Anda di halaman 1dari 34

Skenario

Seorang laki-laki usia 21 tahun datang ke IGD RS dengan keluhan nyeri dan mengeluarkan darah
pada kemaluannya setelah terbentur saat mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal menabrak pohon
2 jam sebelum tiba di RS. Pasien juga mengeluhkan nyeri di perut bagian bawahnya, merasakan ingin
buang air kecil namun tidak bisa keluar.

1. Kenapa terjadi nyeri tekan pada suprapubik? Karena inflamasi pada vesica urinaria
menyebabkan VU udem, hipersensitif, dan nyeri; rangsangan saraf simpatis
menyebabkan nyeri.

2. Bagaimana mekanisme terjadinya anyang-anyangan pada kasus ini? Terjadi infeksi


pada saluran kemih, kemungkinan karena E. coli, E. coli mempunyai fimbrie yang
membuatnya menempel pada dinding saluran kemih. Mekanisme tubuh ingin
mengeluarkan bakteri dengan pengeluaran urin tetapi tidak bisa karena fimbrie P.
Tubuh tetap ingin mengeluarkan urin tetapi VU kosong, maka terjadilah anyang-
anyangan.

3. Kenapa terjadi penigkatan leukosit? Karena terdapat infeksi (kemungkinan E. coli


atau mikroorganisme lain).

4. Apa tujuan dilakukan pemeriksaan kultur urin? Untuk mengetahui etiologi infeksi
(bakteri apa), kemudian menentukan antibiotic yang tepat.

5. Apa pemeriksaan penunjang lain yang perlu dilakukan? Urinalisis, kultur urin, USG,
radiography (foto polos abdomen, Intravena pyelography, mycturating cystogram),
pemeriksaan darah.

6. Apa penyebab urin keruh? Di dalam urin terdapat protein, bakteri, leukosit, silinder,
sel epitel transisional.

7. Apa penyebab anyang-anyangan? Karena infeksi, neurogenik, miogenik, obstruksi.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Anuria


Anuria adalah berkurangnya produksi urin hingga kurang dari 200 ml dalam 24 jam,
bisa juga urin tidak keluar sama sekali hal ini disebut dengan anuria total. Anuria
merupakan manifestasi dari sumbatan total dari aliran urin pada sistem saluran kemih
bagian atas. Anuria obstruktif atau anuria post (pasca renal), jika terdapat sumbatan
saluran kemih bilateral atau sumbatan saluran kemih unilateral pada ginjal tunggal.
Selain disebabkan karena adanya sumbatan di saluran kemih, anuria juga bisa disebabkan
oleh perfusi darah ke dalam jaringan ginjal yang berkurang disebut anuria pre renal atau
kerusakan pada jaringan ginjal anuria renal. Anuria akibat adanya kelainan pada saluran
kemih dapat berupa obstruksi saluran kemih atau dikenal dengan uropati obstruktif.
Uropati obstruktif dapat terjadi pada seluruh bagian saluran kemih, mulai dari kaliks
hingga meatus uretra eksterna. Obstruksi sendiri dapat dibedakan ataa obstruksi akut atau
kronik, unilateral atau bilateral ( pada saluran kemih atas) dan parsial atau total.
(Soebadi, 1994)
Obstruksi dapat menyebabkan dilatasi pelvis renalis maupun kaliks yang dikenal
sebagai hidronefrosis. Pada umumnya obstruksi saluran kemih bagian bawah yang
berkepanjangan akan menyebabkan obstruksi saluran kemih bagian atas. Jika tidak
diterapi obstruksi dapat menyebabkan kegagalan fungsi dan kerusakan struktur ginjal
yang permanen yang dikenal dengan nefropati obstruktif, namun jika mengalami infeksi
saluran kemih dapat menimbulkan urosepsi. (Basuki, 2011)

2.2 Etiologi
a. Uropati obstruktif
Anuria merupakan suatu gejala akibat dari obstruksi saluran kemih. Obstruksi
saluran kemih bisa disebabkan oleh berbagai sebab, yakni karena penyakit bawaan
(konginetal)/ didapat (acquired), atau penyakit yang ada didalam lumen/desakan dari
lumen saluran kemih. Obstruksi saluran kemih bagian atas mengakibatkan kerusakan
saluran kemih (ureter dan ginjal) pada sisi yang terkena, tetapi obstruksi bagian bawah
akan berakibat pada kedua sistem saluran kemih bagian atas (bilateral).
Tabel 2-1. Berbagai etiologi obstruksi saluran kemih
Konginetal Neoplasma Inflamasi Lain – lain
Saluran Ginjal  Kista ginjal  Tumor  Tuberkulosis  Batu
kemih  Kista ginjal  Infeksi  Papila
Bagian pelviks  Miolema  Echinococus  Trauma
atas  Striktura multipel
 Ureterokel
 Ginjal
ektopik
Ureter  Ureter  Kanker  Tuberkulosis  Batu
retrokaval ureter  Abses ureter
 Prune-belly  Uretrisis sistika  Fibrosis
 Trauma
 Urinoma
Saluran Buli – Kanker Sistitis  Batu buli-
kemih Buli buli-buli buli
bagian
atas Uretra  Fimosis  BPH  Prostatitis  Batu
 Kanker  Stenosis uretra
prostat  Striktura
 Kanker uretra
uretra
 Kanker
penis

b. Striktura Uretra
Striktura Uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada
dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami
fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum.
Stiktura uretra disebabkan karena suatu infeksi, trauma pada uretra, dan
kelainan bawaan. Infeksi yang sering terjadi akibat infeksi kuman gonokokus
yang menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya hingga terjadi striktura
uretra. Jenis trauma yang dapat menyebabkan stiktura uretra adalah trauma
tumpul pada selangkangan (straddle injury), fraktur tulang pelvis, dan
instrumentasi atau tindakan transuretra yang kurang hati – hati. Sebagai contoh
tindakan yang kurang hati – hati pada pemasangan kateter dapat menimbulkan
salah jalan (false route) yang menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan
striktura dikemudian hari.

c. Retensi Urin
Retensi urin adalah ketidak mampuan seseorang untuk mengeluarkan urin yang
terkumpul di dalam buli – buli hingga kapasitas maksimal buli – buli terlampaui,
disertai rasa sakit yang hebat didaerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat.
Proses miksi yang terjadi karena adanya koordinasi harmonik antara otot – otot detrusor
buli – buli sebagai pemnampung dan pemompa urin dengan uretra yang bertindak
sebagai pipa untuk menyalurkan urin. Retensi urin hampir sama dengan anuria, terjadi
akibat adanya penyumbatan pada uretra, kontraksi buli – buli yang tidak adekuat, atau
tidak adanya koordinasi antara buli – buli dan uretra. Gambaran secara klinis pasien
mengeluh tertahan kencing atau kencing keluar sedikit – sedikit. Etiologi
Bisa dibagi menurut lokasi yaitu:
a) Supravesikal, berupa kerusakan pada pusat miksi di medula spinalis S2 – S4
setinggi vertebra thorakal 12 hingga vertebra lumbal 1, kerusakan saraf simpatis
dan parasimpatis baik sebagian atau seluruhnya, misal pada oprasi miles dan
mesenterasi pelvis, kelainan medula spinalis misalnya, meningokel, tabes
dorsalis, atau spasmus sfingter yang ditandai dengan rasa sakit yang hebat.
b) Vesikal, berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada pasien
diabetes melitus atau penyakit neurologis.
c) Infravesikal berupa pembesaran prostat , kekakuan leher vesika, striktur, batu
kecil, tumor pada leher vesika, atau fimosis. (Gardjito, 1994)

c. Batu ginjal dan Batu ureter


Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum,
pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang
mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai
tanduk rusa sehingga disebut batu staghorn. Kelainan atau obstruksi pada sistem
pelvikalises ginjal (penyempitan infundibulum dan stenosis ureteropelvik)
mempermudah timbulnya batu saluran kemih.
Batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik otot-otot sistem pelvikalises
dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Tenaga peristaltik ureter mencoba untuk
mengeluarkan batu hingga turun ke buli-buli. Batu yang ukurannya kecil (<5mm) pada
umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang lebih besar seringkali tetap berada di
ureter dan menyebabkan reaksi radang (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi
kronis berupa hidroureter atau hidronefrosis. Batu yang terletak pada ureter maupun
sistem pelvikalises mampu menimbulkan obstruksi saluran kemih dan menimbulkan
kelainan struktur saluran kemih sebelah atas. Obstruksi di ureter menimbulkan
hidroureter dan hidronefrosis, batu di pielum dapat menimbulkan hidronefrosis, dan
batu di kaliks mayor dapat menimbulkan kaliekstatis pada kaliks yang bersangkutan.
Jika disertai dengan infeksi sekunder dapat menimbulkan pionefrosis, urosepsis, abses
ginjal, abses perinefrik, abses paranefrik, ataupun pielonefritis. Pada keadaan yang
lanjut dapat terjadi kerusakan ginjal, dan jika mengenai kedua sisi mengakibatkan gagal
ginjal permanen.

d. Batu uretra
Batu uretra biasanya berasal dari batu ginjal/ureter yang turun ke buli – buli,
kemudian masuk ke uretra. Batu uretra yang merupakan batu primer terbentuk di uretra
sangat jarang, kecuali jika terbentuk di dalam divertikel uretra. Angka kejadian batu
uretra tidak lebih dari 1% dari seluruh batu saluran kemih. (De jong, 2004)

2.3 Patofisiologi
A. Uropati obstruktif
Obstruksi saluran kemih akan menyebabkan kerusakan ginjal, baik struktur
maupun fungsinya. Kerusakan tersebut tergantung pada lama obstruksi, derajat
obstruksi, unilateral atau bilateral, atau ada infeksi yang menyertai. Perubahan yang
terjadi pada berbagai variabel pada saat obtruksi berlangsung dibagi kedalam tiga fase
kritis, yang dikenal sebagai trifase obstruktif. Ketiga fase tersebut adalah fase I atau
akut (0 – 90 menit), fase II atau pertengahan (2 – 5 jam), dan fase III atau fase lanjut
(24 jam). Gambaran klinis pada waktu ananmesis pasien mengeluh tidak kencing atau
kencing hanya sedikit, yang kadang kala didahului oleh keluhan obstruksi yang lain,
yaitu nyeri pada daerah pinggang atau kolik dan tidak jarang diikuti dengan demam.
Jika didapatkan adanya riwayat kehilahgan cairan, karena asupan cairan yang
berkurang. Perlu ditanyakan kemungkinan penggunaan obat-obatan nefrotoksik,
pemakaina bahna kontras untuk foto radiologi, setelah menjalani radiasi didaerah
perut sebelah atas, riwayat transfusi hemolitik, atau riwayat penyakit ginjal
sebelumnya. Kesemuanya untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab intra renal.
Diperiksa keadaan hidrasi pasien dengan cara mengukur tekanan darah, nadi, dan
perfusinya. Lebih baik jika dapat dipasang manometer tekanan vena central CVP
(central venous pressure) sehingaga dapat diketahui keadaan hidrasi pasien dengan
tepat dan mudah. Tidak jarang dijumpai pasien datang dengan tanda – tanda uremia
yaitu pernapasan asidosis, demam karena urosepsis atau dehidrasi, serta tanda – tanda
ileus.
Palpasi bimanual dan perkusi didaerah pinggang bertujuan untuk mengetahui
adanya nyeri atau massa pada pinggang akibat hidro atau pionefrosis. Pada colok
dubur atau colok vagina mungkin teraba adanya karsioma buli – buli, karsioma
prostat, atau karsioma serviks stadium lanjut yang membantu kedua muara ureter.
Pemeriksaan laboratorium sedimen urin menunjukan leukosituria atau hematuria.
Pemeriksaan darah rutin diketemukan leukositosis, terdapat gangguan faal ginjal,
tanda asidosis, atau hiperkalemia. Foto polos abdomen ditunjukan untuk mencari
adanya batu opak pada saluran kemih, atau bayangan perbesaran ginjal. Pemeriksaan
USG abdomen sangat penting karena dapat mengetahui adanya hidronfrosis atau
pionefrosis, dan dengan tuntunan USG dapat dilakukan pemasangan kateter nefrosomi
secara perkutan.

B. Striktura uretra
Namun patofisiologi pada yang terjadi pada stiktura uretra akan
menimbulkan proses peradangan akibat trauma atau infeksi pada uretra akan
menyebabkan terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatrik
pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urin hingga retensi urin atau
anuria.

2.4 Tanda dan Gejala


A. Batu ginjal dan batu ureter
Gambaran klinis pada keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung pada:
posisi atau letak batu, besar batu, dan penyulit yang telah terjadi. Keluhan yang paling
dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang. Nyeri ini mungkin bisa berupa
nyeri kolik ataupun bukan kolik. Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot
polos sistem kalises ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu
dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya
meningkat sehingga terjadi peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi
nyeri. Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi
hidronefrosis atau infeksi pada ginjal.
Batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien sebagai nyeri
pada saat kencing atau sering kencing. Batu dengan ukuran kecil mungkin dapat
keluar spontan setelah melalui hambatan pada perbatasan uretero-pelvik, saat ureter
menyilang vasa iliaka, dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli. Hematuria seringkali
dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada mukosa saluran kemih yang disebabkan
oleh batu. Kadang-kadang hematuria didapatkan dari pemeriksaan urinalisis berupa
hematuria mikroskopik. Jika didapatkan demam harus dicurigai suatu urosepsis dan
ini merupakan kedaruratan di bidang urologi. Dalam hal ini harus secepatnya
ditentukan letak kelainan anatomik pada saluran kemih yang mendasari timbulnya
urosepsis dan segera dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian antibiotika.
(Basuki, 2011)
B. Batu uretra
Gejala dan tanda akibat batu uretra keluhan yang disampaikan pasien adalah
miksi tiba – tiba berhenti hingga terjadi retensi urin atau anuria, yang didahului
dengan nyeri pinggang. Jika batu berasal dari ureter yang turun ke buli – buli
kemudian ke uretra, biasanya pasien mengeluh nyeri pinggang sebelum mengeluh
kesulitan miksi. Batu yang berada di uretra anterior sering kali dapat di raba oleh
pasien berupa benjolan keras di uretra pars bulbosa maupun pendularis, atau kadang –
kadang tampak di meatus uretra eksterna. Nyeri dirasakan pada glan penis atau pada
tempat batu berada. Batu yang berada di uretra posterior, nyeri dirasakan di perineum
atau rektum. (Basuki, 2011)

2.5 Penatalaksanaan
a) Uropati obstruktif
Jika tidak segera diatasi, uropati obstruktif akan menimbulkan penyulit berupa
uremia, infeksi, dan terjadi SIRS yang berakhir dengan kematian. Oleh karena itu
sambil memperbaiki keadaan pasien, secepatnya dilakukan diversi/pengeluaran urine.
Pengeluaran urin dapat dilakukan dengan pemasangan kateter nefrosomi atau bila
mungkin pemasangan kateter double (DJ kateter).
b) Retensi urin
Jika pasien datang karena retensi urin atau anuria, secepatnya dilakukan sistostomi
suprapubik untuk mengeluarkan urin. Jika dijumpai abses dilakukan insisi dan
pemberian antibiotika.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktura uretra adalah :
1) Businasi (dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati – hati.
Tindakan yang kasar akan tambah merusak uretra sehingga menimbulkan luka
baru yang pada akhirnya menimbulkan striktura yang lebih berat.
2) Uretrotomi interna : yaitu memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau
otis atau dengan pisau Sachse. Otis di kerjakan jika belom terjadi striktura
total, sedangkan pada striktura yang lebih berat, pemotongan striktura
dikerjakan secara visual dengan memakai pisau Sachse.
3) Uretromi eksterna adalah tindakan oprasi terbuka berupa pemotongan jaringan
fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis di antara jaringan uretra yang masih
sehat.
4) Pada striktura yang panjang dan buntu total, seringkali diperlakukan beberapa
tahap operasi , yakni tahap pertama dengan membelah uretra dan membiarkan
untuk epitelisasi (johanson I) dan dilanjutkan pada tahap II dengan membuat
neouretra (johanson II). (Basuki, 2011)

c. Batu uretra
Penatalaksanaan pada batu uretra, tindakan untuk mengeluarkan batu tergantung pada
posisi, ukuran dan bentuk batu. Seringkali batu yang ukurannya tidak terlalu besar
dapat keluar spontan asalkan tidak ada kelainan atau penyempitan pada uretra. Batu
pada meatus uretra eksternum atau fossa navikularis dapat diambil dengan forsep
setelah terlebih dahulu dilakukan pelebaran meatus uretra (meatotomi), sedangkan
batu kecil di uretra anterior dapat di coba di keluarkan dengan melakukan lubrikasi
terlebih dahulu dengan memasukan campuran jelly lidokain 2% intrauretra dengan
harapan batu dapat keluar spontan. Batu yang cukup besar dan berada di uretra
posterior, didorong terlebih dahulu hingga masuk ke buli – buli dan selanjutnya baru
dilakuikan litotripsi. Untuk batu yang besar dan menempel pada uretra sehingga sulit
berpindah tempat meskipun telah dicoba untuk didorong ke arah proksimal
(dilubrikasi), perlu dilakukan uretrolitototmi atau dihancurkan dengan pemecah batu
transuretra. (Basuki, 2011)

3.1 Kesimpulan
Anuria merupakan suatu gejala akibat dari obstruksi saluran kemih dan sumbatan
saluran kemih. Obstruksi saluran kemih bisa disebabkan oleh berbagai sebab, yakni
karena penyakit bawaan (konginetal)/ didapat (acquired), atau penyakit yang ada
didalam lumen/desakan dari lumen saluran kemih. Obstruksi saluran kemih bagian atas
mengakibatkan kerusakan saluran kemih (ureter dan ginjal) pada sisi yang terkena,
tetapi obstruksi bagian bawah akan berakibat pada kedua sistem saluran kemih bagian
atas (bilateral). Penyebab lainnya, akibat penyempitan lumen yang disebabkan oleh
dinding yang mengalami fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis
korpus spongiosum pada pasien sttiktura uretra disebabkan karena suatu infeksi,
trauma pada uretra, dan kelainan bawaan.nGambaran klinis pada pasien yang
mengalami anuria, adanya keluhan tiba – tiba miksi berhenti bahkan sangat susah miksi
dan nyeri pada pinggang sebelum miksi, kebanyakan keluhan tersebut berasal dari batu
ureter. Untuk penatalaksanaan pada kasus anuria tergantung pada penyakit yang
menyebabkanya, pada obstruksi salurah kemih terlebih dahulu dengan cara
diversi/pengeluaran urine. Pengeluaran urin dapat dilakukan dengan pemasangan
kateter nefrosomi atau bila mungkin pemasangan kateter double (DJ kateter).
Kemudian pada batu uretra penatalaksanaan pada batu uretra, tindakan untuk
mengeluarkan batu tergantung pada posisi, ukuran dan bentuk batu.

DAFTAR PUSTAKA

Garjito W. Retensi Urin: Permasalahan dan Penatalaksanaan. Juri 1994; 4: 18 – 26


Purnomo Basuki B. Dasar – dasar Urologi edisi 3. Jakarta: Sagung Seto. 2011
Shamsuhidajat R dan Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi . Jakarta. EGC. 2004
Soebadi DM. Uropati Obstruktif. Pedoman penatalaksanaan. Juri 1994; 4: 60 – 69
Hipotesis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa pasien ini mengalami obstruksi parsial karena striktur pada saluran
kemih, yang disebabkan oleh beberapa hipotesis sebagai berikut.
1. Trauma
Pada hasil anamnesis ditemukan bahwa pasien pernah mengalami trauma pada
daerah selangkangan, sehingga trauma ini menyebabkan striktur pada uretra penderita, dan
mengakibatkan terjadi obstruksi parsial pada uretranya, akhirnya timbullah keluhan-
keluhan penderita berdasarkan skenario kasus.
2. Infeksi
Pada pasien ini berkemungkinan terjadi obstruksi karena infeksi. Ini bisa
dianamnesis lanjut mengenai kebersihan sanitasi pasien, karena kebersihan ini sangat
mempengaruhi proses terjadinya infeksi pada pasien ini. Selain itu, juga terdapat faktor
terapi yang mungkin pernah dijalani oleh pasien, seperti operasi saluran kemih atau
pemakaian kateter., karena hal-hal tersebut bisa menyebabkan terjadinya infeksi ataupun
striktur uretra akibat tidak adanya perawatan yang baik dan benar.
3. Tumor
Tumor bisa menyebabkan obstruksi melalui dua cara, yaitu menyebabkan striktur
uretra (tumor prostat) atau tumor itu sendiri yang menyumbat uretra (tumor saluran
kemih).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat menunjang diagnosis kerja pada pasien ini sebagai
berikut.
1. Laboratorium
- Urinalisis: pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat fungsi ginjal penderita dalam
keadaan baik atau tidak. Ini bisa dilihat dari warna, kekeruhan, pH, ureum, kreatinin,
dan sedimen (leukosit, eritrosit, silinder).
- Bakteriologis: pemeriksaan ini dilakukan secara mikroskopik dengan sediaan
langsung urin, untuk melihat ada atau tidaknya bakteri penyebab infeksi dalam urin
yang diperiksa.
2. Uroflowmetri
Pemeriksaan ini untuk menentukan kecepatan pancaran urin. Volume urin
yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi. Kecepatan
pancaran urin normal pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila
kecepatan kurang dari nilai normal menandakan adanya obstruksi.
3. Radiologi
Diagnosis pasti untuk melihat adanya obstruksi karena striktur pada uretra
adalah dengan uretrografi atau uretroskopi. Pemeriksaan ini bisa digunakan untuk
melihat adanya striktur, letak, dan besarnya striktur. Untuk mengetahui lebih lengkap
mengenai panjang striktur adalah dengan foto bipolar uretrosistografi. Dengan
pemeriksaan ini panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan
terapi.
LAPORAN KELOMPOK

BLOK XV UROGENITAL

SKENARIO 1

GAGAL GINJAL AKUT PADA PENDERITA

STRICTURE URETHRA YANG MENOLAK

UNTUK DILAKUKAN TINDAKAN HEMODIALISIS

OLEH :

1. HERRY PRASETYANTO G0008105

2. IKE PRAMASTUTI G0008107

3. IMAM RIZALDI G0008109

4. IRA RISTINAWATI G0008111

5. IZZATUL MUNA G0008113

6. KATHARINA B. DINDA S.M. G0008115

7. NURSANTY S. G0008231

8. REDYA AYU T. G0008233

9. RESCHITA ADITYANTI G0008235

10. RIESKA WIDYASWARI G0008237

11. SALMA ASRI NOVA G0008239

KELOMPOK 9

NAMA TUTOR : dr. Achmadi Suroso, SpM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2010
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Uretra adalah saluran yang dimulai dari orifisium uretra interna dibagian buli-buli
sampai orifisium uretra eksterna glands penis, dengan panjang yang bervariasi. Uretra pria
dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Uretra posterior dibagi
menjadi uretra pars prostatika dan uretra pars membranasea. Uretra anterior dibagi menjadi
meatus uretra, pendulare uretra dan bulbus uretra. Dalam keadaan normal lumen uretra laki-
laki 24 ch, dan wanita 30 ch. Kalau 1 ch = 0,3 mm maka lumen uretra laki-laki 7,2 mm dan
wanita 9 mm.

1. Uretra bagian anterior

Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm (9-10 inchi). Saluran ini dimulai dari meatus
uretra, pendulans uretra dan bulbus uretra. Uretra anterior ini berupa tabung yang lurus,
terletak bebas diluar tubuh, sehingga kalau memerlukan operasi atau reparasi relatif mudah.

2. Uretra bagian posterior

Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm (1-2 inchi). Uretra yang dikelilingi kelenjar prostat
dinamakan uretra prostatika. Bagian selanjutnya adalah uretra membranasea, yang memiliki
panjang terpendek dari semua bagian uretra, sukar untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat
otot yang membentuk sfingter. Sfingter ini bersifat volunter sehingga kita dapat menahan
kemih dan berhenti pada waku berkemih. Uretra membranacea terdapat dibawah dan
dibelakang simpisis pubis, sehingga trauma pada simpisis pubis dapat mencederai uretra
membranasea.

B. Definisi Striktur Urethra

Stricture urethra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya akibat
infeksi, trauma uretra atau kelainan kongenital.
C. Etiologi Striktur Urethra

1) Kongenital

Hal ini jarang terjadi. Misalnya:

a) Meatus kecil pada meatus ektopik pada pasien hipospodia.

b) Divertikula konaenital -> penyebab proses striktura uretra.

2) Trauma

Merupakan penyebab terbesar striktura (fraktur pelvis, trauma uretra anterior, tindakan
sistoskopi, prostatektomi, katerisasi).

a) Trauma uretra anterior, misalnya karena straddle injury. Pada straddle injury, perineal
terkena benda keras, misalnya plantangan sepeda, sehingga menimbulkan trauma uretra pars
bulbaris.

b) Fraktur/trauma pada pelvis dapat menyebabkan cedera pada uretra posterior. Jadi seperti
kita ketahui, antara prostat dan os pubis dihubungkan oleh lig. puboprostaticum. Sehingga
kalau ada trauma disini, ligamentum tertarik, uretra posterior bisa sobek. Jadi memang
sebagian besar striktura uretra terjadi dibagian-bagian yang terfiksir seperti bulbus dan
prostat. Di pars pendulan jarang terjadi cedera karena sifatnya yang mobile.

c) Kateterisasi juga bisa menyebabkan striktura uretra bila diameter kateter dan diameter
lumen uretra tidak proporsional.

3) Infeksi, seperti uretritis, baik spesifik maupun non spesifik (GO, TBC).
Kalau kita menemukan pasien dengan urteritis akut, pasien harus diberi tahu bahwa
pengobatannya harus sempurna. Jadi obatnya harus dibeli semuanya, jangan hanya setengah
apalagi sepertiganya. Kalau pengobatannya tidak tuntas, uretritisnya bisa menjadi kronik.
Pada uretritis akut, setelah sembuh jaringan penggantinya sama dengan iarinqan asal. Jadi
kalau asalnya epitel squamous, jaringan penggantinya juga epitel squamous. Kalau pada
uretritis kronik, setelah penyembuhan, jaringan penggantinya adalah jarinqan fibrous.
Akibatnya lumen uretra menjadi sempit, dan elastisitas ureter menghilang. Itulah sebabnya
pasien harus benar-benar diberi tahu agar menuntaskan pengobatan. Di dalam bedah urologi
dikatakan bahwa sekali striktur maka selamanya striktur.

4) Tumor

Tumor bisa menyebabkan striktura melalui dua cara, yaitu proses penyembuhan tumor yang
menyebabkan striktura uretra, ataupun tumornya itu sendiri yang menaakibatkan sumbatan
uretra.

D. Patofisiologi Gastritis

Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan mukosa pada
uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter dan ginjal. Mukosanya terdiri dari
epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan
berlapis. Submukosanya terdiri dari lapisan erektil vaskular.

Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara epimorfosis,
artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringan ikat) yang tidak sama dengan
semula. Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra,
sehingga terjadi striktur uretra.

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu derajat:

1. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra

2. Sedang: jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra

3. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra

Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum
yang dikenal dengan spongiofibrosis.

E. Manifestasi Klinis

1.Pancaran air kencing lemah

2. Pancaran air kencing bercabang


Pada pemeriksaan sangat penting untuk ditanyakan bagaimana pancaran urinnya. Normalnya,
pancaran urin jauh dan diameternya besar. Tapi kalau terjadi penyempitan karena striktur,
maka pancarannya akan jadi turbulen.
3. Frekuensi

Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal, yaitu lebih dari tujuh kali.
Apabila sering krencing di malam hari disebut nocturia. Dikatakan nocturia apabila di malam
hari, kencing lebih dari satu kali, dan keinginan kencingnya itu sampai membangunkannya
dari tidur sehingga mengganggu tidurnya.

4. Overflow incontinence (inkontinensia paradoxal)

Terjadi karena meningkatnya tekanan di vesica akibat penumpukan urin yang terus menerus.
Tekanan di vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan di uretra. Akibatnya urin dapat
keluar sendiri tanpa terkontrol. Jadi disini terlihat adanya perbedaan antara overflow
inkontinensia (inkontinesia paradoksal) dengan flow incontinentia. Pada flow incontinenntia,
misalnya akibat paralisis musculus spshincter urtetra, urin keluar tanpa adanya keinginan
untuk kencing. Kalau pada overflow incontinence, pasien merasa ingin kencing (karena
vesicanya penuh), namun urin keluar tanpa bisa dikontrol. Itulah sebabnya disebut
inkontinensia paradoxal.

5. Dysuria dan hematuria

6. Keadaan umum pasien baik

7. Buruk bila telah lama akibat adanya perubahan pada faal ginjal : infeksi  striktur
refluks hidroureter hidronefrosis  faal ginjal turun.

F. Diagnosis

 Penegakan Diagnosis

1. Pemeriksaan Fisik

 Anamnesa:
Untuk mencari gejala dan tanda adanya striktur uretra dan juga mencari penyebab striktur
uretra.

 Pemeriksaan fisik dan lokal:

Untuk mengetahui keadaan penderita dan juga untuk meraba fibrosis di uretra, infiltrat, abses
atau fistula.

2. Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium

- Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi

- Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal

 Uroflowmetri

Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin. Volume urin
yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran
urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan
pancaran kurang dari harga normal menandakan ada obstruksi.

 Radiologi

Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan besarnya
penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah
dengan membuat foto bipolar sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara
antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang
striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi.

 Instrumentasi

Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan memasukkan kateter Foley
ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan kateter dengan ukuran yang lebih kecil
sampai dapat masuk ke buli-buli. Apabila dengan kateter ukuran kecil dapat masuk
menandakan adanya penyempitan lumen uretra.
 Uretroskopi

Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra. Jika diketemukan adanya striktur
langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan fibrotik dengan
memakai pisau sachse.

 Diagnosis Banding

1. Batu Saluran Kemih (Urolithiasis)

a. Batu Pelvis Ginjal

Batu pielum didapatkan dalam bentuk yang sederhana sehingga hanya menempati bagian
pelvis, tetapi dapat juga tumbuh mengikuti bentuk susunan pelviokaliks, sehingga bercabang
menyerupai tanduk rusa. Kadang batu hanya terdapat di suatu kaliks. Batu pelvis ginjal dapat
bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala batu saluran kemih
merupakan akibat dari obstruksi aliran kemih atau infeksi.

Nyeri di daerah pinggang dapat dalam bentuk pegal hingga kolik atau nyeri yang terus
menerus dan hebat karena adanya pionefrosis. Pada pemeriksaan fisik mungkin kelainan
sama sekali tidak ada, sampai mungkin terabanya ginjal yang membesar akibat adanya
hidronefrosis. Nyeri dapat berupa nyeri tekan atau ketok pada daerah arkus costa pada sisi
ginjal yang terkena. Sesuai dengan gangguan yang terjadi, batu ginjal yang terletak di pelvis
dapat menyebabkan terjadinya hidronefrosis, sedangkan batu kaliks pada umumnya tidak
memberikan kelainan fisik

b. Batu Ureter

Anatomi ureter menunjukkan beberapa tempat penyempitan yang memungkinkan batu


ureter dapat terhenti, karena adanya peristaltis maka akan terjadi gejala kolik yaitu nyeri yang
hilang timbul disertai perasaan mual dengan atau tanpa muntah dengan nyeri alih khas.
Selama batu bertahan di tempat yang menyumbat, selama itu kolik akan datang sampai batu
bergeser dan memberi kesempatan pada air kemih untuk lewat.

Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan kemudian keluar bersama
kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke kandung kemih dan kemudian berupa nidus menjadi
batu kandung kemih yang besar. Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan
menyebabkan obstruksi kronik dengan hidroureter yang mungkin asimptomatik. Tidak jarang
terjadi hematuria yang didahului oleh serangan kolik. Bila keadaan obstruksi terus
berlangsung, lanjutan dari kelainan yang terjadi dapat berupa hidronefrosis dengan atau tanpa
pielonefritis, sehingga menimbulkan gambaran infeksi umum.

c. Batu Vesica Urinaria

Karena batu menghalangi aliran air kemih akibat penutupan leher kandung kemih, maka
aliran yang mula-mula lancar secara tiba-tiba akan terhenti dan menetes disertai dengan rasa
nyeri. Pada anak, menyebabkan anak yang bersangkutan menarik penisnya sehingga tidak
jarang dilihat penis yang agak panjang. Bila pada saat sakit tersebut penderita berubah posisi
maka suatu saat air kemih akan dapat keluar karena letak batu yang berpindah. Bila
selanjutnya terjadi infeksi yang sekunder, maka nyeri menetap di suprapubik

d. Batu Postat

Pada umunya batu prostat juga berasal dari air kemih yang secara retrograde terdorong ke
dalam saluran prostat dan mengendap, yang akhirnya berupa batu yang kecil. Pada umumnya
batu ini tidak memberikan gejala sama sekali karena tidak menyebabkan gangguan pasase air
kemih

e. Batu Urethra

Batu uretra umumnya merupakan batu yang berasal dari ureter atau vesika urinaria yang
oleh aliran kemih sewaktu miksi terbawa ke uretra, tetapi menyangkut di tempat yang agak
lebar. Tempat uretra yang agak lebar ini adalah di pars bulbosa dan di fossa navikular. Bukan
tidak mungkin dapat ditemukan di tempat lain. Gejala yang ditimbulkan umumnya sewaktu
miksi tiba-tiba terhenti, menjadi menetes dan terasa nyeri. Penyulit dapat berupa terjadinya
divertikel, abses, fistel proksimal, dan uremia karena obstruksi urin

1. Karsinoma Prostat

Ca Prostat adalah penyakit kanker yang menyerang kelenjar prostat dimana sel-sel
kelenjar prostat tumbuh abnormal dan tidak terkendali. Keganasan prostate merupakan
keganasan saluran kemih kedua paling sering dijumpai sesudah keganasan kandung kemih.
Jarang ditemukan angka kejadian keganasan prostat yang tinggi di dalam satu keluarga.
Keganasan prostat sama dengan prostat normal, untuk pertumbuhan dan perkembangannya
tergantung pada hormon androgen. Hal ini tidak berarti bahwa karsinoma prostat disebabkan
oleh hormon androgen. Banyak keganasan prostat sensitif terhadap hormon, sehingga dapat
digunakan pengobatan hormonal.

Keganasan prostat biasanya beruapa adenokarsinoma yang berasal dari kelenjar prostat
yang menjadi hipotrofik pada usia dekade kelima sampai ke tujuh. Karsinoma prostat
biasanya berupa lesi multisentrik. Derajad keganasan didasarkan pada diferensiasi kelenjar,
atipi sel, dan kelainan inti sel. Derajad G I yaitu berdeferensiasi baik, dejajad G II yang
berdeferensiasi sedang, dan derajad G-III yang berdeferensiasi buruk. Pembagian derajad
keganasan ini merupakan indikator pertumbuhan dan progresivitas tumor. Karsinoma prostat
menyebar kekelenjar limfe di panggul kemudian ke kelenjar limfe retroperitoneal atas.
Penyebaran hematogen terjadi melalui v. Vertebralis ke tulang lumbal, dan tulang iga, artinya
terutama tualang yang berdekatan pada prostat. Metastasis tulang sering bersifat osteoklasik.

Karsinoma prostat stadium A biasanya di temukan secara kebetulan pada pemeriksaan


histologik setelah prostatektomi atau TUR. Pada stadium lain karsinoma prostat biasanya
ditemukan pada pemeriksaan colok dubur dan teraba nodul. Karena pada stadium permulaan
karsinoma prostat tidak memberikan gejala atau tanda klinik maka kebanyakan penderita
baru datang pada stadium lanjut dengan keluhan obstruksi infravesika / LUTS, retensi urune,
fematuri, hidronefrosis, gagal ginjal atau tanda metastasis ke tulang atau organ lain, seperti
gejala lesi medula spinalis, nyeri pada tulang, fraktur patalogik. Kadang metastasis ketualang
pun tidak memberi keluhan yang jelas. Keganasan prostat sering ditemukan secara kebetulan
pada penderita yang disangkan menderita hipertrofi prostat, pada pemeriksaan patologik
ditemukan karsinoma insidental.

Faktor utama yang berpengaruh pada penyebarannya adalah lokasi kanker. Kemungkinan
menyebar lebih besar bila terdapat di apeks atau di basal karena lemahnya kapsul pada lokasi
ini. Metastasis hematogenik yang sering terjadi adalah penyebaran ke tulang vertebra lumbal,
tualang panggul, tulang femur proksimal, tulang iga, tulang sternum, dan tulang kepala.

Pada pemeriksaan biasanya didapatkan gejala-gejala iritasi (sering kencing/frequency,


tergesa-gesa ingin kencing/urgency, sering kencing malam hari/nocturia dan sulit menahan
kencing/urge incontinen), atau gejala-gejala obstruksi (kencing harus menunggu
lama/hesitancy, pancaran kencing lemah, kencing tidak lampias, terputus-putus/intermittency,
dan harus mengedan untuk memulai kencing/straining). Kemudian riwayat keluarga, akan
ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang sakit kanker prostat atau meninggal karena
kanker prostat. Riwayat makanan (banyak mengkonsumsi lemak jenuh/lemak hewani) juga
biasa ditanyakan karena termasuk salah satu faktor resiko.

G. Komplikasi

 GAGAL GINJAL AKUT

1.DEFINISI
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinis yang di tandai dengan penurunan
mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) laju filtrasi glomerulus (LFG), di
sertai akumulasi nitrogen sisa metabolisme (ureum dan kreatinin).

2. ETIOLOGI

 GGA prarenal
I. Hipovolemia
A. Perdarahan, luka bakar, dehidrasi
B. Kehilangan cairan melalui gastrointestinal; muntah, drainase bedah, diare
C. Kehilangan cairan melaui ginjal; diuretik, diuresis osmotik (e.g diabetes melitus),
insufisiensi adrenal
D. Pengumpulan pada ruang ekstravaskular; pankreatitis, peritonitis, trauma, luka bakar,
hipoalbuminemia berat.
II. Penurunan cardiac output
A. Penyakit miokardium, katup, dan perikardium; aritmia, tamponade
B. Lainnya; hipertensi pulmonal, embolus pulmoner masif.
III. Gangguan rasio tahanan vaskular sistemik ginjal
A. Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, reduktor afterload, anestesi, anafilaksis
B. Vasokonstriksi renal: hiperkalsemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, tacolimus,
amfoterisin B
C. Sirosis dengan asites (sindrom hepatorenal)
IV. Hipoperfusi ginjal dengan gangguan respon autoregulasi ginjal; Inhibitor
siklooksigenase, Angiotensin-converting enzyme inhibitor
V. Sindrom Hiperviskositas (jarang); Multiple Myeloma, makroglobulinemia, polisitemia
 GGA renal/intrinsik
I. Obstruksi renovaskular (bilateral atau unilateral)
A. Obstruksi arteri renalis; trombosis, embolus, vaskulitis
B. Obstruksi vena renalis; trombosis, kompresi
II. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular ginjal
A. Glomerulonefritis dan vaskulitis
B. Sindrom hemolitik uremik, trombotik trombositopenik purpura, koagulasi
intravaskular disseminata, lupus eritematosus sistemik (SLE), skleroderma
III. Nekrosis tubular akut
A. Iskemia; untuk GGA prarenal (hipovolemia, curah jantung rendah, vasokonstriksi
renal, vasodilatasi sistemik)
B. Toksin
1. Eksogen; radiokontras, siklosporin, antibiotik (e.g aminoglikosida), kemoterapi (e.g
cisplatin), pelarut organik (e.g etilen glikol), asetaminofen.
2. Endogen; rhabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, plasma cell dyscrasia (e.g;
myeloma)
IV. Nefritis interstisial
A. Alergi; antibiotik (e.g; β-lactams, sulfonamid, trimetoprim, rifampisin), anti-inflamasi
nonsteroid, diuretika, kaptopril
B. Infeksi; bakterial (e.g; pyelonefritis akut, leptospirosis), viral (e.g; cytomegalovirus),
fungal (e.g; kandidiasis)
C. Infiltrasi; limfoma, leukemia, sarkoidosis
D. Idiopatik
V. Deposisi intratubular dan obstruksi;
Protein myeloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamid
VI. Penolakan cangkok ginjal
 GGA pascarenal (obstruktif)
I. Ureteral
Kalkulus, bekuan darah, peluruhan papila, kanker, kompresi eksternal (e.g; fibrosis
retroperitoneal)
II. Kandung kemih
Neurogenic bladder, hipertrofi prostat, kalkulus, kanker, bekuan darah
III. Uretra
Striktur, katup kongenital, phimosis

3. PATOGENESIS

a. GAGAL GINJAL AKUT PRARENAL

Karena berbagai sebab pra-renal, volume sirkulasi darah total atau efektif menurun, curah
jantung menurun, dengan akibat darah ke korteks ginjal menurun dan laju filtrasi glomerulus
menurun. Tetapi fungsi reabsorbsi tubulus terhadap air dan garam terus berlangsung. Oleh
karena itu pada GGA prarenal ditemukan hasil pemeriksaan osmolalitas urin yang tinggi
>300 mOsm/kg dan konsentrasi natrium urin yang rendah <20>1%). Pemeriksaan ini dapat
digunakan untuk membedakan apakah pasien GGA prarenal yang terjadi sudah menjadi
renal. GGA renal terjadi apabila hipoperfusi prarenal tidak cepat ditanggulangi sehingga
terjadi kerusakan parenkim ginjal.

Beberapa mekanisme terjadi pada hipoperfusi. Peningkatan pelepasan renin dari aparatus
jukstaglomerularis menyebabkan peningkatan produksi aldosteron, dimana terjadi
peningkatan resorbsi natrium di tubulus kolektivus. Sebagai tambahan, penurunan volume
cairan ekstraseluler menstimulasi pelepasan hormon antidiuretik (ADH), terjadilah
peningkatan absorbsi air di medulla. Hasil akhirnya adalah penurunan volume urin,
penurunan kadar natrium urin, dimana semua ini adalah karakteristik dari GGA prarenal.

Pembedaan ini penting karena GGA prarenal memberi respons diuresis pada pemberian
cairan adekuat dengan atau tanpa diuretika. Sedangkan pada GGA renal tidak. Penyebab
tersering pada anak adalah dehidrasi berat karena muntah dan diare, perdarahan, luka bakar,
syok septik, sindrom nefrotik, pembedahan jantung, dan gagal jantung.

b. GAGAL GINJAL AKUT RENAL

Berdasarkan etiologi penyakit, penyebab GGA renal dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok; kelainan vaskular, glomerulus, tubulus, interstisial, dan anomali kongenital.
Tubulus ginjal karena merupakan tempat utama penggunaan energi pada ginjal, mudah
mengalami kerusakan bila terjadi iskemia atau oleh obat nefrotoksik oleh karena itu
kelainan tubulus berupa nekrosis tubular akut adalah penyebab tersering dari GGA renal.
1. Kelainan tubulus (Nekrosis tubular akut)

Bentuk nekrosis tubulus ada 2 tipe. Tipe pertama terjadi akibat zat nefrotoksik
misalnya merkuriklorida; terjadi kerusakan sel-sel tubulus yang luas (tubulolisis) tetapi
membran basal tubulus tetap utuh. Sel-sel tubulus yang mengalami nekrosis masuk ke
lumen tubulus dan dapat menyumbat lumen. Tipe kedua akibat iskemia, kerusakan terjadi
lebih distal dan setempat dengan kerusakan fokal pada membran basal tubulus
(tubuloreksis). NTA tipe iskemik ditemukan akibat gastroenteritis dehidrasi, sindrom
nefrotik, luka bakar, septisemia gram negatif dan asfiksia perinatal. Sedangkan tipe
nefrotoksik ditemukan akibat karbon tetraklorida, hemoglobin, atau mioglobinuria, obat
aminoglikosida. Mekanisme terjadinya gagal ginjal pada NTA masih belum jelas.
Beberapa mekanisme yang dianggap berperan adalah perubahan hemodinamik intrarenal,
obstruksi tubulus oleh sel dan jaringan yang rusak dan perembesan pasif filtrat tubulus
melalui dinding tubulus yang rusak masuk ke jaringan interstisial dan peritubular.
Beberapa mediator diduga berperan sebagai penyebab vasokonstriksi ginjal yaitu
angiotensin II, menurunnya vasodilator prostaglandin, stimulasi saraf simpatis,
vasopresin, dan endotelin

2. Kelainan vaskular

Kelainan vaskular sebagai penyebab GGA dapat berupa trombosis atau vaskulitis.
Trombosis arteri atau vena renalis dapat terjadi: pada neonatus yang mengalami
kateterisasi arteri umbilikalis, diabetes meliomerulus, penyakit ini paling sering menyertai
suatu episode gastroenteritis yang disebabkan oleh strain enteropatogen Escherichia coli
(0157:H7), organisme ini menyebarkan toksin yang disebut verotoksin yang tampaknya
diabsorbsi dari usus dan memulai kerusakan sel endotel. Pada SHU terjadi kerusakan sel
endotel glomerulus yang mengakibatkan terjadinya deposisi trombus trombosit-fibrin.
Selanjutnya terjadi konsumsi trombosit, kerusakan sel darah merah eritrosit yang melalui
jaring-jaring fibrin dan obliterasi kapiler glomerulus, kelainan ini disebut mikroangiopati.
Kelainan vaskuler yang lain yang dapat terjadi adalah vaskulitis.

3. Kelainan glomerulus

GGA karena kelainan glomerulus dapat ditemukan pada:


1. Glomerulonefritis akut pasca streptokok (GNAPS)

2. Glomerulonefritis membranoproliferatif tipe 2 (dense deposit)

3. Glomerulonefritis kresentik idiopatik

c. GAGAL GINJAL AKUT PASCARENAL

Keadaan pascarenal adalah suatu keadaa dimana pembentukan urin cukup, namun
alirannya dalam saluran kemih terhambat.obstruksi aliran ini akan mengakibatkan kegagalan
filtrasi glomerulus dan transfor tubulus sehingga dapat mengakibatkan kerusakan yang
permanen, tergantung berat dan lamanya obstruksi. Begatu terjadi hambatan aliran urin,
terjadi kenaikan yang segara tekanan hidraulik tubulus proksimal, yang kemmudian di
kompensasi dengan vasodilatasi arteriol eferen ginjal yang di mediasi oleh produksi
prostaglandin; prostaksiklin dan prostaglandin E2.

4. DIAGNOSIS PENYEBAB GGA

Anamnesis
Pada GGA perlu di perhatikan betul banyaknya asupan cairan (input), kehilangan cairan
(output) melalui: urin, muntah, diare, keringat yang berlebih,dll, serta pencatatan berat badan
pasien. Perlu di perhatikan kemungkinan kehilangan cairan ke ekstravaskular (redistribusi)
seperti pada peritonitis, asetis, ileus paralitik, edema anasarka, trauma luas (kerusakan otot
atau crush syndrome). Riwayat penyakit jantung, gangguan hemodinamik, adanya penyakit
sirosis hati, hipoalbuminemia, alergi yang mengakibatkan penurunan volume efektif perlu
selaludi tanyakan.
Pemeriksaan Fisis

Ada 3 hal penting yang harus di dapatkan pada pemeriksaan fisis pasien dengan GGA.

1. penentuan status volume sirkulasi

2. apakah ada tanda-tanda obstruksi saluran kemih

3. adakah tanda-tanda penyakit sistemik yang mungkin menyebabkan gagal ginjal


Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan kesadaran menurun sampai koma bila GGA
telah berlangsung lama. Pasien umumnya menunjukkan pernafasan yang cepat dan dalam
(Kussmaul) karena adanya asidosis metabolik. Pada pasien GGA berat dapat ditemukan sesak
nafas yang hebat karena menderita gagal jantung atau edema paru. Hipertensi sering
ditemukan akibat adanya overload cairan.

Tanda-tanda dehidrasi perlu dicari karena merupakan penyebab GGA pra-renal. Bila
ada pasien ditemukan oliguria, takikardia, mulut kering, hipotensi ortostatik kemungkinan
menyebabkan GGA prarenal. Pada pemeriksaan fisik perlu dicari tanda-tanda penyakit
sistemik multiorgan seperti lupus eritematosus sistemik yaitu dengan memeriksa kulit, sendi,
kelenjar getah bening. Pembesaran ginjal dapat ditemukan bila penyebabnya ginjal polikistik
atau multikistik displastik atau hidronefrosis (uropati obstruktif). Retensi urin dengan gejala
vesika urinaria yang teraba membesar menunjukkan adanya sumbatan dibawah vesika
urinaria a.l katup uretra posterior.

Pemeriksaan Penunjang

 Analisis Urin

Berat jenis urin yang tinggi lebih dari 1.020 menunjukkan prarenal, GN akut awal, sindrom
hepatorenal, dan keadaan lain yang menurunkan perfusi ginjal. Berat jenis isosmolal (1.010)
terdapat pada NTA, pascarenal dan penyakit intertisial (tubulointertisial). Pada keadaan ini
BJ urin dapat meningkat kalaudalam urin terdapat banyak protein, glukosa, manitol, atau
kontras radiologik.
Gambaran yangkhas pada NTA adalah urin yang berwarna kecoklatan dengan silinder
mengandung sel tubulus, dan silinder yang besar (coarsely granulat broad casts).
Adanya kristal urat pada GGA menunjukkan adanya nefropati asam urat yang sering di dapat
pada sindrom lisis tumor setelah pengobatan leukimia, limfoma. Kristal oksalat terlihat pada
GGA akibat etilen glikol yang umumnya di akibatkan percobaan bunuh diri.

 Penentuan Indikator Urin

Pada GGA prarenal aliran urin lambat sehingga lebih banyak ureum yang di absorpsihal ini
menyebabkan perbandingan ureum/kretinin dalam darah meningkat.

 Pemeriksaan Pencitraan
Pada GGA pemeriksaan USG menjadi pilihan utama untuk memperlihatkan anatomiginjal,
dapat di peroleh informasi mengenai besar ginjal, ada tau tidaknya batu ginjal dan ada atau
tidaknya hidronefrosis. Pemeriksaan USG juga dapat menentukan apakah gangguan fungi
ginjal ini sudah terjadi lama (GGK), yaitu apabila di temukan gambaran ginjal yang sudah
kecil.

 Pemeriksaan Biopsi Ginjal dan Serologi

Indikasi yang memerlukan biopsi adalah apabila penyebab GGA tak jelas atau berlangsung
lama, atau terdapat tanda glomerulonefrosis atau nefritis intertisisl.

7. KOMPLIKASI GAGAL GINJAL AKUT

Edema paru

Keadaan ini terjadi akibat ginjal tak dapat mensekresi urin, garam dalam jumlah yang cukup.
Posisi pasien setengah duduk agar cairan dalam paru dapat didistribusi ke vaskular sistemik,
di pasang oksigen, dan di berikan diuretik kuat (furosemid inj.).
Hiperkalemia
Mula-mula di berikan kalsium intravena (Ca glukonat) 10% sebanyak 10 ml yang dapat di
ulangi sampai terjadi perubahan gelombang T. Belum jelas cara kerjanya, kadar kalium tak
berubah, kerja obat ini pada jatung berfungsi untuk menstabilkan membran. Pengaruh obat ini
hanya sekitar 20-60 menit.

Pemberian infus glukosa dan insulin (50 ml glukosa 50% dengan 10 U insulin kerja cepat)
selama 15 menit dapat menurunkan kalium 1-2mEq/L dalam waktu 30-60 menit. Insulin
bekerja dengan menstimulasi pompa N-K-ATPase pada otot skelet dan jantung, hati dan
lemak, memasukkan kalium kedalam sel. Glukosa di tambahkan guna mencegah
hipoglikemia.

Obat golongan agonis beta seperti salbutamol intravena (0,5mg dalam 15 menit) atau inhalasi
nebuliser (10 atau 20mg) dapat menurunkan 1mEq/L. Obat ini bekerja dengan mengaktivasi
pompa Na-K-ATPase. Pemberian sodium bikarbonat walaupun dapat menurukan kalium
tidak begitu di anjurkan oleh karena menambah jumlah natrium, dapat menimbulkan iritasi,
menurunkan kadar kalsium sehingga dapat memicu kejang. Tetapi bermanfaatapbila ada
asidosis atau hipotensi.
8. PENATALAKSANAAN GAGAL GINJAL AKUT

 Mencapai dan mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium dibatasi
hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 mmol/hari diluar kekurangan hari sebelumnya
atau 30ml/jam diluar jumlah urin yang di keluarkan jam sebelumnya. Namun
keseimbangan harus terus diawasi

 Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau hiperalimentasi
intravena

 Mencegah dan memperbaiki hiperkalemia. Dilakukan perbaikan asidosis, pemberian


glukosa dan insulin intavena, penambahan kalium, pemberian kalsium intravena pada
kedaruratan jantung dan dialysis

 Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran nafas dan
nosokomial. Demam harus segera dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas bila
diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.

 Mencegah dan memperbaiki pendarahan pendarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk
adanya pendarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan
rasio ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin
(misalnya ranitidin) diberikan pada pasien sebagai profilaksis.

 Dialysis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia,
atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/liter. Secara umum
continous haemofiltration dan dialisisperiyoneal paling baik dipakai diruang intensif,
sedangkan dialysis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan
sebagai tambahan untuk pasien katabolic yang tidak adekuat dengan dialysis peritoneal
atau hemofiltasi.

7. HEMODIALISIS

Hemodialisis adalah sebuah terapi medis. Kata ini berasal dari kata haemo yang berarti
darah dan dialisis yang berarti dipisahkan. Hemodialisis merupakan salah satu dari Terapi
Penggganti Ginjal, yang digunakan pada penderita dengan penurunan fungsi gingjal, baik
akut maupun kronik. Perinsip dasar dari Hemodialisis adalah dengan menerapkan proses
dufusi dan ultrafiltrasi pada ginjal buatan, dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh.
Hemodialisis dapat dikerjakan untuk sementara waktu (misalnya pada Gagal Ginjal Akut)
atau dapat pula untuk seumur hidup (misalnya pada Gagal Ginjal Kronik)

Mesin HD terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan sistem
monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler
kepada dializer. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk
meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi
kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen.

Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter
setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan
dapat dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan
solut cairan dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dialisat
perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat yang dapat membahayakan
tubuh. Cairan dialisat tidak perlu steril karena membran dialisis dapat berperan sebagai
penyaring kuman dan endotoksin. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-145
meq/L. Bila kadar natrium lebih rendah maka resiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik
selama hemodialisis akan bertambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan
hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pascadialidis.
Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minum lebih
banyak.

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis


berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual
dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, menggigil. Komplikasi
yang jarang terjadi misalnya sindrom disekulibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade
jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi
komplemen akibat dialisis dan hipoksemia.

Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG)
sudah kurang dari 5mL/menit, yang didalam praktek dianggap demikian bila (TKK) ‹ 5
mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK yang ‹ 5mL/menit tidak selalu
sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu di mulai bila di jumpai salah satu dari hal
tersebut di bawah:
- keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

- K serum › 6 meq/L

- Ureum darah › 200 mg/dl

- Ph darah ‹ 7,1

- Anuria berkepanjangan (› 5 hari)

- Fluid overloaded

Dialisis peritoneal merupakan teknik yang masih dipakai di beberapa rumah sakit
karena tidak membutuhkan peralatan canggih seperti hemodialisis, dengan biaya yang relatif
murah. Namun, tidak semua kasus dapat diatasi dengan dialisis peritoneal. Terapi ini
terutama digunakan untuk gagal ginjal akut, pediatrik, geriatrik, atau pasien gawat darurat.
Untuk kebanyakan kasus gagal ginjal, hemodialisis lebih optimal untuk dilakukan.

Untuk dialysis peritoneal akut biasa dipakai stylet-catheter (kateter peritoneum) untuk
dipasang pada abdomen masuk kedalam cavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak
dalam cavum Douglassi. Membrane peritoneum bertindak sebagai membrane dialysis yang
memisahkan antara cairan dialysis dalam cavum peritoneum dan plasma darah dalam
pembuluh darah di peritoneum.

Indikasi pemakaian dialysis peritoneal:

1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut)

2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, atau asam basa

3. Intoksikasi obat atau bahan lain

4. Gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik)

5. Keadaan klinis lain dimana DP telah terbukti manfaatnya.

Kontraindikasi dialysis peritoneal:


1. Kontraindikasi absolute: tidak ada.

2. Kontraindikasi relative: keadaan teknis penyulit atau penyebab komplikasi, seperti gemuk
berlebihan, perlengketan peritoneum, peritonitis local, operasi atau trauma abdomen yang
baru saja terjadi, kelainan intraabdominal yang belum diketahui sebabnya, luka bakar
dindingg abdomen yang cukup luas terutama bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak
adekuat.

Indikasi DP pada pasien gagal ginjal akut dilakukan atas dasar:

1. DP pencegahan: DP dilakukan setelah diagnosis GGA ditetapkan

2. DP dilakukan atas indikasi:

a. Indikasi klinis: keadaan umum jelek dan gejala klinis nyata

b. Indikasi biokimiawi: ureum darah >200 mg%

E. Penatalaksanaan Stricture Urethra

Jika pasien datang karena retensi urine, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik untuk
mengeluarkan urine. Jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisis dan pemberian
antibiotika. Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktura uretra adalah:

1. Businasi (dilatasi) dengan besi logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar
tambah merusak uretra sehingga menimbulkan luka yang pada akhirnya menimbulkan
striktura lagi yang lebih berat. Tindakan ini dapat menimbulkan salah jalan.
2. Uretrotomi interna: memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan
pisau Sachse. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktura total, sedangkan pada striktura
yang lebih berat, pemotongan striktura uretra dikerjakan sevara visual memakai pisau
Sachse.
3. Uretritomi eksterna: tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis,
kemudian dilakukan anastomosis di antara jaringan uretra yang masih sehat

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario pasien mengeluhkan beberapa gejala. Gejala yang dialami pasien
berhubungan dengan stricture urethra yang didiagnosis oleh dokter di UGD. Lima hari yang
lalu Joni datang dengan keluhan tidak bisa buang air kecil. Awal mulanya buang air kecil
dengan pancaran urin kecil. Karena adanya penyumbatan di urethra sehingga terhalangi untuk
mengeluarkan urin. Dalam kondisi kandung kemih terisi penuh bisa meregangkan otot-otot
pada dinding kandung kemih kemudian merangsang saraf menuju pusat mikturisi di medulla
spinalis dan kembali lagi melalui saraf efferent menyebabkan kontraksi muskulus detrusor
urin dan relaksasi muskulus sphincter uretra. Namun karena terjadi penyumbatan pada
urethra (stricture urethra), untuk mengeluarkan urin perlu “mengejan” secara volunter dengan
cara kontraksi otot perut sehingga meningkatkan tekanan di dalam kandung kemih dan
memungkinkan urin tambahan memasuki leher kandung kemih dan urethra posterior,
selanjutnya meregangkan dindingnya, memicu reseptor regang, sehingga bisa menambah
kontraksi dari muskulus detrusor urin, urin terdorong untuk keluar.

Pada pemasangan kateter urin per urethra tidak berhasil karena terjadi penyempitan
urethra sehingga dilakukan pemasangan kateter suprapubik. Hal ini perlu dilakukan karena
kandung kemih yang terisi penuh dengan urin jika tidak segera dikeluarkan dari tubuh akan
menyebabkan kelainan-kelainan, seperti yang sudah terjadi pada pasien. Pasien merasakan
lemas dan mau muntah disebabkan karena asidosis metabolik yaitu gangguan sistemik yang
ditandai dengan penurunan primer kadar bikarbonat plasma sehingga menyebabkan
terjadinya penurunan pH (peningkatan ion hydrogen). Hal ini disebabkan karena kegagalan
ginjal untuk mengekskresikan beban asam harian karena tertimbunnya urin dalam vesika
urinaria.

Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, dokter menyarankan


Joni untuk menjalani operasi, tetapi sebelumnya Joni harus cuci darah. Hemodialisis
dilakukan karena pasien telah mengalami asidosis metabolik dengan gejala lemas dan muntah
sehingga urin yang terdapat dalam darah perlu dibersihkan terlebih dahulu. Mengenai asumsi
keluarga pasien tentang “kecanduan cuci darah”, perlu ada edukasi dari dokter bahwa cuci
darah atau hemodialisis tidak menyebabkan kecanduan. Cuci darah dilakukan hingga fungsi
ginjal telah normal lagi. Sedangkan yang terjadi pada pak Darmo bukanlah “kecanduan cuci
darah”, tetapi karena infeksi ginjal kronik yang diderita pak Darmo mungkin telah mengenai
ginjalnya sehingga mempengaruhi fungsi ginjal, yang menyebabkan pak Darmo menjalani
cuci darah secara rutin. Kalau pada pak Joni, kemungkinan ginjalnya belum mengalami
kerusakan karena jika stricture urethranya segera ditangani fungsi ginjalnya akan mengalami
perbaikan.
Tindak lanjut yang dilakukan pada pasien, dokter menyarankan harus dioperasi. Akan
tetapi pasien menolak. Jika dalam waktu dekat pasien belum bersedia untuk menjalani
operasi, stricture urethra bisa ditangani dengan cara dilatasi busi logam atau dari plastic.
Namun, metode dilatasi ini tidak bisa bertahan lama. Oleh karena itu, perlu edukasi kepada
pasien pentingnya dilakukan operasi.

DAFTAR PUSTAKA

Jong, Wim De, R. Sjamsuhidayat. 2004. Striktur Uretra. Dalam: Saluran Kemih Dan Alat Kelamin
Lelaki, Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.

Mansjoer, A.2000.Kapita Selekta Indonesia .Penerbit Media Aesculapius FK UI:Jakarta

Mitchall P., 1995, Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, Gajah Mada Press,
Yogyakarta

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi
Asih Mahanani. Jakarta: EGC.

Sabiston, David C. 1994. Penyakit Striktur Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar Bedah
Bagian 2. EGC. Jakarta.

Sabiston, David C. 1994. Uretra. Dalam: Sistem Urogenital, Buku Ajar Bedah Bagian 2. EGC.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai