Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN ELIMINASI


AKIBAT PATOLOGI SISTEM PENCERNAAN DAN PERSYARAFAN
(RETENSI URIN)

DOSEN PEMBIMBING :

EL RAHMAYATI, S.Kp.,M.Kes

DISUSUN OLEH:

TRI YANA APRIYANTI

1814401133

TINGKAT II/REGULER 3

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG

PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNG KARANG

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


LAPORAN PRAKTEK KLINIK KMB 1
PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNGKARANG

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN ELIMINASI:


RETENSI URIN
AKIBAT PATOLOGI SISTEM PENCERNAAN DAN PERSYARAFAN

A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap

A.2. PENYEBAB
1. Peningkatan tekanan uretra
Striktur uretra adalah kondisi penyempitan uretra yang menghambat aliran urine.
Kondisi ini umumnya terjadi pada pria. Namun dalam kondisi yang jarang, striktur
uretra juga dapat terjadi pada bayi yang baru lahir dan pada wanita.
Uretra adalah saluran yang mengalirkan urine dari kandung kemih, untuk kemudian
dikeluarkan dari tubuh. Kondisi uretra yang menyempit bisa menyebabkan berbagai
masalah medis pada saluran urine, termasuk peradangan atau infeksi.
2. Kerusakan arkus reflex
Kerusakan saraf pada kauda equine mengakibatkan kerusakan pada arkus refleks
dengan terputusnya komponen saraf aferen dan eferen.
3. Blok spingter
Sfingter merupakan kumpulan serabut otot yang melingkari bagian tertentu dari
organ tubuh yang fungsinya untuk membuka atau menutup, misalnya pada kasus ini
sfingter kandung kemih, yang terletak di leher kandung kemih, berfungsi untuk
mengontrol proses buang air kecil, berfungsi untuk mengalirkan urine atau air
kencing dari kandung kemih ke uretra untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh, urine
akan mengalir bila sfingter kandung kemih atau sfingter uretra internal membuka
atau relaksasi. Otot sfingter adalah jenis otot involunteratau tidak sadar yang
terbentuk dari penebalan otot detrusor dan menutup uretra ketika kandung kemih
telah dikosongkan. Apabila kandung kemih penuh, otot detrusor kandung kemih akan
merangsang sfingter untuk membuka sehingga urine dapat dialirkan. Apabila otot
sfingter ini rusak, akibat cedera/trauma, akibat operasi, akibat gangguan saraf, atau
akibat penyakit lainnya, dapat menyebabkan gangguan fungsi kontrol buang air kecil,
otot sfingter dapat terbuka terus menerus atau tertutup terus menerus. Apabilan
otot sfingter tersebut tertutup terus menerus akibat penyebab-penyebab diatas,
dapat menyebabkan urine tidak bisa dikeluarkan, sehingga urine menumpuk di
kandung kemih dan dapat menyebabkan nyeri.
4. Disfungsi neurologis (mis.trauma, penyakit saraf)
Gangguan pada refleks urethra-bladder dapat disebabkan oleh lesi pada medulla
spinalis atau kerusakan pada saraf perifer kandung kemih. Gangguan ini dapat
dialami oleh pasien dengan trauma medulla spinalis, kompresi medulla spinalis akibat
fraktur vertebra atau tumor di medula spinalis. Pasien juga tidak mempunyai kendali
atau fungsi kandung kemih.
5. Efek agen farmakologis (mis.atropine, belladonna, psikotropik, antihistamin, oplate)
Retensi urine bisa disebabkan oleh efek samping obat-obatan tertentu, seperti obat
pelemas otot, antidepresan, antihistamin, antikejang, obat penurun tekanan darah
nifedipine, obat asma, dan antinyeri golongan opioid.
Efek samping tersebut lebih berisiko terjadi apabila obat-obatan tersebut dikonsumsi
dalam jangka panjang atau dosis yang tinggi.

A.3. GEJALA DAN TANDA MAYOR


Subjektif
1. Sensasi penuh pada kandung kemih
Sensasi penuh pada kandung kemih. Normalnya, ginjal menghasilkan urin dengan
kecepatan sekitar 60 ml per jam atau sekitar 1.500 ml per hari. Haluran urin
dipengaruhi oleh banyak factor, termasuk asupan cairan, kehilangan cairan tubuh
melalui rute lain seperti perspirasi dan pernafasan atau diare, dan status
kardiovaskulerdan renal individu (Kozier et al., 2010). Pada retensi urin berat,
kandung kemih dapat menahan 2.000 sampai 3.000 ml urin. (Perry & Potter, 2006)

Objektif
1. Disuria/anuria
Disuria adalah sakit dan susah saat berkemih. Disuria dapat menyertai striktur
(pengecilan diameter) uretra, infeksi kemih, dan cedera pada kandung kemih dan
uretra. Sedangkan anuria adalah tidak ada produksi urin (Kozier et al., 2010)
2. Distensi kandung kemih
Apabila pengosongan kandung kemih terganggu, urin akan terakumulasi dan akan
terjadi distensi kandung kemih. Kondisi tersebut akan menyebabkan retensi urin
(Kozier et al., 2010)

A.3. GEJALA DAN TANDA MINOR


Subjektif
1. Dribbling
Dribbling (urin yang menetes) adalah kebocoran/ rembesan urin walaupun ada
control terhadap pengeluaran urin (Perry & Potter, 2006).

Objektif
1. Inkontinensia berlebih
Inkonteninsia urin, atau urinasi involunter adalah sebuah gejal, bukan sebuah
penyakit. Inkonteninsia urin berlebih merupakan kehilangan urin yang tidak
terkendali akibat overdistensi kandung kemih (PPNI, 2017).
2. Residu urin 150 ml atau lebih
Residu urin merupakan volume urin yang tersisa setelah berkemih ( volume 100ml
atau lebih ). Hal ini terjadi karena inflamasi atau iritasi mukosa kandung kemih akibat
infeksi, kandung kemih neurogenik, pembesaran prostat, trauma, atau inflamasi
uretra (Potter & Perry, 2006)

A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait, boleh
ditambahkan barisnya)
1. Benigna prostat hiperplasia
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa.
Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot
polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara
perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara
perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi
pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal
dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor
disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika
urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan
menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk
2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran
urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing
terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami
kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi
urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan
didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong
setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek
(nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan
ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih atau disuria
( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter,
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan
menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

2. Pembengkakan perineal
3. Cedera medula spinalis
Kerusakan yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau menetap
akibat trauma terhadap tulang belakang. Medula spinalis dapat tidak berfungsi
untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan
perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medula spinalis
yang menetap, secara makroskopis, kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
kontusio, laserasi dan pembengkakan daerah tertentu di medula spinalis.

Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cedera, serabut-serabut saraf
mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea medulla spinalis
menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera pembuluh
darah medula spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan kerusakan
yang terjadi pada cedera medula spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-
kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang
pada gilirannya mengakibatkan kerusakan mielin dan akson. Reaksi sekunder ini,
diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi medula spinalis pada tingkat cedera,
6sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika
kerusakan medula tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali
pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat anti-inflamasi
lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari
perkembangannya,masuk kedalam kerusakan total dan menetap.

4. Rektokel
Rektokel merupakan defek pada septum rektovaginal bukan defek pada rektum.
Septum rektovaginal berfungsi melakukan stabilisasi suspensi badan perineum pada
sakrum yang dicapai melalui perlekatannya dengan ligamentum sakrouterina dan
kardinal. Stabilisasi badan perineum juga didapatkan karena adanya perlekatan
membran perineal ke arah lateral menuju ramus ischiopubikus. Jika perlekatan ini
terlepas misalnya setelah persalinan pervaginam makan badan perineal dapat
menjadi sangat mudah bergerak dan mengakibatkan rektokel serta penurunan
perineum.

5. Tumor di saluran kemih


Menurut Amiruddin, kanker kandung kemih terjadi karena beberapa faktor yaitu,
usia Kanker kandung kemih lebih sering terjadi pada usia di atas 50 tahun dan angka
kejadian laki-laki lebih besar daripada perempuan. Usia dapat menyebabkan
imunitas seseorang turun sehingga rentan terpapar oleh radikal bebas, selain itu
lifestyle seperti kebiasaan merokok dan bahan-bahan karsinogenik seperti pabrik
jaket kulit bagian pewarnaan. Kedua faktor ini akan masuk ke dalam sirkulasi darah
daan masuk ke dalam ginjal yang selanjutnya terfiltrasi di glomerulus. Radikal bebas
bergabung dengan urin secara terus menerus dan masuk ke kandung kemih.
Selanjutnya terjadi stagnasi radikal bebas, radikal bebas mengikat elektron DNA dan
RNA sel transisional sehingga terjadi kerusakan DNA. Apabila terjadi kerusakan DNA
maka tubuh akan malukan perbaikan DNA jika berhasil maka sela akan kembali
normal, jika tidak maka akan terjadi mutasi pada genom sel somatik. Mutasi dari
genom sel somatik ada 3 hal yang terjadi pertama adalah pengaktifan onkogen
pendorong pertumbuhan, kedua perubahan gen yang mengandalikan pertumbuhan
dan yang terakhir adalah pengnonaktifan gen supresor kanker. Ketiga hal tersebut
mengakibatkan produksi gen regulatorik hilang. Selanjutnya terjadi replikasi DNA
yang berlebih. Akhirnya terjadi kanker pada kandung kemih.

A.4. PENATALAKSANAAN MEDIS ( penatalaksanaan kondisi klinis terkait)


1. Benigna prostat hiperplasia
Penatalaksanaan :
Terapi medikamentosa
Menurut  Baradero  dkk  (2007)  tujuan  dari  obat-obat  yang diberikan pada
penderita BPH adalah :
1. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra
2. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker
(penghambat alfa adrenergenik)
3. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/
dehidrotestosteron (DHT).

Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo
(2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa
reduktase, fitofarmaka.

a. Penghambat adrenergenik alfa


Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin,
afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari
sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa
1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli
tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor
yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan
kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini
dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air
seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya
keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang
mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat
yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti
antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obat-obat ini
mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
b. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat
golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang
membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan
alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya
masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 %
dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus,
hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari
obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
c. Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya
misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya
diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan dapat memperkecil
volum prostat.

2. Cedera medula spinalis


Penatalaksanaan :
Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:
1. Segera dilakukan imobilisasi.
2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan pemasangan
collar servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.
3. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan pemberian
oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.
Terapi pengobatan:
1. Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.
2. Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah akibat
autonomic hiperrefleksia akut.
3. Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas bladder.
4. Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan tonus
leher bradder.
5. Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan uretra.
6. Agen antiulcer seperti ranitidine
7. Pelunak fases seperti docusate sodium.
8. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur
dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.
9. Rehabilisasi di lakukan untuk mencegah komplikasi, mengurangi cacat dan
mempersiapkan pasien untuk hidup di masyarakat.

3. Rektokel
Penatalaksanaan :
Pengobatan medis:
1. Latihan otot otot dasar panggul ( senam Kegel ) untuk menguatkan otot otot
dasar panggul
2. Stimulasi otot otot dengan alat listrik untuk memacu kontraksi otot otot dasar
panggul
3. Terapi hormon estrogen pada pasien menopause. Pada menopause kelemahan
otot dasar panggul akibat menurunnya kandungan estrogen sehingga pemberian
estrogen akan bermanfaat
Pengobatan operatif:
1. Colporrhaphy posterior

4. Tumor di saluran kemih


Penatalaksanaan :
1. Hematuria
a. Dilakukan three way kateter untuk irigasi kandung kemih yang mengalami
perdarahan akibat massa dengan PZ 1000 cc.
Konstribusi perawat:
a. Monitoring irigasi
b. Monitoring balance cairan urin yang di tampung pada urin bag dikurangi
dengan cairan yang masuk {PZ}).
c. Evaluasi warna urin
d. Kondisi bladder
b. Oksigenasi karena kilen mengalami hiperventilasi
c. Transfusi + farmakologi (asam traneksamat serta vitamin K) untuk
penatalksaan perdarahan.
2. TURB-T (Trans-Urethral Resection of Bladder-Tumor)
Dilakukan reseksi untuk mengambil tumor. Jika terjadi perdarahan dilakukan
tindakan irigasi kandung kemih , jika urine tidak keluar , curiga adanya stone cell
dan tatalaksana dengan dilakukan spool.
3. Cystektomy radikal atau parsial
Sistektomi radikal yang diikuti dengan kemoterapi sistemik (MVAC-
Methotrexate, Vinblastine, Adriamycin, Cisplatin). Sistektomi radikal merupakan
pengangkatan buli dengan lemak perisistikserta prostat dan vesikula seminalis,
uretra pada priadan buli serta lemak perisistik, serviks, uuterus, kubah vagina
anterior, uretra dan ovarium pada wanita. Sistektomi radikal merupakan suatu
operasi mayor dengan angka mortalitas 3 sampai 8%.
4. Diversi Urine
Sistektomi radikal adalah pengangkatan kandung kemih dan jaringan sekitarnya
(pada pria berupa sistoprostatektomi) dan selanjutnya aliran urine dari ureter
dialirkan melalui beberapa cara diversi urine, antara lain: (Yosef, 2007)
a. Uretrosigmoidostomi, yaitu membuat anastomosis kedua ureter ke dalam
sigmoid. Cara ini sekarang tidak banyak dipakai lagi karena banyak
menimbulkan penyulit.
b. Kondisi usus, yaitu mengganti kandung kemih dengan ileum sebagai
penampung urin, sengakan untuk mengeluarkan urine dipasang kateteer
menetap melalui sebuah stoma. Konduit ini diperkenalkan oleh Bricke pada
tahun 1950 dan saat ini tidak banyak dikerjakan lagi karena dianggap tidak
praktis.
c. Diversi urin kontinen, yaitu mengganti kandung kemih dengan segmen ileum
dengan membuat stoma yang kontinen (dapat menahan urin pada volume
tertentu). Urin kemudian dikeluarkan melalui stoma dengan melakukan
kateterisasi mandiri secara berkala. Cara diversi urin ini yang terkenal adalah
cara Kock pouch dan Indian pouch.
d. Diversi urin Orthotopic, adalah membuat neobladder dari segmen usus yang
kemudian dilakukan anastomosis dengan uretra. Teknik ini dirasa lebih
fisiologis untuk pasien, karena berkemih melalui uretra dan tidak memakai
stoma yang dipasang di abdomen. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh
Camey dengan berbagai kekurangannya dan kemudian disempurnakan oleh
Studer dan Hautmann.
5. Kemoterapi intra Buli
Kemoterapi intravesika pasca bedah dengan Thiotepa/Adriamycin/Mitomycin
yang ditahan di sisi dalam kandung kemih selama 1 jam, 6-8 serial seperti ini
dengan interval setiap seminggu diberikan untuk mengurangi angka
kekambuhan.

B. RENCANA KEPERAWATAN (lihat SLKI dan SIKI)

Diagnosa Keperawatan : Retensi Urin berhubungan dengan:


1. Peningkatan tekanan uretra
2. Kerusakan arkus refleks
3. Blok spingter
4. Disfungsi neurologis (mis.trauma, penyakit saraf)
5. Efek agen farmakologis (mis.atropine, belladonna, psikotropik, antihistamin, oplate)

Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selam 24 jam maka Eliminasi Urine
Membaik dengan kriteria hasil:

Kriteria Hasil :
1. Sensasi berkemih meningkat
2. Desakan berkemih (urgensi)menurun
3. Distensi kandung kemih menurun
4. Berkemih tidak tuntas (hesistensi)menurun
5. Volume residu urin menurun
6. Urin menetes (dribbling) menurun
7. Nokturia menurun
8. Mengompol menurun
9. Disuria menurun
10. Anuria menurun
Intervensi :
a. Kateterisasi urine
Observasi :
1. Periksa kondisi pasien (mis, kesadaran, tanda tanda vital, daerah perineal, distensi
kandung kemih, inkontenesia urine, reflex berkemih)
Rasional : untuk mengetahui perkembangan kondisi pasien
Terapeutik :
1. Siapkan peralatan, bahan-bahan dan ruangan tindakan
Rasional : untuk mempermudah dalam pelaksanaan tindakan
2. Siapkan pasien: bebaskan pakaian bawah dan posisikan dorsal rekumben (untuk
wanita) dan supine (untuk laki-laki)
Rasional : mempermudah dalam pemasangan kateter
3. Pasang sarung tangan
Rasional : untuk mencegah terjadinya infeksi silang serta mencegah terjadinya
penularan kuman.
4. Bersihkan daerah perineal,atau preposium dengan cairan NaCl atau aquades
Rasional : untuk mebersihkan dari kotoran
5. Lakukan insersi kateter urin dengan menerapkan prinsip aseptic
Rasional : memasang selang kateter dengan prinsip steril untuk menjaga kesterilan
kateter
6. Sambungkan kateter urin dengan dengan urine bag
Rasional : untuk menapung urine
7. Isi balon dengan NaCl 0,9% sesuai anjuran pabrik
Rasional : untuk menahan kateter agar tidak lepas
8. Fiksasai selang kateter diatas simpisis atau di paha
Rasional : untuk mempertahankan posisi selang
9. Pastiakn kantung urine ditempatkan lebih rendah kandung kemih
Rasional : Agar urine tertampung di kantong urine
10. Beri label waktu pemasangan
Rasional : untuk memudahkan dalam pemantauan urin
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan kateter urine
Rasional : untuk meningkatkan keterlibatan dan kekooperatifan pasien dalam
pemasangan kateter urine
2. Anjurkan menarik nafas saat insersi selang cateter
Rasional : untuk menghindari sensasi rasa ngilu saat selang dimasukan

b. Manajemen cairan
Observasi :
1. Monitor status hidrasi ( mis, frek nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler,
kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah
Rasional : perubahan status hidrasi dapat menggambarkan berat ringannya
kekurangan cairan.
Terapeutik :
1. Catat intake output dan hitung balans cairan dalam 24 jam
Rasional : pencatatan intake dan output digunakan untuk mengetahui status cairan
pada pasien
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pembrian diuretik
Rasional : diuretik dapat meningkatkan laju urine dan dapat menghambar
reabsorpsinatrium/klorida pada tubulus ginjal
DAFTAR PUSTAKA

1. Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), 
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
2. Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),  Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
3. Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),  Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
4. Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing Diagnoses:
Definitions & classification, 2015-2017. Oxford : Wiley Blackwell.
5. Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical surgical Nursing.
Mosby: ELSIVER

Anda mungkin juga menyukai