Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN ATRESIA ANI

A. DEFINISI ATRESIA ANI


Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “a“ yang artinya tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia ani adalah
suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal.
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna,
termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum
(Faradilla, 2009).
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata
meliputi anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Atresia ani
merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus
(Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada
distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001). Atresia ani atau anus
imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian
endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak
rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).

B. ETIOLOGI
Penyebab kelainan ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa kasus, atresia
ani kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan (seperti
peggunaan obat-obatan dan konsumsi alkohol selama masa kehamilan) namun hal ini
masih belum jelas (Bobak, 2005). Kelainan genetik atau bawaan (autosomal) anus
disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi dan pembentukan anus dari tonjolan
embriogenik. Pada minggu kelima sampai ketujuh pada usia kehamilan, terjadi
gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital, biasanya karena
gangguan perkembangan septum urogenital.
Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan
3. Berkaitan dengan sindrom down
Malformasi anorektal memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat
pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan malformasi anorektal yakni 1 dalam
100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran.
Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara malformasi anorektal dengan
pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa
mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan malformasi
anorektal atau dengan kata lain etiologi malformasi anorektal bersifat multigenik.

Faktor Predisposisi pada atresia ani:


Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir
seperti:
1. Kelainan kardiovaskuler
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan anus imperforata. Jenis kelainan yang
paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus,
diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum
(1%-2%)
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral
seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan
kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan
teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada malformasi
anorektal. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan
malformasi anorektal letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan malformasi
anorektal letak rendah 15% sampai 20%.Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri
ataupun muncul bersamaan sebagai VATER(Vertebrae, Anorectal,
Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL(Vertebrae,Anorectal,
Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu:
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat
keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.
Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu:
1. Anomali rendah / infralevator Rektum mempun yaitu jalur desenden normal melalui
otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik
dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis,
lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi / supralevator Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter
internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistulagenitourinarius –
retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum
sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.
Klasifikasi berdasarkan Wingspread dalam Arifin, 2011:
Kelompok Kelainan Tindakan
I Laki-laki : Fistel urin, atresia rectum,
perineum datar, fistel tidak ada,
invertogram : udara > 1 cm dari kulit

Perempuan : Kloaka, fistel vagina,


fistel anovestibular/rektovestibular,
atresia rectum, fistel tidak ada,
invertogram : udara > 1 cm dari
kulit.
II Laki-laki : Fistel perineum,
membrane anal, stenosis anus, fistel
tidak ada, invertogram : udara < 1
cm dari kulit

Perempuan : Fistel perineum,


stenosis anus, fistel tidak ada,
invertogram : udara < 1 cm dari
kulit.

D. TANDA DAN GEJALA


Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah:
 Kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir
 Tidak ada atau stenosis kanal rectal
 Adanya membran anal dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi, 2006)..
 Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air besar
sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh
darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol.
 Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah
satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau
karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.
Menurut Ngastiyah (2005) gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani atau anus
imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa:
1. Perut kembung
2. Muntah
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai
dimana terdapat penyumbatan.
5. Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (mengeluarkan
tinja yang menyerupai pita).
6. Perut membuncit.
Malformasi anorektal sangat bervariasi, mulai dari anus imperforata letak rendah
dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi
tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum
dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak
ada. (Departement of Surgery University of Michigan, 2009).
Sebagian besar bayi dengan anus imperforata memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%. Makin
tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih sering.
Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa
diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler. (Grosfeld J,
2006).

Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal
adalah
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling
banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh
tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum
(1%-2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral
seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan
kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan
teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani.
Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani
letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai
20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai
VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan
VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and
Limb abnormality)
(Oldham K, 2005).

Untuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi baru lahir harus
dilakukan colok anus dengan menggunakan termometer yang dimasukkan sampai
sepanjang 2 cm ke dalam anus. Atau dapat juga dengan jari kelingking yang memakai
sarung tangan. Jika terdapat kelainan, maka termometer atau jari tidak dapat masuk.
Bila anus terlihat normal dan penyumbatan terdapat lebih tinggi dari perineum.

E. PATHWAY (terlampir)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.
Pada anamnesis dapat ditemukan:
1) Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir.
2) Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula
3) Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan
adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa menggunakan cara:
1) Menggunakan cara sebagai berikut:
a. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
 Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti
atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti
(PSARP) tanpa kolostomi
 Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih
dahulu, setelah 8 minggu kemudian dilakukan tindakan definitif.
Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran
rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm
disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis,
rektouretralis dan rektoperinealis.
b. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
 Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa
kolostomi.
 Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih
dahulu.
 Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit
dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit
dilakukan kolostomi terlebih dahulu.
Leape (1987) menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum,
vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah. Bila Pada
pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan
foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisi udara, dengan cara
Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala
dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul
didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi.
Pada pemeriksan klinis, pasien malformasi anorektal tidak selalu
menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan
pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan
dengan memasukkan termometer melalui anus.
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama
beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui
fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum
pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap
kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi
tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24
jam untuk menentukan jenis malformasi anorektal pada bayi untuk menentukan
apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty.
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai
dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien
memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan
malformasi anorektal letak tinggi dan harus dilakukan colostomy.
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan malformasi
anorektal letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle"
(skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat
keluarnya mekonium).

Pemeriksaan umum
Pemeriksaan rutin tetap harus dilakukan untuk mencari kelainan yang lain. 50 – 60 %
penderita ini mempunyai kelainan kongenital ditempat lain.
Yang paling sering ditemukan:
 Pada traktus genitourinarius 28%
 Kelainan jantung 74%
 Traktus gastrointestinal, misal atresia esofagus9%, atresia duodenum 7%
 Kelainan tulang

A. Pemeriksaan anorektal
1) Wanita
Umumnya 80 – 90 % wanita ditemukan fistula kevestibulum atau vagina.
 Golongan I
a. Kloaka
Pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia dan traktus digestivus
tidak terjadi. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu
cepat dilakukan kolostomi.
b. Fistel vagina
Mekonium tampak keluar dari vagina, evakuasi feses tidak lancar.
Sebaiknya cepat dilakukan kolostomi.
c. Fistel vestibulum
Muara fistel divulva bawah vagina. Umumnya evakuasi feses lancar
selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat
penderita mulai makan makanan padat. Kolonostomi dapat direncanakan
bila penderita dalam keadaan optimal.
d. Atresia rekti
Kelainan dimana anus tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok
dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1 – 2 cm, sehingga tidak ada
evakuasi feses sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
e. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga
perlu segera dilakukan kolostomi.

 Golongan II
a. Fistel perineum
Terdapat lubang antara vulva dan tempat dimana lokasi anus normal.
Dapat berbentuk anus anterior, tulang anus tampak normal, tetapi marka
anus yang rapat ada diposteriornya. Umumnya menimbulkan obstipasi.
b. Stenosis ani
Lubang anus terletak dilokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi
feses tidak lancar sebaiknya cepat dilakukan operasi definitif.
c. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga
perlu segera dilakukan kolostomi.

2) Laki – laki
Perlu diperhatikan hal – hal sebagai berikut:
- Perineum : bentuk dan adanya fistel
- Urine : dicari ada tidaknya butir – butir mekonium diurin
 Golongan I
a. Fistel urine
Tampak mekonium keluar dari orificium urethra eksternum. Fistula dapat
terjadi keuretra maupun vesika urinaria. Cara praktis untuk membedakan
lokasi fistel ialah dengan memasang kateter urine. Bila kateter terpasang
dan urine jernih, berarti fistel terletak diuretra yang terhalang kateter. Bila
kateter urine mengandung mekonium, berarti fistel kevesika urinaria.
Evakuasi feses tidak lancar dan penderita memerlukan kolostomi segara.
b. Atresia rekti
Kelainan dimana anus tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok
dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1 – 2 cm, sehingga tidak ada
evakuasi feses sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
c. Perineum datar
Menunjukkan bahwa otot yang berfungsi untuk kontinensi tidak terbentuk
sempurna.
d. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga
perlu segera dilakukan kolostomi.
 Golongan II
a. Fistel perineum
Sama dengan wanita
b. Membran anal
Anus tertutup selaput tipis dan sering tampak bayangan jalan mekonium
dibawah kulit. Evakuasi feses tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan
terapi definitif.
c. Stenosis ani
Lubang anus terletak dilokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi
feses tidak lancar sebaiknya cepat dilakukan operasi definitif.
d. Bucket handle
Daerah lokasi anus normal tertutup kulit yang berbentuk gagang ember.
Evakuasi feses tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan terapi definitif.
e. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga
perlu segera dilakukan kolostomi.

Pada 10 – 20% penderita fistula harus dilakukan pemeriksaan radiologis invertogram.


Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan atresia ani:
A. Pemeriksaan radiologi invertogram
Yaitu tehnik pengembalian foto untuk menilai jarak pungtum distal rektum
terhadap mara anus di kulit peritonium. Pada tehnik ini, bayi diletakkan terbalik
(kepala di bawah ) atau tiduer dengan sinar horisontal diarahkan ke tronchanter
mayor sehingga dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan. Foto ini
dilakukan setelah bayi berumur lebih dari 24 jam, karena pada usia tersebut dalam
keadaan normal seluruh traktus digestivus sudah berisi udara ( bayi dibalik selama
5 menit ). Invertogram ini dilakukan pada bayi tanpa fistula.
B. Pemeriksaan urine.
Pemeriksaan urine perlu dilakukan untuk mengetahui apakah mekonium di
dalamnya sehingga fistula dapat diketahui lebih dini.

Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostic yang umum
dilakukan pada gangguan ini.
B. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epithelial
mekonium.
C. Pemeriksaan sinar-X lateral inverse (teknik Wangensteen-Rice) dapat
menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada atau
di dekat perineum; dapat menyesatkan jika rectum penuh dengan mekonium yang
mencegah udara sampai ke ujung kantong rectal. Dilakukan untuk menentukan
kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung
rectum dari sfingternya.
D. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak kantong rectal aspirasi jarum
untuk mendeteksi kantong rectal dengan cara menusuk jarum tersebut sambil
melakukan aspirasi; jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah 1,5 cm,
defek tersebut dianggap sebagai defek tingkat tinggi.
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan
dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
E. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum
tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum
sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
F. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal. Dapat ditemukan:
a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah
tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan
gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus,
pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah
sigmoid, kolon/rectum.
c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala
dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto
daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat
diukur.
G. CT Scan : digunakan untuk menentukan lesi.
H. Pyelografi intra vena : digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
I. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau
jari.
J. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan
dengan traktus urinarius.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
a. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada
dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Kolostomi adalah suatu tindakan
bedah untuk membuat bukaan intestinal/kolon pada dinding abdomen. Ini
memungkinkan bayi untuk dapat tetap memiliki pasase kolon yang normal dan
mencegah obstruksi kolon. Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen
dari usus besar atau colon iliaka. Pada ujung muara kolostomi ini dipasang sebuah
kantong untuk menampung faeces yang keluar. Ada 2 tempat yang kolostomi yang
dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi yaitu transversokolostomi dan
sigmoidkolostomi.
 Manfaat kolostomi antara lain:
 Mengatasi obstruksi usus
 Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan
lapangan operasi yang bersih
 Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta
menemukan kelainan bawaan yang lain.
Tipe kolostomy yang dapat digunakan pada bayi dengan atresia ani adalah
kolostomy loop yaitu dengan membuat suatu lubang pada lengkung kolon yang
dieksteriorisasi.
 Komplikasi Colostomy
 Infeksi
 Iritasi kulit
 Prolaps pada stoma
 Pendarahan stoma
 Perawatan Paska Operasi
BAB pasien harus dimonitor dengan sebaik-baiknya. Konstipasi harus dihindari,
harapannya agar bayi/anak itu merasa nyaman. Obat-obatan yang mengusahakan
lunaknya feses yang dikeluarkan dengan pemberian antibiotik untuk beberapa
hari lamanya paska operasi. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari, salep
antibiotik diberikan selama 8- 10 hari.

b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)


Penatalaksanaan malformasi anorektal tergantung dari klasifikasinya dan derajat
kelainannya. Pada malformasi anorektal letak tinggi atau intermediet dilakukan
kolostomi terlebih dahulu yang bertujuan untuk dekompresi dan diversi, pada tahap
berikutnya dilakukan operasi definitif. Sedangkan pada malformasi anorektal letak
rendah dapat langsung dilakukan anoplasti tanpa kolostomi. Pena dan De Vries
memperkenalkan metode operasi definitif dengan pendekatan posterosagittal
anorectoplasty (PSARP) yang saat ini paling banyak dipakai. Metode ini sering
digunakan karena teknik yang dinamis dan hasil operasi yang baik dalam fungsi
usus dan kontinensia feses, termasuk dalam hal ini adanya soiling dan konstipasi.
Keberhasilan dari PSARP ini dapat diukur dengan skor Klotz. Nilai dari skor Klotz
ini diklasifikasi menjadi sangat baik, baik, cukup dan kurang yang berguna untuk
menilai fungsi anus pasca operasi (Putri, Wahid dan Masdar, 2014).
Setelah kolonostomi, tahap ke-2 dilakukan Postero Sagital Ano-Rectoplasty
(PSARP) usia 6 bulan dilanjutkan bouginasi rectal. Pada beberapa waktu lalu
penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi
metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang
lebih tinggi.
Kolostomi yang sebelumnya dilakukan tidak ditutup selama operasi PSARP ini.
Lubang kolostominya tetap dipertahankan beberapa waktu lagi untuk memberi
kesempatan pemulihan luka operasi PSARP yang baru dilakukan. Sehingga sebelum
anus baru benar-benar siap pakai, bayi tetap harus BAB lewat lubang kolostominya.
Waktu ideal yang sering dipakai adalah sembilan minggu paska PSARP, baru
dilakukan penutupan lubang kolostomi dan bayi dimonitor untuk mulai BAB lewat
anus barunya.
Pada bayi harus diperiksa permasalahan lain, terutama pada genital, saluran
kemih dan tulang belakang.
Rekonstruksi bedah untuk pembuatan anus diperlukan. Dan jika rektum
mengalami perlengketan dengan organ lain, maka organ tersebut harus dibebaskan
dan diperbaiki. Kolostomi sementara mungkin diperlukan.
Jika anus tidak berkembang baik, pembedahan akan dilakukan untuk membuat
lubang, atau anus baru agar kotoran dapat keluar. Pengobatan dapat berbeda
bergantung pada jenis anorektal anomali. Jika ujung usus berada pada letak tinggi,
pengobatan umumnya dilakukan dalam tiga prosedur, pertama adalah pembuatan
stoma pada usus yang dikenal dengan kolostomi. Bayi baru lahir dengan stoma akan
membutuhkan kantung khusus untuk mengumpulkan feses. Prosedur kedua adalah
anoplasti yaitu menarik turun rektum ke posisi anus dimana akan dibuat anus
buatan. Jika terdapat fistula atau penghubung yang abnormal antara kandung kemih
atau vagina, maka fistula ini harus ditutup. Beberapa bulan kemudian setelah anus
baru telah sembuh, maka dilakukan prosedur ketiga yaitu penutupan stoma.
Jika ujung usus berada pada letak rendah di pelvis, pembuatan lubang anus
dapat dilakukan dengan operasi tunggal. Rektum ditarik turun ke posisi anus dan
lubang anus yang baru dibuat, dengan teknik minimal invasif yang dikenal dengan
laparoskopi. Pada kasus ini, stoma tidak diperlukan. Jika anus baru berada pada
posisi yang salah, maka anus tersebut akan ditutup dan dipindahkan ke posisi yang
benar.
Segera setelah operasi, peristaltik bayi meningkat yang dapat
mengakibatkan diaper rash yang berat. Sehingga salep pelindung kulit diperlukan.
Bayi diperbolehkan pulang jika sudah dapat minum, peristaltik normal, tidak
merasakan nyeri dan bebas demam.

Posterior Sagital Anorektal Plasty (PSARP)


Insisi dibuat dari fistula yang nampak ke arah rektum. Sfingter rektal sebenarnya
terdiri dari saraf dan otot yang dapat diidentifikasi dan fistula dipisahkan dari
rektum. Pembuatan lubang anus dimana saraf dan otot rektum berada, bertujuan
untuk memaksimalkan kemampuan bayi dalam mengontrol pergerakan usus.
Kolostomi tidak ditutup selama prosedur operasi. Kotoran akan tetap keluar melalui
kolostomi dan memberi waktu bagi lubang anus yang baru untuk sembuh.
Perawatan Pasca Operasi PSARP
 Antibiotik intravena diberikan selama 3 hari, salep antibiotik diberikan
selama 8 – 10 hari.
 2 minggu paska operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2x
sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilatoryang dinaikan
sampai mencapai ukuran ynag sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila
busi nomor 13-14 mudah masuk.
UMUR UKURAN
1 – 4 Bulan # 12
4 – 12 bulan # 13
8 – 12 bulan # 14
1 – 3 tahun # 15
3 – 12 tahun # 16
> 12 tahun # 17

FREKUENSI DILATASI
Tiap 1 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 3 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 2 x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan

Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak
ada rasa nyeri dilakukan 2x selama 3 – 4 minggu merupakan indikasi tutup
kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.

Skoring Klotz
VARIABEL KONDISI SKOR
1 Defekasi 1 – 2 kali sehari 1
2 hari sekali 1
3 – 5 kali sehari 2
3 hari sekali 2
> 4 hari sekali 3
2 Kembung Tidak pernah 1
Kadang-kadang 2
Terus menerus 3
3 Konsistensi Normal 1
Lembek 2
Encer 3
4 Perasaan ingin BAB Terasa 1
Tidak terasa 3
5 Soiling Tidak pernah 1
Terjadi bersama flatus 2
Terus menerus 3
6 Kemampuan menahan feses > 1 menit 1
yang akan keluar < 1 menit 2
Tidak bisa menahan 3
7 Komplikasi Tidak ada 1
Komplikasi minor 2
Komplikasi mayor 3
Penilaian hasil skoring :
Nilai scoring 7 – 21
7 = Sangat baik
8 – 10 = Baik
11 – 13 = Cukup
> 14 = Kurang

c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi, anak
akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah
operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.
d. Melakukan pembedahan rekonstruktif:
 Operasi abdominoperineum pada usia (1 tahun)
 Operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-2 bulan)
 Pendekatan sakrum setelah bayi berumur (6-9 bulan)
(Putri, Wahid dan Masdar, 2014).

H. KOMPLIKASI
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.

I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1) Pengkajian
a. Biodata klien
b. Riwayat keperawatan
c. Riwayat keperawatan/kesehatan sekarang
d. Riwayat kesehatan masa lalu
2) Riwayat tumbuh kembang
a. BB lahir abnormal
b. Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah
mengalami trauma saat sakit
c. Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal
d. Sakit kehamilan tidak keluar mekonium
3) Pola nutrisi – Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia ani
post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan
munta dampak dari anestesi.
4) Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh
dibersihkan dari bahan – bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan.
Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien
akan mengalami kesulitan dalam defekasi
5) Pola Aktivitas dan Latihan
6) Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.
7) Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan
masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
8) Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka
inisisi.
9) Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort.
Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi
10) Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit.
Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk
melaksanakan peran
12) Pola Reproduktif dan Sexual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi
13) Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi, Adanya faktor stress lama, efek
hospitalisasi, masalah keuangan,
14) Pola Keyakinan dan Nilai
Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang
dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat
dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya
pelaksanaan ibadah.
16) Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak
merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin
dan vagina

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Dx Pre Operasi
1) Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
2) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake,
muntah.
3) Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur perawatan.
Dx Post Operasi
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari
kolostomi.
2) Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.

Diagnosa lain yang terkadang muncul antara lain ;


1) Gangguan eliminasi BAK b.d Dysuria
2) Gangguan rasa nyaman b.d vistel rektovaginal, Dysuria
3) Resti infeksi b.d feses masuk ke uretra, mikroorganisme masuk saluran kemih
4) Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b.d mual, muntah, anoreksia

K. RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Konstipasi Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Lakukan enema atau irigasi
berhubungan dengan keperawatan diharapkan hasil Klien rectal sesuai order
aganglion. mampu mempertahankan pola 2. Kaji bising usus dan abdomen
eliminasi BAB dengan teratur. setiap 4 jam
KH : 3. Ukur lingkar abdomen
- Penurunan distensi abdomen. 4. Berikan posisi yang nyaman
- Meningkatnya kenyamanan pada pasien
Risiko kekurangan Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Monitor intake – output cairan
volume cairan keperawatan diharapkan hasil Klien 2. Lakukan pemasangan infus dan
berhubungan dengan dapat mempertahankan berikan cairan IV
menurunnya intake, keseimbangan cairan 3. Pantau TTV
muntah Kriteria Hasil : 4. Ukur dan catat BB klien
- Output urin 1-2 ml/kg/jam 5. Berikan cairan sedikit tapi
- Capillary refill 3-5 detik sering
- Turgor kulit baik 6. Berikan perawatan mulut dan
- Membrane mukosa lembab bibir dengan sering
7. Observasi membrane mukosa
dan turgor kulit
8. Jelaskan agar menghindar
makanan yang berbau dan
merangsang mual.
Cemas orang tua Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Jelaskan dengan istilah yang
berhubungan dengan keperawatan diharapkan hasil, dimengerti oleh orang tua
kurang pengetahuan Kecemasan orang tua dapat tentang anatomi dan fisiologi
tentang penyakit dan berkurang saluran pencernaan
prosedur perawatan. Kriteria Hasil : normal. Gunakan alay, media
- Klien dapat mengurangi rasa dan gambar
cemasnya 2. Beri jadwal studi diagnosa pada
- Rileks dan dapat melihat secara orang tua
objektif 3. Beri informasi pada orang tua
- Menunjukkan koping yang tentang operasi kolostomi
efektif serta mampu 4. Jelaskan prosedur yang akan
berpartisipasi dalam pengobatan dilakukan, berikan kesempatan
untuk bertanya dan jawab
dengan jujur.
Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Kaji kulit tiap hari, catat
kulit berhubungan keperawatan diharapkan hasil warna,turgor,sirkulasi dan
dengan terdapat stoma kerusakan itegritas kulie teratasi / sensasi.
sekunder dari hilang. 2. Pertahankan instruksikan dalam
kolostomi KH : hygiene kulit, misalnya
- Keadaan umum klien baik membasuh kulit da
- Kulit kembali normal mengeringkan nya dengan hati-
hati.
3. Dorong klien untuk ambulasi /
turun dari tempat tidur jika
memungkinkan.
4. Ubah posisi secara teratur dang
anti sprei sesuai kebutuhan.
5. Tutupi luka tekan yang terbuka
dengan pembalut steril.
6. Berikan matras atau tempat
tidur busa .
Resiko nutrisi kurang Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Kaji/catat pemasukan diet.
dari kebutuhan b.d keperawatan diharapkan 2. Berikan makanan sedikit tapi
mual, muntah, hasil nutrisi kurang dari kebutuha sering.
anoreksia tubuh dapat teratasi/berkurang. 3. Timbang BB tiap hari bila
Kriteria hasil memungkinkan.
- Nafsu makan meningkat Kolaborasi:
- Mual muntah (-) 4. Awasi pemeriksaan
- Klien tidak lemah laboratorium, contoh BUN,
albumin, serum, transferin,
natrium dan kalium.
5. Konsul dengan ahli gizi/tim
pendukung nutrisi.
6. Berikan kalori tinggi, diet
rendah/sedang protein.
Gangguan Eliminasi Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi output dan intake
Urin b.d Dysuria keperawatan 1x24 jam diharapkan cairan selama 24 jam.
pola eliminasi urine kembali 2. Anjurkan pasien
normal. mempertahankan intake cairan
Dengan kriteria hasil : yang adekuat.
- Tidak ada nyeri saat BAK. 3. Jelaskan pada pasien dan
keluarga bahwa kanker kandung
kemih menyebabkan iritasi
kandung kemih sehingga terjadi
urgensi.
4. Kolaborasi pemberian analgesik
atau antipasmodik

DAFTAR PUSTAKA

1. Muscari, Mary.2005. Keperawatan Pediatrik Edisi 3. Jakarta:EGC


2. Arifin.2011.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf.digilib.
unimus.ac.id/download.php?id=4892
3. Faradilla, Nova, Ronald D. Damanik, dan Wan Ria Mardhiya. 2009. Anestesi pada
Tindakan Posterosagital Anorektoplasi pada Malformasi Anorektal. Riau : Fakultas
Kedokteran Universitas Riau
4. Putri, Yolanda Gizka. 2014. Angka Keberhasilan Posterosagittal Anorectoplasty (Psarp)
Yang Dinilai Dari Skor Klotz Pada Pasien Malformasi Anorektal Dibangsal Bedah Rsud
Arifin Achmad Provinsi Riau Periode Januari 2009 – Desember 2014. jom FK UNRI
volume 1 No.2 Oktober 2014.

Anda mungkin juga menyukai