DOSEN PEMBIMBING :
EL RAHMAYATI, S.Kp.,M.Kes
DISUSUN OLEH:
1814401133
TINGKAT II/REGULER 3
A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap
A.2. PENYEBAB
1. Peningkatan tekanan uretra
Striktur uretra adalah kondisi penyempitan uretra yang menghambat aliran urine.
Kondisi ini umumnya terjadi pada pria. Namun dalam kondisi yang jarang, striktur
uretra juga dapat terjadi pada bayi yang baru lahir dan pada wanita.
Uretra adalah saluran yang mengalirkan urine dari kandung kemih, untuk kemudian
dikeluarkan dari tubuh. Kondisi uretra yang menyempit bisa menyebabkan berbagai
masalah medis pada saluran urine, termasuk peradangan atau infeksi.
2. Kerusakan arkus reflex
Kerusakan saraf pada kauda equine mengakibatkan kerusakan pada arkus refleks
dengan terputusnya komponen saraf aferen dan eferen.
3. Blok spingter
Sfingter merupakan kumpulan serabut otot yang melingkari bagian tertentu dari
organ tubuh yang fungsinya untuk membuka atau menutup, misalnya pada kasus ini
sfingter kandung kemih, yang terletak di leher kandung kemih, berfungsi untuk
mengontrol proses buang air kecil, berfungsi untuk mengalirkan urine atau air
kencing dari kandung kemih ke uretra untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh, urine
akan mengalir bila sfingter kandung kemih atau sfingter uretra internal membuka
atau relaksasi. Otot sfingter adalah jenis otot involunteratau tidak sadar yang
terbentuk dari penebalan otot detrusor dan menutup uretra ketika kandung kemih
telah dikosongkan. Apabila kandung kemih penuh, otot detrusor kandung kemih akan
merangsang sfingter untuk membuka sehingga urine dapat dialirkan. Apabila otot
sfingter ini rusak, akibat cedera/trauma, akibat operasi, akibat gangguan saraf, atau
akibat penyakit lainnya, dapat menyebabkan gangguan fungsi kontrol buang air kecil,
otot sfingter dapat terbuka terus menerus atau tertutup terus menerus. Apabilan
otot sfingter tersebut tertutup terus menerus akibat penyebab-penyebab diatas,
dapat menyebabkan urine tidak bisa dikeluarkan, sehingga urine menumpuk di
kandung kemih dan dapat menyebabkan nyeri.
4. Disfungsi neurologis (mis.trauma, penyakit saraf)
Gangguan pada refleks urethra-bladder dapat disebabkan oleh lesi pada medulla
spinalis atau kerusakan pada saraf perifer kandung kemih. Gangguan ini dapat
dialami oleh pasien dengan trauma medulla spinalis, kompresi medulla spinalis akibat
fraktur vertebra atau tumor di medula spinalis. Pasien juga tidak mempunyai kendali
atau fungsi kandung kemih.
5. Efek agen farmakologis (mis.atropine, belladonna, psikotropik, antihistamin, oplate)
Retensi urine bisa disebabkan oleh efek samping obat-obatan tertentu, seperti obat
pelemas otot, antidepresan, antihistamin, antikejang, obat penurun tekanan darah
nifedipine, obat asma, dan antinyeri golongan opioid.
Efek samping tersebut lebih berisiko terjadi apabila obat-obatan tersebut dikonsumsi
dalam jangka panjang atau dosis yang tinggi.
Objektif
1. Disuria/anuria
Disuria adalah sakit dan susah saat berkemih. Disuria dapat menyertai striktur
(pengecilan diameter) uretra, infeksi kemih, dan cedera pada kandung kemih dan
uretra. Sedangkan anuria adalah tidak ada produksi urin (Kozier et al., 2010)
2. Distensi kandung kemih
Apabila pengosongan kandung kemih terganggu, urin akan terakumulasi dan akan
terjadi distensi kandung kemih. Kondisi tersebut akan menyebabkan retensi urin
(Kozier et al., 2010)
Objektif
1. Inkontinensia berlebih
Inkonteninsia urin, atau urinasi involunter adalah sebuah gejal, bukan sebuah
penyakit. Inkonteninsia urin berlebih merupakan kehilangan urin yang tidak
terkendali akibat overdistensi kandung kemih (PPNI, 2017).
2. Residu urin 150 ml atau lebih
Residu urin merupakan volume urin yang tersisa setelah berkemih ( volume 100ml
atau lebih ). Hal ini terjadi karena inflamasi atau iritasi mukosa kandung kemih akibat
infeksi, kandung kemih neurogenik, pembesaran prostat, trauma, atau inflamasi
uretra (Potter & Perry, 2006)
A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait, boleh
ditambahkan barisnya)
1. Benigna prostat hiperplasia
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa.
Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot
polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara
perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara
perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi
pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal
dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor
disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika
urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan
menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk
2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran
urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing
terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami
kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi
urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan
didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong
setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek
(nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan
ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih atau disuria
( Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter,
hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila
terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan
menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis
(Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
2. Pembengkakan perineal
3. Cedera medula spinalis
Kerusakan yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau menetap
akibat trauma terhadap tulang belakang. Medula spinalis dapat tidak berfungsi
untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan
perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medula spinalis
yang menetap, secara makroskopis, kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
kontusio, laserasi dan pembengkakan daerah tertentu di medula spinalis.
Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cedera, serabut-serabut saraf
mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea medulla spinalis
menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera pembuluh
darah medula spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan kerusakan
yang terjadi pada cedera medula spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-
kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang
pada gilirannya mengakibatkan kerusakan mielin dan akson. Reaksi sekunder ini,
diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi medula spinalis pada tingkat cedera,
6sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika
kerusakan medula tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali
pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat anti-inflamasi
lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari
perkembangannya,masuk kedalam kerusakan total dan menetap.
4. Rektokel
Rektokel merupakan defek pada septum rektovaginal bukan defek pada rektum.
Septum rektovaginal berfungsi melakukan stabilisasi suspensi badan perineum pada
sakrum yang dicapai melalui perlekatannya dengan ligamentum sakrouterina dan
kardinal. Stabilisasi badan perineum juga didapatkan karena adanya perlekatan
membran perineal ke arah lateral menuju ramus ischiopubikus. Jika perlekatan ini
terlepas misalnya setelah persalinan pervaginam makan badan perineal dapat
menjadi sangat mudah bergerak dan mengakibatkan rektokel serta penurunan
perineum.
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo
(2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa
reduktase, fitofarmaka.
3. Rektokel
Penatalaksanaan :
Pengobatan medis:
1. Latihan otot otot dasar panggul ( senam Kegel ) untuk menguatkan otot otot
dasar panggul
2. Stimulasi otot otot dengan alat listrik untuk memacu kontraksi otot otot dasar
panggul
3. Terapi hormon estrogen pada pasien menopause. Pada menopause kelemahan
otot dasar panggul akibat menurunnya kandungan estrogen sehingga pemberian
estrogen akan bermanfaat
Pengobatan operatif:
1. Colporrhaphy posterior
Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selam 24 jam maka Eliminasi Urine
Membaik dengan kriteria hasil:
Kriteria Hasil :
1. Sensasi berkemih meningkat
2. Desakan berkemih (urgensi)menurun
3. Distensi kandung kemih menurun
4. Berkemih tidak tuntas (hesistensi)menurun
5. Volume residu urin menurun
6. Urin menetes (dribbling) menurun
7. Nokturia menurun
8. Mengompol menurun
9. Disuria menurun
10. Anuria menurun
Intervensi :
a. Kateterisasi urine
Observasi :
1. Periksa kondisi pasien (mis, kesadaran, tanda tanda vital, daerah perineal, distensi
kandung kemih, inkontenesia urine, reflex berkemih)
Rasional : untuk mengetahui perkembangan kondisi pasien
Terapeutik :
1. Siapkan peralatan, bahan-bahan dan ruangan tindakan
Rasional : untuk mempermudah dalam pelaksanaan tindakan
2. Siapkan pasien: bebaskan pakaian bawah dan posisikan dorsal rekumben (untuk
wanita) dan supine (untuk laki-laki)
Rasional : mempermudah dalam pemasangan kateter
3. Pasang sarung tangan
Rasional : untuk mencegah terjadinya infeksi silang serta mencegah terjadinya
penularan kuman.
4. Bersihkan daerah perineal,atau preposium dengan cairan NaCl atau aquades
Rasional : untuk mebersihkan dari kotoran
5. Lakukan insersi kateter urin dengan menerapkan prinsip aseptic
Rasional : memasang selang kateter dengan prinsip steril untuk menjaga kesterilan
kateter
6. Sambungkan kateter urin dengan dengan urine bag
Rasional : untuk menapung urine
7. Isi balon dengan NaCl 0,9% sesuai anjuran pabrik
Rasional : untuk menahan kateter agar tidak lepas
8. Fiksasai selang kateter diatas simpisis atau di paha
Rasional : untuk mempertahankan posisi selang
9. Pastiakn kantung urine ditempatkan lebih rendah kandung kemih
Rasional : Agar urine tertampung di kantong urine
10. Beri label waktu pemasangan
Rasional : untuk memudahkan dalam pemantauan urin
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan kateter urine
Rasional : untuk meningkatkan keterlibatan dan kekooperatifan pasien dalam
pemasangan kateter urine
2. Anjurkan menarik nafas saat insersi selang cateter
Rasional : untuk menghindari sensasi rasa ngilu saat selang dimasukan
b. Manajemen cairan
Observasi :
1. Monitor status hidrasi ( mis, frek nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler,
kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah
Rasional : perubahan status hidrasi dapat menggambarkan berat ringannya
kekurangan cairan.
Terapeutik :
1. Catat intake output dan hitung balans cairan dalam 24 jam
Rasional : pencatatan intake dan output digunakan untuk mengetahui status cairan
pada pasien
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pembrian diuretik
Rasional : diuretik dapat meningkatkan laju urine dan dapat menghambar
reabsorpsinatrium/klorida pada tubulus ginjal
DAFTAR PUSTAKA
1. Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
2. Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
3. Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
4. Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing Diagnoses:
Definitions & classification, 2015-2017. Oxford : Wiley Blackwell.
5. Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical surgical Nursing.
Mosby: ELSIVER