Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Retensi Urin

1. Pengertian.

Retensi urin adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan

urine sesuai dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di

buli-buli melampaui batas maksimal. Penyebabnya adalah akibat

penyempitan pada lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya,

disebut dengan striktur uretra. Penanganan kuratif penyakit ini

adalah dengan operasi, namun tidak jarang beberapa teknik

operasi dapat menimbulkan rekurensi penyakit yang tinggi bagi

pasien (Purnomo, 2011). Kondisi retensi urin ini diperlukan

penanganan tepat dan adekuat untuk menghindari resiko

kekambuhan penyakit striktur uretra.

2. Etiologi

Retensi urin dibagi menurut lokasi kerusakan syaraf (Sulli,

2011):

a. Supravesikal

Berupa kerusakan pada pusat kemih dimedulla spinalis

sakralis S2-S3 SEtinggi TH1-L1. Kerusakan terjadipada saraf

simpatos dan parasimpatis baik sebagian maupun seluruhnya.

b. Vesikal

12
Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang,

berhubungan dengan masa kehamilan dan proses persalinan

(trauma obstetrik).

c. Infravesikal (distal kandung kemih)

Berupa kekakuan leher vesika, fimosis, stenosis meatus

uretra, trauma uretra, batu uretra, sklerosis leher kandung

kemih (bladder neck sclerosis) (Kapita Selekta Kedokteran,

2000).

3. Penyebab retensi urin

Secara garis besar retensi urin disebabkan oleh (Selius &

Subedi, 2008):

a. Obstruksi

b. Infeksi

c. Faktor farmakologi

d. Faktor neurologi

e. Faktor trauma

4. Klasifikasi Retensi Urin

a. Retensi urin akut

Retensi urin akut penderitanya seakan-akan tidak dapat

berkemih (BAK). Kandung kemih terasa sakit yang hebat

didaerah suprapubik dan hasrat ingin BAK yang hebat disertai

mengejan. Sering kali urin keluar menetes atau sedikit-sedikit

(Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Kasus retensi akut ini bila

13
penyebabnya tidak segera ditemukan maka kerusakan lebih

berat yang sifatnya permanen dapat terjadi, karena otot

destrusor atau ganglia parasimpatik pada kandung kemih

menjadi tidak dapat berkompromi (Pribakti, 2011).

b. Retensi urin kronis

Penderita secara perlahan dalam waktu yang lama tidak

dapat BAK, merasakan nyeri didaerah suprapubik hanya

sedikit atau tidak sama sekali walaupun kandung kemihpenuh

(Kapita Selekta Kedokteran, 2000). Terdapat masalah khusus

pada retensi urin kronis akibat peningkatan tekanan

intravesikal yang menyebabkan refluks urera, infeksi saluran

kemih atas dan penurunan fungsi ginjal (Pribakti, 2011).

Retensi urin juga dapat terjadi sebagian dan total:

1) Retensi urin sebagian yaitu penderita masih bisa

mengeluarkan urin tetapi terdapat sisa urin yang cukup

banyak dalam kandung kemih.

2) Retensi urin total yaitu penderita sama sekali tidak dapat

mengeluarkan urin

5. Gambaran klinis

a) Jumlah residu urin lebih dari 150 ml dalam 24 jam (Saultz et

al,1999)

b) Ketidaknyamanan daerah pubis

c) Distensi vesika urinaria

14
d) Ketidaksanggupan berkemih

e) Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50

ml)

f) Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan

asupannya

g) Meningkat keresahan dan keinginan berkemih

h) Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih

(Uliyah & Hidayat, 2006).

6. Pengobatan

Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik, seperti

trisiklik antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara

menurunkan kontraksi otot detrusor pada buli-buli. Obat-obat

simpatomimetik, seperti dekongestan oral, juga dapat

menyebabkan retensi urine dengan meningkatkan tonus alpha-

adrenergik pada prostat dan leher buli-buli. Studi terbaru obat anti

radang non steroid ternyata berperan dalam pengurangan

kontraksi otot detrusor lewat inhibisi mediator prostaglandin

B. Tinjauan Umum Tentang TURP (Transurethral Resection

Prostate)

1. Pengertian TURP

TURP (Transurethral resection prostate) adalah suatu

tindakan endoskopis pengurangan massa prostat (Prostatectomy)

dengan tujuan urinasi pada pasien yang mengalami BPH stadium

15
moderat atau berat selain open prostatectomy (Lucia, 2013)

Operasi ini dilakukan dengan alat endoskopi yang dimasukkan

kedalam urethra. Pengerokan jaringan prostat dilakukan dengan

bantuan elektrokauter.

2. Indikasi TURP

TURP dilakukan pada pasien dengan gejala sumbatan

sedang sampai berat yang menetap, progresif akibat pembesaran

prostat, atau tidak dapat diobati dengan terapi obat lagi, volume

prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk

menjalani operasi (QHC, 2009).

3. Kelebihan TURP

Kelebihan dari prosedur TURP ini antara lain: dapat

dilakukan tanpa tindakan insisi atau sayatan, dapat dilakukan

dalam kelenjar dalam ukuran yang beragam, dapat dilakukan

pada pasien dengan ukuran kelenjar yang kecil dan lebih aman

digunakan pada pasien yang memiliki faktor resiko bedah

(Smeltzer&Bare, 2003).

4. Kekurangan TURP

Kekurangan dari tindakan TURP ini adalah dapat

menyebabkan perdarahan dan obstruksi dan timbulnya sindrom

TURP (Smeltzer & Bare, 2003).

5. Komplikasi TURP

Komplikasi dari tindakan TURP ini antara lain:

16
b. Perdarahan.

c. Obstruksi saluran kemih

d. Ejakukulasi retrograde.

e. Infeksi saluran kemih akibat koloni bakteri pada prostat.

f. Persistent urinary retention.

g. Stricture bladder.

h. Stricture urethra.

i. Komplikasi kardiovaskuler seperti AMI (Acute Myocardial

infarction)

j. Sindrom TURP karena kelebihan volume cairan irigasi dapat

menyebabkan Hiponatremia. (Peters & Olson, 2011).

C. Tinjauan Tentang Faktor Resiko Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Retensi Urine Berulang

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), sebuah pembesaran

kelenjar prostat non-kanker merupakan tumor jinak yang paling umum

ditemukan pada pria. Prevalensi yang tepat bervariasi menurut definisi

yang digunakan dan populasi yang diteliti. Namun, sebuah penelitian

oleh Corona dkk menunjukkan bahwa BPH tidak ditemukan pada pria

berusia di bawah 30 tahun dan sebanyak 50% BPH patologis

ditemukan pada usia 50 sampai 60 tahun. Menurut studi tersebut

waktu pertumbuhan BPH yang paling cepat adalah diantara usia 31

sampai 70 tahun.

17
Retensi urin akut merupakan komplikasi yang paling sering

terjadi pada BPH jangka panjang. Pada masa lalu, hal ini merupakan

indikasi untuk dilakukan tindakan operasi. Sekitar 20% - 30% pria

menjalani Transurethral Resection of the Prostate (TURP) memiliki

retensi urine akut sebagai indikasi utama TURP, selain itu indikasi

lainnya adalah gagalnya kateterisasi. Pada literatur terdahulu, resiko

terjadinya retensi urine akut yang berulang adalah 56% sampai 64%

dalam satu minggu pertama setelah kejadian dan meningkat menjadi

76% sampai 83% pada lelaki dengan BPH sebagai penyebab retensi

urine tersebut.

Retensi urin berulang pada pasien post op TURP disebabkan

oleh beberapa faktor resiko yaitu :

1. Clot retensi atau terjadi bekuan darah yang berlebih pasca operasi

Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di

kandung kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk

mengosongkannya secara sempurna. Retensio urine adalah

kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika urinaria. (Kapita

Selekta Kedokteran).

Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam kandung

kemih, dapat terjadi secara akut maupun kronis. (Depkes RI

Pusdiknakes 1995). Retensio urine adalah ketidakmampuan untuk

melakukan urinasi meskipun terdapat keinginan atau dorongan

terhadap hal tersebut. (Brunner & Suddarth). Retensio urine

18
adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan

tidak punya kemampuan untuk mengosongkannya secara

sempurna.

Penyebab retensi urin adalah Supra vesikal berupa kerusakan

pada pusat miksi di medullaspinalis, pada vesikal berupa

kelemahan otot detrusor karena lama teregan, pada Intravesikal

berupa pembesaran prostat, kekakuan lehervesika, batu kecil dan

tumor, Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran prostat,

kelainan patologi uretra, trauma, disfungsi neurogenik kandung

kemih.

Tanda dan gejala retensi urine ialah Urine mengalir lambat,

Terjadi poliuria yang makin lama makin parah karena

pengosongan kandung kemih tidak efisien, Terjadi distensi

abdomen akibat dilatasi kandung kemih, BAK tidak efisien, Terjadi

distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih, Terasa ada

tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK, Pada retensi

berat bisa mencapai 2000 -3000 cc.

Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli

penuh disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan

hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan. Retensio urine

dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan factor lainnya seperti

ansietas,kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.

Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa

19
kerusakan pusat miksi di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan

simpatis dan parasimpatis sebagian atau seluruhnya sehingga

tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan

tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal,

vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang,

intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher

vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi urethra

sehingga urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi bladder

kemudian distensi abdomen. Factor obat dapat mempengaruhi

proses BAK, menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi

glumerolus sehingga menyebabkan produksi urine menurun.

Factor lain berupa kecemasan, kelainan patologi urethra, trauma

dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot perut,

peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan

baik.

Dari semua faktor di atas menyebabkan urine mengalir labat

kemudian terjadi poliuria karena pengosongan kandung kemih

tidak efisien. Selanjutnya terjadi distensi bladder dan distensi

abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah satunya berupa

kateterisasi urethra. Retensi urine dapat menimbulkan infeksi yang

bisa terjadi akibat distensi kandung kemih yang berlebihan

gangguan suplai darah pada dinding kandung kemih dan

proliferasi bakteri. Gangguan fungsi renal juga dapat terjadi,

20
khususnya bila terdapat obstruksi saluran kemih sehingga pasien

membutuhkan hari rawat yang lama di bandingkan dengan

penderita yang tidak mengalami retensi urin

2. Faktor volume prostat

Penyebab retensi urin adalah Supra vesikal berupa kerusakan

pada pusat miksi di medullaspinalis, pada vesikal berupa

kelemahan otot detrusor karena lama teregan, pada Intravesikal

berupa pembesaran prostat, kekakuan lehervesika, batu kecil dan

tumor, kelainan patologi uretra, trauma, disfungsi neurogenik

kandung kemih, proses reseksi pada prostat saat dilakukan

operasi TURP menyebabkan terjadinya perlukaan sehingga

semakin besar volume prostat menyebabkan perlukaan yang

besar pula yang dapat menyebabkan kerusakan dan gangguan

neurogenik kandung kemih dan trauma pada uretra (perry dan

potter)

Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat

dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah :

1) Rektal grading : adalah penilaian berdasarkan penonjolan

prostat ke dalam rektum

derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum

derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum

derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum

derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

21
2) Berdasarkan jumlah residual urine

derajat 1 : < 50 ml

derajat 2 : 50-100 ml

derajat 3 : >100 ml

derajat 4 : retensi urin total

3) Intra vesikal grading

derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet

derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan

muara ureter

derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter

derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter

4) Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat

pada uretroskopi :

derajat 1 : kissing 1 cm

derajat 2 : kissing 2 cm

derajat 3 : kissing 3 cm

derajat 4 : kissing >3 cm 8

5) Normalnya prostat memiliki berat 20 gram apabila terjadi

hiperplasi maka volumenya akan bertambah sesuai dengan

waktu dan upaya pengobatan penderita itu sendiri. Terjadinya

pmbesaran pada prostat akan menyebabkan gangguan pada

organ-organ di sekitarnya seperti : ginjal, ureter, uretra, dan

vesika urinaria. Dengan prostat yang besar maka semakin

22
besar pula kerusakan jaringan di sekitar sehingga setelah di

lakukan pembedahan menyebabkan penyembuhan melambat

dan mengikatkan penderita membutuhkan hari rawat yang

panjang.

3. Adanya infeksi saluran kemih

Infeksi pada daerah sekitar kandung kemih juga dapat

menyebabkan pembengkakan dan atau peradangan pada

salurang kemih yang dapat menyebabkan uretra tertekan yang

dapat menyebabkan retensi urin pada pasien pasca operasi TURP

terjadi luka bekas reseksi prostat apabila luka tersebut mengalami

peradangan akibat adanya koloni mikroba yang menhambat

proses penyembuhan sehingga terjadi pembengkakan dan

menekan menekan saluran kemih (Perry & Potter)

4. Striktur bledder

Adanya luka pada kandung kemih akibat reseksi prostat

dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut baik pada

kandung kemih ataupun padan uretra sehungga dapat

menyebabkan penyempitan pada pada uretra dan terjadi

kerusakan saraf ataupun otot-otot kandung kemih sehingga impuls

tidak dapat diterima oleh saraf menyebabkan ketidakmampuan

sfinter utk berelaksasi sehingga terjadi retensi urin (Perry &

Potter).

23
5. Faktor resiko lama pemasangan kateter

Berkemih adalah pengeluaran urin dari tubuh, berkemih

terjadi sewaktu sfingter uretra interna dan eksterna didasar

kandung kemih berelaksasi derajat regang yang dibutuhkan untuk

menhgasilkan efek ini bervariasi pada individu, beberapa individu

dapat mentoleransi distensi lebih besar tanpa rasa tidak nyaman,

seseorang dapat mengalami gangguan dalam berkemih karna

adanya sumbatan atau ketidak mampuan sfingter untuk

berelaksasi (perry & potter).

Pada penderita BPH yang telah dilakukan TURP terjadi

kerusakan saraf akibat reseksi prostat yang mengakibatkan

gangguan relaksasi pada sfingter sehingga terjadi retensi urin

selain itu pemasangan kateter yang lama juga dapat

menyebabkan gangguan pada otot-otot vesika urinaria dan saraf

yang mengatur relaksasi sfingter uretra sehingga dapat

menyebabkan retensi urine berulang. Pada pasien pasca operasi

TURP yang terpasang kateter lama mengakibatkan kandung

kemih tidak terisi dan tidak berkontraksi dalam jangka waktu yang

cukup lama, pada akhirnya kapasitas kandung kemih menurun

atau hilang (atonia), apabila atonia terjadi dan kateter dilepas otot

destrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat

mengeluarkan urin, sehingga terjadi retensi urin (Smeltzer &

Bare, 2002).

24
D. Tinjauan Umum Tentang BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)

a. Pengertian

BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) merupakan pembesaran

kelenjar prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan

menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya

terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara

bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).

Pendapat lain mengenai pengertian BPH adalah

merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa

majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian

periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan

menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut

mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral

menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra

parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung

kemih (Price dan Wilson, 2006).

Teori lainnya menjelaskan bahwa BPH merupakan suatu

keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih

yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu

prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari

beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine

(Baradero, dkk, 2007).

25
b. Gejala dan Tanda

1) Gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu

gejala obstruktif dan gejala iritatif :

a) Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran BAK lemah

(loss of force), pancaran BAK terputus-putus

(intermitency), tidak tuntas saat selesai berkemih (sense

of residual urine), rasa ingin BAK lagi sesudah BAK

(double voiding) dan keluarnya sisa BAK pada akhir

berkemih (terminal dribbling)

b) Gejala iritatif adalah frekuensi BAK yang tidak normal

(polakisuria), terbangun di tengah malam karena sering

BAK (nocturia), sulit menahan BAK (urgency), dan rasa

sakit waktu BAK (disuria), kadang juga terjadi BAK

berdarah (hematuria).

2) Tanda

Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya

pembesaran konsistensi kenyal pada pemeriksaan colok

dubur / digital rectal examination (DRE). Hasil pemeriksaan

fisik yang dilakukan apabila teraba indurasi atau terdapat

bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan

prostat stadium 1 dan 2 (Roehborn, Calus, Mc Connell, 2002).

26
c. Klasifikasi BPH

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut

Sjamsuhidajat dan De jong (2005) secara klinis penyakit BPH

dibagi menjadi 4 gradiasi:

1) Derajat 1 yaitu ditemukan keluhan prostatismus, pada colok

dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba

dan sisa urin kurang dari 50 ml.

2) Derajat 2 yaitu ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada

colok dubur dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa

volum urin 50- 100 ml

3) Derajat 3 yaitu saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas

atas prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari

100ml.

4) Derajat 4 yaitu sudah terjadi retensi urine total

d. Etiologi

Etiologi atau penyebab terjadinya BPH hingga saat ini belum

diketahui secara pasti, namun beberapa hipotesisi menyebutkan

bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar

dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan

mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun.

Perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan

patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka

27
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya

sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)

Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa

hipotesa yang diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna

Prosat. Teori tentang penyebab BPH meliputi: Teori

Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan

antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan

epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel

stem (Purnomo, 2011).

1) Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen

yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar

prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi

dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor

terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat

menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat

menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi

pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan

bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan

kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas

enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih

banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada

BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih

28
banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal (Purnomo,

2011).

2) Teori hormon (Ketidakseimbangan antara estrogen dan

testosteron)

Usia yang semakin tua, menyebabkan terjadinya

penurunan kadar testosteron sedangkan kadar estrogen

relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar

estrogen dan testosterone relatif meningkat. Hormon estrogen

didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi

sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah

reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel

prostat (apoptosis). Rangsangan terbentuknya sel-sel baru

akibat rangsangan testosterone meningkat, akan

menyebabkan sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur

yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar

(Purnomo, 2011).

3) Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara

tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu

mediator yang disebut Growth factor. DHT dan estradiol

menstimulasi sel-sel stroma setelah itu sel-sel stroma

mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya

mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin,

29
serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu

menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel

stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat

menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi

yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostad

jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma

karena miksi, ejakulasi atau infeksi (Purnomo, 2011).

4) Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah

mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis

kelenjar prostat. Kondensasi dan fragmentasi sel terjadi pada

apoptosis ini, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami

apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya,

kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Terdapat

keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel

pada jaringan normal. Pertumbuhan prostat sampai pada

prostat dewasa terjadi, penambahan jumlah sel-sel prostat

baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.

Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang

mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat

secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi

pertambahan masa prostat (Purnomo, 2011).

30
5) Teori sel stem

Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan

sel-sel baru. Istilah tersebut di dalam kelenjar prostat dikenal

dengan suatu sel stem yaitu sel yang mempunyai

kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini

sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen,

sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan

terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH

dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem

sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun

sel epitel (Purnomo, 2011).

1) Usia

Terjadi kelemahan umum pada usia tua termasuk

kelemahan pada buli (otot detrusor) dan penurunan fungsi

persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua menurunkan

kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada

proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran

prostat, sehingga menimbulkan gejala. Testis menghasilkan

beberapa hormon seks pria, yang secara keseluruhan

dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup

testosteron, dihidrotestosteron dan androstenesdion.

Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5-

alfa-reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif

31
secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi

ereksi. Tugas lain testosteron adalah pemacu libido,

pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium di tulang.

Sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai

menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih

cepat pada usia 60 tahun keatas (Birowo, 2000).

e. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen

uretra prostatika dan menghambat aliran urine (Purnomo, 2011).

Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Buli-

buli harus berkontraksi lebih kuat dalam mengeluarkan urin guna

melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini

menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot

detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel

buli-buli. Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut dikeluhkan

pasien pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract

symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh

bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter.

Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran

balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko ureter.

Keadaan keadaan ini jIka berlangsung terus akan mengakibatkan

32
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam

gagal ginjal (Purnomo, 2011).

Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna

tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang

menyumbat uretra posterior, kondisi ini juga disebabkan oleh

tonus otot polos yang pada stroma prostat, kapsul prostat, dan

otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh

serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus. Tahap awal

setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli

dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan

merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase

penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Kondisi ini

menyebabkan detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami

dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga

terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan

hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Baradero, dkk,

2007).

f. Penatalaksanaan.

1) Observasi

Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan.

Pasien dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan

malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari

obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum

33
kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu

sering BAK. Pasien dianjurkan untuk menghindari

mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat

dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung

kemih (jangan menahan BAK terlalu lama) untuk menghindari

distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih

Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan

kontrol keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan

pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011). Pemeriksaan

derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan mengukur

residual urin dan pancaran urin:

a) Residual urin.

Adalah jumlah sisa urin setelah BAK. Sisa urin dapat

diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah BAK

atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.

b) Pancaran urin (flow rate).

Dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin

dibagi dengan lamanya BAK berlangsung (ml/detik) atau

dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik

pancaran urin.

2) Terapi medikamentosa

Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita

BPH adalah (Baradero dkk, 2007):

34
a) Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot

berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra

b) Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan

golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)

c) Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar

hormone testosterone/ dehidrotestosteron (DHT). Adapun

obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH,

menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat

adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase,

fitofarmaka.

3) Pembedahan.

Adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan

pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya

ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi

ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada

prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi

tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Intervensi

bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka

dan pembedahan endourologi (Smeltzer,Bare, 2001).

a) Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi

prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah :

1) Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode

mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.

35
2) Prostatektomi perineal Adalah suatu tindakan dengan

mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam

perineum.

3) Prostatektomi retropubik Adalah tindakan lain yang

dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah

mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis

dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih

b) Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi

transurethral dapat dilakukan dengan memakai tenaga

elektrik diantaranya:

(1) Transurethral Prostatic Resection (TURP) Merupakan

tindakan operasi yang paling banyak dilakukan,

reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra

menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah

yang akan dioperasi tidak tertutup darah.

(2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) Tindakan

ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar

atau prostat fibrotic.

4) Terapi invasive minimal

Terapi invasive minimal dilakukan pada pasien dengan

resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive

minimal diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy

(TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral

36
Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA),

Pemasangan stent uretra atau prostatcatt (Purnomo, 2011).

a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis

pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah

sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat

menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke

kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di

uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat

menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat.

b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini

dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada

di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan

melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan

prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat

menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini

hanya sementar, sehingga cara ini sekarang jarang

digunakan.

c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini

memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan

panas mencapai 100 derajat selsius, sehingga

menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang

menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria,

dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).

37
d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang

pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena

pembesaran prostat, selain itu supaya uretra prostatika

selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen

uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi

pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena

resiko pembedahan yang cukup tinggi.

g. Komplikasi

Komplikasi BPH antara lain (Sjamsuhidajat & De Jong,

2005):

1) Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi

dekompensasi

2) Infeksi saluran kemih

3) Involusi kontraksi kandung kemih

4) Refluk kandung kemih

5) Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi

urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak

mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan

tekanan intravesika meningkat.

6) Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi, hematuri,

terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat

terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan

menambah keluhan iritasi.

38
E. Tinjauan Empiris (Penelitian Terdahulu)

1. Rizki Amalia (2010)

Penelitian mengenai “Faktor-Faktor Resiko Terjadinya

Pembesaran Prostat Jinak (Studi Kasus di RS DR. Kariadi, RSI

Sultan Agung, RS Roemani Semarang)”. Penelitian menggunakan

metode case control study. Diagnosis penderita BPH dilihat dari

hasil USG, sedang pada kelompok kontrol juga dilakukan dengan

USG tapi tidak terjadi pembesaran Prostat. Analisis data dilakukan

dengan analisis univariat, analisis bivariat dengan chi square test

dan analisis multivariat dengan metode regresi logistik berganda.

Hasil penelitian menunjukkan faktor risiko yang berpengaruh

terhadap BPH adalah umur _ 50 tahun (OR = 6,27 ; 95% CI :

1,71-22,99 ; p = 0,006), riwayat keluarga (OR = 5,28 ; 95% CI :

1,78-15,69 ; p = 0,003), kurangnya makan-makanan berserat (OR

= 5,35 ; 95% CI : 1,91-14,99 ; p = 0,001) dan kebiasaan merokok

(OR = 3,95 ; 95% CI : 1,35-11,56 ; p = 0,012). Sedangkan faktor-

faktor risiko yang tidak berpengaruh terhadap BPH adalah riwayat

obesitas (OR = 1,784 ; 95% CI : 0,799-3,987 ; p = 0,156),

kebiasaan berolahraga (OR = 3,039 ; 95% CI : 1,363-6,775 ; p =

0,006), Riwayat penyakit Diabetes Mellitus (OR = 5,829 ; 95% CI :

1,803-18,838 ; p = 0,001), Kebiasaan minum-minuman beralkohol

(OR = 1,973 ; 95% CI : 0,821-4,744 ; p = 0,126). Probabilitas

39
untuk individu untuk terkena BPH dengan semua faktor risiko

diatas adalah sebesar 93,27 %.

2. Bagus Setyawan (2016)

Penelitian mengenai “Hubungan Gaya Hidup Dengan

Kejadian Benign Prostate Hyperplasia (Studi Di RSUD Dr.

Soedarso Pontianak)”. Penelitian ini menggunakan desain kasus

konntrol. Sampel penelitian sebanyak 62 orang (31 kasus dan 31

kontrol) yang diambil dengan teknik accidendal sampling. Uji

statistik yang digunakan uji chi-square dengan tingkat

kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok (p

value=0.025, OR=3.756, CI 95% =1.138-12.391), kebiasaan

berolahraga (p value=0.039, OR=2.968, CI 95% =1.039-8.479.

variabel yang tidak berhubungan yaitu aktivitas seksual (p

value=0.231), konsumsi alkohol (p value=0.319). sedangkan

konsumsi makanan serat sayur dan buah tidak dapat diuji karena

data bersifat homogen.

3. Maria Noviat Ngadha Djawa (2014)

Penelitian mengenai “Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Hipertropi Prostat Di Rumah Sakit Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar”. metode penelitian yang digunakan

adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional

study. Sampel ditarik secara accidental sampling dengan jumlah

40
40 responden sesuai dengan criteria inklusi. Hasil penelitian ini

menunjukan dari 40 responden terdapat 70 % yang obesitas dan

yang 30 % tidak obesitas. Terdapat 57,5 % yang merokok dan

42,5 % yang tidak merokok. Terdapat 57,5 % pola makan yang

tidak sehat dan 42,5 % yang pola makannya sehat. Terdapat 55 %

yang aktifitas seksualnya tidak teratur dan 45 % yang aktifitas

seksual teratur. Disimpulkan bahwa ada hubungan antara

obesitas, merokok, pola makan, dan aktifitas seksual dengan

kejadian hipertropi prostat

4. Agus Susanto (2011)

Penelitian mengenai “Analisis Faktor yang Mempengaruhi

Terjadinya Syndroma TURP pada Pasien BPH yang Dilakukan

TURP di Kamar Operasi Emergency RSUD dr. Soedono Madiun”.

Desain penelitian ini adalash i dengan menggunakan pendekatan

cross crontol retrospektif. Hasil uji statistik variabel umur diperoleh

p value = 0,045, untuk besar prostat diperoleh p value = 0,003,

cairan irigasi p value = 0,044, dan variabel lama operasi p = 0,000.

Pada karakteristik lama operasi paling berpengaruh terhadap

kejadian Syndroma TURP.Berdasarkan hasil penelitian, maka

dibutuhkan waktu yang pendek untuk tindakan TUR prostat.

Dengan waktu operasi yang singkat diharapkan tidak akan terjadi

Syndroma TURP, sekaligus meminimalkan pemakaian cairan

irigasi.

41
5. Dwi Febrianto (2015)

Penelitian mengenai “Gambaran Sensasi Berkemih Pasien

Post Operasi Transurethral Resection Of The Prostate (Turp)

Yang Diberi Tindakan Bladder Training Di Rsud Tugurejo

Semarang”. Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian

kuantitatif non eksperimental dengan menggunakan metode

pendekatan deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang

dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang

suatu keadaan secara objektif. Metode penelitian deskriptif

digunakan untuk memecah atau menjawab permasalahan yang

sedang dihadapi pada situasi sekarang. Banyaknya responden

dalam penelitian ini sebanyak 11 responden. Penelitian ini

menggunakan analisis univariat dan didapatkan hasil rata-rata

sensasi berkemih pasien TURP yang diberikan tindakan bladder

training adalah 47,91 menit, nilai median 50,00 menit, nilai min 31

menit dan nilai max 58 menit. Rekomendasi penelitian ini adalah

sebagai salah satu alternatif untuk menangani masalah pasien

yang terpasang kateter lainnya.

6. Zuhirman (2016)

Penelitian mengenai “Gambaran Komplikasi Transurethral

Resection of the Prostate pada Pasien Benign Prostatic

Hyperplasia”. Penelitian ini bersifat deskriptif. Datanya diperoleh

dari rekam medis pasien BPH yang menjalani TURP di RSUD

42
Arifin Achmad Propinsi Riau periode Januari 2011 hingga

Desember 2015. Jumlah pasien BPH yang menjalani TURP di

RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau periode tahun 2011-2015

adalah 280 pasien dengan angka kejadian komplikasi terdapat

pada 93 pasien (33,2%) dengan 105 kasus. Berdasarkan usia

yang terbanyak adalah 60-69 tahun. Rerata durasi reseksi pasien

adalah 30 menit. Rerata berat jaringan prostat yang direseksi (chip

prostat) adalah 30 gram. Distribusi jenis komplikasi TURP

terbanyak adalah perdarahan intraoperatif, jenis komplikasi

intraoperatif yang terbanyak adalah perdarahan, jenis komplikasi

perioperatif yang terbanyak adalah retensio urin dan jenis

komplikasi lanjut yang terbanyak adalah retensio urin.

7. Friska Hinora (2014)

Penelitian yang dilakukan mengenai “Pengaruh Bladder

Trainning Terhadap Kemampuan Berkemih Pada Pasien Pria

Dengan Retensi Urine”. Desain penelitian menggunakan Non

Equivalent control group design Pretest-Posttest. Populasi

penelitian ini adalah seluruh pasien pria yang menggunakan

kateter. Instrumen menggunakan lembar observasi. Hasil

penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata

sebelum dan setelahiberikan tindakan dimana pada pra nilai mean

3,35 menjadi meningkat pada post yaitu mean =5,00 . Uji statistik

Wilcoxon Sign Rank Test menunjukan nilai p= 0,001 atau lebih

43
kecil dari α = 0,05, sehingga Ha (Hipotesis alternatif) diterima atau

ada pengaruh bladder training terhadap kemamppuan berkemih

pada pasien retensi urine di RSUD Bitung

8. Wantonoro, M. Dahlan (2015)

Penelitian yang dilakukan mengenai “Efektifitas Cognitive

Behavioural Educational Intervention Pada Pasien Post Trans

Uretheral Resection Of The Prostate Di RS PKU Muhammadiyah

Bantul”. Desain penelitian Quasi eksperimen posttest only control

group. Pengambilan sampel dilakukan secara nonprobability

sampling dengan metode accidental sampling (pada bulan

Februari-Juni 2015). Hasil uji statistik t-test independent

didapatkan angka signifikansi 0,000. Kesimpulan penelitian

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada

skala nyeri pada intervensi CBEI. Dari hasil penelitian, CBEI

direkomendasikan diberikan pada pasien yang akan menjalani

TURP supaya dapat mengontrol nyeri.

9. Gloria Sampekalo (2015)

Penelitian yang dilakukan mengenai “Angka Kejadian Luts

Yang Disebabkan Oleh BPH Di RSUP PROF. DR. DR. R. D.

KANDOU Manado Periode 2009-2013”. Penelitian ini bersifat

deskriptif retrospektif dengan menggunakan data sekunder dari

RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 2009 - 2013. Hasil

penelitian menunjukkan angka kejadian BPH pada tahun 2009 8

44
kasus (15,1%), tahun 2010 ditemukan 16 kasus (30,2%), tahun

2011 ditemukan 12 kasus (22,6%), tahun 2012 ditemukan 11

kasus (20,8%) dan tahun 2013 ditemukan 6 kasus (11,3%),

dengan total 53 kasus. Penderita LUTS yang disebabkan oleh

BPH tersering muncul pada umur ≥65 tahun.

10. Azia Putri Al Jamil (2018)

Penelitian yang dilakukan mengenai “Gambaran Hasil

Pemeriksaan Urine pada Pasien dengan Pembesaran Prostat

Jinak di RSUP DR. M. Djamil Padang”. Jenis penelitian adalah

deskriptif observasional. Sampel diambil menggunakan teknik total

sampling di bagian Bedah dan Rekam Medik RSUP. Dr. M. Djamil

Padang. Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari 2016 sampai

Desember 2016 dengan jumlah sampel adalah 40 orang. Data

yang digunakan adalah hasil pemeriksaan pH, protein, leukosit,

eritrosit dan epitel urine pada rekam medik pasien pembesaran

prostat jinak. Data yang sudah dikumpulkan kemudian dianalisis

dengan program komputer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

100% pasien memiliki hasil pH urine 4.5 sampai 8. Sebanyak

42,5% memiliki hasil protein urine 1+, 60% pasien memiliki nilai

leukosit >5/LPB, 80% pasien dengan nilai eritrosit >1/LPB serta

100% pasien dengan epitel gepeng positif satu (+). Simpulan

penelitian ini adalah terdapat peningkatan leukosit, eritrosit dan

45
protein urine pada pasien dengan pembesaran prostat jinak

namun pH dan epitel urine pasien masih dalam nilai normal.

46

Anda mungkin juga menyukai