PENDAHULUAN
Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian
dunia tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena
uretra pada wanita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang
melukai uretra dapat menyebabkan striktur. Orang dapat terlahir dengan striktur uretra,
meskipun hal tersebut jarang terjadi. Striktura uretra dapat disebabkan karena suatu
infeksi, trauma pada uretra, dan kelainan bawaan.1,3,4
Penanganan kuratif penyakit ini adalah dengan operasi, namun tidak jarang
beberapa teknik operasi dapat menimbulkan rekurensi penyakit yang tinggi bagi
pasien.1,2 Maka dari itu diperlukan penanganan tepat dan adekuat untuk menghindari
resiko kekambuhan penyakit striktur uretra.3 Pengobatan terhadap striktur uretra
tergantung pada lokasi striktur, panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya.
Contohnya, jika pasien datang dengan retensi urine akut, secepatnya dilakukan
sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine dari buli-buli.1
1
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis Retensi Urine ec
Striktur Uretra pada pasien yang datang berobat ke IGD RSUP Prof. DR. R. D. Kandou
Manado.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
polos yang dapat melakukan gerakan peristaltik untuk mendorong urine ke buli-
buli. Saat mencapai buli-buli, posisi ureter miring agar mencegah terjadinya
aliran balik urine dari buli-buli ke ureter saat buli-buli berkontraksi.1
Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri dari tiga otot lapis detrusor
yang saling beranyaman. Kontraksi otot ini merupakan tahap utama dalam
pengosongan urine dalam buli-buli dan kemudian mengeluarkannya melalui
uretra dalam mekanisme miksi.
4
Gambar 3. Skema anatomi penis5
Uretra dilengkapi dengan dua otot sfingter yang berguna untuk menahan
laju urine. Uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra,
dipersarafi oleh sistem simpatik, sehingga jika buli-buli penuh sfingter ini akan
terbuka. Sfingter uretra eksterna terletak pada perbatasan uretra posterior
dengan uretra anterior, dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah
sesuai keinginan seseorang.1
B. Retensi Urin
5
Penyebab kedua akibat infeksi yang menghasilkan peradangan,
kemudian terjadilah edema yang menutup lumen saluran uretra. Reaksi radang
paling sering terjadi adalah prostatitis akut, yaitu peradangan pada kelenjar
prostat dan menimbulkan pembengkakan pada kelenjar tersebut. Penyebab
lainnya adalah uretritis, infeksi herpes genitalia, vulvovaginitis, dan lain-lain.4
6
Secara neurologi retensi urine dapat terjadi karena adanya lesi pada
saraf perifer, otak, atau sumsum tulang belakang. Lesi ini bisa menyebabkan
kelemahan otot detrusor dan inkoordinasi otot detrusor dengan sfingter pada
uretra. Penyebab terakhir adalah akibat trauma atau komplikasi pasca bedah.
Trauma langsung yang paling sering adalah straddle injury, yaitu cedera
dengan kaki mengangkang, biasanya pada anak-anak yang naik sepeda dan
kakinya terpeleset dari pedalnya, sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai
sepeda. Selain itu, tidak jarang juga terjadi cedera pasca bedah akibat
kateterisasi atau instrumentasi.1,4
C. Striktur Uretra
1. Definisi
Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita karena
adanya perbedaan panjang uretra. Uretra pria dewasa berkisar antara 23-25
cm, sedangkan uretra wanita sekitar 3-5 cm.1 Karena itulah uretra pria lebih
rentan terkena trauma dibanding wanita. Beberapa faktor resiko lain yang
diketahui berperan dalam insiden penyakit ini, diantaranya adalah pernah
terpapar penyakit menular seksual, ras orang Afrika, berusia diatas 55
tahun, dan tinggal di daerah perkotaan.6
Striktur dapat terjadi pada semua bagian uretra, namun kejadian yang
paling sering pada orang dewasa adalah di bagian pars bulbosa-
7
membranasea, sementara pada pars prostatika lebih sering mengenai anak-
anak.7
3. Patofisiologi
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada uretra. Jaringan parut ini berisi kolagen
dan fibroblast, dan ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi
ke seluruh ruang pada lumen dan menyebabkan pengecilan diameter uretra,
sehingga menimbulkan hambatan aliran urine. Karena adanya hambatan,
aliran urine mencari jalan keluar di tempat lain dan akhirnya mengumpul di
8
rongga periuretra. Karena ekstravasasi urine, daerah tersebut akan rentan
terjadi infeksi akan menimbulkan abses periuretra yang kemudian bisa
membentuk fistula uretrokutan (timbul hubungan uretra dan kulit). Selain
itu resiko terbentuknya batu buli-buli juga meningkat, timbul gejala sulit
ejakulasi dan gagal ginjal.1,9
4. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda striktur biasanya mulai dengan hambatan arus kemih
dan kemudian timbul sindrom lengkap obstruksi leher kandung kemih
seperti yang digambarkan pada hipertrofi prostat.10
9
buli untuk mengeluarkan sebagian atau seluruh isi kandung kemih,
antara lain: weakness of stream (pancaran kencing melemah),
abdominal straining (mengejan), hesitancy (menunggu saat akan
kencing), intermittency (kencing terputus-putus), disuria (nyeri saat
kencing), incomplete emptying (kencing tidak tuntas), terminal dribble
(kencing menetes).
c. Miction post symptom; yaitu gejala yang muncul pasca miksi, antara
lain tidak lampias, terminal dribbling, inkontinensia paradoks 1-4
Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni
kecil dan bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti
frekuensi, urgensi, disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-
kadang dengan penis yang membengkak, infiltrat, abses dan fistel. Gejala
lebih lanjutnya adalah retensi urine. 1-4
5. Diagnosis
a. Anamnesis
10
ditahan pasien. Gejala-gejala lain yang harus ditanyakan ke pasien
adalah adanya disuria, frekuensi kencing meningkat, hematuria, dan
perasaan sangat ingin kencing yang terasa sakit. Jika curiga
penyebabnya adalah infeksi, perlu ditanyakan adanya tanda-tanda
radang seperti demam atau keluar nanah.1,7
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
11
mengevaluasi panjang striktur dan derajat luas jaringan parut,
contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih jenis tindakan
operasi yang akan dilakukan kepada pasien. Kita dapat mengetahui
jumlah residual urine dan panjang striktur secara nyata, sehingga
meningkatkan keakuratan saat operasi.
6. Penanganan
12
kesuksesan prosedur uretrotomi akan lebih baik jika dikerjakan di daerah
tersebut. Penanganan konvensional seperti uretrotomi atau dilatasi masih
tetap dilakukan, walaupun pengobatan ini rentan menimbulkan
kekambuhan. Hasil sebuah studi mengindikasikan 80% striktur yang
ditangani dengan internal uretrostomi mengalami kekambuhan dalam 5
tahun berikutnya. Pemasangan stent adalah alternatif bagi pasien yang
sering mengalami rekurensi striktur. Namun tidak menutup kemungkinan
untuk terjadi komplikasi seperti hiperplasia jaringan uretra sehingga
menimbulkan obstruksi sekunder.8,11
a. Dilatasi uretra
Ini merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam
penanganan striktur uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat
keparahan striktur masih rendah atau pasien yang kontra indikasi
dengan pembedahan. Dilatasi dilakukan dengan menggunakan balon
kateter atau busi logam dimasukan hati- hati ke dalam uretra untuk
membuka daerah yang menyempit.1
b. Uretrotomi interna
13
striktur total, sedangkan pada striktur lebih berat pemotongan
dikerjakan secara visual menggunakan kamera fiberoptik dengan pisau
sasche.1
c. Pemasangan stent
14
d. Uretroplasti
Proses graft terdiri dari dua tahap, yaitu imbibisi dan inoskulasi.
Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh darah paien dalam
48 jam pertama. Setelah itu diikuti tahap inoskulasi dimana terjadi
vaskularisasi graft oleh pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang
bisa digunakan adalah buccal mucosal graft, full thickness skin graft,
bladder epithelial graft, dan rectal mucosal graft.
Dari semua graft diatas yang paling disukai adalah buccal mucosal
graft atau jaringan mukosa bibir, karena jaringan tersebut memiliki
15
epitel tebal elastis, resisten terhadap infeksi, dan banyak terdapat
pembuluh darah lamina propria. Tempat asal dari graft ini juga cepat
sembuh dan jarang mengalami komplikasi.2
16
dicurigai mengalami infeksi saluran kemih dan jenisnya diberikan sesuai
dengan hasil tes kepekaan. Jika hasil kepekaan steril, maka dapat diberikan
antibiotik profilaksis seperti ampicillin atau cephalosporin. Algoritme
penanganan pre-operatif dan intra-operatif pasien striktur uretra dapat dilihat
pada Gambar 6.
7. Penyulit
8. Prognosis
17
sembuh jika setelah dilakukan observasi selama 1 tahun tidak menunjukkan
tanda-tanda kekambuhan.9,13
9. Kontrol berkala
18
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn RW
Umur : 41 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
RM : 00.51.30.79
B. Keluhan Utama
Tidak bisa buang air kecil dialami penderita sejak 1 hari SMRS. Awalnya
penderita mengalami nyeri saat buang air kecil sejak 2 bulan yang lalu, lama
kelamaan semakin nyeri dan sulit buang air kecil. Penderita juga mengeluh ada
rasa tidak puas setelah buang air kecil, pancaran urin yang lemah, waktu
berkemih lama. Riwayat nyeri pinggang, buang air kecil berdarah, buang air
19
kecil berpasir, riwayat trauma dan adanya demam sebelumnya disangkal.
Riwayat pemasangan keteter berulang ada.
Pasien pernah mengalami penyakit seperti ini 8 bulan yang lalu setelah
menjalani operasi usus buntu di RS Bhayangkara sekitar 1 tahun yang lalu.
Riwayat menggunakan kateter berulang ada. Lama pemasangan kateter tidak
diingat oleh pasien. Riwayat menderita penyakit diabetes, hipertensi, penyakit
jantung paru dan infeksi saluran kencing disangkal. Tidak ada riwayat penyakit
tersebut dalam keluarga pasien.
E. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Nadi : 89 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Kepala
Konjungtiva Anemis (-), Sklera Ikterik (-), Pupil bulat isokor 3 mm, Refleks
Cahaya +/+
Thoraks
- Paru
20
b. Palpasi : Stem Fremitus kiri=kanan
- Kardiovaskular
Abdomen
a. Inspeksi : Cembung
d. Perkusi : Timpani
2. Status Lokalis
Regio Costovertebralis
a. Inspeksi : Warna kulit sama dengan sekitarnya, tanda radang (-
), hematom (-), alignment tulang belakang normal, gibbus (-), massa
tumor (-).
21
b. Palpasi : Massa tumor (-), ballotemen -/-, nyeri tekan regio
costovertebral -/-, bulging -/-
c. Perkusi : Nyeri ketok costovertebral -/-
Regio Suprapubic
a. Inspeksi : Kesan datar, warna kulit sama dengan sekitar, massa
tumor (-), hematom tidak ada (-) , edema (-)
b. Palpasi : Tegang
22
F. Rencana Pemeriksaan Penunjang
1. Hasil Laboratorium
Leukosit : 15.300/uL
Hematokrit : 46 %
MCH : 26.2 pg
MCV : 81.4 fL
SGOT : 26 U/L
SGPT : 29 U/L
23
Chlorida darah : 101 mEq/L
Kesan: Tak tampak adanya batu radioopak saluran kemih. Striktur uretra
pars posterior. Uretra pars anterior tampak normal. Sistitis.
H. Resume
24
ballottement (-), bulging (-), Supra Pubik: tegang, dan Orifisium Uretra
Eksternum: darah (-), lendir (-).
I. Diagnosis
Diagnosis Penyerta: -
J. Penatalaksanaan
Sistostomi CITO
Laporan Pembedahan
6. Dilakukan tes pungsi aspirasi pada daerah insisi menembus buli, keluar urin
berwarna kuning jernih
25
8. Trokar sistostomi diinsersikan pada daerah insisi dengan arah tegak lurus
hingga menembus buli dengan guiding USG. Trocar sistostomi dipatahkan
dengan membelah ke arah berlawanan. Kanul sistostomi dimasukkan
secukupnya. Keluar urine berwarna kuning jernih. Kanul dihubungkan
dengan urine bag, keluar inisial urine sebanyak 300 cc.
Terapi medikamentosa:
- Ketorolac 30 mg /8 jam
K. Follow Up
26
9 November 2017
P: - Rawat luka
- Antibiotik
- Analgetik
- Mengurangi nyeri
- Mencegah infeksi
Hb 10.5 g/dL
10 November 2017
P: - Rawat luka
- Terapi lanjut
27
11 November 2017
A: Post sistostomy
P: - Rawat luka
- Terapi lanjut
12 November 2017
A: Post sistostomy
Obat Pulang:
- SF 1x1
28
BAB IV
PEMBAHASAN
Secara garis besar penyebab retensi dapat dapat diklasifikasi menjadi 5 jenis
yaitu akibat obstruksi, infeksi, farmakologi, neurologi, dan faktor trauma. Pada kasus
ini, retensi urine terjadi akibat adanya obstruksi pada saluran kemih, yang disebut
striktur uretra. Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan
parut dan kontraksi.1 Striktur Uretra pada pasien ini diduga terjadi akibat trauma akibat
pemasangan kateter. Karena pada anamnesis didapatkan riwayat pemasangan keteter 8
bulan yang lalu selama 20 hari kemudian pada saat kateter dilepas, terdapat darah pada
selang kateter serta darah keluar dari penis. Sejak 6 bulan yang lalu, saat pasien berobat
kembali dan direncanakan pemasangan kateter, kateter tidak bisa dipasang.
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada uretra. Jaringan parut ini berisi kolagen dan
29
fibroblast, dan ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi ke seluruh
ruang pada lumen dan menyebabkan pengecilan diameter uretra, sehingga
menimbulkan hambatan aliran urine.1
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis. Tekanan darah 149/61 mmHg, Nadi 92x/menit, Respirasi 20x/menit, Suhu
37,80C. Konjungtiva tampak anemis, regio thoraks, abdomen, dan ekstremitas tidak
ada kelainan. Pada status urologis Costo-Vertebra Angle: Nyeri ketok -/-, ballottement
(-), bulging (-), Supra Pubik: Full blast (+), dan Orifisium Uretra Eksternum: darah (-
), lendir (-).
Pemeriksaan pada supra pubik didapatkan full blast (+) yang menandakan
kandung kemih penuh. Hal ini terjadi karena urine tidak bisa dikeluarkan akibat adanya
striktur pada uretra. Pada pemeriksaan Rectal Toucher prostat tidak teraba membesar,
sehingga diagnosis BPH dapat disingkirkan.
Pada kasus ini pasien ditangani dengan dilakukan sistostomi suprapubic CITO.
Sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa jika pasien datang dengan retensi urine
akut, secepatnya lakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine dari buli-
buli. Sistostomi adalah tindakan operasi dengan membuat jalan antara buli-buli dan
dinding perut anterior.1
30
Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak
hanya sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada lokasi
striktur, panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya. Beberapa pilihan terapi untuk
Pada pasien ini diberikan terapi medikamentosa berupa IVFD NaCl 0,9%
sebagai balance cairan, antibiotik untuk mencegah infeksi dan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
Dilakukan follow up pasien mengenai luka operasi, observasi pada kateter dan
pengeluaran urine. Setelah beberapa hari observasi dan keadaan pasien sudah
membaik, pasien direncanakan untuk rawat jalan dengan kateter terpasang. Diberikan
obat pulang yaitu analgetik, antibiotik, H2 blocker, dan SF serta asam folat karena pada
pasien didapatkan anemia pada pemeriksaan darah.
31
BAB V
KESIMPULAN
a. Kesimpulan
b. Saran
32
DAFTAR PUSTAKA
469.
http://kidney.niddk.nih.gov/statistics/uda/male_urethral_stricture_disease-
chapter16.pdf.
7. Kotb A. Fouad. Post-traumatic posterior urethral stricture: clinical
URL: http://www.kua.in/stricture_urethra.pdf.
33
Seto; 2003. P. 199-202.
10. De Jong, Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: ECG; 2007. P. 868.
11. Peterson Andrew, Webster George. Management of urethral stricture disease:
developing option for surgical intervention . BJU International. 2004; 94. P.
971- 976.
34