutuhkan 50-
550 mmol Na untuk mengevaluasi keseimbangan natrium. Dalam penelitian Volume plasma
meningkat sekitar 330 ml bila asupan Na 550 mmol / hari, namun kenyataannya setiap harinya
manusia mengkonsumsi Na mencapai 1.700 mmol apabila tidak melakukan diet.

Dalam jurnal juga menjelaskan tentang Protein Energy Malnutrition (PEM) berkembang
saat diet yang tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan protein dan atau energy yaitu status
yang sering terjadi pada pasien dialysis. PEM bertanggung jawab untuk kualitas hidup yang
buruk dan meningkatkan semua penyebab kematian di Indonesia pada pasien ESRD (End
Stage Renal Disease ). Pada pasien ginjal, terdapat hal yang penting yaitu status pro-inflamasi.
Sehingga pada penelitian ditemukan bahwa kedua kondisi tersebut berdampingan dan saling
terkait pada pasien ESRD. Peradangan yang sering terjadi pada pasien ginjal adalah
aterosklerosis sehingga muncul istilah 'malnutrisi-radang-aterosklerosis' (MIA) atau 'malnutrition
- inflammation complex syndrome' (MICS) yang dianggap sebagai salah satu penyebab utama
kematian pada pasien ERSD karena sangat sulit untuk dimodifikasi, seperti yang ditunjukkan
oleh banyak penelitian yang juga gagal menunjukkan perbaikan pada tingkat kelangsungan
hidup saat dosis dialisis atau permeabilitas membrane.
Penyebab utama PEM dan peradangan dalam dialysis pasien sangat rinci dalam
beberapa ulasan, salah satunya penelitian tentang tingkat kekurangan gizi yang lebih tinggi dan
peradangan dengan Volume Overload (VO). Pada 95 pasien, VO telah secara signifikan terkait
dengan malnutrisi, radang dan penanda aterosklerosis. Hung dkk. ditemukan di 338 pra-pasien
dialisis CKD yang overload volume positif berkorelasi dengan IL-6 dan TNFα dan satu-satunya
parameter itu sangat terkait dengan semua komponen MICS. Pada saat yang sama, kehadiran
MICS memiliki efek merugikan pada VO.

Pasien ginjal menunjukkan risiko yang lebih tinggi untuk perkembangan dan
perkembangan penyakit kardiovaskular (CVD) akibat peningkatan prevalensi faktor risiko
langsung yaitu usia lebih tua, jenis kelamin laki-laki, hipertensi, dislipidemia, DM, LVH) tetapi
juga karena faktor tidak langsung yaitu albuminuria, anemia, hiperparatiroidisme, kelebihan
muatan ECV, stres oksidatif, pembengkakan dan kekurangan gizi. Tingkat keparahan dan
kejadian CAD adalah lebih tinggi dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan CV
morbiditas dan mortalitas meningkat dengan gangguan fungsi ginjal (terutama bila GFR <15 ml
/min / 1,73 m 2). Demikian pula, risiko CHF berlipat ganda pasien dengan GFR <60 ml / menit /
1,73 m2). Dua penelitian yaitu dari Kanada dan Taiwan meneliti pada skala besar risiko CV yang
terkait dengan CKD yaitu kelebihan cairan /Volume Overload yang merupakan faktor risiko
penting bagi CVD pada pasien CKD. Baru-baru ini, Hung et al. dilaporkan pada 338 pasien
dengan stadium 3-5 CKD, kelebihan volume tersebut sangat terkait dengan faktor risiko
langsung untuk penyakit kardiovaskular dalam analisis multivariat yaitu jenis kelamin laki-laki,
diabetes, penyakit kardiovaskular yang sudah ada sebelumnya, tekanan darah sistolik, albumin
serum, TNF-α, dan proteinuria.
3. HEMODIALISISA

DEFINISI
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi darah yang
terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan menggunakan mesin
hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan
sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK stadium V dan
pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD
darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al.,2007).

TUJUAN
1. Membuang produk sisa metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darah dan bagian
cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif (penghisap) dalam kompartemen
dialisat.
3. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

INDIKASI HEMODIALISIS
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al.,2007):
1. Kegawatan ginjal
a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5mmol/l )
e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g. Ensefalopati uremikum
h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum
j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k. Hipertermia
2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.
B. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan seumur hidup
penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR
<15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga
dialisis dianggapbaru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini
(Daurgirdas et al.,2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

PERALATAN HEMODIALISA
1) Dialiser atau Ginjal Buatan
Terdiri dari membran semi permeabel yang memisahkan kompartemen darah dan dialisat.
2) Dialisat atau Cairan Dialisis
Yaitu cairan yang terdiri dari air dan elektrolit utama dari serum normal. Dialisat ini dibuat
dalam sistem bersih dengan air kran dan bahan kimia saring. Bukan merupakan sistem yang
steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi
pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi
pirogenik, khususnya pada membran permeabel yang besar, maka air untuk dialisat harus
aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersildan
umumnya digunakan oleh unit kronis.
3) Sistem Pemberian Dialisat
Yaitu alat yang mengukur pembagian proporsi otomatis dan alat mengukur serta pemantau
menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.
4) Aksesori Peralatan
a. Perangkat Keras, terdiri dari :
- Pompa darah, pompa infus untuk mendeteksi heparin
- Alat pemonitor suhu tubuh apabila terjadi ketidakamanan konsentrasi dialisat, perubahan
tekanan udara dan kebocoran darah.
b. Perangkat Disposibel yang digunakan selain ginjal buatan :
- Selang dialisis yang digunakan untuk mengalirkan darah antara dialiser dan pasien.
- Transfer tekanan untuk melindungi alat monitor dari pemajanan terhadap darah.
- Kantong cairan garam untuk membersihkan sistem sebelum digunakan.

AKSES PADA SIRKULASI DARAH PASIEN


Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula dan femoralis, fistula, tandur.
1) Kateter subklavikula dan femoralis
Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai melalui
kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke
dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara.
2) Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada lengan
bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung (anastomosis) pembuluh arteri
dengan vena secara side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula
tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan.
Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula
berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16.
Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan
mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus)
darah yang sudah didialisis.
3) Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis, sebuah tandur dapat
dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau vena dari sapi, material Gore-tex
(heterograft) atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila
pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula.

TEKNIK HEMODIALISA
1) Persiapan Mesin dan Perangkat HD
- Pipa pembuangan sudah masuk dalam saluran pembuangan
- Sambungkan kabel mesin dengan stop kontak
- Hidupkan mesin ke rinse selama 15-30 menit
- Pindahkan ke posisi dialyze lalu sambungkan slang dialisat ke jaringan tempat dialisat
yang telah disiiapkan.
- Tunggu sampai lampu hijau
- Tes conductivity dan temperatur
- Gantungkan saline normal sebanyak 4 flatboth yang telah diberikan heparin sebanyak
25-30 unit dalam masing-masing flatboth
- Siapkan ginjal buatan sesuai dengan kebutuhan pasien
- Siapkan blood lines dan AV fiskula sebanyak banyaknya
- Ginjal buatan dan blood lines diisi saline normal (priming)
- Sambungkan dialisatelines pada ginjal buatan
- Sambil mempersiapkan pasien slang inlet dan outlet disambungkan lalu jalankan blood
pump (sirkulasi tertutup)

2) Langkah-Langkah HD :
- Timbang dan catat berat badan
- Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk menginterpretasikan kelebihan
cairan)
- Tentukan akses darah yang akan ditusuk
- Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu alcohol 70% kemudian
ditutup pakai duk steril
- Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil : spuit 2,5 cc sebanyak 1, spuit 1 cc
1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan kasa steril
- Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonest dan heparin
- Pakai masker dan sarung tangan steril
- Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusuk
- Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000 unit pada inlet sedangkan
outlet sebanyak 1000 unit
- Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah disediakan
- Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menit kemudian dinaikkan perlahan
sampai 200 ml/menit
- Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan
- Segera ukur kembali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah yang digunakan
dicatat dalam status yang telah tersedia.
3) Perawatan Pasien Hemodialisa
a. Perawatan sebelum hemodialisa
- Mempersiapkan perangkat HD
- Mempersiapkan mesin HD
- Mempersiapkan cara pemberian heparin
- Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor bio psiko sosial, agar
penderita dapat bekerja sama dalam hal program HD
- Mempersiapkan akses darah
- Menimbang berat badan, mengukur tekanan darah, nadi, pernapasan
- Menentukan berat badan kering
- Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu
b. Perawatan Selama Hemodialisa
Observasi terhadap pasien HD
- Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu dicatat dalam status
- Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam dalam status
- Cairan yang masuk perparenteral maupun peroral dicatat jumlahnya dalam status
- Akses darah dihentikan
Observasi terhadap mesin HD
- Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran dialisat/Qd dicatat setiap 1 jam
- Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat setiap jam
- Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila perlu diukur
- Jumlah cairan dialisa, jumlah air diperhatikan setiap jam
- Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat dikontrol setiap 1 jam.
4) Perawatan Sesudah Hemodialisa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu cara menghentikan HD pada pasien dan
mesin HD.
a. Cara mengakhiri HD pada pasien
- Ukur tekanan darah dan nadi sebelum slang inlet dicabut
- Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
- Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
- Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai saline normal sebanyak 50-100 cc,
lalu memakai udara hingga semua darah dalam sirkulasi ekstrakorporeal kembali ke
sirkulasi sistemik
- Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10 menit, hingga darah berhenti
dari luka tusukan
- Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu catat
- Timbang berat badan lalu dicatat
- Kirimkan darah ke laboratorium

PRINSIP dan CARA KERJA HEMODIALISIS


Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2) kompartemen cairan
pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah dikeluarkan dari pembuluh darah
vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses
pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis,darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh
balik, selanjutnya beredar didalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam
dialiser (Daurgirdas et al.,2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu larutan
(kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini
dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel
(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis. Perpindahan ini
terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah perpindahan solute terjadi akibat
gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi
adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran
kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air melewati
porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme hidrostatik, akibat
perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau mekanisme osmotik akibat
perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,
2007).

KOMPLIKASI HEMODIALISIS
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan
ini rutin dilakukan pada penderitapenyakit ginjal kronik (PGK) stadium V atau gagal ginjal
kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup
pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani
HD. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan
hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan
cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40%penderita yang menjalani HD reguler.
Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut
hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung.
Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual
muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil
(Daurgirdas et al.,2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi
adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID.
Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia,
tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia,
aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al.,2007).
Komplikasi kronik Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis
kronik.
4. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat
terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.

b. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual,
muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.

c. Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.

2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.

3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).

d. Tanda vital
Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam
(Kussmaul), dyspnea.

e. Pemeriksaan Fisik :
1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Gejala:

Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum,


kental dan banyak.

Tanda:

Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa


sputum.

2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Gejala:

Riwayat hipertensi lama atau berat.Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak
nafas, gangguan irama jantung, edema.

Tanda

Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak tangan,
Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub perikardial,
pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.

3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.

4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder)


Gejala:

Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine
kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi.

Tanda:Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau


anuria.

5) Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)


Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan Diare

6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Gejala:

Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam hari),
kulit gatal, ada/berulangnya infeksi.

Tanda:

Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur
tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak
sendi.
f. Pola aktivitas sehari-hari
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik
sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang
lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti
pasien.

2) Pola nutrisi dan metabolisme


Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang
kurang.dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan
klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan
(malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia),
Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis,
kuku rapuh.

3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak
dapat kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut)
abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat,
merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.

4) Pola tidur dan Istirahat


Gelisah, cemas, gangguan tidur.

5) Pola Aktivitas dan latihan


Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu
melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot, kehilangan
tonus, penurunan rentang gerak.
6) Pola hubungan dan peran
Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran).
7) Pola sensori dan kognitif
Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa
pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat
dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya
biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan
dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).

9) Pola seksual dan reproduksi


Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun
ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan
libido, amenorea, infertilitas.

10) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping


Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress,
perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah,
kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak
mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor
stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan.Menolak,
ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan


Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal
ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun
mempengaruhi pola ibadah klien

2. Diagnosa Keperawatan
 Pre Hemodialisa
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
2. Resiko ketidak efektifan perfusi ginjal berhubungan dengan penyakit ginjal
(CKD)
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alrveolar kapiler (edema paru)
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi (peningkatan
usaha nafas)
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2 dan
kebutuhan
6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine,
diet cairan berlebih, retensi cairan & natrium.
7. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema
sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
8. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
9. Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis (pembengkakan
renal)
10. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh behubungan
dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta kadar asam basa
dalam tubuh.
 Intra Hemodialisa
1. Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi saat
dan setelah pemasangan AV shunt
2. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses hemodialisa yang
mengerluarkan cairan dari dalam tubuh
3. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemasangan AV shunt
4. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.

 Post Hemodialisa
1. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
2. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberia heparin
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
sindrom ketidak seimbangan dialisa
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

1 Kelebihan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Fluid management


volume cairan jam, volume cairan seimbang
1. Kaji intake dan output cairan,
NOC 2. Timbang berat badan secara rutin
3. Jelaskan pada pasien dan keluarga
Fluid overload severity
tentang pembatasan cairan
N Indikator 1 2 3 4 5 4. Monitor hasil lab terkait retensi
o cairan
5. Kaji lokasi dan berat edema
1 Tekanan darah
6. Kolaborasi tindakan dialisis
2 Berat badan 7. Monitor BB pasien setelah dialisis

3 Edema

4 Pusing

Keterangan Penilaian :

1 : Severe

2 : Substantial.

3 : Moderate

4 : Mild deviation

5 : None.
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

2 Intoleransi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 Activity therapy, pain management
aktivitas jam, terdapat perbaikan dalam klien beraktivitas
1. Kaji kemampuan pasien untuk
beraktivitas sehari hari
2. Dampingi pasien saat beraktivitas
NOC
3. Dampingi pasien atau keluarga
Activity tolerance untuk mengidentifikasi defisit

N Indikator 1 2 3 4 5 aktivitas

o 4. Berikan reinforcement saat klien


biasa beraktivitas mandiri
1 Jarak berjalan 5. Monitor status emosional, sosial
2 kelelahan dan spiritual sebagai respon
aktivitas
3 kemampuan
6. Kaji dampak nyeri terhadap
beraktivitas sehari
aktivitas
hari
7. Ajarkan manajemen nyeri misal
4
nyeri otot teknik distraksi, relaksasi

Keterangan Penilaian :

1 : Severe compromised

2 : Substantial compromised
3 : Moderate compromised

4 : Mild deviation compromised

5 : No compromised
Tg No Diagnosa
Tujuan Kriteria Standart Intervensi TT
l Dx Keperawatan

3 Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 1. Monitor TTV
b.d prosedur jam, tidak terdapat tanda tanda infeksi 2. Hindari mengukur TD di lengan
invasif yang terdapat fistula
NOC
hemodialisa 3. Pakai teknik aseptik saat prosedur
N Indikator 1 2 3 4 5 dialisa
o 4. Ajarkan klien dan keluarga tanda
gejala yang membutuhkan
1 Warna kulit sekitar
penanganan medis
insersi
5. Kaji daerah sekitar insersi
Suhu disekitar
2
insersi
3
Rembesan drainase
di sekitar insersi

4 Pergeseran kanula

Keterangan Penilaian :

1 : Severe compromised

2 : Substantial compromised

3 : Moderate compromised
4 : Mild deviation compromised

5 : No compromised
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2
Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2011.Nursing care plans:


Guidelines for planning and documenting patients care. Jakarta: EGC

D. Goldsmith et al. (eds.). Cardio-Renal Clinical Challenges. DOI 10.1007/978-3-


319-09162-4_12, © Springer International Publishing Switzerland 2015.

Hung SC, Lin YP, Huang HL, Pu HF, Tarng DC. Aldosterone and mortality in
hemodialysis patients: role of volume overload. PLoS One. 2013;8:e57511.

Mihaela Dora Donciu , Luminita Voroneanu , and Adrian Covic. Volume


Overload in CKD: Pathophysiology, Assessment Techniques,
Consequences and Treatment. . DOI: 10.1007/978-3-319-09162-4_12.
September 2015.
Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2010

Anda mungkin juga menyukai