Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

Disusun Oleh :

SINDY FAJRINA

113121044

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

UNIVERSITAS AL-IRSYAD CILACAP

2021
A. DEFINISI
Benigna Prostat Hiperplasia adalah kelenjar prostat mengalami,
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra (Brunner & suddarth, 2008). Benigna
Prostat Hiperplasia adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan (Price,
2006)
Benigna Prostat Hiperplasia adalah hiperplasia kelenjer periuretra yang
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah
(Mansjoer, 2009). Benigna Prostat Hiperplasia adalah kelenjar prostat bila
mengalami pembesaran, organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan
menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Sudoyo, 2009)
Dari pengertian diatas menyimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran
progresif dari kelenjar prostat, yang bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia
beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan
prostatika dan umumnya terjadi pada pria dewasa lebih dari 60 tahun dan
dapat menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran
urinarius. Obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius artinya terjadinya
penyumbatan yang mengakibatkan hambatan buang air kecil sehingga
melebihi ukuran normal.

B. ETIOLOGI
Penyebab dari BPH belum diketahui secara pasti. Ada beberapa faktor
kemungkinan penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron (DHT), peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor
androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat
mengala mi hiperplasi
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunantestosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
strom a dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel darikelenjar prostat.
5. Teori kebangkitan Kembali
(reawakening) atau reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus
urogenital untuk berproliferasi dan membentuk jaringan prostat

C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala iritatif meliputi :
1. Peningkatan frekuensi berkemih
2. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
3. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda
(urgensi)
4. Nyeri pada saat miksi (disuria) Gejala obstruktif meliputi :
• Pancaran urin melemah
• Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong
dengan baik
• Kalau mau miksi harus menunggu lama
• Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
• Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
• Urin terus menetes setelah berkemih
• Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.
Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi
produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis
dan volume residu yang besar. Gejala generalisata seperti seperti
keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada
epigastrik. Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi :

Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih,


kencing tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada
malam hari.

Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita


akan mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing
malam bertambah hebat.

Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini
maka bisa timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden
menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis,
hidronefrosis.

D. PATOFISIOLOGI
Hiperplasia prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari
bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan
menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri
dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-
beda. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga
perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap
awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan
daerah prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase
kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan
vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang
statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri
(Price, 2006).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin
yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi
maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala
iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari
urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika
urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan
interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan
adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang
mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria (Sudoyo, 2009).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan
obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik. menyebabkan
refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita
harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu
endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi
dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Wim de jong, 2005).

E. PATHWAY

Usia Lanjut
Ketidakseimbangan produksi
hormone progesterone dan testoteron

Kadar estrogen
meningkat

Hiperplasi sel stroma pada


jaringan prostat

BPH

Operasi TURP

Trauma bekas insisi

Nyeri Akut Penurunan


pertahanan tubuh

Gangguan
Mobilitas Fisik Resiko Infeksi

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Mansjoer Arif (2009), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan
pada pasien dengan BPH adalah :
1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
2. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit
pada buli-buli.
3. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
4. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

G. KOMPLIKASI
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi.

2. Infeksi saluran kemih

3. Refluk kandung kemih

4. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus


berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
5. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
6. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
7. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.

H. PENATALAKSANAAN
Menurut Wim de jong (2005), dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis:
1. Stadium 1
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat
ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
3. Stadium III
Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.
4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
5. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan
fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran
kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui
sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis d.td mengeluh nyeri, tampak
meringis, gelisah, frekuensi nadi meningkat, pola nafas berubah,
proses berpikir terganggu
2. Risiko Infeksi d.td prosedur invasif

3. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri

J. RENCANA TINDAKAN
No SDKI SLKI SIKI
1. Nyeri akut b.d SLKI: Tingkat nyeri SIKI : Manajemen nyeri
agen Ekspetasi : Menurun
Observasi :
pencedera fisik
Indikator IR ER 1. Identifikasi skala nyeri
Keluhan nyeri 2. Identifikasi
Meringis liokasi, karakteristik,
Gelisah frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
1. Menurun 3. Identifikasi respon
2. Cukup menurun nyeri non verbal
3. Sedang Terapeutik :
4. Cukup meningkat 1. Berikan teknik non
5. Meningkat farmakologis untuk
mengurangi rasa
nyeri
2. Fasilitas istirahat
dan tidur
Edukasi :
1. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
2. Anjurkan
memonitor nyeri
secara mandiri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi
pemberian analgetik,
jika perlu

2. Risiko Infeksi d.td SLKI : Tingkat infeksi SIKI : Pencegahan


prosedur invasif
Ekspektasi : Menurun Infeksi
Indikator IR ER Observasi :
Kebersihan
tangan 1. Monitor tanda dan
Kebersihan gejala infeksi lokal
badan
Nafsu makan dan sistemik
Terapeutik :
1. Menurun 1. Batasi
2. Cukup menurun jumlah pengunjung
3. Sedang 2. Cuci tangan sebelum
4. Cukup meningkat dan sesudah kontak
5. Meningkat dengan pasien dan
lingkungan pasien

3. Pertahankan teknik
aseptik pada pasien berisiko
tinggi

Edukasi :
1. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci
tangan yang benar
3. Anjurkan
meningkatkan nutrisi dan
cairan

3. Gangguan SLKI : SIKI : Dukungan


mobilitas fisik b.d
Mobilitas fisik Mobilisasi
nyeri
Ekspektasi : Observasi :
meningkat 1. Identifikasi adanya
Indikator IR ER nyeri atau kleuhan
Pergerakan lain
ekstermitas
Kekuatan otot 2. Identifikasi
Rentang toleransi fisik
gerak
melakukan
1. Menurun
pergerakan
2. Cukup menurun
3. Monitor kondisi
3. Sedang
umum selama
4. Cukup meningkat melakukan
5. Meningkat mobilisasi
Terapeutik :
1. Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan
alat bantu
2. Fasilitasi
melakukan
pergeraka
n
Edukasi :
1. Ajarkan
Melakukan mobilisasi
dini
3. Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta
Nanda International, 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015
2017 Edisi 10. Jakarta, penerbit: Buku Kedokteran EGC
Anonim. 2012. Diakses 5 Mei 2012 pada
http://www.scribd.com/doc/54979478/ASKEP-BPH
Anonym. 2010. http://asuhankeperawatans.blogspot.com/2010/10/asuhan-
keperawatan-benigna-prostat.html
SDKI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: EGC SLKI. 2018.
Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta : EGC
SIKI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai