Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN K EPERAWATAN PERIOPERATIF PADA PASIEN DENGAN


TINDAK AN TURP BPH DI RUANG OK /INSTALASI BEDAH SENTRAL RS
BHAYANGK ARA ANTON SOEDJARWO PONTANAK

Disusun Oleh:
SYAUQIYAH SALSABILA
NIM. 211133073

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
JURUSAN KEPERAWATAN PONTIANAK
PRODI PROFESI NERS
2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN K EPERAWATAN PERIOPERATIF
PADA PASIEN DENGAN TINDAK AN TURP BPH DI RUANG
OK /INSTALASI BEDAH SENTRAL RS BHAYANGK ARA ANTON
SOEDJARWO PONTANAK

Telah mendapat persetujuan dari Pembimbing Akademik (Clinical Teacher) dan


Pembimbing Klinik (Clinical Instructure).
Telah disetujui pada :
Hari :
Tanggal :

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

Mahasiswa
A. KONSEP PENYAKIT

1. Pengertian
a. BPH ( Benigna Prostatic Hyperplasia)
Benigna Prostatic hyperplasia adalah suatu kondisi yang sering terjadi
sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat.
(Yuliana elin, 2011).

Hiperplasia prostat jinak(BPH)adalah pembesaran kelenjar prostat


nonkanker, (Corwin, 2009).

b. Definisi TURP
Transurethral Resection of Prostate (TURP) adalah operasi yang
dilakukan dengan tujuan menghilangkan obstruksi di area central prostat
dengan menggunakan panas diatermi dan insersi kateter sementara
menuju kandung kemih untuk irigasi sisa jaringan yang tereseksi (CUP,
2011).

Jadi TURP adalah Suatu operasi pengangkatan jaringan prostat


lewat uretra menggunakan resektroskop. Merupakan operasi tertutup
tanpa insisi, Transurethral resection of the prostate (TURP) merupakan
standar pembedahan endoskopik untuk Benign Prostat Hypertrophy
(pembesaran prostat jinak). TURP dilakukan dengan cara bedah elektro
(electrosurgical) atau metode alternative lain yang bertujuan untuk
mengurangi perdarahan, masa rawat inap, dan absorbsi cairan saat
operasi. Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi
dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. (Madjid, Irawaty,
& Nuraini, n.d. 2013)

2. Tanda dan gejala BPH


a. Gejala iritatif meliputi:
- Peningkatan frekuensi berkemih
- Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
- Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda
(urgensi)
- Nyeri pada saat miksi (disuria)

b. Gejala obstruktif meliputi :


- Pancaran urin melemah
- Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong
dengan baik
- Kalau mau miksi harus menunggu lama
- Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
- Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
- Urin terus menetes setelah berkemih
- Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi
urin dan inkontinensia karena penumpukan berlebih.
- Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia
(akumulasi produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan
retensi urin kronis dan volume residu yang besar.

c. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan


muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik. Berdasarkan keluhan
dapat dibagi menjadi (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005)

- Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih,


kencing tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada
malam hari
- Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi.
Penderita akan mengeluh waktu miksi terasa panas
(disuria) dan kencing malam bertambah hebat.
- Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini
maka bisa timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden
menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis,
hidronefrosis

3. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat
Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma
Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :

1) Gejala Obstruktif
a. Hesitancy yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali
disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot
destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Harus mengedan (training).
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra.

e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil.


2) Gejala Iritatif
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya.
c. Nokturia yaitu terbangun pada malam hari untuk miksi.
d. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

4. Patofisiologi
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologi,anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan.
Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal
dan elemen glandular pada prostat.

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga


perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada
tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang
selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas.(Basuki B Purnomo,2008) Adapun patofisiologi dari
masing-masing gejala yaitu :

a. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra


adalah gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut
disebabkan oleh edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
b. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena
detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resistensi uretra.

c. Intermittency(kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak


dapat mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal
dribblingdan rasa belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah
residu urin yang banyak dalam buli-buli.

d. Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena


pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval
antar miksi lebih pendek.

e. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena


hambatan normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra
berkurang selama tidur.

f. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri


pada saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak
stabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter,

g. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan


berkembangnya penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala
karena setelah buli-buli mencapai complience maksimum, tekanan
dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.

h. Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah


submukosa pada prostat yang membesar.

i. Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum


vesikal atau uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan
urin inkomplit atau retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter
(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal
ginjal.

j. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, dimana sebagian
urin tetap berada dala saluran kemih dan berfungsi sebagai media
untuk organisme infektif. Karena selalu terdapat sisa urin dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, Batu ini dapat menambah
keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula
menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
5. Pathway

Pasien dengan BPH

Pembedahan

Pre operatif Intra operatif Post operatif

Obstruksi Tidak terpapar Instrunen Pemasangan kateter


saluran kemih tentang promosi
yang bermuara
masuk
kesehatan dan
ke vesika pengobatan
urinaria Terputus
Insisi pada
Kuramg informasi
prostat
Penebalan otot kesehatan dan
Penurunan
destrusor pengobatan
pertahanan

Resiko perdarahan
Kurang
Dekompensasi
Resiko infeksi
otot destrusor
Krisis situasi Terjadi
perdarahan
Akumulasi
urin di VU ansietas
Syok hivopolemik

Miksi tidak VU meregang

Retensi urine Spasme otot

Nyeri akut
6. Pemeriksaan Diagnostik

a. (pre oprasi)
1) USG
USG dilakukan untuk melihat ukuran prostat penderita
2) Urinalisasi
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus
diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu,
infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
3) Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua
defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya
menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi
jantung dan pernafasan harus dikaji. Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit,
eritrosit, hitung jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN,
kreatinin serum.

4) Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan sitoskopi.
Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajatdisfungsi buli, dan
volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus
urinarius, pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat
kegagalan ginjal. Dari Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari
fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di
vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.

b. (Post operasi)
a) Irigasi/Spoling dengan Nacl
1) Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
2) Hari pertama post operasi : 60 tetes/menit
3) Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
4) Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
5) Hari ke 4 post operasi diklem
6) Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin dalam
kateter bening)

7) Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah
(cairan serohemoragis < 50cc)
b) Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2
hari, bila pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi bisa
diganti dengan obat oral.
c) Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi

d) Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan
betadin, Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)

e) DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi


f) Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
g) Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
h) Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk
berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan perdarahan dari
uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat
membantu mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat membantu
menghilangkan spasme.

i) Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalanjalan tapi
tidak duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen,
perdarahan

j) Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol


berkemih. Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai kontrol
berkemih.

k) Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian


jernih hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.

Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah


bekuan biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih gelap
dan kurang kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi pada kateter
sehingga balon yang menahan kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada
fossa prostatik
7. Penatalaksanaan Medis

a. Penatalaksanaan medis turp


Operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop,
dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk
pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang
disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum
maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan
tingkat morbiditas minimal.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN EMERGENCY & KRITIS

1. Pengkakajian emergency & kritis

a) Primary survey
1) Airway
 Pengkajian
- Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
- Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
 Pengelolaan
- Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi

- Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang
rigid
- Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal - Pasang airway definitif
sesuai indikasi.

 Evaluasi
2) Breathing
Yang harus dilakukan dalam memeriksa breathing adalah nilai look, listen, feel
untuk mengetahui breathingnya baik atau tidak.

 Penilaian
- Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal
in-line immobilisasi

- Tentukan laju dan dalamnya pernapasan


- Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat
deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan
dan tanda-tanda cedera lainnya.
- Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
- Auskultasi thoraks bilateral
 Pengelolaan
- Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask
11-12 liter/menit)
- Ventilasi dengan Bag Valve Mask
- Menghilangkan tension pneumothorax
- Menutup open pneumothorax
- Memasang pulse oxymeter
 Evaluasi

3) Circulation dengan kontrol perdarahan


 Penilaian
- Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
- Mengetahui sumber perdarahan internal
- Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak
diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.

- Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.


- Periksa tekanan darah
 Pengelolaan
- Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
- Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi
pada ahli bedah.

- Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah


untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur),
golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).

- Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.

- Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasien-pasien


fraktur pelvis yang mengancam nyawa.

- Cegah hipotermia
- Evaluasi
4) Disability

- Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS


- Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda
lateralisasi

- Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.

5) Exposure/Environment
- Buka pakaian penderita
- Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup
hangat.

Tambahan Pada Primary Survey

1. Pasang EKG
• Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole harus dicurigai
adanya hipoksia dan hipoperfusi

• Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia


2. Pasang kateter uretra
• Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi pemasangan
kateter urine
• Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra atau BPH,
jangan dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera konsultasikan pada bagian
bedah

• Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine


• Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai perfusi ginjal
dan hemodinamik penderita

• Output urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1


ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi

3. Pasang kateter lambung


 Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung, karena bahaya
aspirasi bila pasien muntah

4. Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium


Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas, tekanan darah,
Analisis Gas Darah (BGA), suhu tubuh dan output urine dan pemeriksaan
laboratorium darah.

5. Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST


• Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral, menggunakan
mesin x-ray portabel dan atau FAST bila terdapat kecurigaan trauma abdomen.
• Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai menghambat
proses resusitasi. Bila belum memungkinkan, dapat dilakukan pada saat secondary
survey.

b. Secondari survey
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan
diagnosa medis.

2) Keluhan utama: nyeri pada saat BAK,terasa panas saat BAK, kesulitan BAK

3) Riwayat penyakit:
- Riwayat kesehatan
4) Pemeriksaan fisik
- Kepala dan leher :
- Thoraks :
- Ekstermitas :
- Eliminasi :

Tambahan Pada Secondary Survey


1. Sebelum dilakukan pemeriksaan tambahan, periksa keadaan penderita dengan
teliti dan pastikan hemodinamik stabil

2. Selalu siapkan perlengkapan resusitasi di dekat penderita karena pemeriksaan


tambahan biasanya dilakukan di ruangan lain

3. Pemeriksaan tambahan yang biasanya diperlukan :


 CT scan kepala, abdomen
 USG abdomen, transoesofagus
 Foto ekstremitas
 Foto vertebra tambahan
 Urografi dengan kontras

c. Definitif care/tertiery survey

2. Dagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (operasi(TURP))
2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invansif
3) Ansietas
3. Tujuan & Rencana Tindakan Keperawatan Emergency & kritis

Diagnosa SLKI SIKI


Keperawatan
Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan Intervensi Utama:
berhubungan keperawatan selama 3 kali Dukungan Nyeri Akut: Pemberian
dengan agen 24 jam, maka diharapkan analgesik
pendera fisik tingkat nyeri menurun dan - Observasi
(prosedur operasi) kontrol nyeri meningkat 1) Identifikasi karakteristik
dengan kriteria hasil: nyeri (mis. pencetus,
1) Tidak mengeluh pereda, kualitas, lokasi,
nyeri intensitas, frekuensi,
2) Tidak meringis durasi)
3) Tidak bersikap 2) Identifikasi riwayat alergi
protektif obat
4) Tidak gelisah 3) Identifikasi kesesuaian
5) Tidak mengalami jenis analgesik (mis.
kesulitan tidur narkotika, non-narkotika,
6) Frekuensi nadi atau NSAID) dengan
membaik tingkat keparahan nyeri
7) Tekanan darah 4) Monitor tanda-tanda vital
membaik sebelum dan sesudah
8) Melaporkan nyeri pemberian analgesik
terkontrol 5) Monitor efektifitas
9) Kemampuan analgesik
mengenali onset - Terapeutik
nyeri meningkat 6) Diskusikan jenis
10) Kemampuan analgesik yang disukai
mengenali penyebab untuk mencapai analgesia
nyeri meningkat optimal
11) Kemampuan 7) Pertimbangkan
menggunakan teknik pengguanaan infus
non-farmakologis kontinu, atau bolus oploid
untuk mempertahankan
kadar dalam serum
8) Tetapkan target efektifitas
analgesik untuk
mengoptimalkan respons
pasien
9) Dokumentasikan respons
terhadap efek analgesik
dan efek yang tidak
diinginkan Edukasi
10) Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat
- Kolaborasi
11) Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
Dukungan Nyeri Akut: Manajemen
Nyeri
- Observasi
12) Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
13) Identifikasi skala nyeri
14) Identifikasi respons nyeri
non verbal
15) Identifikasi faktor yang
memperberat dan
memperingan nyeri
16) Identifikasi pengetahuan
dan keyakinan tentang
nyeri
17) Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri
18) Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas hidup
19) Monitor keberhasilan
terapi komplementer yang
sudah diberikan
20) Monitor efek samping
penggunaan analgetik
- Terapeutik
21) Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
22) Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis. suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
23) Fasilitasi istirahat dan
tidur
24) Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
- Edukasi
25) Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu nyeri
26) Jelaskan strategi
meredakan nyeri
27) Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
28) Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
29) Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Kolaborasi
30) Kolaborasi pemberian
analgetik
Ansietas Setelah dilakukan intervensi A. REDUKSI ANXIETAS
keperawatan selama 1 x 24 (I.09314)
jam maka ansietas menurun - Observasi
dengan kriteria hasil : 1) Identifikasi saat tingkat
anxietas berubah (mis.
1) Verbalisasi Kondisi, waktu, stressor)
2) Identifikasi kemampuan
kebingungan menurun
mengambil keputusan
2) Verbalisasi khawatir 3) Monitor tanda anxietas
(verbal dan non verbal)
akibat kondisi yang
- Terapeutik
dihadapi menurun 4) Ciptakan suasana 
terapeutik untuk
3) Perilaku gelisah
menumbuhkan
menurun kepercayaan
5) Temani pasien untuk
4) Perilaku tegang mengurangi kecemasan ,
menurun jika memungkinkan
6) Pahami situasi yang
5) Keluhan pusing membuat anxietas
menurun 7) Dengarkan dengan
penuh perhatian
6) Anoreksia menurun 8) Gunakan pedekatan
7) Palpitasi menurun yang tenang dan
meyakinkan
8) Diaforesis menurun 9) Motivasi
9) Tremor menurun mengidentifikasi situasi
yang memicu
10) Pucat menurun kecemasan
11) Konsentrasi membaik 10) Diskusikan perencanaan 
realistis tentang
12) Pola tidur membaik peristiwa yang akan
13) Frekuensi pernapasan datang
- Edukasi
membaik 11) Jelaskan prosedur,
14) Frekeunsi nadi termasuk sensasi yang
mungkin dialami
membaik 12) Informasikan secara
15) Tekanan darah factual mengenai
diagnosis, pengobatan,
membaik dan prognosis
16) Kontak mata membaik 13) Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien,
17) Pola berkemih jika perlu
membaik 14) Anjurkan melakukan
kegiatan yang tidak
18) Orientasi membaik kompetitif, sesuai
kebutuhan
15) Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan persepsi
16) Latih kegiatan
pengalihan, untuk
mengurangi ketegangan
17) Latih penggunaan
mekanisme pertahanan
diri yang tepat
18) Latih teknik relaksasi
- Kolaborasi

19) Kolaborasi pemberian


obat anti anxietas, jika
perlu

Resiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan PENCEGAHAN INFEKSI (I.14539)


keperawatan 1x24 jam - Observasi
diharapkan tingkat infeksi 1) Identifikasi riwayat
menurun dengan kriteria kesehatan dan riwayat
hasil: alergi
1) Kebersihan tangan 2) Identifikasi kontraindikasi
menurun pemberian imunisasi
2) Kebersihan badan 3) Identifikasi status imunisasi
menurun setiap kunjungan ke
3) Demam menurun pelayanan kesehatan
4) Kemerahan menurun - Terapeutik
5) Nyeri menurun 1) Berikan suntikan pada pada
6) Bengkak menurun bayi dibagian paha
7) Kadar sel darah putih anterolateral
2) Dokumentasikan informasi
membaik
vaksinasi
8) Kultur darah membaik
3) Jadwalkan imunisasi pada
9) Kultur urin membaik
interval waktu yang tepat
- Edukasi
1) Jelaskan tujuan, manfaat,
resiko yang terjadi, jadwal
dan efek samping
2) Informasikan imunisasi yang
diwajibkan pemerintah
3) Informasikan imunisasi yang
melindungiterhadap
penyakit namun saat ini
tidak diwajibkan
pemerintah
4) Informasikan vaksinasi
untuk kejadian khusus
5) Informasikan penundaan
pemberian imunisasi tidak
berarti mengulang jadwal
imunisasi kembali
6) Informasikan penyedia
layanan pekan imunisasi
nasional yang menyediakan
vaksin gratis
4. Implementasi Keperawatan

Implementasi merupakan tahap yang muncul jika perencanaan yang


dibuat diaplikasikan pada klien. Sebelum melakukan implementasi,
seharusnya menerima laporan tindakan dari perawat shift sebelumnya hal-hal
tersebut merupakan kunci dari efisiensi kerja pertukaran shift (Deswani,
2009).

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan, pada tahap ini
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil.
Evaluasi berfokus pada klien, baik itu individu ataupun kelompok (Deswani,
2009). Evaluasi keperawatan pada post operasi BPH meliputi:
a) Skala nyeri berkurang.
b) Tanda vital dalam rentang normal :
TD : 100-140 / 60- 90 mmHg
N : 60-100x/menit
S : 36,5 -37,5 °C
RR : 16-24x/menit
c) Dapat mengidentifikasi (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) ketika
berlangsung.
d) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi seperti tehnik distraksi dan relaksasi, kompres hangat,
imajinasi terbimbing, dan hypnosis diri untuk mengurangi nyeri, mencari
bantuan).
e) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek,Gloria.M, dkk. (2013). NURSING INTERVENTIONS CLASSIFICATION


(NIC), edisi Bahasa Indonesia. ( intisari&desanavi tumanggoro. ro.
nurjanah, Ed.). Inc.

Madjid, A., Irawaty, D., & Nuraini, T. (n.d.). PASIEN PASCA TRANSURETHRAL
RESECTION OF THE PROSTATE MELALUI KEGEL ’ S
EXCERCISE.
Moorhead, S. dk. (2013). NURSING OUTCOMES CLASSIFICATION(NOC) :
Pengukuran Outcomes Kesehatan, edisi Bahasa Indonesia. jakarta: Inc.

T.Heather & shigemi. (2018). NANDA-I DIAGNOSA KEPERAWATAN: Definisi dan


Klasifikasi. 2018-2020. (W. ester, monica & praptiani, Ed.). jakarta:
EGC.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta : PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Jakarta : PPNI

Anda mungkin juga menyukai