Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN KASUS STRIKTUR URETRA


DI RUANG DAHLIA RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR

Oleh :
Retno Puspitorini
A3R22065

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
HUTAMA ABDI HUSADA TULUNGAGUNG
2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PADA PASIEN DENGAN KASUS STRIKTUR URETRA
DI RUANG DAHLIA RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan

(Wiwid Yuliastuti, S.Kep, Ners, M.Kep) (Erna Wahyuningsih,S.Kep, Ners)


NIDN. 07-0707-8610 NIP. 198104092006042021
A. DEFINISI
Striktur uretra adalah kondisi dimana suatu bagian dari uretra menyempit. Berbeda dengan
obstruksi pada uretra yang disebabkan oleh batu, striktur uretra merupakan adanya oklus
dari meatus uretralis karena danya jaringan yang fibrotic dengan hipertrofi. Jaringan
fibrotic yang tumbuh dengan abnormal akan menutupi / mempersempit meatus urinalis,
sehingga aliran urine (urine flow) akan menurun. (Prabowo & Pranata, 2017)
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya.
Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnya mengalami fibrosis dan pada
tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum. (Purnomo, 2018: 153).
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan
kontriksi. (Suharyanto & Madjid, 2017: 271)
Dari beberapa definisi tersebut, disimpulkan bahwa Striktur uretra merupakan  penyakit
atau kelainan yang berupa penyempitan atau konstriksi dari lumen uretra akibat adanya
obstruksi kemudian terbentuk jaringan fibrotik (jaringan parut)  pada daerah uretra.

B. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :
a. Struktur uretra kongenital
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars membranase, sifat
striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul terpisah atau bersamaan dengan
anomalia sakuran kemih yang lain.
b. Struktur uretra traumatik 
Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena instrumen, infeksi,
spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh struktur sambungan atau oleh
pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya terjadi pada daerah kemaluan dapat
menimbulkan ruftur urethra, Timbul striktur traumatik dalam waktu 1 bulan. Striktur
akibat trauma lebih progresif daripada striktur akibat infeksi. Pada ruftur ini ditemukan
adanya hematuria gross. 
c. Struktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih
lambat daripada striktur traumatic. Penyebab paling umum dari striktur uretra saat ini
adalah traumatik atau iatrogenik. Penyebab yang lebih jarang ditemui adalah
peradangan atau infeksi, keganasan, dan kongenital. Striktur akibat infeksi biasanya
merupakan gejala sekunder dari urethritis gonococcal, yang masih umum di beberapa
populasi  berisiko tinggi. Penyebab yang paling penting adalah idiopati, reseksi transur
ethral, kateterisasi uretra, fraktur panggul dan operasi hipospadia. Penyebab iatrogenik
keseluruhan (reseksi transurethral, kateterisasi uretra, sistoskopi, prostatektomi, operasi
brachytherapy dan hipospadia) adalah 45,5% dari kasus striktur. Pada pasien yang lebih
muda dari 45 tahun penyebab utama adalah idiopati, operasi hipospadia dan fraktur
panggul. Pada pasien yang lebih tua dari 45 tahun penyebab utama adalah reseksi
transurethraldan idiopathy. Penyebab utama penyakit penyempitan multifokal /
panurethral adalah kateterisasi uretra anterior, sedangkan fraktur panggul adalah
penyebab utama dari striktur uretra posterior.
Etiologi striktur pada wanita berbeda dengan laki-laki, etiologi striktura uretra pada
wanita radang kronis. Biasanya di derita wanita usia diatas 40 tahun dengan sindroma
sistitis berulang yaitu disuria, frekuensi dan urgensi. Diagnosis striktur uretra dibuat
dengan bougie aboul’e, tanda khas dari pemeriksaan bougie aboul’e adalah pada waktu
dilepas terdapat flik/hambatan. Pengobatan dari striktura uretrapada wanita dengan
dilatasi, kalo gagal dengan otis uretrotomi
 
C. PATOFISIOLOGI
Residu urine yang sedikit mungkin akan menimbulkan gangguan, namun jika  banyak
dan melebihi batas kapasitas vesika memungkinan
terjadinya refluks dan  jika berlangsung kronis kemungkinan menimbulkan hidronephr
osis. Selain itu, stagnansi urine yang lama menimbulkan sedimentasi sehingga
kemungkinan akan terjadi urolithiasis. Hal yang paling kompleks dari dampak striktur
adalah terjadinya gagal ginjal. Hal ini dikarenakan refluks pada ginjal akan
memperberat kerja ginjal untuk melakukan fungsinya. Tubuh manusia memiliki banyak
cara untuk mengatasi masalah, begitu pula dengan akumulasi urine yang semakin
bertambah dengan adanya striktur. Urine yang bersifat asam/ basa akan berusaha
mencari jalan baru sebgai saluran dengan meningkatkan iritabilitas pada mukosa
jaringan sekitar dan terbentukla fistel. (Prabowo & Pranata, 2017: 147-149) Proses
radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya jaringan
sikatrik pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran
urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat tersumbat mencari jalan keluar
di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga
periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah
membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula
sehingga disebut sebagai fistula seruling. (Purnomo, 2018: 144) Trauma yang
menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada selangkangan (straddle
injury) dan fraktur tulang pelvis. Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra
akan menyebabkan terbentuknya jaringan
sikatriks  pada uretra. Jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan hambatan alir
an urine hingga retensi urine. Aliran urine yang terhambat mencari jalan keluar
di tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul di rongga
periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periuretra yang kemudian pecah memben
tuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu banyak dijumpai fistula sehingga disebut
sebagai fistula seruling. Tindakan yang kurang hati-hati pada pemasangan kateter dapat
menimbulkan salah jalan ( false route) yang menimbulkan kerusakan uretra dan
menyisakan strikture dikemudian hari. Demikian pula fiksasi kateter yang tidak benar
pada  pemakaian kateter menetap yang menyebabkan penekanan kateter pada  perbatas
an uretra bulbo-pendulare yang mengakibatkan penekanan uretra terus menerus,
menimbulkan hipoksia uretra daerah itu, yang pada akhirnya menimbulkan fistula atau
strikur uretra.
D. PATHWAY

Kelainan Operasi Trauma : fraktur Post operasi infeksi


kongenital : rekonstruksi : tulang pelvis prostat
anomaly saluran hipospadia
kemih yang lain
Proses peradangan
Proses penyembuhan epimorfosis

Terbentuk jaringan
parut Refluk urin ke
ureter

Elistisitas menurun
Refluk urin ke
ginjal

Penyempitan lumen
uretra hidronefrosis

Striktur uretra
pyelonefritis

Obstruksi saluran
kemih PK : gagal ginjal kronik

Tekanan vesika B4 B6 Saluran reproduksi


urinaria meningkat tersumbat

Nyeri saat Penebalan otot Tekanan vesika Perubahan proses


berkemih vesika urinaria urinaria meningkat orgasme / ejakulasi

MK. Nyeri akut Penurunan Tekanan VU > MK. Disfungsi


kontraksi otot tekanan uretra
vesika urinaria

Kesulitan Urin keluar


berkemih tanpa terkontrol

Penatalaksanaan Output urin inkontinensia Kulit sekitar organ


menurun genetalia lembab

MK : Gg pola
Retensi urin
eliminasi urin Resiko terjadi
lecet

MK. Risiko
kerusakan integritas
Retensi Noktaria
bakteri
desenden
Pembedahan :
sistotomi, businasi,
uretrotom, dll MK. Gangguan
PK. pola tidur
Pyelonefri
tis

Trauma jaringan

MK. Risiko
MK. Nyeri infeksi saluran
kemih

Luka insisi
Nyeri post
operasi

Port de entry
bakteri
Hambatan dalam
beraktifitas dan
MK. Resiko bermobilisasi
infeksi

MK. Defisit
perawatan diri
E. KLASIFIKASI 
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi tiga tingkatan:
 
a. Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra. 
b. Sedang : jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra.
c. Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra.
Pada  penyempitan derajat berat kadangkala teraba jaringan keras di korpus spongio
sum yang dikenal dengan spongiofibrosi

F. MANIFESTASI KLINIS 
Manifestasi klinis pada umumnya mirip dengan obstruksi saluran kemih lainnya,
misalnya BPH. Namun ada beberapa yang khas dari klien striktur uretra, yaitu pancaran
urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/ obstruksi pada saluran
meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi urine low dan obstruksi yang
berada di medial akan membuat alira urine terpecah, sehingga seolah-olah pancaran
urine terbelah dua. Gejala yang lain dari striktur uretra antara lain:
a. Frekuensi 
Merupakan banyaknya jumlah berkemih dalam sehari. Peningkatan frekuensi untuk
berkemih pada klien striktur uretra dikarenakan tidak tuntasnya klien untuk
mengosongkan vesika, sehingga masih terdapat residu urine dalam vesika. Hal
inilah yang kemudian mendorong m.detrusor untuk berespon mengosongkan
vesika. 
b. Urgensi 
Merupakan perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika tidak
berkemih. Akumulasi yang kronis pada klien striktur uretra adalah mengakibatkan
iritabilitas vesika urinaria meningkat. Hal ini akan
merangsang  persarafan yang mengontrol eliminasi uri untuk mengosongkan melalui 
efek kontraksi pada bladder. Dengan demikian keinginan untuk miksi akan
terjadi terus-menurus pada striktur uretra. 
c. Disuria 
Merupakan rasa sakit dan kesulitan untuk melakukan miksi. Klien striktur urtra akan
mengalami iritabilitas mukosa, baik pada uretra maupun pada vesika urinaria. Hal
ini dikarenakan akumulasi urine yang melebihi kapasitas bladder dan sifat pH dari
urine yang cenderung asam/ basa akan melukai mukosa saluran kemih. Selain itu,
relaksasi vesika yang melebihi dari kemampuan otot vesika akan menimbulkan
inflamasi dan nyeri
Inkontenensia urine Merupakan ketidakmampuan untuk mengontrol miksi ( bahasa
awam : ngompol ) kejadian ini pada klien striktur uretra dipicu oleh iritabilitas
sayaraf  perkemihan sehingga kemampuan untuk mengatur regulasi miksi menurun.
d. Urine menetes 
Merupakan dampak dari residu urine dan adanya obsruksi pada meatus uretralis,
sehingga pancara urine melemah dan pengosongan tidak bisa spontan.
e. Penis membengkak 
Bendungan urine dan obstruksi pada saluran uretra akan menyebabkan resistensi
kapiler jaringan sekitar meningkat dengan gejala inflamasi yang  jelas, sehingga
penis akan membengkak.
f. Infiltrat
Jika obstruksi pada klien striktur uretra tidak tertangani dengan baik dan terjadi
dalam jangka waktu yang lama, maka kemungkinan infeksi pada striktur akan
terjadi mengingat urine merupakan media untuk pertumbuhan kuman
yang  baik. Jika hal ini terjadi, inflamasi jaringan striktu akan menjadi abses dan infi
ltrasi akan terjadi pula.
g. Abses 
Diakibatkan oleh invasi bakteri melalui urine kepada jaringan obstruksi striktur. 
h. Fistel
Urine yang bersifat asam/ basa akan berusaha secara patologis untuk mencari jalan
keluar. Oleh karena itu, iritabilitas jaringan sekitar akan terus terjadi untuk membuat
saluran baru, sehingga kemungkinan akan terbentuk fistel sebagai  jalan keluar urine
baru.
i. Retensio urine
Striktur yang total akan menghambat secara total aliran urine, sehingga urine tidak
akan keluar sedikit pun dan terakumulasi pada vesika urinaria.
j. Kencing bercabang
Pancaran urine yang kecil dan bercabang. Hal ini dikarenakan sumbatan/ obstruksi
pada saluran meatus uretralis, sehingga akan menurunkan patensi urine low dan
obstruksi yang berada di medial akan membuat alira urine terpecah, sehingga
seolah-olah pancaran urine terbelah dua. (Prabowo & Pranata, 2017: 146

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Urin dan kultur urin untuk mengetahui adanya infeksi
b. Ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal
2. Uroflowmetri 
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin.
Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan
lamanya  proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/
detik dan  pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga no
rmal menandakan ada obstruksi.
3. Radiologi 
Diagnosa pasti dibuat dengan uretrografi, untuk melihat letak penyempitan dan
besarnya penyempitan uretra. Teknik pemeriksaan uretrogram
adalah  pemeriksaan radiografi ureter dengan bahan kontras uretra. Untuk menget
ahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan membuat foto
bipolar sistouretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad
dari
buli- buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini panjang strikt
ur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi.
4. Instrumentasi 
Pada pasien dengan striktur uretra dilakukan percobaan dengan
memasukkan kateter Foley ukuran 24 ch, apabila ada hambatan dicoba dengan
kateter dengan ukuran yang lebih kecil sampai dapat masuk ke buli- buli. Apabila
dengan kateter ukuran kecil dapat masuk menandakan adanya penyempitan
lumen uretra.
5. Uretroskopi 
Untuk melihat secara langsung adanya striktur di uretra.Jika diketemukan adanya
striktur langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong
jaringan fibrotik dengan memakai pisau sachse

H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk penderita Striktur Uretra adalah
dengan menggunakan penatalaksanaan farmakologis dan non farmakologis. 
1. Terapi Farmakologis
a. Bougie (Dilatasi) 
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin pasien
dan  periksa adanya glukosa dan protein dalam urin. Tersedia beberapa jenis  bou
gie. Bougie bengkok merupakan satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan
kelengkungan uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam, mempunyai
ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit melengkung; bougie filiformis
mempunyai diameter yang lebih kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak. 
Berikan sedatif ringan sebelum memulai prosedur dan
mulailah  pengobatan dengan antibiotik, yang diteruskan selama 3 hari. Bersihka
n glans penis dan meatus uretra dengan cermat dan persiapkan kulit
dengan antiseptik yang lembut. Masukkan gel lidokain ke dalam uretra
dan dipertahankan selama 5 menit. Tutupi pasien dengan sebuah duk
lubang untuk mengisolasi penis.
Apabila striktur sangat tidak teratur, mulailah dengan memasukkan
sebuah  bougie filiformis; biarkan bougie di dalam uretra dan teruskan
memasukkan  bougie filiformis lain sampai bougie dapat melewati striktur terseb
ut. Kemudian lanjutkan dengan dilatasi menggunakan bougie lurus. 
Apabila striktur sedikit tidak teratur, mulailah dengan bougie bengkok atau lurus
ukuran sedang dan secara bertahap dinaikkan ukurannya. Dilatasi dengan bougie
logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan
merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya
menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Karena itu, setiap dokter yang
bertugas di pusat kesehatan yang terpencil harus dilatih
dengan  baik untuk memasukkan bougie. Penyulit dapat mencakup trauma denga
n
perdarahan dan bahkan dengan pembentukan jalan yang salah (false  passage). Pe
rkecil kemungkinan terjadinya bakteremi, septikemi, dan syok septic dengan
tindakan asepsis dan dengan penggunaan antibiotik.  
b. Uretrotomi interna 
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi yang
memotong  jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau Sachse, 
laser atau elektrokoter. Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior
terutama  bagian distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis, otis uretrotom
i juga dilakukan pada wanita dengan striktur uretra. 
Indikasi untuk melakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse adalah
striktur uretra anterior atau posterior masih ada lumen walaupun kecil dan
panjang tidak lebih dari 2 cm serta tidak ada fistel, kateter dipasang selama 2- 3
hari pasca tindakan. Setelah pasien dipulangkan, pasien harus kontrol tiap
minggu selama
1  bulan kemudian 2 minggu sekali selama 6 bulan dan tiap 6 bulan sekali seumur 
hidup. Pada waktu kontrol dilakukan pemeriksaan uroflowmetri, bila
pancaran urinnya < 10 ml/det dilakukan bouginasi.
c. Uretrotomi eksterna 
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis
kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di antara jaringan uretra yang masih
sehat, cara ini tidak dapat dilakukan bila daerah strikur lebih dari 1 cm. Cara
Johansson; dilakukan bila daerah striktur panjang dan banyak jaringan fibrotik. 

 Stadium I: daerah striktur disayat longitudinal dengan menyertakan


sedikit  jaringan sehat di proksimal dan distalnya, lalu jaringan fibrotik dieksisi. 
Mukosa uretra dijahit ke penis pendulans dan dipasang kateter selama 5-7 hari. 
 Stadium II: beberapa bulan kemudian bila daerah striktur telah
melunak, dilakukan pembuatan uretra baru. d)
 
d. Uretroplasty 
Dilakukan pada penderita dengan panjang striktur uretra lebih dari 2 cm atau
dengan fistel uretro-kutan atau penderita residif striktur pasca Uretrotomi Sachse.
Operasi uretroplasty ini bermacam-macam, pada umumnya setelah daerah striktur
di eksisi, uretra diganti dengan kulit preputium atau kulit penis dan dengan
free graft atau pedikel graft yaitu dibuat tabung uretra baru dari
kulit  preputium/kulit penis dengan menyertakan pembuluh darahnya. 
 
2. Penatalaksanaan Non Farmakologis
e. Menghindari terjadinya trauma pada uretra dan pelvis.
f. Tindakan transuretra dengan hati-hati, seperti pada pemasangan kateter.
g. Menghindari kontak langsung dengan penderita yang terinfeksi penyakit menular
seksual seperti gonorrhea, dengan jalan setia pada satu pasangan dan memakai
kondom.
h. Pengobatan dini striktur uretra dapat menghindari komplikasi seperti infeksi dan
gagal ginjal.

I. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi dari Striktur Uretra jika adalah:
1. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel 
Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka otot kalau
diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat kemudian akan
melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal terjadi
trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi timbul
sakulasi dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan
mukosa buli pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol
di luar buli-buli, jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar buli-buli
tanpa dinding otot.  b)
2. Residu urine 
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak timbul
residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah keadaan
dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing.Dalam keadaan
normal residu ini tidak ada.
3. Refluks vesiko ureteral 
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli- buli
melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang
meninggi maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli akan
masuk kembali ke ureter bahkan sampai ginjal. d)
4. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal 
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh
mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat
mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi maka
akan timbul residu, akibatnya maka buli-buli mudah terkena infeksi. Adanya kuman
yang berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul
pyelonefritis akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala
akibatnya.
5. Infiltrat urine, abses dan fistulas 
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa timbul
inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine yang
terinfeksi keluar dari buli-buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat urine,
kalau tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di
supra pubis atau uretra proksimal dari striktur

J. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses
keperawatan.  pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penent
uan status kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan
kebutuhan klien, serta merumuskan diagnosis keperawatan. 
Pengkajian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pengkajian pre operasi Sachse dan
pengkajian post operasi Sachse.
1. Pengkajian pre operasi Sachse
Pengkajian ini dilakukan sejak klien MRS sampai saat operasinya, yang meliputi :
a. Pengkajian focus
Palpasi :
- Abdomen 
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya ada
penonjolan kandung kemih pada
supra  pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien biasanya
terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus
menurun atau meningkat.
- Genitalia dan anus 
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada saat rectal
touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana
bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid. 
Inspeksi : 
- Memeriksa uretra dari bagian meatus dan jaringan sekitarnya
- Observasi adanya penyempitan, perdarahan, mukus atau cairan  purulent (nanah)
- Observasi kulit dan mukosa membran disekitar jaringan
- Perhatikan adanya lesi hiperemi atau keadaan abnormal lainnya pada penis, scrotom,
labia dan orifisium Vagina.
- Iritasi pada uretra ditunjukan pada klien dengan keluhan ketidak nyamanan pada
saat akan mixi. 
b. Pengkajian psikososial
1. Respon emosional pada penderita sistim perkemihan, yaitu : menarik diri, cemas,
kelemahan, gelisah, dan kesakitan.
2. Respon emosi pada pada perubahan masalah pada gambaran diri, takut dan
kemampuan seks menurun dan takut akan kematian. Riwayat psikososial terdiri
dari :
a. Intra personal 
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan.
Kecemasan ini muncul karena ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan.
Tingkat kecemasan dapat dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien tentang
sakitnya.
b. Inter personal 
Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam masyarakat.
c. Pengkajian diagnostik 
Sedimen urine untuk mengetahui partikel-partikel urin yaitu sel, eritrosit, leukosit,
bakteria, kristal, dan  protein. 
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor registrasi, dan
diagnosa medis.
d. Riwayat penyakit sekarang
Pada klien striktur urethra keluhan-keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia,
urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak lampias/ puas sehabis miksi,
hesistensi, intermitency, dan waktu miksi memenjang dan akirnya menjadi retensio
urine.
e. Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan
saluran  perkemihan, misalnya ISK (Infeksi Saluran Kencing ) yang  berulang. Peny
akit kronis yang pernah di derita. Operasi yang  pernah di jalani kecelakaan yang per
nah dialami adanya riwayat  penyakit DM dan hipertensi.
f. Riwayat penyakit keluarga
Adanya riwayat keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit
striktur urethra Anggota keluarga yang menderita DM, asma, atau hipertensi.
g. Pola Fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Klien ditanya tentang kebiasaan merokok,
penggunaan tembakau, penggunaan obat-obatan, penggunaan alkhohol dan upaya
yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan diri (pemeriksaan kesehatan
berkala, gizi makanan yang adekuat).
2. Pola nutrisi dan metabolisme Klien ditanya frekuensi makan, jenis makanan,
makanan  pantangan, jumlah minum tiap hari, jenis minuman, kesulitan menelan
atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti nause, stomatitis, anoreksia dan
vomiting. Pada pola ini umumnya tidak mengalami gangguan atau masalah. 
3. Pola eliminasi
Klien ditanya tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, jumlah kecil
dan tidak lancar menetes - netes, kekuatan system perkemihan. Klien juga ditanya
apakah mengedan untuk mulai atau mempertahankan aliran kemih. Klien ditanya
tentang defikasi, apakah ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari p[enyempitan
urethra kedalam rectum.
4. Pola tidur dan istirahat
Klien ditanya lamanya tidur, adanya waktu tidur
yang  berkurang karena frekuensi miksi yang sering pada malam hari ( nokturia ).
Kebiasaan tidur memekai bantal atau situasi lingkungan waktu tidur juga perlu
ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan tidur. 
5. Pola aktifitas
Klien ditanya aktifitasnya sehari - hari, aktifitas  penggunaan
waktu senggang, kebiasaan berolah raga. Apakah ada  perubahan sebelum sakit dan
selama sakit. Pada umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan,
dimana klien masih mampu memenuhi kebutuhan sehari - hari sendiri. 
6. Pola Hubungan dan peran
Klien ditanya bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga, pasien lain,
perawat atau dokter. Bagai mana peran klien dalam keluarga. Apakah klien dapat
berperan sebagai mana seharusnya. 
7. Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan klien
sebelum pembedahan . Biasanya muncul kecemasan dalam menunggu acara
operasinya. Tanggapan klien tentang sakitnya dan dampaknya pada dirinya. Koping
klien dalam menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa tidak
berdaya. 
8. Pola sensori dan kognitif
Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan  pendengaran dari klien.
Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi pikiran, daya ingat dan waham. Pada
klien biasanya tidak terdapat gangguan atau masalah pada pola ini. 
9. Pola reproduksi seksual
Klien ditanya jumlah anak, hubungannya dengan  pasangannya, pengetahuannya
tantang seksualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual yang terjadi sekarang, masalah
seksual yang dialami sekarang (masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan  pola
perilaku seksual 
10. Pola kanisme koping
Menanyakan apa klien merasakan stress, apa penyebab stress, mekanisme
penanggulangan terhadap stress yang dialami. Pemecahan masalah biasanya
dilakukan klien bersama siapa. Apakah mekanisme penanggulangan stressor positif
atau negative.
Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum 
Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus,  pernafasan, tekanan
darah, suhu tubuh, nadi.
b. Kulit 
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan pigmentasi,
bagaimana keadaan rambut dan kuku klien
c. Kepala 
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala atau trauma
pada kepala.
d. Muka 
Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot
rahang  bagaimana keadaannya, begitu pula bagaimana otot mukanya.
e. Mata 
Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema
atau tidak. Pada konjungtiva terdapat atau tidak hiperemi dan  perdarahan. Slera
tampak ikterus atau tidak.
f. Telinga 
Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana bentuknya, apa
ada gangguan pendengaran.
g. Hidung 
Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau polip,
apakah hidung berbau dan adakah  pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan faring 
Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah
ada  perdarahan atau ulkus. Lidah tremor ,parese atau tidak. Adakah pembesaran
tonsil.
i. Leher 
Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.
j. Thoraks 
Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
k. Paru 
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan
atau  penarikan. Pergerakan bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas
tambahan seperti ronchi , wheezing atau egofoni.
l. Jantung 
Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan iktus atau
getarannya.
m. Abdomen 
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya
ada penonjolan kandung kemih pada
supra  pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya bagaimana. Pada klien biasanya
terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal teraba atau tidak. Peristaklit usus
menurun atau meningkat.
n. Genitalia dan anus 
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada saat rectal
touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana
bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
o. Ekstrimitas dan tulang belakang 
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari - jari tremor apa tidak. Apakah ada infus
pada tangan. Pada sekitar  pemasangan infus ada tanda - tanda infeksi seperti
merah atau bengkak atau nyeri tekan. Bentuk tulang belakang  bagaimana.

3. Pengkajian post operasi sache


Pengkajian ini dilakukan setelah klien menjalani operasi, yang meliputi: 
b. Keluhan utama
Keluhan pada klien berbeda - beda antara klien yang satu dengan yang lain.
Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien post operasi Sachse adalah
keluhan rasa tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya
bekas insisi pada waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan
ungkapan dari klien sendiri.
c. Keadaan umum
Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara
d. System respirasi
Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas atau tidak. Apakah
perlu dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas, suara nafas. Ada wheezing dan
ronchi atau tidak. Gerakan otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung, gerakan
dada dan perut. Tanda - tanda cyanosis ada atau tidak. 
e. System sirkulasi
Yang dikaji: nadi ( takikardi/bradikardi, irama ), tekanan darah, suhu tubuh, monitor
jantung ( EKG ). 
f. System gastrointestinal
Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi, konstipasi / obstipasi,
bagaimana dengan bising usus, sudah flatus apa belum, apakah ada mual dan
muntah. 
g. System muskuloskleletal
Bagaimana aktifitas klien sehari - hari setelah operasi. Bagaimana memenuhi
kebutuhannya. Apakah terpasang infus dan dibagian mana dipasang serta keadaan
disekitar daerah yang terpasang infus.
h. System eliminasi
Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik, kandung
kemih  penuh . Masih ada gangguan miksi seperti retensi. Kaji apakah ada tanda -
tanda perdarahan, infeksi. Memakai kateter jenis apa. Irigasi kandung kemih. Warna
urine dan jumlah produksi urine tiap hari. Bagaimana keadaan sekitar daerah
pemasangan kateter. Terapi yang diberikan setelah operasi : Infus yang terpasang,
obat - obatan seperti antibiotika, analgetika, cairan irigasi kandung kemih. 

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN 
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul antara lain :
 Diagnosa sebelum operasi 
1. Perubahan eliminasi urine: frekuensi, urgensi, hesistancy, inkontinensi, retensi,
nokturia atau perasaan tidak puas setelah miksi sehubungan dengan obstruksi
mekanik : pembesaran prostat. 
2. Nyeri berhubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap
struktur urethra 
3. Cemas berhubungan dengan hospitalisasi, prosedur pembedahan, kurang
pengetahuan tantang aktifitas rutin dan aktifitas post operasi 
4. Resiko infeksi area pembedahan berhubungan dengan ketidak adekuatan
pertahanan primer

 Diagnosa setelah operasi 


1. Nyeri berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada
Sachse. 
2. Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri post op hambatan dalam
beraktifitas dan bermobilisasi

3. INTERVENSI
1. Nyeri akut b.d Agen pencedera fisiologis ( mis : inflamasi , iskemia , neoplasma )
(Manajemen Nyeri I. 08238)
Observasi
1. Lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
2. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2. Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri post op hambatan dalam beraktifitas
dan bermobilisasi.
( Dukungan perawatan diri I. 11348
Observasi
1. Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri sesuai usia
2. Monitor tingkat kemandirian
3. Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berpakaian, berhias, dan makan
Terapeutik
1. Sediakan lingkungan yang terapeutik (mis. Suasana hangat, rileks, privasi)
2. Siapkan keperluan pribadi (mis. Parfum, sikat gigi, sabun mandi)
3. Damping dalam melakukan perawatan diri sampai mandiri
4. Fasillitasi untuk menerima keadaan ketergantungan
5. Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu melakukan perawatan diri
6. Jadwalkan rutinitas perawatan diri
Edukasi
1. Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten sesuai kemampuan

4. EVALUASI
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan
implementasi keperawatan. Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP
dimana:
S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan. 
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah
dilakukan tindakan keperawatan. 
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi, teratasi
sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru 
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah,
atau dimodifikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Anatomi fisiologi 2015.Otak http://fadilkaryosuwito.blogspot.com/2015/05/v-


behaviorurldefaultvmlo.html?m=1
Burke,M Karen,dkk.2016. Buku Ajar Keperawatan Bedah. Jakarata
Huda Amin, Hardhi Kusuma (2015) Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc, Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta
PPNI. (2015).Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1.jakarta:DPP PPNI
PPNI. (2016).Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia:Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1.jakarta:DPP PPNI
PPNI. (2018).Standar Luaran Keperawatan Indonesia:Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1.jakarta:DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai