Anda di halaman 1dari 23

A.

Anatomi Fisiologi

Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli- buli
sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi.Uretra
pria dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior.
Uretraposterior dibagi menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea.
Uretra anterior dibagi menjadi meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus uretra.
Dalam keadaan normal lumen uretra laki-laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch =
0,3 mm maka lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan wanita 9 mm.

B. Definisi
1. Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra menyempit.
Berbeda dengan obstruksi pada uretra yang disebabkan oleh batu, striktur
uretra merupakan adanya oklus dari dari meatus uretralis karena adanya
jaringan yang fibrotik dengan hipertrofi. Jaringan fibrotik yang tumbuh
dengan abnormal akan menutupi/mempersempit meatus uretralis, sehingga
aliran urine (urine flow) akan menurun. (Prabowo & Pranata, 2014: 144)
2. Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada
dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami
fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum.
(Purnomo, 2011: 153).
3. Striktur uretra adalah penyempitan atau kontraksi dari lumen urethra akibat
adanya osbtruksi. Striktur uretra adalah berkurangnya diameter atau elastisitas
uretra yang disebabkan oleh jaringan uretra diganti jaringan ikat yang
kemudian mengerut menyebabkan jaringan lumen uretra mengecil. (long,
1996).

Dari beberapa definisi tersebut, disimpulkan bahwa Striktur uretra merupakan


penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi dari lumen uretra
akibat adanya obstruksi kemudian terbentuk jaringan fibrotik (jaringan parut) pada
daerah uretra.

C. Etiologi

Berdasarkan penyebab/etiologinya striktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :


1. Striktur uretra kongenital
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars membranase,
sifat striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul terpisah atau bersamaan
dengan anomalia sakuran kemih yang lain.
2. Striktur uretra traumatik
Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena instrumen,
infeksi, spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh struktur
sambungan atau oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya terjadi pada
daerah kemaluan dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul striktur traumatik
dalam waktu 1 bulan. Striktur akibat trauma lebih progresif daripada striktur
akibat infeksi. Pada ruftur ini ditemukan adanya hematuria gross.
3. Striktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sisebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih lambat
daripada striktur traumatik.
Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini adalah traumatik atau
iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah peradangan atau
infeksi, keganasan, dan kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya merupakan
gejala sekunder dari urethritis gonococcal, yang masih umum di beberapa
populasi berisiko tinggi. Penyebab yang paling penting adalah idiopati, reseksi
transurethral, kateterisasi uretra, fraktur panggul dan operasi hipospadia.
Penyebab iatrogenik keseluruhan (reseksi transurethral, kateterisasi uretra,
sistoskopi, prostatektomi, operasi brachytherapy dan hipospadia) adalah
45,5% dari kasus striktur. Pada pasien yang lebih muda dari 45 tahun
penyebab utama adalah idiopati, operasi hipospadia dan fraktur panggul. Pada
pasien yang lebih tua dari 45 tahun penyebab utama adalah reseksi
transurethraldan idiopathy. Penyebab utama penyakit penyempitan
multifokal/panurethral adalah kateterisasi uretra anterior, sedangkan fraktur
panggul adalah penyebab utama dari striktur uretraposterior.

D. Patofisiologi
1. Residu urine yang sedikit mungkin akan menimbulkan gangguan, namun jika
banyak dan melebihi batas kapasitas vesika memungkinan terjadinya refluks
dan jika berlangsung kronis kemungkinan menimbulkan hidronephrosis.
Selain itu, stagnansi urine yang lama menimbulkan sedimentasi sehingga
kemungkinan akan terjadi urolithiasis. Hal yang paling kompleks dari dampak
striktur adalah terjadinya gagal ginjal. Hal ini dikarenakan refluks pada ginjal
akan memperberat kerja ginjal untuk melakukan fungsinya.
2. Tubuh manusia memiliki banyak cara untuk mengatasi masalah, begitu pula
dengan akumulasi urine yang semakin bertambah dengan adanya striktur.
Urine yang bersifat asam/ basa akan berusaha mencari jalan baru sebgai
saluran dengan meningkatkan iritabilitas pada mukosa jaringan sekitar dan
terbentukla fistel. (Prabowo & Pranata, 2014: 147-149)
3. Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen
uretra menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine
yang terhambat tersumbat mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah
proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika
terinfeksi menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah membentuk
fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula
sehingga disebut sebagai fistula seruling. (Purnomo, 2011: 144)
4. Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada
selangkangan (straddle injury) dan fraktur tulang pelvis. Proses radang akibat
trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan
sikatriks pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan
hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat
mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan
akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses
periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan
tertentu banyak dijumpai fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling.

Tindakan yang kurang hati-hati pada pemasangan kateter dapat menimbulkan


salah jalan (false route) yang menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan
strikture dikemudian hari.Demikian pula fiksasi kateter yang tidak benar pada
pemakaian kateter menetap yang menyebabkan penekanan kateter pada
perbatasan uretra bulbo-pendulare yang mengakibatkan penekanan uretra terus
menerus, menimbulkan hipoksia uretra daerah itu, yang pada akhirnya
menimbulkan fistula atau strikur uretra.
Pathway

Kongenital Didapat infeksi, spasme otot, tekanan


dari luar tumor, cedera uretra, cedera
Anomali saluran kemih yang lain peregangan, uretritis gonorhoe

Jaringan parut

Total tersumbat Penyempitan lumen uretra

Obstruksi saluran kemih yang Kekuatan pancaran dan jumlah


bermuara ke VU urine berkurang

Gangguan eliminasi urin

Peningkatan tekanan
Refluk urine VU

Hidroureter
Penebalan dinding Nyeri akut
VU
Hidronefrosis

Penurunan kontraksi
Pyelonefritis otot VU

Kesulitan berkemih Ansietas


Gagal ginjal kronik

Defisiensi
Retensi urine
pengetahuan

Risiko Infeksi Sitostomi

Luka insisi Perubahan pola berkemih

Nyeri akut Retensi urine

Gangguan pola tidur


E. Maninfestasi Klinis
Keluhan berupa kesukaran dalam kencing, Pancaran air kencing kecil, lemah,
bercabang serat menetes dan sering di sertai dengan mengejan, biasanya karena ada
retensio urin timbul gejala-gejala sistitis, gejala –gejala ini timbul perlahan-perlan
selama beberapa bulan atau bertahun-tahun apabila sehari keadaannya normal
kemudian satu hari timbul tiba-tiba pancaran kecil dan lemah tidak dipikirkan striktur
urethra tapi dipikirkan kearah batu bulibuli yang turun keurethra. Dapat terjadinya
pembengkakan dan getah/nanah dari daerah perineum, scrotom dan kadang-kadang
dapat juga didapat adanya bercakbercak darah dicalana dalam, dicurigai adanya
infeksi sistemik .

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
 Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
 Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
2. Radiologi
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan
besarnya penyempitan uretra.Teknik pemeriksaan uretrogram adalah pemeriksaan
radiografi ureter dengan bahan kontras uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap
mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto bipolar sistouretrografi
dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara
retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui
sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi

G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk penderita Striktur Uretra adalah dengan
menggunakan penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis.

1. Terapi Farmakologis
a) Bougie(Dilatasi)

Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien dan periksa


adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis bougie.
Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan
kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam,
mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung;
bougie filiformis mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan
yang lebih lunak.

Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan mulailah pengobatan


dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihkan glans penis dan
meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit dengan antiseptik yang
lembut. Masukkan gel lidokain ke dalam uretra dan dipertahankan selama 5
menit. Tutupi pasien dengan sebuah duk lubang untuk mengisolasipenis.

Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan sebuah


bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan memasukkan
bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur tersebut.
Kemudian lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus.

Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau
lurus ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya. Dilatasi dengan
bougie logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah
akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya
menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang
bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih dengan baik untuk
memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma dengan perdarahan dan
bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false passage). Perkecil
kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan
tindakan asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.

b) Uretrotomi interna

Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang memotong


jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, laser atau
elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior terutama
bagian distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotomi juga
dilakukan pada wanita dengan striktur uretra.

Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah striktur
uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan panjang
tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2- 3 hari
pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap minggu
selama 1 bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan
sekali seumur hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri,
bila pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan bouginasi.

c) Uretrotomi eksterna

Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis kemudian


dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih sehat,
cara ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm. Cara
Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik.

 Stadium I: daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan sedikit


jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi.
Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari.

 Stadium II: beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah melunak,
dilakukan pembuatan uretra baru.
d) Uretroplasty
Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm atau
dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi
Sachse. Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah
daerah striktur di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis
dan dengan free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari
kulit preputium/kulit penis dengan menyertakan pembuluh darahnya.

2. Penatalaksanaan Non Farmakologis


a) Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis.
b) Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan kateter.
c) Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi penyakit
menular seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada satu pasangan dan
memakai kondom.
d) Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti infeksi
dan gagal ginjal.
a. Komplikasi
Adapun komplikasi dari Striktur Uretra jika adalah:
a) Trabekulasi, sakulasi dandivertikel

Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka
otot kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat
kemudian akan melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula
akan menebal terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase
dekompensasi timbul sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan
divertikel adalah penonjolan mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot
buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli
adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli tanpa dindingotot.

b) Residuurine

Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak
timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu
adalah keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung
kencing.Dalam keadaan normal residu ini tidakada.

c) Refluks vesikoureteral

Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-
buli melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika
yang meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari
buli-buli akan masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.

d) Infeksi saluran kemih dan gagalginjal

Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara
tubuh mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan
setiap saat mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan
dekompensasi maka akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah
terkena infeksi. Adanya kuman yang berkembang biak di buli-buli dan
timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis akut maupun kronik yang
akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.

e) Infiltrat urine, abses dan fistulas

Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka


bisa timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur.
Urine yang terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan
timbulnya infiltrat urine, kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul
abses, abses pecah timbul fistula di supra pubis atau uretra proksimal dari
striktur.
H. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. pengumpulan


data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola
pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien, serta merumuskan
diagnosis keperawatan.
Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi dan pengkajian post
operasi
1. Pengkajian pre operasi
Pengkajian ini dilakukan sejak klien MRS sampai saat operasinya, yang meliputi;
a. Pengkajian fokus :
Palpasi :
1. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya
ada penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan,
turgornya bagaimana. Pada klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid.
Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus menurun atau
meningkat.
2. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada
saat rectal touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang
kateter, Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada
haemorhoid.
Inspeksi :
a. Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya
b. Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan
purulent (nanah)
c. Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan
d. Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya pada
penis, scrotom, labia dan orifisium Vagina.
e. Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak
nyamanan pada saat akan mixi.
b. Pengkajian psikososial :
1. Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu : menarik diri,
cemas, kelemahan, gelisah, dan kesakitan.
2. Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran diri, takut
dan kemampuan seks menurun dan takut akan kematian. Riwayat
psikososial terdiri dari :
 Intra personal
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul
kecemasan. Kecemasan ini muncul karena ketidaktahuan tentang
prosedur pembedahan. Tingkat kecemasan dapat dilihat dari perilaku
klien, tanggapan klien tentang sakitnya.
 Inter personal
Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam
masyarakat.
 Pengkajian diagnostik
Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel urin yaitu sel,
eritrosit, leukosit, bakteria, kristal, dan protein.
c. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama / kepercayaan, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, suku/ Bangsa, alamat, no. rigester dan diagnosa medis.
d. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia,
urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/puas sehabis miksi,
hesistensi, intermitency, dan waktu miksi memenjang dan akirnya menjadi
retensio urine.
e. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan saluran perkemihan, misalnya ISK
(Infeksi Saluran Kencing ) yang berulang. Penyakit kronis yang pernah di derita.
Operasi yang pernah di jalani kecelakaan yang pernah dialami adanya riwayat
penyakit DM dan hipertensi.
f. Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita
penyakit striktur urethra Anggota keluarga yang menderita DM, asma, atau
hipertensi.
g. Pola Fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Klien ditanya tentang kebiasaan merokok, penggunaan tembakau,
penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan upaya yang biasa
dilakukan dalam mempertahankan kesehatan diri (pemeriksaan kesehatan
berkala, gizi makanan yang adekuat).
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien ditanya frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah
minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang
mengganggu nutrisi seperti nause, stomatitis, anoreksia dan vomiting. Pada
pola ini umumnya tidak mengalami gangguan atau masalah.
h. Pola eliminasi
Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, jumlah
kecil dan tidak lancar menetes – netes, kekuatan system perkemihan. Klien juga
ditanya apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Klien
ditanya tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari
penyempitan urethra kedalam rectum.
i. Pola tidur dan istirahat .
Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang karena
frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ). Kebiasaan tidur
memakai bantal atau situasi lingkungan waktu tidur juga perlu ditanyakan.
Upaya mengatasi kesulitan tidur.
j. Pola Aktifitas
Klien ditanya aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang,
kebiasaan berolah raga. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit.
Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana
klien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
k. Pola hubungan dan peran
Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga, pasien lain,
perawat atau dokter. Bagai mana peran klien dalam keluarga. Apakah klien dapat
berperan sebagai mana seharusnya.
l. Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan
klien sebelum pembedahan . Biasanya muncul kecemasan dalam menunggu
acara operasinya. Tanggapan klien tentang sakitnya dan dampaknya pada
dirinya. Koping klien dalam menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu
dan merasa tidak berdaya.
m. Pola sensori dan kognitif
Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan pendengaran dari
klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi pikiran, daya ingat dan
waham. Pada klien biasanya tidak terdapat gangguan atau masalah pada pola ini.
n. Pola reproduksi seksual
Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya, pengetahuannya
tantang seksualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual yang terjadi sekarang,
masalah seksual yang dialami sekarang (masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi )
dan pola perilaku seksual
o. Pola Mekanisme Koping
Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab stress, mekanisme
penanggulangan terhadap stress yang dialami. Pemecahan masalah biasanya
dilakukan klien bersama siapa. Apakah mekanisme penanggulangan stressor
positif atau negatif.

Pemeriksaan fisik

a. Status kesehatan umum


Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus, pernafasan, tekanan
darah, suhu tubuh, nadi.
b. Kulit
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan pigmentasi,
bagaimana keadaan rambut dan kuku klien
c. Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala atau
trauma pada kepala.

d. Muka
Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana keadaannya,
begitu pula bagaimana otot mukanya.
e. Mata
Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak. Pada
konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan.Slera tampak ikterus
atau tidak.
f. Telinga
Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana bentuknya,
apa ada gangguan pendengaran.
g. Hidung
Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau polip,
apakah hidung berbau dan adakah pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan faring
Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada perdarahan atau ulkus.
Lidah tremor ,parese atau tidak. Adakah pembesaran tonsil.
i. Leher
Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.
j. Thoraks
Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
k. Paru
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan.Pergerakan
bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas tambahan seperti ronchi ,
wheezing atau egofoni.
l. Jantung
Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan iktus atau
getarannya.
m. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya ada
penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan,
turgornya bagaimana.Pada klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid.Hepar,
lien, ginjal teraba atau tidak.Peristaklit usus menurun atau meningkat.
n. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia.Pembesaran prostat dapat teraba pada saat
rectal touché.Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter,
Bagaimana bentuk scrotum dan testisnya.Pada anus biasanya ada haemorhoid.
o. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak. Apakah ada
infus pada tangan.Pada sekitar pemasangan infus ada tanda – tanda infeksi
seperti merah atau bengkak atau nyeri tekan.Bentuk tulang belakang bagaimana.

2. Pengkajian post operasi


Pengkajian ini dilakukan setelah klien menjalani operasi, yang meliputi:
a. Keluhan utama
Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang lain.
Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien post operasi Sachse adalah
keluhan rasa tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena
adanya bekas insisi pada waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi
klien dan ungkapan dari klien sendiri.
b. Keadaan umum
Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara
c. Sistem respirasi
Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas atau tidak.
Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas, suara nafas. Ada
wheezing dan ronchi atau tidak.Gerakan otot Bantu nafas seperti gerakan cuping
hidung, gerakan dada dan perut.Tanda – tanda cyanosis ada atau tidak.
d. Sistem sirkulasi

Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah, suhu tubuh,


monitor jantung ( EKG ).
e. Sistem gastrointestinal
Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi, konstipasi / obstipasi,
bagaimana dengan bising usus, sudah flatus apa belum, apakah ada mual dan
muntah.
f. Sistem muskuloskleletal
Bagaimana aktifitas klien sehari – hari setelah operasi. Bagaimana memenuhi
kebutuhannya. Apakah terpasang infus dan dibagian mana dipasang serta keadaan
disekitar daerah yang terpasang infus.
g. Sistem eliminasi
Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik, kandung kemih penuh . Masihada
gangguan miksi seperti retensi. Kaji apakah ada tanda – tanda perdarahan, infeksi.
Memakai kateter jenis apa. Irigasi kandung kemih. Warna urine dan jumlah
produksi urine tiap hari. Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan kateter.
Terapi yang diberikan setelah operasi : Infus yang terpasang, obat – obatan
seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi kandung kemih.

I. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Pre Operasi
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomic
2. Nyeri akut berhubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif

Diagnosa Post Operasi


1. Risiko infeksi berhubungan dengan luka poat operasi.
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang privasi, bising, pencahayaan.
J. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa NOC NIC


Keperawatan

1. Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Lakukan penilaian


eliminasi urin diharapkan gangguan eliminasi urin klien kemih yang
dapat teratasi dengan kriteria hasil: komprehensif
1. Kandung kemih kosong secara penuh berfokus pada
2. Tidak ada residu urine >100-200 cc inkontinensia
3. Intake cairan dalam rentang normal (misal output urine,
4. Bebas dari ISK pola
berkemih,fungsi
kognitif, dan
masalah kencing
praeksisten)
Rasional :
Untuk mengetahui
seberapa banyak
pengeluaran urin
2. Gunakan spirit
wintergreen di
pispot atau urinal.
Rasional :
Untuk
menghilangkan rasa
sakit
3. Masukkan kateter
kemih yang sesuai
Rasional :
Agar pengeluaran
urin pasien dapat
maksimal
4. Anjurkan
pasien/keluarga
untuk mencatat
output urin.
Rasional :
Untuk mengetahui
berapa jumlah
volume urin
5. Memantau asupan
dan keluaran.
6. Memantau tingkat
distensi kandung
kemihdengan
palpasi dan perkusi
Rasional :
Untuk mengetahui
jumlah pengeluaran
urin
2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Lakukan
selama 2x24 jam nyeri akut pada pasien pengkajian nyeri
dapat berkurang, dengan kriteria hasil: secara
1. Mampu mengontrol nyeri komprehensif
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang (lokasi,
dengan manajemen nyeri karakteristik,
3. Mampu mengenali nyeri durasi, dan
4. Menyatakan rasa nyaman setelah intensitas nyeri)
nyeri berkurang Rasional :
Mengetahui
tindakan dan obat
yang akan
diberikan
2. Observasi adanya
petunjuk nonverbal
nyeri
3. Jelaskan pada
pasien terkait nyeri
yang dirasakan
Rasional :
Mengetahui tingkat
nyeri pasien
4. Gambarkan rasional
dan manfaat
relaksasi seperti
nafas dalam
Rasional :
Untuk mengurangi
rasa nyeri pasien
5. Dorong pasien
mengambil posisi
nyaman
Rasional :
Agar pasien merasa
nyaman

3. Defisit Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Berikan penilaian


pengetahuan Defisit pengetahuan pada pasien dapat tentang tingkat
teratasi, dengan kriteria hasil: pengetahuan pasien
1. Pasien dan keluarga menyatakan tentang proses
pemahaman tentang penyakit, penyakit yang
kondisi, prognosis dan program spesifik
pengobatan. Rasional :
2. Pasien dan keluarga mampu Untuk mengetahui
melaksanakan prosedur yang seberapa
dijelaskan secara benar. pengetahuan pasien
3. Pasien dan keluarga mampu tentang
menjelaskan kembali apa yang penyakitnya
dijelaskan perawat/tim kesehatan 2. Gambarkan tanda
dan gejala yang
biasa muncul pada
penyakit, dengan
cara yang tepat
3. Identifikasi
kemungkinan
penyebab, dengan
cara yang tepat
Rasional :
Untuk mengetahui
tanda dan gejala
serta faktor
penyebab
4. Diskusikan
perubahan gaya
hidup yang
mungkin
diperlukan untuk
mencegah
komplikasi dimasa
yang akan datang
dan atau proses
pengontrolan
penyakit
Rasional :
Agar pasien dapat
mengetahui dan
menghindari faktor-
faktor penyakit apa
saja yang akan
terjadi nantinya
5. Dukung pasien
untuk
mengeksplorasi
atau mendapat
second opinion
dengan cara yang
tepat atau
diindikasikan
6. Instruksikan pasien
mengenai tanda dan
gejala untuk
melaporkan pada
pemberi perawatan
kesehatan, dengan
cara yang tepat
Rasional :
Untuk menambah
pengetahuan pasien
tentang pemberian
perawatan yang
tepat

4. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Bersihkan


Risiko infeksi pada pasien dapat teratasi, lingkungan setelah
dengan kriteria hasil: dipakai pasien lain
1. Klien bebas dari tanda dan gejala 2. Pertahankan teknik
infeksi isolasi
2. Mendeskripsikan proses Rasional :
penularanpenyakit, faktor yang menurunkan resiko
mempengaruhi penularan serta kontiminasi silang
penatalaksanaannya 3. Batasi pengunjung
3. Menunjukan kemampuan untuk bila perlu
mencegah timbulnya infeksi Rasional :
4. Menunjukan perilaku hidup sehat Menurunkan risiko
infeksi
4. Instruksikan pada
pengunjung untuk
mencuci tangan saat
berkunjung dan
setelah berkunjung
meninggalkan
pasien
Rasional :
Mencegah
terjadinya
kontaminasi silang
5. Gunakan sabun
antimikrobia untuk
mencuci tangan
Rasional :
Mencegah terpajan
pada organisme
infeksius
6. Cuci tangan setiap
sebelum dan
sesudah tindakan
keperawatan
Rasional :
Menurunkan risiko
infeksi
7. Pertahankan
lingkungan aseptic
selama pemasangan
alat
Rasional :
Mempertahankan
teknik steril
8. Tingkatkan intake
nutrisi
Rasional :
Membantu
meningkatkan
respon imun
9. Berikan terapi
antibiotik bila perlu
Rasional :
Mencegah
terjadinya infeksi

5. Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Jelaskan pentingnya


pola tidur selama 2x24 jam, Gangguan pola tidur pada tidur yang adekuat
pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil: Rasional :
1. Jumlah jam tidur dalam batas normal Agar dapat
2. Pola tidur, kualitas dalam batas memulihkan
normal kebugaran tubuh
3. Perasaan segar sesudah tidur atau pasien
istirahat 2. Ciptakan
4. Mampu mengindentifikasikan hal- lingkungan yang
hal yang meningkatkan tidur nyaman
Rasional :
Menjaga
kenyamanan pasien
3. Kolaborasi
pemberian obat
tidur
4. Diskusikan dengan
pasien dankeluarga
tentang teknik tidur
pasien
Rasional :
Agar kebutuhan
tidur tercukupi
5. Instruksikan untuk
memonitor tidur
pasien
6. Monitor/catat
kebutuhan tidur
pasien
Rasional :
Untuk mengetahui
kualitas tidur pasien
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Suharyanto, T., & Madjid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media.

Purnomo, B.B. 2011.Dasar-Dasar Urologi Edisi Ke 3.Jakarta: CV. Agung Seto.

NANDA International .2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi. Jakarta:


EGC

NANDA NIC-NOC. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis


dan Nanda Nic-Noc

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2015.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth.Jakarta : EGC.

Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014).Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Banjarmasin, 15 November 2019

Clinical Teacher Clinical Instruktur


(Hj. Ruslinawati,Ns.,M.kep) (Yanto,A.Md.Kep)

Anda mungkin juga menyukai