Anda di halaman 1dari 20

1. Mengapa tn ruke mengalami keluhan tidak bisa kencing sejak 10 jam lalu ?

Retensi urine adalah ketidakmampuan untuk mengosongkan isi kandung kemih sepenuhnya selama proses
pengeluaran urine. (Brunner and Suddarth. (2010). Text Book Of Medical Surgical Nursing 12th Edition. Hal
1370 ).
Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan tidak mempunyai kemampuan
untuk mengosongkannya secara sempurna. Retensio urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari
fesika urinaria. (Kapita Selekta Kedokteran).
Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat terjadi secara akut maupun kronis.
(Depkes RI Pusdiknakes, 1995).

B. Etiologi
Penyebab dari retensi urine antara lain diabetes, pembesaran kelenjar prostat, kelainan uretra ( tumor, infeksi,
kalkulus), trauma, melahirkan atau gangguan persyarafan ( stroke, cidera tulang belakang, multiple sklerosis
dan parkinson). Beberapa pengobatan dapat menyebabkan retensi urine baik dengan menghambat kontraksi
kandung kemih atau peningkatan resistensi kandung kemih. (Karch, 2008)
C. Patofisiologi dan Patoflow
Patofisiologi penyebab retensi urin dapat dibedakan berdasarkan sumber penyebabnya antara lain :
1.Gangguan supravesikal adalah gangguan inervasi saraf motorik dan sensorik. Misalnya DM berat sehingga
terjadi neuropati yang mengakibatkan otot tidak mau berkontraksi.
2.Gangguan vesikal adalah kondisi lokal seperti batu di kandung kemih, obat antimuskarinik/antikolinergik
(tekanan kandung kemih yang rendah) menyebabkan kelemahan pada otot detrusor..
3.Gangguan infravesikal adalah berupa pembesaran prostat (kanker, prostatitis), tumor pada leher vesika,
fimosis, stenosis meatus uretra, tumor penis, striktur uretra, trauma uretra, batu uretra, sklerosis leher
kandung kemih (bladder neck sclerosis).

D. Tanda dan Gejala


1. Diawali dengan urine mengalir lambat.
2.Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan kandung kemih tidak
efisien.
3. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
4. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.

5. Pada retensi berat bisa mencapai 2000 -3000 cc.


E.Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan specimen urine.
2. Pengambilan: steril, random, midstream
3. Penagmbilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, Keton dan Nitrit.
4. Sistoskopi ( pemeriksaan kandung kemih )
5. IVP ( Intravena Pielogram ) / Rontgen dengan bahan kontras.
F. Penatalaksanaan Medis
1. Kateterisasi urethra.
2. Dilatasi urethra dengan boudy.
3. Drainase suprapubik.
G. Komplikasi
1. Urolitiasis atau nefrolitiasis
2. pielonefritis
3. hydronefrosis
4. Pendarahan
5. Ekstravasasi urine
H. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Kaji kapan klien terakhir kali buang air kecil dan berapa banyak urin yang keluar.
b. Kaji adanya nyeri pada daerah abdomen.
c. Perkusi pada area supra pubik, apakah menghasilkan bunyi pekak yang menunjukkan distensi kandung
kemih.
d. Kaji pola nutrisi dan cairan.
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

a. Retensi urin berhubungan dengan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 X 24 jam masalah retensi urine dapat teratasi.
Kriteria hasil

: - Berkemih dengan jumlah yang cukup


-Tidak teraba distensi kandung kemih

Intervensi :
1)

Dorong pasien utnuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.

R : Meminimalkan retensi urin dan distensi berlebihan pada kandung kemih.


2)

Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih.

R : Retensi urin meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas.


3)

Perkusi/palpasi area suprapubik

R: Distensi kandung kemih dapat dirasakan diarea suprapubik.


b.

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi pada kandung kemih.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 X 24 jam masalah nyeri dapat teratasi.
Kriteria hasil : - Menyatakan nyeri hilang / terkontrol
- Menunjukkan rileks, istirahat dan peningkatan aktivitas dengan tepat
Intervensi :
1)

Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas nyeri.

R : Memberikan informasi untuk membantu dalam menetukan intervensi.


2)

Plester selang drainase pada paha dan kateter pada abdomen.

R : Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis-skrotal.


3)

Pertahankan tirah baring bila diindikasikannyeri.

R : Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut.
4)

Berikan tindakan kenyamanan

R : Meningktakan relaksasi dan mekanisme koping.


c.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring, nyeri, kelemahan otot.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 X 24 jam masalah intoleransi aktivitas dapat teratasi.
Kriteria Hasil : Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tidak adanya
dispnea, kelemahan, tanda vital dalam rentang normal.
Intervensi :
1)

Evaluasi respon klien terhadap aktivitas.

R : Menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.


2)

Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.

R : Menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.


3)

Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan

istirahat.
R : Tirah baring dapat menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan.
4)

Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.

R : Pembatasan aktivitas ditentukan dengan respons individual pasien terhadap aktivitas.

I.

Daftar Pustaka

Brunner and Suddarth. (2010). Text Book Of Medical Surgical Nursing 12th Edition. China : LWW.
Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

2. Mengapa tn ruke mengalami nyeri di selangkangannya dan darah menetes di ujung kemaluan ?
RUPTUR URETRA
Oleh: Jorianto Muntari

PENDAHULUAN
Dari semua cedera yang terdapat dalam unit gawat darurat, 10 % diantaranya merupakan cedera
sistem urogenitalia. Kebanyakan dari cedera tersebut terabaikan dan sulit untuk mendiagnostik dan
memerlukan keahlian diagnostik yang baik. Diagnosis awal sangat perlu untuk mencegah komplikasi lanjut.
Cedera uretra merupakan cedera yang jarang dan paling sering terjadi pada laki-laki, biasanya bersamaan
dengan terjadinya fraktur pelvis atau straddle injury. Cedera uretra jarang terjadi pada wanita. Beberapa
bagian dari uretra dapat mengalami laserasi, terpotong, atau memar. Penatalaksaannya bermacam-macam
tergantung pada derajat cedera. Menurut anatomisnya, uretra dibedakan menjadi dua, uretra posterior terdiri
atas pars prostatika dan pars membranasea dan uretra anterior yang terdiri atas pars bulbosa dan pars
pendulosa. Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior,

hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam hal etiologi trauma, tanda klinis, pengelolaan serta
prognosisnya. 1,2,3
ANATOMI
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Secara anatomis
uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga
dalam menyalurkan cairan mani. Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada
perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan
posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga pada
saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot lurik dipersarafi oleh sistem
somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat miksi sfingter ini tetap terbuka
dan tetap tertutup pada saat menahan miksi. 3
Panjang uretra laki-laki dewasa sekitar 18 cm, dengan perbandingan uretra posterior 3 cm dan uretra anterior
15 cm, titik baginya berada antara 2 lokasi pada membran perineal. Uretra dapat dibedakan ke dalam 5
segmen yaitu :
Uretra posterior

Uretra pars prostatika

Uretra pars membranasea

Uretra anterior

Uretra pars bulbosa

Uretra pars pendulosa

Uretra pars prostatika berjalan menembusi prostat, mulai dari basis prostat sampai pada apeks prostat.
Panjang kira-kira 3 cm. Mempunyai lumen yang lebih besar daripada di bagian lainnya. Dalam keadaan
kosong dinding anterior bertemu dengan dinding posterior. Dinding anterior dan dinding lateral membentuk
lipatan longitudinal. Pada dinding posterior di linea mediana terdapat crista urethralis, yang kearah cranialis
berhubungan dengan uvula vesicae, dan ke arah caudal melanjutkan diri pada pars membranasea. Pada crista
urethralis terdapat suatu tonjolan yang dinamakan collicus seminalis (verumontanum), berada pada
perbatasan segitiga bagian medial dan sepertiga bagian caudal uretra pars prostatika. Pada puncak dari
colliculus terdapat sebuah lubang, disebut utriculus prostaticus, yang merupakan bagian dari suatu
diverticulum yang menonjol sedikit ke dalam prostat. Bangunan tersebut tadi adalah sisa dari pertemuan

kedua ujung caudalis ductus paramesonephridicus (pada wanita ductus ini membentuk uterus dan vagina). Di
sisi-sisi utriculus prostaticus terdapat muara dari ductus ejaculatorius (dilalui oleh semen dan secret dari
vesicula seminalis). Saluran yang berada di sebelah lateral utriculus prostaticus, disebut sinus prostaticus,
yang pada dinding posteriornya bermuara saluran-saluran dari glandula prostat (kira-kira sebanyak 30 buah).
6
Uretra pars membranasea berjalan kearah caudo-ventral, mulai dari apeks prostat menuju ke bulbus penis
dengan menembusi diaphragma pelvis dan diaphragma urogenitale. Merupakan bagian yang terpendek dan
tersempit, serta kurang mampu berdilatasi. Ukuran panjang 1 2 cm, terletak 2,5 cm di sebelah dorsal tepi
caudal symphysis osseum pubis. Dikelilingi oleh m.sphincter urethrae membranasea pada diaphragma
urogenitale. Tepat di caudalis diaphragma urogenitale, dinding dorsal urethra berjalan sedikit di caudalis
diaphragma. Ketika memasuki bulbus penis urethra membelok ke anterior membentuk sudut lancip. Glandula
bulbourethralis terletak di sebelah cranial membrana perinealis, berdekatan pada kedua sisi uretra. Saluran
keluar dari kelenjar tersebut berjalan menembusi membrana perinealis, bermuara pada pangkal uretra pars
spongiosa. 6
Uretra pars spongiosa berada di dalam corpus spongiosum penis, berjalan di dalam bulbus penis, corpus penis
sampai pada glans penis. Panjang kira-kira 15 cm, terdiri dari bagian yang fiks dan bagian yang mobil.
Bagian yang difiksasi dengan baik dimulai dari permukaan inferior membrane perinealis, berjalan di dalam
bulbus penis. Bulbus penis menonjol kira-kira 1,5 cm di sebelah dorsal uretra. Bagian yang mobil terletak di
dalam bagian penis yang mobil. Dalam keadaan kosong, dinding uretra menutup membentuk celah
transversal dan pada glans penis membentuk celah sagital. Lumen uretra pars spongiosa masing-masing di
dalam bulbus penis, disebut fosssa intrabulbaris, dan pada glans penis, dinamakan fossa navicularis urethrae.
Lacunae urethrales ( = lacuna morgagni) adalah cekungan-cekungan yang terdapat pada dinding uretra di
dalam glans penis yang membuka kearah ostium uretra eksternum, dan merupakan muara dari saluran keluar
dari glandula urethrales. Ostium uretra eksternum terdapat pada ujung glans penis dan merupakan bagian
yang paling sempit. 6
Uretra pars

bulbosa bermula di proksimal setinggi aspek inferior dari diafragma urogenitalia, yang

menembus dan berjalan melalui korpus spongiosum. Korpus spongiosum merupakan jaringan serabut otot
polos dan elastin yang kaya akan vaskularisasi. Kapsul fibrosa yang dikenal sebagai tunika albuginea
mengelilingi korpus spongiousum. Korpus spongiosum dan korpus kavernosum bersama-sama ditutupi oleh
dua lapisan berurutan. Lapisan ini antara lain fascia bucks dan fascia dartos, fascia bucks merupakan lapisan
paling tebal terdiri dari dua lapisan dan masing-masing terdiri atas lamina interna dan eksterna. Dua lamina

dari fascia bucks membagi diri untuk menutupi korpus spongiosum. Fascia dartos merupakan lapisan
jaringan ikat longgar subdermal yang berhubungan dengan fascia colles di perineum. 4
Lumen uretra terletak di tengah bagian posterior korpus spongiosum melalui uretra pars bulbosa, tetapi
terpusat pada uretra pars pendulosa. Berdasarkan defenisinya, uretra pars bulbosa tidak hanya ditutupi oleh
korpus spongiosum, tetapi juga oleh penggabungan garis tengah dari otot ischiokavernosus. Otot
bulbospongiosum berakhir hanya pada proksimal sampai penoskrotal junction, dimana uretra berlanjut ke
distal sebagai uretra pars pedunlosa. Uretra pars pendulosa dekat dengan korpus korporal di bagian dorsal. Di
distal sebagian besar bagian dari uretra anterior adalah fossa naviculare, yang dikelilingi oleh jaringan
spongiosa dari glans penis. 4
Uretra wanita dewasa berukuran panjang sekitar 4 cm dan berjalan uretrovesikal junction pada kollumna
vesika urinaria ke vestibulum vagina. Dua lapisan otot polos berjalan ke distal dari kollumna vesika urinaria
mengelilingi bagian proksimal uretra lapisan dalam merupakan bagian sirkuler, sedangkan lapisan luar
berjalan secara longitudinal. Otot polos dikelilingi oleh lapisan otot lurik yang paling tebal setinggi
pertengahan uretra dan berkurang pada aspek posteriornya. 4
Vaskularisasi dan aliran limfe
Pada uretra maskulina, pars prostatika mendapat suplai darah terutama dari arteri vesikalis inferior
dan arteri rektalis media. Uretra pars membranasea diberi suplai darah dari cabang-cabang arteri dorsalis
penis dan arteri profunda penis. Aliran darah venous menuju pleksus venosus prostatikus dan ke vena
pudenda interna. Aliran limfe dari uretra pars prostatika dan pars membranasea dibawa oleh pembuluhpembuluh limfe yang berjalan mengikuti vasa pudenda interna menuju ke lymphonodus iliaka interna
(sebagian besar) dan ke lymphonodus iliaka eksterna (sebagian kecil). Aliran limfe dari uretra pars spongiosa,
sebagian besar dibawa menuju lymphonodus inguinalis profunda dan sebagian besar dibawa menuju ke
lymphonodus iliaka interna. 6
Uretra feminine pars kranialis mendapatkan vaskularisasi dari arteri vesikalis. Pars medialis
mendapatkannya dari arteri vesikalis inferior dan cabang-cabang dari arteri uterine, sedangkan pars kaudalis
disuplai oleh arteri pudenda interna. Pembuluh darah vena membawa aliran darah venous menuju ke plexus
venosus vesikalis dan vena pudenda interna. 6
Innervasi
Uretra maskulina, pars prostatika menerima persarafan dari pleksus nervosus prostatikus. Uretra pars
membranasea dipersarafi oleh nervus kavernosus penis, pars sponsiosa dipersarafi oleh pleksus nervosus

vesikalis dan pleksus nervosus uretrovaginalis, pars kaudalis dipersarafi oleh nervus pudendus. 6

RUPTUR URETRA POSTERIOR


ETIOLOGI
Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra pars posterior. Menurut
sejarahnya, banyak cedera semacam ini yang berhubungan dengan kecelakaan di pabrik atau pertambangan.
Akan tetapi, karena perbaikan dalam hal keselamatan pekerja pabrik telah menggeser penyebab cedera ini
dan menyebabkan peningkatan pada cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas. Gangguan pada uretra
terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan pada uretra membranasea yang
berhubungan dengan trauma tumpul terjadi bersamaan fraktur pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau
simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostatomembranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan
hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat
berada buli-buli akan terangkat ke kranial.
Fraktur

pelvis yang menyebabkan gangguan uretra biasanya penyebab sekunder karena kecelakaan

kendaraan bermotor (68%-84%) atau jauh dari ketinggian dan tulang pelvis hancur (6%-25%). Pejalan kaki
lebih beresiko, mengalami cedera uretra karena fraktur pelvis pada kecelakaan bermotor dari pada
pengendara. 4
EPIDEMIOLOGI
Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra posterior dengan angka kejadian
20 per 100.000 populasi dan penyebab utama terjadinya fraktur pelvis adalah kecelakaan bermotor (15,5%),
diikuti oleh cedera pejalan kaki (13,8%), jatuh dari ketinggian lebih dari 15 kaki (13%), kecelakaan pada
penumpang mobil (10,2%) dan kecelakaan kerja (6%). Fraktur pelvis merupakan salah satu tanda bahwa
telah terjadi cedera intraabdominal ataupun cedera urogenitalia yang kira-kira terjadi pada 15-20% pasien.
Cedera organ terbanyak pada fraktur pelvis adalah pada uretra posterior (5,8%-14,6%), diikuti oleh cedera
hati (6,1%-10,2%) dan cedera limpa (5,2%-5,8%). 7
Di Amerika Serikat angka kejadian fraktur pelvis pada laki-laki yang menyebabkan cedera uretra
bervariasi antara 1-25% dengan nilai rata-rata 10%. Cedera uretra pada wanita dengan fraktur pelvis
sebenarnya jarang terjadi, tetapi beberapa kepustakaan melaporkan insiden kejadiannya sekitar 4-6%. 8

Angka kejadian cedera uretra yang dihubungkan dengan fraktur pelvis kebanyakan ditemukan pada
awal dekade keempat, dengan umur rata-rata 33 tahun. Pada anak (<12 tahun) angka kejadiannya sekitar 8%.
Terdapat perbedaan persentasi angka kejadian fraktur pelvis yang menyebabkan cedera uretra pada anak dan
dewasa. Fraktur pelvis pada anak sekitar 56% kasus yang merupakan resiko tinggi untuk terjadinya cedera
uretra. 7,8
Trauma uretra lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita, perbedaan ini disebabkan karena
uretra wanita pendek, lebih mobilitas dan mempunyai ligamentum pubis yang tidak kaku. 7
MEKANISME TRAUMA
Cedera uretra terjadi sebagai akibat dari adanya gaya geser pada prostatomembranosa junction sehingga
prostat terlepas dari fiksasi pada diafragma urogenitalia. Dengan adanya pergeseran prostat, maka uretra pars
membranasea teregang dengan cepat dan kuat. Uretra posterior difiksasi pada dua tempat yaitu fiksasi uretra
pars membranasea pada ramus ischiopubis oleh diafragma urogenitalia dan uretra pars prostatika ke simphisis
oleh ligamentum puboprostatikum. 9
KLASIFIKASI
Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat cedera uretra dalam
3 jenis :
Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (perengangan). Foto uretrogram tidak
menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang
Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma urogenitalia masih
utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasai kontras yang masih terbatas di atas diafragma
Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak. Foto
uretrogram menunjukkan ekstvasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma sampai ke perineum 2
GAMBARAN KLINIS
Pada ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik dan abdomen bagian
bawah, dijumpai jejas hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai ruptur kandung kemih, bisa dijumpai tanda
rangsangan peritoneum. Pasien biasanya mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian
bawah.10,11
Kemungkinan terjadinya cedera uretra posterior harus segera dicurigai pada pasien yang telah didiagnosis
fraktur pelvis. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa jenis fraktur pelvis lebih sering
berhubungan dengan cedera uretra posterior dan terlihat pada 87% sampai 93% kasus. Akan tetapi,

banyaknya darah pada meatus uretra tidak berhubungan dengan beratnya cedera. Teraba buli-buli yang
cembung (distended), urin tidak bisa keluar dari kandung kemih atau memar pada perineum atau ekimosis
perineal merupakan tanda tambahan yang merujuk pada gangguan uretra. Trias diagnostik dari gangguan
uretra prostatomembranosa adalah fraktur pelvis, darah pada meatus dan urin tidak bisa keluar dari kandung
kemih. 4
Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang paling penting dari kerusakan uretra.
Pada kerusakan uretra tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena dapat menyebabkan
infeksi pada periprostatik dan perivesical dan konversi dari incomplete laserasi menjadi complete laserasi.
Cedera uretra karena pemasangan kateter dapat menyebabkan obstuksi karena edema dan bekuan darah.
Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat
meluas jauh tergantung fascia yang rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang
mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi infeksi. Adanya darah pada ostium uretra eksterna
mengindikasikan pentingnya uretrografi untuk menegakkan diagnosis. 3,10
Pada pemeriksaan rektum bisa didapatkan hematoma pada pelvis dengan pengeseran prostat ke superior.
Bagaimanapun pemeriksaan rektum dapat diinprestasikan salah, karena hematoma pelvis bisa mirip denagan
prostat pada palpasi. Pergeseran prostat ke superior tidak ditemukan jika ligament puboprostikum tetap utuh.
Disrupsi parsial dari uretra membranasea tidak disertai oleh pergeseran prostat. 3
Prostat dan buli-buli terpisah dengan uretra pars membranasea dan terdorong ke atas oleh penyebaran dari
hematoma pada pelvis. High riding prostat merupakan tanda klasik yang biasa ditemukan pada ruptur uretra
posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur pelvis kadang-kadang menghalangi palpasi yang
adekuat pada prostat yang ukurannya kecil. Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat yang
normal mungkin adalah hematoma pada pelvis. Pemeriksaan rektal lebih penting untuk mengetahui ada
tidaknya jejas pada rektal yang dapat dihubungkan dengan fraktur pelvis. Darah yang ditemukan pada jari
pemeriksa menunjukkan adanya suatu jejas pada lokasi yang diperiksa. 12
GAMBARAN RADIOLOGI
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis cedera uretra karena
akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma. Sementara CT Scan merupakan pemeriksaan
yang ideal untuk saluran kemih bagian atas dan cedera vesika urinaria dan terbatas dalam mendiagnosis
cedera uretra. Sementara MRI berguna untuk pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum dilakukan
rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak berperan dalam pemeriksaan cadera uretra. Sama halnya dengan USG

uretra yang memiliki keterbatasan dalam pelvis dan vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik. 4
PENATALAKSANAAN
Emergency
Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat analgesik. Pasien dengan
kontusio atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu menggunakan alat-alat atau manipulasi tapi jika
tidak bisa kencing dan tidak ada ekstravasasi pada uretrosistogram, pemasangan kateter harus dilakukan
dengan lubrikan yang adekuat. 14
Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan organ lain, cukup dilakukan sistotomi.
Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan
pemasangan kateter silicon selama 3 minggu. 10
Pembedahan
Ekstravasasi pada uretrosistogram mengindikasikan pembedahan. Kateter uretra harus dihindari.
Immediate management
Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase urin. Insisi midline pada abdomen bagian
bawah dibuat untuk menghindari pendarahan yang banyak pada pelvis. Buli-buli dan prostat biasanya elevasi
kearah superior oleh pendarahan yang luas pada periprostatik dan perivesikal. Buli-buli sering distensi oleh
akumulasi volume urin yang banyak selama periode resusitasi dan persiapan operasi. Urin sering bersih dan
bebas dari darah, tetapi mungkin terdapat gross hematuria. Buli-buli harus dibuka pada garis midline dan
diinspeksi untuk laserasi dan jika ada, laserasi harus ditutup dengan benang yang dapat diabsorpsi dan
pemasangan tube sistotomi untuk drainase urin. Sistotomi suprapubik dipertahankan selama 3 bulan.
Pemasangan ini membolehkan resolusi dari hematoma pada pelvis, dan prostat & buli-buli akan kembali
secara perlahan ke posisi anatominya. 3
Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3 hari kemudian, sebaiknya
dipasang kateter secara langsir (railroading) 10
A. Selang karet atau plastik diikat ketat pada ujung sonde dari meatus uretra
B. Sonde uretra pertama dari meatus eksternus dan sonde kedua melalui sistotomi yang dibuat lebih dahulu
saling bertemu, ditandai bunyi denting yang dirasa di tempat ruptur
C. Selanjutnya sonde dari uretra masuk ke kandung dengan bimbingan sonde dari buli-buli
D. Sonde dicabut dari uretra

E. Sonde dicabut dari kateter Nelaton dan diganti dengan ujung kateter Foley yang dijahit pada kateter
Nelaton
F. Ujung kateter ditarik kearah buli-buli
G. Selanjutnya dipasang kantong penampung urin dan traksi ringan sehingga balon kateter Foley tertarik dan
menyebabkan luka ruptur merapat. Insisi di buli-buli ditutup
Delayed urethral reconstruction
Rekonstruksi uretra setelah disposisi prostat dapat dikerjakan dalam 3 bulan, diduga pada saat ini tidak ada
abses pelvis atau bukti lain dari infeksi pelvis. Sebelum rekonstuksi, dilakukan kombinasi sistogram dan
uretrogram untuk menentukan panjang sebenarnya dari striktur uretra. Panjang striktur biasanya 1-2 cm dan
lokasinya dibelakang dari tulang pubis. Metode yang dipilih adalah single-stage reconstruction pada ruptur
uretra dengan eksisi langsung pada daerah striktur dan anastomosis uretra pars bulbosa ke apeks prostat lalu
dipasang kateter uretra ukuran 16 F melalui sistotomi suprapubik. Kira-kira 1 bulan setelah rekonstuksi,
kateter uretra dapat dilepas. Sebelumnya dilakukan sistogram, jika sistogram memperlihatkan uretra utuh dan
tidak ada ekstravasasi, kateter suprapubik dapat dilepas. Jika masih ada ekstravasasi atau striktur, kateter
suprapubik harus dipertahankan. Uretrogram dilakukan kembali dalam 2 bulan untuk melihat perkembangan
striktur. 3
Immediate urethral realignment
Beberapa ahli bedah lebih suka untuk langsung memperbaiki uretra. Perdarahan dan hematoma sekitar ruptur
merupakan masalah teknis. Timbulnya striktur, impotensi, dan inkotinensia lebih tinggi dari immediate
cystotomydan delayed reconstruction. Walaupun demikian beberapa penulis melaporkan keberhasilan dengan
immediate urethral realignment. 3
KOMPLIKASI
Striktur, impotensi, dan inkotinensia urin merupakan komplikasi rupture prostatomembranosa paling
berat yang disebabkan trauma pada sistem urinaria. Striktur yang mengikuti perbaikan primer dan
anastomosis terjadi sekitar 50% dari kasus. Jika dilakukan sistotomi suprapubik, dengan pendekatan delayed
repair maka insidens striktur dapat dikurangi sampai sekitar 5%. Insidens impotensi setelah primary
repair, sekitar 30-80% (rata-rata sekitar 50%). Hal ini dapat dikurangi hingga 30-35% dengan drainase
suprapubik pada rekontruksi uretra tertunda. Jumlah pasien yang mengalami inkotinensia urin <2 % biasanya
bersamaan dengan fraktur tulang sakrum yang berat dan cedera nervus S2-4. 3

PROGNOSIS
Jika komplikasinya dapat dihindari, prognosisnya sangat baik. Infeksi saluran kemih akan teratasi
dengan penatalaksaan yang sesuai. 14

RUPTUR URETRA ANTERIOR


ETIOLOGI
Uretra anterior adalah bagian distal dari diafragma urogenitalia. Straddle injury dapat menyebabkan
laserasi atau contusion dari uretra. Instrumentasi atau iatrogenik dapat menyebabkan disrupsi parsial 10
Cedera uretra anterior secara khas disebabkan oleh cedera langsung pada pelvis dan uretra. Secara
klasik, cedera uretra anterior disebabkan oleh straddle injury atau tendangan atau pukulan pada daerah
perineum, dimana uretra pars bulbosa terjepit diantara tulang pubis dan benda tumpul. Cedera tembus uretra
(luka tembak atau luka tusuk) dapat juga menyebabkan cedera uretra anterior. Penyebab lain dari cedera
uretra anterior adalah trauma penis yang berat, trauma iatrogenic dari kateterisasi, atau masuk benda asing. 9
MEKANISME TRAUMA
Trauma tumpul atau tembus dapat menyebabkan cedera uretra anterior. Trauma tumpul adalah
diagnosis yang sering dan cedera pada segmen uretra pars bulbosa paling sering (85%), karena fiksasi uretra
pars bulbosa dibawah dari tulang pubis, tidak seperti uretra pars pendulosa yang mobile. Trauma tumpul pada
uretra pars bulbosa biasanya disebabkan oleh straddle injury atau trauma pada daerah perineum. Uretra pars
bulbosa terjepit diantara ramus inferior pubis dan benda tumpul, menyebabkan memar atau laserasi pada
uretra. 4
Tidak seperti cedera pada uretra pars prostatomembranous, Trauma tumpul uretra anterior jarang
berhubungan dengan trauma organ lainnya. Kenyataannya, straddle injury menimbulkan cedera cukup ringan,
membuat pasien tidak mencari penanganan pada saat kejadian. Pasien biasanya datang dengan striktur uretra
setelah kejadian yang intervalnya bulan atau tahun. 4
Cedera uretra anterior dapat juga berhubungan dengan trauma penis (10% sampai 20% dari kasus).
Mekanisme cedera adalah trauma langsung atau cedera pada saat berhubungan intim, dimana penis yang
sementara ereksi menghantam ramus pubis wanita, menyebabkan robeknya tunika albuginea. 4
KLASIFIKASI
Klasifikasi rupture uretra anterior dideskripsikan oleh McAninch dan Armenakas berdasarkan atas

gambaran radiologi
Kontusio : Gambaran klinis memberi kesan cedera uretra, tetapi uretrografi retrograde normal
Incomplete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi, tetapi masih ada kontinuitas uretra sebagian.
Kontras terlihat mengisi uretra proksimal atau vesika urinaria.
Complete disruption : Uretrografi menunjukkan ekstravasasi dengan tidak ada kontras mengisi uretra
proksimal atau vesika urinaria. Kontinuitas uretra seluruhnya terganggu. 4
GAMBARAN KLINIS
Pada rupture uretra anterior terdapat memar atau hematom pada penis dan skrotum. Beberapa tetes darah
segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera uretra. Bila terjadi rupture uretra total, penderita
mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah
suprapubik. Pada perabaan mungkin ditemukan kandung kemih yang penuh. 10
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstuksi karena udem atau bekuan darah. Abses
periuretral atau sepsis mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh,
tergantung fascia yang turut rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrate yang disebut infiltrate urin
yang mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi infeksi. 10
Kecurigaan ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang atau instrumentasi dan
darah yang menetes dari uretra. 10
Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih
terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia
Buck ikut robek, ekstravasai urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar
hingga skrotum atau dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu
sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu. 2
GAMBARAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologik dengan uretrogram retrograde dapat memberi keterangan letak dan tipe ruptur
uretra. Uretrogram retrograde akan menunjukkan gambaran ekstravasasi, bila terdapat laserasi uretra,
sedangkan kontusio uretra tidak tampak adanya ekstravasasi. Bila tidak tampak adanya ekstravasasi maka
kateter uretra boleh dipasang.10,11

PENATALAKSANAAN
Penanganan Awal

Kehilangan darah yang banyak biasanya tidak ditemukan pada straddle injury. Jika terdapat pendarahan yang
berat dilakukan bebat tekan dan resusitasi. Armenakas dan McAninch (1996) merencanakan skema
klasifikasi praktis yang sederhana yang membagi cedera uretra anterior berdasarkan penemuan radiografi
menjadi kontusio, ruptur inkomplit, dan ruptur komplit. Kontusio dan cedera inkomplit dapat ditatalaksana
hanya dengan diversi kateter uretra. Tindakan awal sistotomi suprapubik adalah pilihan penanganan pada
cedera staddle mayor yang melibatkan uretra.
Pilihan utama berupa surgical repair direkomendasikan pada luka tembak dengan kecepatan rendah, Ukuran
kateter disesuaikan dengan berat dari striktur uretra. Debridement dari korpus spongiosum setelah trauma
seharusnya dibatasi karena aliran darah korpus dapat terganggu sehingga menghambat penyembuhan spontan
dari area yang mengalami kontusi. Diversi urin dengan suprapubik direkomendasikan setelah luka tembak
uretra dengan kecepatan tinggi, diikuti dengan rekonstruksi lambat. 3,15
Penanganan Spesifik
Kontusio Uretra
Pasien dengan kontusio uretra tidak ditemukan bukti adanya ekstravasasi dan uretra tetap utuh. Setelah
uretrografi, pasien dibolehkan untuk buang air kecil; dan jika buang air kecil normal, tanpa nyeri dan
pendarahan, tidak dibutuhkan penanganan tambahan.

Jika pendarahan menetap, drainase uretra dapat

dilakukan. 3
Laserasi Uretra
Instrumentasi uretra setelah uretrografi harus dihindari. Insisi midline pada suprapubik dapat membuka kubah
dari buli-buli supaya pipa sistotomi suprapubik dapat disisipkan dan dibolehkan pengalihan urin sampai
laserasi uretra sembuh. Jika pada uretrogram terlihat sedikit ekstravasasi, berkemih dapat dilakukan 7 hari
setelah drainase kateter suprapubik untuk menyelidiki ekstravasasi. Pada kerusakan yang lebih parah,
drainase kateter suprapubik harus menunggu 2 sampai 3 minggu sebelum mencoba berkemih. Penyembuhan
pada tempat yang rusak dapat menyebabkan striktur. Kebanyakan striktur tidak berat dan tidak memerlukan
rekonstuksi bedah. Kateter suprapubik dapat dilepas jika tidak ada ekstravasasi. Tindakan lanjut dengan
melihat laju aliran urin akan memperlihatkan apakah terdapat obstuksi uretra oleh striktur. 3
Laserasi Uretra dengan Ekstravasasi Urin yang Luas
Setelah laserasi yang luas, ekstravasasi urin dapat menyebar ke perineum, skrotum, dan abdomen bagian
bawah. Drainase pada area tersebut diindikasikan. Sistotomi suprapubik untuk pengalihan urin diperlukan.
Infeksi dan abses biasa terjadi dan memerlukan terapi antibiotik. 3

Rekonstruksi segera

Perbaikan segera laserasi uretra dapat dilakukan, tetapi prosedurnya sulit dan tingginya resiko timbulnya
striktur. 3

Rekonstruksi lambat

Sebelum semua rencana dilakukan, retrograde uretrogram dan sistouretrogram harus dilakukan untuk
mengetahui tempat dan panjang dari uretra yang mengalami cedera. Pemeriksaan ultrasound uretra dapat
membantu menggambarkan panjang dan derajat keparahan dari striktur. Injeksi retrograde saline kombinasi
dengan antegradebladder filling akan mengisi uretra bagian proksimal dan distal, dan sonogram 10-MHz
akan mengambarkan dengan jelas bagian yang tidak bisa terdistensi untuk di eksisi. Jaringan fibrosa padat
yang terbentuk karena trauma sering menjadi significant shadow.
Uretroplasty anastomosis adalah prosedur pilihan pada ruptur total uretra pars bulbosa setelah straddle injury.
Skar tipikal berukuran 1,5 sampai 2 cm dan harus dieksisi komplit. Uretra proksimal dan distal dapat
dimobilisasi untuk anastomosis end-to-end. Tingkat keberhasilan dari prosedur ini lebih dari 95% dari kasus
Insisi endoskopik melalui jaringan skar dari uretra yang ruptur tidak disarankan dan sering kali gagal.
Penyempitan parsial uretra dapat diterapi awal dengan insisi endoskopi dengan tingkat keberhasilan tinggi.
Saat ini uretrotomi dan dilatasi berulang telah terbukti tidak efektif baik secara klinis maupun biaya. Lebih
lanjut, pasien dengan prosedur endoskopik berulang juga sering diharuskan untuk dilakukan tindakan
rekonstruksi kompleks seperti graft. Open repairseharusnya ditunda paling tidak beberapa minggu setelah
instrumentasi untuk membiarkan uretra stabil. 3,15
KOMPLIKASI
Komplikasi dini setelah rekontruksi uretra adalah infeksi, hematoma, abses periuretral, fistel
uretrokutan, dan epididimitis. Komplikasi lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra. 10
PROGNOSIS
Striktur uretra adalah komplikasi utama tetapi pada banyak kasus tidak memerlukan rekonstruksi
bedah. Jika, striktur ditetapkan, laju aliran urin kurang baik dan infeksi urinaria dan terdapat fistel uretra,
rekonstruksi dibutuhkan. 3
.
Daftar Pustaka
1.

Daller M, Carpinto G. Genitourinary trauma and emergencies. In : Siroky MB, Oates RD, Babayan

RK, editors. Handbook of urology diagnosis and therapy. 3rd Edition. Philadelpia : Lippincott William &
Wilkins; 2004. p. 165-82

2.

Purnomo B. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto; 2003. p.97-9

3.

Tanagho EA, et al. Injuries to the genitourinary tract. In : McAninch, editor. Smiths general urology.

17thEdition. United States of America : Mc Graw Hill; 2008. p.278-93


4.

Rosentein DI, Alsikafi NF . Diagnosis and classification of urethral injuries. In : McAninch JW,

Resinck MI, editors. Urologic clinics of north america. Philadelpia : Elseivers Sanders; 2006 . p. 74-83
5.

Schauberger JS. Male reproductive system anatomy & histology. 2010. [cited 2011 October 20].

Available

from:

URL:http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/APIINotes2%20male

%20reproductive%20anatomy.htm
6.

Datu AR. Diktat Urogenitalia. Makassar : FKUH; 2003

7.

Schreiter F, et al. Reconstruction of the bulbar and membranous urethra. In : Schreiter F, et al, editors.

Urethral reconstructive surgery. Germany : Springer Medizin Verlag Heidelberg; 2006 . p.107-20
8.

Smith JK, Kenney P. Urethra trauma. 2009. [cited 2011 October 11]. Available from

:URL :www.emedicine.com
9.

Brandes S. Initial management of anterior and posterior urethral injuries . In : McAninch JW, Resinck

MI, editors. Urologic clinics of north america. Philadelpia : Elseivers Sanders; 2006. p. 87-95
10. Sjamsuhidajat R, Jong WM. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2005. p. 770-2
11. Reksoprodjo S, et al. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta : FK UI; 2004. p. 149-52
12. Reynard J, Brewster S, Biers S. Oxford handbook of urology. England: Oxford University; 2006. p. 4427
13. Kawashima A, Sandler CM, Wasserman NF, et al. Imaging of urethral disease: a pictorial review. 2004.
[cited

2011

October

20].

Available

from:

URL

http://radiographics.rsna.org/content/24/suppl_1/S195.full.pdf+html
14. Palinrungi AM. Lecture notes on urological emergencies & trauma. Makassar: Division of Urology,
Departement of Surgery, Faculty of Medicine, Hasanuddin University; 2009. p. 131-6
15. Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA. Campbell-walsh urology. 9th Edition.
Philadelphia : Saunders elsevier; 2007
3. Apakah obat penghilang nyeri yang diminum oleh Tn. Ruke ?
Ada beberapa macam zat analgesika (pereda sakit/nyeri) yang dijual bebas, di antaranya parasetamol (nama
lainnya asetaminofen /acetaminophen) dan obat-obat yang termasuk dalam golongan NSAID (nonsteroidal
anti-inflammatory drugs) seperti aspirin, asam mefenamat, dan ibuprofen. Masing-masing senyawa

analgesika ini mempunyai cara kerja dan sifat yang berbeda-beda. Satu obat pereda nyeri dapat mengandung
satu macam zat saja, namun dapat pula dikombinasikan dengan zat-zat lainnya yang dimaksudkan untuk
menambah khasiatnya atau untuk mengurangi efek sampingnya.
4. Kenapa Tn Ruke merasakan ingin kencing, tapi tidak bsa keluar ?
Baca tentang retensio urin (diatas)
5. Apa interpretasi dr hasil pemeriksaan fisik?
> Bekuan darah di ujung penis ==> Darah menetes dari uretra adalah gejala yang paling penting dari ruptur
uretra dan sering merupakan satu-satunya gejala, yang merupakan indikasi untuk membuat urethrogram
retrograde. Kateterisasi merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan infeksi prostatika dan
perivesika hematom serta dapat menyebabkan laserasi yang parsial menjadi total.
> supra simfisis tampak dan teraba penonjolan sebesar kepalan tangan => akibat retensio urin
> hematoma di daerah perineum ==> ruptur uretra
6. Mengapa dokter melakukan SPP ?
Punksi supra pubis biasanya dilakukan untuk pengambilan contoh urine agar tidak terkontaminasi, disamping
itu dapat juga digunakan sebagai diversi urine sementara waktu bila pasien retensi dan pemasangan kateter
uretra gagal sedang kan sarana maupun prasarana untuk melakukan sistostomi terbuka atau dengan trokar
tidak ada apalagi tersedianya set perkutan sistostomi..Walaupun tidak begitu menyakitkan tetapi tidak
menyenangkan bagi pasien. Sebelum melakukan punksi pasien harus banyak minum dulu agar buli-bulinya
penuh.Biasanya pada laki-laki teraba puncak buli-bulinya yang penuh karena tonus ototnya relatif lebih kuat,
sedangkan pada wanita kadang walaupun sudah penuh buli-bulinya masih tidak teraba. Punksi supra pubis
biasanya dilakukan pada garis tengah diantara umbilikus dan simpisis pubis, punksinya kira-kira 2 inci diatas
simpisis. Punksi buli tidak dilakukan pada tumor buli, kontracted bladder dan hematuri yang belum jelas
sebabnya.
7. Bagaimana cara SPP ?
BAHAN DAN ALAT
1. Sabun cuci tangan biasa. 2. Sarung tangan (Hand schoen) steril 3. .Betadine 4. Doek steril. 5. Spuit 10 cc
atau spinal needle 16 F.

PROSEDUR
1. Operator mencuci tangan dengan sabun terlebih dahulu pada air kran mengalir .
2. Operator memakai hand schoen secara aseptik.
3. Lakukan desinfeksi secukupnya dengan memakai bahan anti septik yang tidak menimbulkan iritasi pada
kulit antara simpisis dengan umbilikus.
4. Lalu daerah yang akan dipunksi ditutupi dengan doek steril.
5. Dilakukan punksi dg spuit atau spinal needle( garis tengah antara simpisis pubis dan umbilikus,biasanya 2
inci diatas simpisis pubis) tegak lurus dengan daerah punksi terus didorong masuk kebuli-buli ditandai
dengan keluarnya urine dari lobang jarum.
6. Kemudian dilakukan aspirasi melalui jarum.
8. Apa pengobatan selanjutnya ?
1)

Pada ruptur anterior

a)

Pada ruptur anterior yang partial cukup dengan memasang kateter dan melakukan drainase bila ada.

b)

ruptur yang total hendaknya sedapat mungkin dilakukan penyambungan dengan membuat end-to-end,

anastomosis dan suprapubic cystostomy.


c)

Kontusio : observasi, 4-6 bulan kemudian dilakukan uretrografi ulang.

d)

sistosomi, 2 minggu kemudian dilakukan uretrogram dan striktura sache jika timbul stiktura uretra.

e)

Debridement dan insisi hematom untuk mencegah infeksi.

2)

Pada ruptur uretra posterior

a)

Pada rupture yang total suprapubic cystostomy 6-8 minggu.

b)

Pada ruptur uretra posterior yang partial cukup dengan memasang douwer kateter.

c)

Operasi uretroplasti 3 bulan pasca ruptur.

Anda mungkin juga menyukai