Pengertian
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut
dan kontraksi.(C. Smeltzer, Suzanne;2002 hal 1468).
Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria daripada wanita terutama karena
perbedaan panjang uretranya. (C. Long , Barbara;1996 hal 338)
C. Etiologi
Striktur uretra dapat terjadi pada:
1. Infeksi
Merupakan faktor yang paling sering menimbulkan striktur uretra, seperti infeksi
oleh kuman gonokokus yang menyebabkan uretritis gonorrhoika atau non
gonorrhoika telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya namun
sekarang sudah jarang akibat pemakaian antibiotik, kebanyakan striktur ini
terletak di pars membranasea, walaupun juga terdapat pada tempat lain; infeksi
chlamidia sekarang merupakan penyebab utama tapi dapat dicegah dengan
menghindari kontak dengan individu yang terinfeksi atau menggunakan kondom.
2. Trauma
Fraktur tulang pelvis yang mengenai uretra pars membranasea, trauma tumpul
pada selangkangan (straddle injuries) yang mengenai uretra pars bulbosa, dapat
terjadi pada anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedal sepeda
sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai sepeda pria, trauma langsung pada
penis, instrumentasi transuretra yang kurang hati-hati (iatrogenik) seperti
pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah.
3. Iatrogenik
a. Operasi rekonstruksi dari kelainan kongenital seperti hipospadia, epispadia
b. Post operasi
Beberapa operasi pada saluran kemih dapat menimbulkan striktur uretra, seperti
operasi prostat, operasi dengan alat endoskopi.
4. Tumor
5. Kelainan Kongenital,misalnya kongenital meatus stenosis, klep uretra
posterior
Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini adalah traumatik atau
iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah peradangan atau infeksi,
keganasan, dan kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya merupakan gejala
sekunder dari urethritis gonococcal, yang masih umum di beberapa populasi
berisiko tinggi.
Penyebab yang paling penting adalah idiopati, reseksi transurethral,
kateterisasi uretra, fraktur panggul dan operasi hipospadia. Penyebab iatrogenik
keseluruhan (reseksi transurethral, kateterisasi uretra, sistoskopi, prostatektomi,
operasi brachytherapy dan hipospadia) adalah 45,5% dari kasus striktur. Pada
pasien yang lebih muda dari 45 tahun penyebab utama adalah idiopati, operasi
hipospadia dan fraktur panggul. Pada pasien yang lebih tua dari 45 tahun
penyebab utama adalah reseksi transurethraldan idiopathy. Penyebab utama
penyakit penyempitan multifokal/panurethral adalah kateterisasi uretra anterior,
sedangkan fraktur panggul adalah penyebab utama dari striktur uretra posterior.
Etiologi striktur pada wanita berbeda dengan laki-laki, etiologi striktura
uretra pada wanita radang kronis. Biasanya di derita wanita usia diatas 40 tahun
dengan sindroma sistitis berulang yaitu disuria, frekuensi dan urgensi. Diagnosis
striktur uretra dibuat dengan bougie aboul’e, tanda khas dari pemeriksaan
bougie aboul’e adalah pada waktu dilepas terdapat flik/hambatan. Pengobatan
dari striktura uretra pada wanita dengan dilatasi, kalo gagal dengan otis
uretrotomi.
E. Manifestasi Klinis
Adanya obstruksi saluran kemih bawah akan memberikan sekumpulan gejala yang
populer diistilahkan sebagai LUTS (lower urinary tract symptoms). Patofisiologi
LUTS didasarkan atas 2 kelompok gejala, yaitu :
1. Voiding symptom; yaitu gejala yang muncul sebagai akibat kegagalan buli untuk
mengeluarkan sebagian atau seluruh isi kandung kemih, antara lain: weakness of
stream (pancaran kencing melemah), abdominal straining (mengejan), hesitancy
(menunggu saat akan kencing), intermittency (kencing terputus-putus), disuria (nyeri
saat kencing), incomplete emptying (kencing tidak tuntas), terminal dribble ( kencing
menetes).
2. Storage symptom; yaitu gejala yang muncul sebagai akibat gangguan pengisian
kandung kemih, bias karena iritasi atau karena perubahan kapasitas kandung kemih,
antara lain : frekuensi, urgensi, nocturia, incontinensia (paradoxal), nyeri
suprasimfisis.
3. Miction post symptom; yaitu gejala yang muncul pasca miksi, antara lain tidak
lampias, terminal dribbling, inkontinensia paradoks.
Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni kecil dan
bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi,
disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis yang
membengkak, infiltrat, abses dan fistel. Gejala lebih lanjutnya adalah retensi urine.
F. Patofisiologi
Ekstravasasi Urin
Jaringan parut
Penyempitan lumen uretra
Total tersumbat
Kekuatan pancaran dan jumlah
urine berkurang
Obstruksi saluran kemih yang
bermuara ke VU
Perubahan pola eliminasi
Hidroureter
Penebalan dinding Gangguan rasa nyaman:
VU nyeri
Hidronefrosis
Penurunan kontraksi
Pyelonefritis otot VU
Defisiensi
Retensi urine
pengetahuan
H. Prognosis
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani
pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika
setelah dilakukan observasi selama satu tahun tidak menunjukkan tanda-tanda
kekambuhan.
Striktura uretra seringkali kambuh, sehingga pasien harus sering
menjalani pemeriksaan/kontrol secara teratur minimal sampai 1 tahun setelah
operasi dan tidaka menunjukkan tanda-tanda kekambuhan.
Setiap kontrol dilakukan pemeriksaan pancaran urine yang langsung
dilihat oleh dokter atau menggunakan rekaman uroflowmetri. Beberapa tindakan
yang dapat dilakukan tiap control adalah sebagai berikut.
1. Dilatasi berkala dengan menggunakan busi
2. CIC (clean intermitten catheterization) atau kateterisasi bersih mandiri
berkala yaitu pasien dianjurkan untuk melakukan kateterisasi secara
periodik pada waktu tertentu dengan kateter yang bersih( tidak perlu
steril) guna mencegah kekambuhan striktura.
I. Penatalaksanaan
Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan
apapun.Pasien yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan
sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urin, jika dijumpai abses periuretra
dilakukan insisi dan pemberian antibiotika. Pengobatan striktur uretra banyak
pilihan dan bervariasi tergantung panjang dan lokasi dari striktur, serta derajat
penyempitan lumen uretra. Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur
uretra adalah:
1. Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan
periksa adanya glukosa dan protein dalam urin.
Tersedia beberapa jenis bougie. Bougie bengkok merupakan satu
batang logam yang ditekuk sesuai dengan kelengkungan uretra pria; bougie
lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai ujung yang tumpul dan
umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis mempunyai diameter
yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.
Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah
pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan
glans penis dan meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan
antiseptik yang lembut. Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan
dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien dengan sebuah duk lubang
untuk mengisolasi penis.
Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan
sebuah bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan
memasukkan bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur
tersebut. Kemudian lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus.
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok
atau lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya.
Dilatasi dengan bougie logam yang dilakukan secara hati-hati.
Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan
luka baru yang pada akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat.
Karena itu, setiap dokter yang bertugas di pusat kesehatan yang terpencil
harus dilatih dengan baik untuk memasukkan bougie. Penyulit dapat
mencakup trauma dengan perdarahan dan bahkan dengan pembentukan
jalan yang salah (false passage). Perkecil kemungkinan terjadinya
bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan tindakan asepsis dan dengan
penggunaan antibiotik.
GAMBAR:
Dilatasi uretra pada pasien pria
(lanjutan). Bougie lurus dan bougie
bengkok (F); dilatasi strikur anterior
dengan sebuah bougie lurus (G)
dilatasi dengan sebuah bougie
bengkok (H-J)
2. Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang
memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau
Sachse, laser atau elektrokoter.
Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama
bagian distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga
dilakukan pada wanita dengan striktur uretra.
Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse
adalah striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil
dan panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang
selama 2-3 hari pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus
kontrol tiap minggu selama 1 bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6
bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan
pemeriksaan uroflowmetri, bila pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan
bouginasi.
3. Uretrotomi eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis
kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang
masih sehat, cara ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1
cm. Cara Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak
jaringan fibrotik.
- Stadium I: daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan
sedikit jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik
dieksisi. Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang
kateter selama 5-7 hari.
- Stadium II: beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah
melunak, dilakukan pembuatan uretra baru.
4. Uretroplasty
Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm
atau dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi
Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah
daerah striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis
dan dengan free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari
kulit preputium/kulit penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.
J. Pencegahan
1. Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis
2. Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan
kateter
3. Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi
penyakit menular seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada
satu pasangan dan memakai kondom
4. Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti
infeksi dan gagal ginjal.
K. Komplikasi
a. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel
Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka
otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat
kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula
akan menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada
fase dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara
sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih
di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi
divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa dinding otot.
b. Residu urine
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak
timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu
adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung
kencing. Dalam keadaan normal residu ini tidak ada.
c. Refluks vesiko ureteral
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-
buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika
yang meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari
buli-buli akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.
d. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara
tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan
setiap saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan
dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah
terkena infeksi.Adanya kuman yang berkembang biak di buli-buli dan timbul
refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya
timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.
e. Infiltrat urine, abses dan fistulas
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka
bisa timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur.
Urine yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya
infiltrat urine, kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses
pecah timbul fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari striktur.
1. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester
dan diagnosa medis.
2 . Riwayat penyakit sekarang
Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah frekuensi ,
nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas
sehabis miksi, hesistensi, intermitency, dan waktu miksi memenjang
dan akirnya menjadi retensio urine.
3 . Riwayat penyakit dahulu .
Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan,
misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit kronis
yang pernah di derita. Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang
pernah dialami adanya riwayat penyakit DM dan hipertensi .
4 Riwayat penyakit keluarga .
adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang menderita
DM, asma, atau hipertensi.
5. Riwayat psikososial
a. Intra personal
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul
kecemasan. Kecemasan ini muncul karena ketidaktahuan tentang
prosedur pembedahan. Tingkat kecemasan dapat dilihat dari
perilaku klien, tanggapan klien tentang sakitnya.
b. Inter personal
Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam
masyarakat.
7. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus,
pernafasan, tekanan darah, suhu tubuh, nadi.
b. Kulit
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah
kelainan pigmentasi, bagaimana keadaan rambut dan kuku klien ,
c. Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri
kepala atau trauma pada kepala.
d. Muka
Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana
keadaannya, begitu pula bagaimana otot mukanya.
e. Mata
Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak.
Pada konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan.
Slera tampak ikterus atau tidak.
f. Telinga
Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing.
Bagaimana bentuknya, apa ada gangguan pendengaran.
g. Hidung
Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada
obstruksi atau polip, apakah hidung berbau dan adakah
pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan faring
Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada
perdarahan atau ulkus. Lidah tremor ,parese atau tidak. Adakah
pembesaran tonsil.
i. Leher
Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar
limphe.
j. Thoraks
Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
k. Paru
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan.
Pergerakan bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas
tambahan seperti ronchi , wheezing atau egofoni.
l. Jantung
Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana
dengan iktus atau getarannya.
m. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi
umumnya ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik.
Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien
biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba
atau tidak. Peristaklit usus menurun atau meningkat.
n. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat
teraba pada saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi
urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan
testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
o. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa
tidak. Apakah ada infus pada tangan. Pada sekitar pemasangan
infus ada tanda – tanda infeksi seperti merah atau bengkak atau
nyeri tekan. Bentuk tulang belakang bagaimana.
c. Analisa data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan
masalah klien. Analisa merupakan proses intelektual yang meliputi
kegiatan mentabulasi, menyeleksi, mengklasifikasi data,
mengelompokkan, mengkaitkan, menentukan kesenjangan informasi,
membandingkan dengan standart, menginterpretasikan serta akhirnya
membuat kesimpulan. Penulis membagi analisa menjadi 2, yaitu analisa
sebelum operasi dan analisa setelah operasi.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Tahap akhir dari pengkajian adalah merumuskan diagnosa keperawatan
yang merupakan penilaian atau kesimpulan yang diambil dari pengkajian
keoerawatan. Dari analisa data diatas dapat dirumuskan suatu diagnosis
keperawatan yang dibagi menjadi 2, yaitu diagnosa sebelum operasi dan
diagnosa setelah operasi.
1. Diagnosa sebelum operasi
a. Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy,
inkontinensi, retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah
miksi sehubungan dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat.
b. Nyeri sehubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder
terhadap struktur urethra
c. Cemas sehubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan,
kurang pengetahuan tantang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi
d. Gangguan tidur dan istirahat sehubungan dengan sering terbangun
sekunder terhadap kerusakan eliminasi: retensi disuria, frekuensi,
nokturia.
3. PERENCANAAN .
Setelah merumuskan diagnosis keperawatan, maka intervensi dan
aktifitas keperawatan perlu di tetapkan untuk untuk mengurangi,
menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien. Tahap ini disebut
sebagai perencanaan keperawatan yang terdiri dari: menentukan prioritas
diagnosa keperawatan, menetapkan sasaran ( goal ), dan tujuan (obyektif ),
menetapkan kriteria evaluasi, merumuskan intervensi dan aktivitas
keperawatan. (5) Selanjutnya dibuat perencanaan dari masing – masing
diagnosa keperawatan sebagai berikut :
1 . Sebelum operasi
a . Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, resistancy, inkontinensi,
retensi, nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan
dengan obtruksi mekanik: striktur urethra
Tujuan: Pola eliminasi normal .
Kriteria hasil :
Klien dapat berkemih dalam jumlah normal, tidak teraba distensi
kandung kemih
Residu pasca berkemih kurang dari 50 ml
Klien dapat berkemih volunter
Urinalisa dan kultur hasilnya negatif
Hasil laboratorium fungsi ginjal normal
Rencana tindakan :
1. Jelaskan pada klien tentang perubahan dari pola eliminasi .
2. Dorong klien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam dan bila dirasakan .
3. Anjurkan klien minum sampai 3000 ml sehari, dalam toleransi
jantung bila diindikasikan
4. Perkusi / palpasi area supra pubik
5. Observasi aliran dan kekuatan urine, ukur residu urine pasca
berkemih. Jika volume residu urine lebih besar dari 100 cc maka
jadwalkan program kateterisasi intermiten.
6. monitor laboratorium: urinalisa dan kultur, BUN, kreatinin.
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat: antagonis Alfa -
adrenergik (prazosin)
Rasional :
1 . Meningkatkan pengetahuan klien sehingga klien kooperatif dalam
tindakan keperawatan.
2 . Meminimalkan retensi urine, distensi yang berlebihan pada kandung
kemih
3 . Peningkatan aliran cairan, mempertahankan perfusi ginjal dan
membersihkan ginjal dan kandung kemih dari pertumbuhan bakteri.
4. Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area supra pubik.
5. - Observasi aliran dan kekuatan urine untuk mengevaluasi
adanya obstruksi
- Mengukur residu urine untuk mencegah urine statis karena dapat
beresiko infeksi
6. Statis urinarias potensial untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan
resiko ISK. Pembesaran prostat dapat menyebabkan dilatasi
saluran kemih atas (ureter dan ginjal), potensial merusak fungsi
ginjal dan menimbulkan uremia.
7. Mengurangi obstruksi pada buli-buli, relaksasi didaerah prostat
sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
2. Sesudah operasi
a. Nyeri sehubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi
sekunder pada Sachse
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
Ekspresi wajah klien tenang.
Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Keluarnya urine melalui sekitar kateter sedikit.
Rencana tindakan :
1. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
2. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk
mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih.
3. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan
berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
4. Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
5. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama
sesudah tindakan TUR-P.
6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas
dalam, visualisasi.
7. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah
peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika
terlihat bekuan pada selang.
8. Observasi tanda – tanda vital
9. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan ( analgesik
atau anti spasmodik )
lRasional :
1. Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2. Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa
diberikan.
3. Meberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4. Mengurang kemungkinan spasmus.
5. Mengurangi tekanan pada luka insisi
6. Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
7. Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat
menyebabkan distensi kandung kemih dengan peningkatan
spasme.
8. Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9. Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.
Rencana tindakan:
1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu
.
2. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6
minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai
kebutuhan.
3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .
Rasional:
1. Dapat menimbulkan perdarahan .
2. Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa
mengurangi kebutuhan mengedan pada waktu BAB .
3. Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
4. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5. Untuk membantu proses penyembuhan .
4. Lab UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. RSUD Dr.
Soetomo, Surabaya.