Anda di halaman 1dari 8

REFERAT

RETENSI URIN

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

REFERAT

RETENSI URIN

Semarang, 26 Agustus 2023


Retensi Urin
Definisi
Retensi urine merupakan suatu kondisi medis dimana kandung
kemih tidak dapat kosong sepenuhnya walaupun sudah buang air kecil atau
biasanya di kenal dengan anyang-anyangan. Kondisi tersebut menyebabkan
penderitanya merasa kesulitan untuk mengeluarkan urine walaupun sudah
memiliki keinginan untuk buang air kecil. Sehingga penderita merasa tidak
lega setelah buang air kecil.

Berdasarkan lama waktunya Retensi Urine dibagi menjadi 2 jenis,


yaitu Retensi Urine akut yang terjadi secara tiba-tiba, dan biasanya terjadi
dalam waktu singkat dalam beberapa hari atau mingu. Retensi Urine akut
yang tidak ditangani dengan tepat dapat beresiko menyebabkan Retensi
Urine kronis. Retensi Urine kronis muncul bertahap dengan durasi waktu
selama beberapa bulan. Retensi urine kronis biasanya memiliki kondisi
medis tertentu, seperti dm, stroke dan lain sebagainya.

Anatomi Kandung Kemih

Gambar 3. Lokasi Kandung Kemih

Kandung kemih terletak tepat di belakang simfisis pubis. Di bagian


posterior, dinding anterior vagina berada di belakang kandung kemih pada
wanita. Pada pria, rektum terletak di posterior kandung kemih. Di bagian
inferior, otot-otot diafragma panggul menopang kandung kemih. Permukaan
superior dan sebagian posterior kandung kemih ditutupi oleh peritoneum.
Bagian inferior dan sisi inferolateral kandung kemih ditutupi oleh fasia
endopelvis.

Gambar 4. Urinary Tract.


Urinary tract adalah sistem perkemihan yang meliputi Ginjal (ren,
kidney), Ureter yang membawa darah dari ginjal, urinary bladder (vesica
urinaria), dan urethra. Kandung kemih dihubungkan oleh 2 saluran, yaitu
ureter yang menghubungkan ginjal dengan kandung kemih dan uretra yang
mengalirkan urine dari internal urethral orifice bladder menuju ke luar.
Vesica urinaria adalah organ yang penting untuk menyimpan urine
sampai siap untuk dikeluarkan. Vesica urinaria letaknya subperitoneal.
Dindingnya terdiri dari mucosa, dilapisi oleh transitional epithelium yang
tipis saat vesica urinaria penuh namun menebal saat kontraksi.
Vascularisasinya merupakan cabang dari superior dan inferior
vesical artery yang merupakan cabang dari internal iliac artery. Superior
vesical arteries mensuplai bagian anterosuperior bladder. Pada pria, fundus
dan collum vesica urinaria disuplai oleh inferior vesical arteries. Pada
wanita, inferior vesical arteries digantikan oleh vaginal arteries, yang
memiliki cabang kecil ke bagian posteroinferior bladder.
Serat saraf simpatis menuju vesica urinaria berasal dari medulla
spinalis T11- L2 atau L3 menuju vesical (pelvic) plexuses, terutama melalui
hypogastric plexuses dan nerves. Serat parasimpatis berasal dari medulla
spinalis sacral yaitu pelvic splanchnic nerves dan inferior hypogastric
plexuses. Serat parasimpatis bersifat motorik untuk musculus detrusor pada
dinding vesica urinaria dan menghambat spinchter interna pria. Ketika serat
aferen visceral afferent distimulasi oleh stretching (regangan), bladder
berkontraksi, sphincter interna relaksasi pada laki-laki dan urine mengalir
melalui urethra.

Epidemiologi
Retensi urine bisa terjadi pada siapa saja. BPH (Benign Prostat
Hyperplasia) merupakan penyebab retensi urin yang paling sering diderita
oleh pria yang dijumpai pada usia >60 tahun yang menimbulkan gejala
obstruksi. Pada wanita paling sering diakibatkan karena efek setelah
melahirkan (post partum).

Etiologi
a. Obstukrif, kelainan ini dapat disebabkan secara langsung oleh batu
saluran kemih, striktur uretra, clot pada buli, dan kanker buli.
Penyebab tidak langsung dapat berupa tumor jinak maupun ganas,
atau adanya massa pad rongga pelvis.
b. Infeksi, inflamasi seperti edema pada uretra dan atau kandung kemih
dapat menyebabkan retensi urin akut. Prostatitis bakterial akut dan
balantitis merupakan penyebab paling sering pada pria. Sedangkan
penyebab tersering pada wanita adalah candidiasis vulvovagina.
c. Iatrogenik, terdapat dua penyebab retensi urin iatrrogenik, yaitu efek
samping dari post operasi atau farmakologis obat.
d. Neurologis, pada pasien dibetes melitus terjadi diabetic cystopathy,
yang dapat menyebabkan kelemahan pada otot detrusor. Selain itu
multiple sklerosis, penyakit serebrovaskular, dan cedera pada tulang
belakang disertai dengan spinal shock dapat menyebabkan retensi
urin total.

Patofisiologi
Aktivitas berkemih dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik.
Pada proses berkemih terdapat dua fase yaitu fase pengisian (filling) dimana
pada fase ini otot detrusor relaksasi dan otot sfingter kontraksi. Ketika
kandung kencing penuh maka akan kirimkan sinyal ke otak. Beberapa
kondisi dimana kandung kemih penuh yaitu pada saat kapasitan kandung
kemih ±500 cc dan rasa ingin berkemih muncul saat terisi sekitar 100-200
cc urin. Pada fase selanjutnya yaitu fase pengeluaran, otot detrusor akan
kontraksi dan otot sfingkter akan relaksasi sehingga urin dapat keluar.
(Tortora & Derrickson, 2009) (Anugerah, et al., 2017). BPH menyebabkan
adanya peningkatan tekenan pada uretra yang dapat menyebabkan distensi
dan mencegah relaksai pada otot atau terjadinya peningkatan
tonusadrenegik.

Diagnosis
Anamnesis
Pasien mengeluhkan tidak bisa kencing, sulit untuk memulai kencing
dan perlu mengedan, kencing menetes /lama/sedikit-sedikit dan pancarannya
lemah, nyeri dan benjolan pada perut bagian bawah, riwayat trauma bagian
perut bagian bawah/panggul/ tulang belakang, pada kasus kronis dengan
keluhan uremia.

Pemeriksaan Fisik
terdapat benjolan/massa pada perut bagian bawah. Apabila
penyebabnya adalah batu di meatus eksternum didapatkan pembengkakan di
daerah penis dan skrotum, akibat striktur uretra dapat ditemukan perdarahan
pada uretra akibat trauma Pada Pemeriksaan palpasi teraba benjolan/massa
kenyal pada perut bagian bawah yang apabila ditekan dapat menimbulkan
rasa nyeri. Pada saat pemeriksaan perkusi terdapat bunyi redup

Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos Abdomen, Apabila pada kasus batu buli maka akan
didapatkan bayangan buli yang membesar dan tampak batu (radio-opaque).
Uretrografi, bertujuan untuk melihat apabila terdapat striktur uretra.
Ultrasonografi, untuk melihat, adanya batu buli maupun pembesaran
kelenjar prostat. Pada retensi urin kronik perlu pemeriksaan Urinalisis untuk
melihat adanya infeksi, PSA (Prostate-Spesific Antigen) untuk deteksi dini,
menentukan staging, dan monitoring pada penderita kanker prostat.
Urodinamik (uroflowmetry) untuk mengetahui fungsi kandung kemih
dengan cara mengukur laju pancaran urin.

Tatalaksana
a. Kateterisasi Kateterisasi merupakan prosedur memasukkan kateter
ke dalam buli-buli melalui uretra.
b. Punksi Suprapubik Tindakan yang dapat dilakukan apabila
pemasangan kateter uretra gagal ataupun terdapat kontraindikasi
pemasangan kateter uretra yaitu pada kasus trauma uretra. Punksi
suprapubik hanya dillakukan jika buli-buli penuh
c. Sistostomi Suprapubik Suatu prosedur pembedahan untuk untuk
megatasi retensi urin dengan cara mengalirkan kencing melalui
lubang yang dibuat di area suprapubik

Gambar 1. Kateterisasi dan Punksi Urin

Gambar 3. Sistotomi Suprapubik.

Prognosis
Prognosis akan bonam bila ditangani dengan baik.
Komplikasi
a. Menurunnya elastisitas buli akibat dari penumpukan urin yang
menyebabkan peningkatan tegangan dari dinding buli hingga
mencapai batas toleransi dan dilatasi maksimum.
b. Terbentuknya batu buli melalui proses kristalisasi urin akibat dari
residu urin yang tidak keluar secara tuntas.
c. Refluks akibat peningkatan tekanan intravesika sehingga terjadi UTI
bagian atas seperti sistitis, pielonefritis, dan urosepsis.
d. Keadaan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam lumen akan
menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga dapat terjadi
hidronefrosis selanjutnya terjadi gagal ginjal (Dougherty & Aeddula,
2020).

Kesimpulan
Retensi urin merupakan ketidakmampuan seseorang untuk mengosongkan
buli-buli hingga kapasitas maksimal terlampaui. Retensi urin sering
dijumpai pada laki-laki berusia tua. BPH merupakah penyebab tersering,
penyebab lainnya yaitu striktur uretra, batu uretra, ruptur uretra akibat
trauma, dan Ca-prostat. Reetensi urin dapat ditangani dengan cara
mengvakuasi urin melalui proses kateterisasi, punksi suprapubik, maupun
dengan sistostomi. Penanganan segera dapat mencegah penyulit yang lebih
serius.
Daftar Pustaka

1. Abdullahi, M. et al., 2016. Urinary Retention in Adults Male


Patients: Causes and Complications among Patients Managed in a
Teaching Hospital in North Western Nigeria. Open Journal of
Urology, pp. 114- 121. Anugerah, I. et al., 2017.
2. Tatalaksana Retensio Urin PascaPersalinan. CDK journal, 44(8), pp.
531-536. Dougherty, J. M. & Aeddula, N. R., 2020. Male Urinary
Retention. [Online] Availableat: https://www.ncbi.nlm.nih.go v/
[Accessed 28 june 2021]. Fagard, K. et al., 2021.
3. Urinary retention on an acute geriatric hospitalisation unit:
prevalence, risk factors and the role of screening, an observational
cohort study. European Geriatric Medicine , pp. 1-10. Guyton, A. C.
& Hall, J. E., 2007.
4. Buku Ajaar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Purnomo, B., 2016.
Dasar-dasar urologi. 3 ed. Malang: Sagu Seto. PUziębło, et al., 2017.
Epidemiology and causes of urinary retention. Journal of public
health, nursing and medical rescue, Issue 4, pp. 1-4. Retensi Urin
Permasalahan dan Penatalaksanaannya. Widjoseno Gardjito
Lab/UPF Ilmu Bedah FK Unair/RSUD Dr. Soetomo,Surabaya.
Serlin, D. C., Heidelbaugh, J. J. & Stoffel, J. T., 2018.
5. Urinary Retention in Adults:Evaluation and Initial Management.
American Family Physician, 98(8), pp. 496-503.

Anda mungkin juga menyukai