Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Sumbatan pada sistem saluran kemih termasuk suatu kegawatdaruratan medis


karena dapat menyebabkan kematian bagi pasien. Sumbatan dapat terjadi pada saluran
kemih atas dan saluran kemih bawah. Sumbatan pada saluran kemih atas meliputi organ
ginjal dan ureter dapat memberikan manifestasi klinis berupa nyeri kolik atau anuria.
Sedangkan sumbatan saluran kemih bawah pada buli-buli dan uretra menyebabkan
retensi urine.1

Retensi urine adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai


dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui batas
maksimal. Salah satu penyebabnya adalah akibat penyempitan pada lumen uretra
karena fibrosis pada dindingnya, disebut dengan striktur uretra.1

Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian
dunia tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena
uretra pada wanita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang
melukai uretra dapat menyebabkan striktur. Orang dapat terlahir dengan striktur uretra,
meskipun hal tersebut jarang terjadi. Striktura uretra dapat disebabkan karena suatu
infeksi, trauma pada uretra, dan kelainan bawaan.1,3,4

Penanganan kuratif penyakit ini adalah dengan operasi, namun tidak jarang
beberapa teknik operasi dapat menimbulkan rekurensi penyakit yang tinggi bagi
pasien.1,2 Maka dari itu diperlukan penanganan tepat dan adekuat untuk menghindari
resiko kekambuhan penyakit striktur uretra.3 Pengobatan terhadap striktur uretra
tergantung pada lokasi striktur, panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya.
Contohnya, jika pasien datang dengan retensi urine akut, secepatnya dilakukan
sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine dari buli-buli.1

1
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis Retensi Urine ec
Striktur Uretra pada pasien yang datang berobat ke IGD RSUP Prof. DR. R. D. Kandou
Manado.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinaria

Manusia memiliki organ saluran kemih yang berguna dalam


pengeluaran urine keluar tubuh. Organ-organ tersebut mencakup dua ginjal, dua
ureter, buli-buli, dua otot sfingter, dan uretra. Secara garis besar sistem tersebut
terletak di rongga retroperitoneal dan terlindung oleh organ lain yang
mengelilinginya.

Gambar 1. Sistem Urinaria Pria

Ginjal adalah organ yang jumlahnya sepasang, merupakan saluran


kemih atas yang mempunyai fungsi utama dalam membentuk urine. Selain
mengeluarkan zat toksik dan sisa hasil metabolisme tubuh dalam bentuk urine,
ginjal juga memiliki fungsi dalam menghasilkan dan mengatur sekresi hormon,
mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D, dan mempertahankan
keseimbangan cairan tubuh. Urine dari ginjal kemudian dialirkan ke buli-buli
melalui sebuah tabung kecil bernama ureter. Pada dinding ureter terdapat otot

3
polos yang dapat melakukan gerakan peristaltik untuk mendorong urine ke buli-
buli. Saat mencapai buli-buli, posisi ureter miring agar mencegah terjadinya
aliran balik urine dari buli-buli ke ureter saat buli-buli berkontraksi.1

Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri dari tiga otot lapis detrusor
yang saling beranyaman. Kontraksi otot ini merupakan tahap utama dalam
pengosongan urine dalam buli-buli dan kemudian mengeluarkannya melalui
uretra dalam mekanisme miksi.

Uretra merupakan saluran akhir dalam pengeluaran urine keluar tubuh.


Uretra pada pria memiliki fungsi ganda yaitu sebagai saluran urine dan saluran
untuk semen dari organ reproduksi. Secara anatomis uretra pria dibagi menjadi
dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Uretra posterior terdiri atas
uretra pars prostatika, yaitu bagian uretra yang dilingkupi kelenjar prostat, dan
uretra pars membranasea, terletak lebih inferior dari pars prostatika. Sedangkan
uretra anterior adalah bagian uretra terpanjang yang dibungkus oleh korpus
spongiosum penis.

Gambar 2. (a) Uretra wanita, (b) Uretra pria

4
Gambar 3. Skema anatomi penis5

Uretra dilengkapi dengan dua otot sfingter yang berguna untuk menahan
laju urine. Uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra,
dipersarafi oleh sistem simpatik, sehingga jika buli-buli penuh sfingter ini akan
terbuka. Sfingter uretra eksterna terletak pada perbatasan uretra posterior
dengan uretra anterior, dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah
sesuai keinginan seseorang.1

B. Retensi Urin

Secara garis besar penyebab retensi dapat dapat diklasifikasi menjadi 5


jenis yaitu akibat obstruksi, infeksi, farmakologi, neurologi, dan faktor trauma.

Obstruksi pada saluran kemih bawah dapat terjadi akibat faktor


intrinsik, atau faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik berasal dari sistem saluran
kemih dan bagian yang mengelilinginya seperti pembesaran prostat jinak,
tumor buli-buli, striktur uretra, phimosis, paraphimosis, dan lainnya.
Sedangkan faktor ekstrinsik, sumbatan berasal dari sistem organ lain,
contohnya jika terdapat massa di saluran cerna yang menekan leher buli-buli,
sehingga membuat retensi urine. Dari semua penyebab, yang terbanyak adalah
akibat pembesaran prostat jinak.

5
Penyebab kedua akibat infeksi yang menghasilkan peradangan,
kemudian terjadilah edema yang menutup lumen saluran uretra. Reaksi radang
paling sering terjadi adalah prostatitis akut, yaitu peradangan pada kelenjar
prostat dan menimbulkan pembengkakan pada kelenjar tersebut. Penyebab
lainnya adalah uretritis, infeksi herpes genitalia, vulvovaginitis, dan lain-lain.4

Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik, seperti trisiklik


antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara menurunkan kontraksi
otot detrusor pada buli- buli. Obat-obat simpatomimetik, seperti dekongestan
oral, juga dapat menyebabkan retensi urine dengan meningkatkan tonus alpha-
adrenergik pada prostat dan leher buli- buli. Dalam studi terbaru obat anti
radang non steroid ternyata berperan dalam pengurangan kontraksi otot
detrusor lewat inhibisi mediator prostaglandin. Banyak obat lain yang dapat
menyebabkan retensi urine, seperti yang ditampilkan pada Tabel 1.4

Tabel 1. Obat-obat yang menyebabkan retensi urine4

6
Secara neurologi retensi urine dapat terjadi karena adanya lesi pada
saraf perifer, otak, atau sumsum tulang belakang. Lesi ini bisa menyebabkan
kelemahan otot detrusor dan inkoordinasi otot detrusor dengan sfingter pada
uretra. Penyebab terakhir adalah akibat trauma atau komplikasi pasca bedah.

Trauma langsung yang paling sering adalah straddle injury, yaitu cedera
dengan kaki mengangkang, biasanya pada anak-anak yang naik sepeda dan
kakinya terpeleset dari pedalnya, sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai
sepeda. Selain itu, tidak jarang juga terjadi cedera pasca bedah akibat
kateterisasi atau instrumentasi.1,4

C. Striktur Uretra

1. Definisi

Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan


parut dan kontraksi. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria daripada
wanita karena adanya perbedaan panjang uretra. Uretra pria dewasa
berkisar antara 23-25 cm, sedangkan uretra wanita sekitar 3-5 cm.1 Karena
itulah uretra pria lebih rentan terkena trauma dibanding wanita.

2. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita karena
adanya perbedaan panjang uretra. Uretra pria dewasa berkisar antara 23-25
cm, sedangkan uretra wanita sekitar 3-5 cm.1 Karena itulah uretra pria lebih
rentan terkena trauma dibanding wanita. Beberapa faktor resiko lain yang
diketahui berperan dalam insiden penyakit ini, diantaranya adalah pernah
terpapar penyakit menular seksual, ras orang Afrika, berusia diatas 55
tahun, dan tinggal di daerah perkotaan.6

Striktur dapat terjadi pada semua bagian uretra, namun kejadian yang
paling sering pada orang dewasa adalah di bagian pars bulbosa-

7
membranasea, sementara pada pars prostatika lebih sering mengenai anak-
anak.7

Infeksi yang paling sering menimbulkan striktur uretra adalah infeksi


oleh kuman gonokokus, yang sempat menginfeksi uretra sebelumnya.
Trauma yang dapat menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada
selangkangannya (straddle injury), fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca
bedah akibat insersi peralatan bedah selama operasi transurethral,
pemasangan kateter, dan prosedur sitoskopi.1,4 Striktur kongenital sangat
jarang terjadi. Striktur ini disebabkan karena penyambungan yang tidak
adekuat antara uretra anterior dan posterior, tanpa adanya faktor trauma
maupun peradangan.8

Gambar 4. Letak striktura uretra memberikan petunjuk penyebab terjadinya striktura


uretra.

3. Patofisiologi

Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada uretra. Jaringan parut ini berisi kolagen
dan fibroblast, dan ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi
ke seluruh ruang pada lumen dan menyebabkan pengecilan diameter uretra,
sehingga menimbulkan hambatan aliran urine. Karena adanya hambatan,
aliran urine mencari jalan keluar di tempat lain dan akhirnya mengumpul di

8
rongga periuretra. Karena ekstravasasi urine, daerah tersebut akan rentan
terjadi infeksi akan menimbulkan abses periuretra yang kemudian bisa
membentuk fistula uretrokutan (timbul hubungan uretra dan kulit). Selain
itu resiko terbentuknya batu buli-buli juga meningkat, timbul gejala sulit
ejakulasi dan gagal ginjal.1,9

Derajat penyempitan lumen uretra dibagi menjadi 3 tingkatan.


Termasuk tingkat ringan jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter
lumen, tingkat sedang jika terdapat oklusi mencapai 1⁄2 lumen uretra, dan
tingkat berat oklusi lebih dari 1⁄2 diameter lumen uretra.1,8

Gambar 5. Derajat penyempitan lumen (striktura) uretra

4. Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda striktur biasanya mulai dengan hambatan arus kemih
dan kemudian timbul sindrom lengkap obstruksi leher kandung kemih
seperti yang digambarkan pada hipertrofi prostat.10

Adanya obstruksi saluran kemih bawah akan memberikan sekumpulan


gejala yang populer diistilahkan sebagai LUTS (lower urinary tract
symptoms). Patofisiologi LUTS didasarkan atas 3 kelompok gejala, yaitu:

a. Voiding symptom; yaitu gejala yang muncul sebagai akibat kegagalan

9
buli untuk mengeluarkan sebagian atau seluruh isi kandung kemih,
antara lain: weakness of stream (pancaran kencing melemah),
abdominal straining (mengejan), hesitancy (menunggu saat akan
kencing), intermittency (kencing terputus-putus), disuria (nyeri saat
kencing), incomplete emptying (kencing tidak tuntas), terminal dribble
(kencing menetes).

b. Storage symptom; yaitu gejala yang muncul sebagai akibat gangguan


pengisian kandung kemih, bias karena iritasi atau karena perubahan
kapasitas kandung kemih, antara lain: frekuensi, urgensi, nocturia,
incontinensia (paradoxal), nyeri suprasimfisis.

c. Miction post symptom; yaitu gejala yang muncul pasca miksi, antara
lain tidak lampias, terminal dribbling, inkontinensia paradoks 1-4

Gejala dari striktur uretra yang khas adalah pancaran buang air seni
kecil dan bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti
frekuensi, urgensi, disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-
kadang dengan penis yang membengkak, infiltrat, abses dan fistel. Gejala
lebih lanjutnya adalah retensi urine. 1-4

5. Diagnosis

a. Anamnesis

Diagnosis striktur uretra dapat ditegakkan dengan cara


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala
penyakit ini mirip seperti gejala penyebab retensi urine tipe obstruktif
lainnya. Diawali dengan sulit kencing atau pasien harus mengejan untuk
memulai kencing namun urine hanya keluar sedikit-sedikit. Gejala
tersebut harus dibedakan dengan inkontinensia overflow, yaitu
keluarnya urine secara menetes, tanpa disadari, atau tidak mampu

10
ditahan pasien. Gejala-gejala lain yang harus ditanyakan ke pasien
adalah adanya disuria, frekuensi kencing meningkat, hematuria, dan
perasaan sangat ingin kencing yang terasa sakit. Jika curiga
penyebabnya adalah infeksi, perlu ditanyakan adanya tanda-tanda
radang seperti demam atau keluar nanah.1,7

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan lewat inspeksi dan palpasi. Pada


inspeksi kita perhatikan meatus uretra eksterna, adanya pembengkakan
atau fistel di sekitar penis, skrotum, perineum, dan suprapubik.
Kemudian kita palpasi apakah teraba jaringan parut sepanjang uretra
anterior pada ventral penis, jika ada fistel kita pijat muaranya untuk
mengeluarkan nanah di dalamnya. Pemeriksaan colok dubur berguna
untuk menyingkir diagnosis lain seperti pembesaran prostat.1

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan


menyingkirkan diagnosis banding. Uroflowmetri adalah alat untuk
mengetahui pancaran urine secara obyektif. Derasnya pancaran diukur
dengan membagi volume urine saat kencing dibagi dengan lama proses
kencing. Kecepatan pancaran normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan
pancaran kurang dari 10 ml/detik menandakan adanya obstruksi.

Pemeriksaan foto Retrograde Uretrogram dikombinasikan


dengan Voiding Cystouretrogram tetap dijadikan standar pemeriksaan
untuk menegakan diagnosis. Radiografi ini dapat menentukan panjang
dan lokasi dari striktur.

Penggunaan ultrasonografi (USG) cukup berguna dalam


mengevaluasi striktur pada pars bulbosa. Dengan alat ini kita juga bisa

11
mengevaluasi panjang striktur dan derajat luas jaringan parut,
contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih jenis tindakan
operasi yang akan dilakukan kepada pasien. Kita dapat mengetahui
jumlah residual urine dan panjang striktur secara nyata, sehingga
meningkatkan keakuratan saat operasi.

Pemeriksaan yang lebih maju adalah dengan memakai


uretroskopi dan sistoskopi, yaitu penggunaan kamera fiberoptik masuk
ke dalam uretra sampai ke buli-buli. Dengan alat ini kita dapat melihat
penyebab, letak, dan karakter striktur secara langsung.1,4,11

Pencitraan menggunakan magneting resonance imaging bagus


dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur secara pasti panjang
striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat. Namun alat ini belum
tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal sehingga jarang
digunakan. Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis atau cek darah
lengkap rutin dikerjakan untuk melihat perkembangan pasien dan
menyingkirkan diagnosis lain.7,11

6. Penanganan

Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen,


tidak hanya sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra
tergantung pada lokasi striktur, panjang/pendek striktur, dan
kedaruratannya. Contohnya, jika pasien datang dengan retensi urine akut,
secepatnya lakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine dari
buli-buli. Sistostomi adalah tindakan operasi dengan membuat jalan antara
buli-buli dan dinding perut anterior. Jika dijumpai abses periuretra, kita
lakukan insisi untuk mengeluarkan nanah dan berikan antibiotika.1

Jika lokasi striktur di uretra pars bulbosa dimana terdapat korpus


spongiosum yang lebih tebal daripada di uretra pars pedularis, maka angka

12
kesuksesan prosedur uretrotomi akan lebih baik jika dikerjakan di daerah
tersebut. Penanganan konvensional seperti uretrotomi atau dilatasi masih
tetap dilakukan, walaupun pengobatan ini rentan menimbulkan
kekambuhan. Hasil sebuah studi mengindikasikan 80% striktur yang
ditangani dengan internal uretrostomi mengalami kekambuhan dalam 5
tahun berikutnya. Pemasangan stent adalah alternatif bagi pasien yang
sering mengalami rekurensi striktur. Namun tidak menutup kemungkinan
untuk terjadi komplikasi seperti hiperplasia jaringan uretra sehingga
menimbulkan obstruksi sekunder.8,11

Beberapa pilihan terapi untuk striktur uretra adalah sebagai berikut:

a. Dilatasi uretra

Ini merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam
penanganan striktur uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat
keparahan striktur masih rendah atau pasien yang kontra indikasi
dengan pembedahan. Dilatasi dilakukan dengan menggunakan balon
kateter atau busi logam dimasukan hati- hati ke dalam uretra untuk
membuka daerah yang menyempit.1

Pendarahan selama proses dilatasi harus dihindari karena itu


mengindikasikan terjadinya luka pada striktur yang akhirnya
menimbulkan striktur baru yang lebih berat. Hal inilah yang membuat
angka kesuksesan terapi menjadi rendah dan sering terjadi
kekambuhan.8

b. Uretrotomi interna


Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan


tindakan insisi pada jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi
menggunakan pisau otis atau sasche. Otis dikerjakan jika belum terjadi

13
striktur total, sedangkan pada striktur lebih berat pemotongan
dikerjakan secara visual menggunakan kamera fiberoptik dengan pisau
sasche.1

Tujuan uretrotomi interna adalah membuat jaringan epitel uretra


yang tumbuh kembali di tempat yang sbelumnya terdapat jaringan
parut. Jika tejadi proses epitelisasi sebelum kontraksi luka
menyempitkan lumen, uretrotomi interna dikatakan berhasil. Namun
jika kontraksi luka lebih dulu terjadi dari epitelisasi jaringan, maka
striktur akan muncul kembali. Angka kesuksesan jangka pendek terapi
ini cukup tinggi, namun dalam 5 tahun angka kekambuhannya mencapai
80%.8

Selain timbulnya striktur baru, komplikasi uretrotomi interna adalah


pendarahan yang berkaitan dengan ereksi, sesaat setelah prosedur

dikerjakan, sepsis, inkontinensia urine, dan disfungsi ereksi.6 


c. Pemasangan stent

Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah


striktur. Stent biasanya dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna.
Ada dua jenis stent yang tersedia, stent sementara dan permanen. Stent
permanen cocok untuk striktur uretra pars bulbosa dengan minimal
spongiofibrosis. Biasanya digunakan oleh orang tua, yang tidak fit
menjalani prosedur operasi. Namun stent permanen juga memiliki
kontra indikasi terhadap pasien yang sebelumnya menjalani uretroplasti
substitusi dan pasien straddle injury dengan spongiosis yang dalam.
Angka rekurensi striktur bervariasi dari 40%-80% dalam satu tahun.
Komplikasi sering terjadi adalah rasa tidak nyaman di daerah perineum,
diikuti nyeri saat ereksi dan kekambuhan striktur.8

14
d. Uretroplasti


Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra,


namun masih jarang dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang
menguasai teknik bedah ini. Sebuah studi memperlihatkan bahwa
uretroplasti dipertimbangkan sebagai teknik bedah dengan tingkat
invasif minimal dan lebih efisien daripada uretrotomi.2

Uretroplasti adalah rekonstruksi uretra terbuka berupa pemotongan


jaringan fibrosis. Ada dua jenis uretroplasti yaitu uretroplasti
anastomosis dan substitusi. Uretroplasti anastomosis dilakukan dengan
eksisi bagian striktur kemudian uretra diperbaiki dengan mencangkok
jaringan atau flap dari jaringan sekitar. Teknik ini sangat tepat untuk
striktur uretra pars bulbosa dengan panjang striktur 1-2 cm. Uretroplasti
substitusi adalah mencangkok jaringan striktur yang dibedah dengan
jaringan mukosa bibir, mukosa kelamin, atau preputium. Ini dilakukan
dengan graft, yaitu pemindahan organ atau jaringan ke bagian tubuh
lain, dimana sangat bergantung dari suplai darah pasien untuk dapat
bertahan. 2

Proses graft terdiri dari dua tahap, yaitu imbibisi dan inoskulasi.
Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh darah paien dalam
48 jam pertama. Setelah itu diikuti tahap inoskulasi dimana terjadi
vaskularisasi graft oleh pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang
bisa digunakan adalah buccal mucosal graft, full thickness skin graft,
bladder epithelial graft, dan rectal mucosal graft.

Dari semua graft diatas yang paling disukai adalah buccal mucosal
graft atau jaringan mukosa bibir, karena jaringan tersebut memiliki

15
epitel tebal elastis, resisten terhadap infeksi, dan banyak terdapat
pembuluh darah lamina propria. Tempat asal dari graft ini juga cepat
sembuh dan jarang mengalami komplikasi.2

Angka kesuksesan sangat tinggi mencapai 87%. Namun infeksi


saluran kemih, fistula uretrokutan, dan chordee bisa terjadi sebagai
komplikasi pasca operasi.8

e. Prosedur rekonstruksi multiple


Adalah suatu tindakan bedah dengan membuat saluran uretra di


perineum. Indikasi prosedur ini adalah ketidakmampuan mencapai
panjang uretra, bisa karena fibrosis hasil operasi sebelumnya atau teknik
substitusi tidak bisa dikerjakan. Ketika terjadi infeksi dan proses radang
aktif sehingga teknik graft tidak bisa dikerjakan, prosedur ini bisa
menjadi pilihan operasi. Rekonstruksi multiple memang memerlukan
anestesi yang lebih banyak dan menambah lama rawat inap pasien,
namun berguna bila pasien kontra indikasi terhadap teknik lain.8

Karena rentannya kekambuhan dan komplikasi pasca operasi, ada


beberapa hal yang harus diperhatikan para ahli medis agar operasi berjalan baik.
Pertama saat pre-operasi kita perkirakan panjang striktur dan derajat fibrosis
yang terjadi. Gunakan pemeriksaan radiologi seperti yang disebutkan di atas.
Analisis urine dan kultur harus dikerjakan sebelum operasi, karena urine harus
steril saat kita melakukan intervensi, untuk mencegah infeksi. Riwayat seksual
pasien juga harus ditanyakan. Saat operasi, menjaga sfingter dan inervasinya
dengan cara memotong jaringan konektif antara sfingter dan uretra berguna
dalam mencegah kontinesia dan gangguan ereksi pasca operasi. Eksisi seluruh
jaringan parut, mencegah mobilisasi uretra yang berlebih, dan drainase urine
sebelum operasi adalah hal-hal penting yang harus diperhatikan untuk
meningkatkan angka kesuksesan terapi.5 Antibiotik diberikan pada pasien yang

16
dicurigai mengalami infeksi saluran kemih dan jenisnya diberikan sesuai
dengan hasil tes kepekaan. Jika hasil kepekaan steril, maka dapat diberikan
antibiotik profilaksis seperti ampicillin atau cephalosporin. Algoritme
penanganan pre-operatif dan intra-operatif pasien striktur uretra dapat dilihat
pada Gambar 6.

Gambar 6. Algoritme penanganan pre-operatif dan intra-operatif.6

7. Penyulit

Obstruksi uretra yang lama menimbulkan stasis urine dan menimbulkan


berbagai penyulit, di antaranya adalah: infeksi saluran kemih, terbentuknya
divertikel uretra/buli-buli, abses periuretra, batu uretra, fistel uretro-kutan,
dan karsinoma uretra.9,12

8. Prognosis

Striktura uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering


menjalani pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan

17
sembuh jika setelah dilakukan observasi selama 1 tahun tidak menunjukkan
tanda-tanda kekambuhan.9,13

9. Kontrol berkala

Setiap kontrol dilakukan pemeriksaan pancaran urine yang langsung


dilihat oleh dokter, atau dengan rekaman uroflometri. Untuk mencegah
timbulnya kekambuhan, sering kali pasien harus menjalani beberapa
tindakan, antara lain: (1) dilatasi berkala dengan busi dan (2) kateterisasi
bersih mandiri berkala (KBMB) atau CIC (clean intermitten
catheterization) yaitu pasien dianjurkan untuk melakukan kateterisasi
secara periodik pada waktu tertentu dengan kateter yang bersih (tidak perlu
steril) guna mencegah timbulnya kekambuhan striktura.9

18
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Tn RW

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 41 tahun

Tanggal Lahir : 2 Maret 1977

Agama : Islam

Alamat : Paku Selatan Bolangitan Barat

Pekerjaan : Petani

MRS : 20 Juni 2018

RM : 00.51.30.79

B. Keluhan Utama

Tidak bisa buang air kecil

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Tidak bisa buang air kecil dialami penderita sejak 1 hari SMRS. Awalnya
penderita mengalami nyeri saat buang air kecil sejak 2 bulan yang lalu, lama
kelamaan semakin nyeri dan sulit buang air kecil. Penderita juga mengeluh ada
rasa tidak puas setelah buang air kecil, pancaran urin yang lemah, waktu
berkemih lama. Riwayat nyeri pinggang, buang air kecil berdarah, buang air

19
kecil berpasir, riwayat trauma dan adanya demam sebelumnya disangkal.
Riwayat pemasangan keteter berulang ada.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami penyakit seperti ini 8 bulan yang lalu setelah
menjalani operasi usus buntu di RS Bhayangkara sekitar 1 tahun yang lalu.
Riwayat menggunakan kateter berulang ada. Lama pemasangan kateter tidak
diingat oleh pasien. Riwayat menderita penyakit diabetes, hipertensi, penyakit
jantung paru dan infeksi saluran kencing disangkal. Tidak ada riwayat penyakit
tersebut dalam keluarga pasien.

E. Pemeriksaan Fisik

1. Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 102/71 mmHg

Nadi : 89 x/menit

Respirasi : 18 x/menit

Suhu Aksila : 36.30 C

Kepala

Konjungtiva Anemis (-), Sklera Ikterik (-), Pupil bulat isokor 3 mm, Refleks
Cahaya +/+

Thoraks

- Paru

a. Inspeksi : Simetris kiri=kanan

20
b. Palpasi : Stem Fremitus kiri=kanan

c. Perkusi : Sonor kiri=kanan

d. Auskultasi : Suara pernapasan kiri=kanan, wheezing -/-, ronkhi -/-

- Kardiovaskular

a. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

b. Palpasi : Iktus kordis teraba pada sela iga 5 pada garis


midklavikula sinistra

c. Perkusi : Batas jantung kiri: 1 jari medial linea midklavikularis


kiri, ICS 5. Batas jantung kanan : linea parasternalis kanan, ICS 4

d. Auskultasi : S1-S2 normal reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

a. Inspeksi : Cembung

b. Auskultasi : Bising usus (+) normal

c. Palpasi : Lemas, massa (-), hepar dan limpa tidak teraba

d. Perkusi : Timpani

Ekstremitas Atas dan Bawah

Akral hangat, capillary refill time <2 detik

2. Status Lokalis

Regio Costovertebralis
a. Inspeksi : Warna kulit sama dengan sekitarnya, tanda radang (-
), hematom (-), alignment tulang belakang normal, gibbus (-), massa
tumor (-).

21
b. Palpasi : Massa tumor (-), ballotemen -/-, nyeri tekan regio
costovertebral -/-, bulging -/-
c. Perkusi : Nyeri ketok costovertebral -/-

Regio Suprapubic
a. Inspeksi : Kesan datar, warna kulit sama dengan sekitar, massa
tumor (-), hematom tidak ada (-) , edema (-)
b. Palpasi : Tegang

Regio Genitalia Eksterna


Penis
a. Inspeksi : Warna lebih gelap dari sekitarnya, tampak penis
tersirkumsisi, Ostium Urethra Eksterna di ujung penis, massa tumor (-
), hematom (-), darah (-).
b. Palpasi : massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Scrotum
a. Inspeksi : Warna lebih gelap dari sekitarnya, hematom (-), udem
(-), massa tumor (-).
b. Palpasi : Tampak dua buah testis, kesan normal, massa tumor (-
), nyeri tekan (-).
Perianal
a. Inspeksi : Warna sama dengan sekitar, massa tumor (-),
hematom (-), edema (-)
b. Palpasi : massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Rectal Toucher
Sphincter ani cekat, mukosa licin, ampulla kosong. Prostat teraba menonjol
ke arah rektum, ukuran ± 1 cm, konsistensi lunak, permukaan rata, simetris,
sulcus medianus masih dapat teraba, nyeri tekan (-), massa tumor (-).
Handscoen : feses (-), lendir (-), darah (-)

22
F. Rencana Pemeriksaan Penunjang

1. Darah Lengkap, SGOT, SGPT, Ureum, Creatinin, Gula Darah Sewaktu,


Chlorida darah, Kalium darah, Natrium darah, PT, APPT.

2. Blass Nier Overzicht (BNO)

G. Hasil Pemeriksaan Penunjang

1. Hasil Laboratorium

Leukosit : 15.300/uL

Eritrosit : 5.65 10^6 /uL

Hemoglobin : 14.8 g/dL

Hematokrit : 46 %

Trombosit : 312 10^3 /uL

MCH : 26.2 pg

MCHC : 32.2 g/dL

MCV : 81.4 fL

SGOT : 26 U/L

SGPT : 29 U/L

Ureum darah : 15 mg/dL

Creatinine darah : 0.8 mg/dL

Gula darah sewaktu : 107 mg/dL

23
Chlorida darah : 101 mEq/L

Kalium darah : 4.2 mEq/L

Natrium darah : 133 mEq/L

PT/APTT : 11.8/27.2 detik

2. Hasil Pemeriksaan BNO

Kesan: Tak tampak adanya batu radioopak saluran kemih. Striktur uretra
pars posterior. Uretra pars anterior tampak normal. Sistitis.

H. Resume

Pasien laki-laki, 41 tahun, datang ke RSUP Prof DR R.D. Kandou


Manado melalui poliklinik bedah, dengan keluhan tidak bisa buang air kecil.
Tidak bisa buang air kecil dialami penderita sejak 1 hari SMRS. Awalnya
penderita mengalami nyeri saat buang air kecil sejak 2 bulan yang lalu, lama
kelamaan semakin nyeri dan sulit buang air kecil. Penderita juga mengeluh ada
rasa tidak puas setelah buang air kecil, pancaran urin yang lemah, waktu
berkemih lama. Riwayat nyeri pinggang, buang air kecil berdarah, buang air
kecil berpasir, riwayat trauma dan adanya demam sebelumnya disangkal.
Riwayat pemasangan keteter berulang ada. Pasien pernah mengalami penyakit
seperti ini 8 bulan yang lalu setelah menjalani operasi usus buntu di RS
Bhayangkara sekitar 1 tahun yang lalu. Riwayat menggunakan kateter berulang
ada. Lama pemasangan kateter tidak diingat oleh pasien. Riwayat diabetes (-),
hipertensi (-), penyakit jantung paru (-) dan infeksi saluran kencing (-).

Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran


compos mentis. Tekanan darah 102/71 mmHg, Nadi 89x/menit, Respirasi
18x/menit, Suhu 36.30C. Regio kepala, thoraks, abdomen, dan ekstremitas tidak
ada kelainan. Pada status urologis Costo-Vertebra Angle: Nyeri ketok -/-,

24
ballottement (-), bulging (-), Supra Pubik: tegang, dan Orifisium Uretra
Eksternum: darah (-), lendir (-).

I. Diagnosis

Retensi Urine et causa Striktur Uretra

Diagnosis Banding: Prostat Hiperplasia

Diagnosis Penyerta: -

J. Penatalaksanaan

Sistostomi CITO

Laporan Pembedahan

1. Pasien dalam posisi supinasi

2. Aseptik dan antiseptic lapangan operasi

3. Lapangan operasi dipersempit dengan kain steril

4. Dilakukan marking 2 jari di atas simfisis pubis dengan guiding USG

5. Dilakukan anestesi local menggunakan lidokain 2% pada daerah yang akan


diinsisi

6. Dilakukan tes pungsi aspirasi pada daerah insisi menembus buli, keluar urin
berwarna kuning jernih

7. Insisi secara transversal sepanjang 1 cm dilakukan secara tajam untuk


memisahkan kutis dan subkutis

25
8. Trokar sistostomi diinsersikan pada daerah insisi dengan arah tegak lurus
hingga menembus buli dengan guiding USG. Trocar sistostomi dipatahkan
dengan membelah ke arah berlawanan. Kanul sistostomi dimasukkan
secukupnya. Keluar urine berwarna kuning jernih. Kanul dihubungkan
dengan urine bag, keluar inisial urine sebanyak 300 cc.

9. Fiksasi kanul sistofix ke kulit menggunakan hipafix

10. Dilakukan dressing pada luka sistostomi

11. Operasi selesai

Gambar 7. Post operasi sistostomi

Terapi medikamentosa:

- IVFD NaCl 0,9%

- Ceftriaxone 1 gr /12 jam

- Metronidazole 500 mg /8 jam

- Ketorolac 30 mg /8 jam

- Ranitidine 50 mg /12 jam

K. Follow Up

26
9 November 2017

S: Nyeri post sistostomi (+), berdarah (-)

O: @ Supra pubik: Luka terawat (+), terpasang selang kateter (+)

A: Post sistostomi ec Retensi urin ec striktur uretra

P: - Rawat luka

- Antibiotik

- Analgetik

- Mengurangi nyeri

- Mencegah infeksi

- Periksa laboratorium post operasi

Hasil laboratorium post operasi:

Leukosit 10050 /uL

Hb 10.5 g/dL

Trombosit 307 10^3 /uL

10 November 2017

S: Nyeri (-) darah (-)

O: @ Supra pubik: terpasang folley kateter (+), darah (-)

A: Retensi Urine post sistostomy

P: - Rawat luka

- Terapi lanjut

27
11 November 2017

S: Nyeri (-) darah (-)

O: Sistostom (+), darah (-), urine keluar

A: Post sistostomy

P: - Rawat luka

- Terapi lanjut

12 November 2017

S: Nyeri menurun, darah (-)

O: Sistostom (+), darah (-), urine keluar

A: Post sistostomy

P: Rawat jalan dengan kateter terpasang

Obat Pulang:

- Asam mefenamat 500 mg 3x1

- Cefixime 100 mg 2x1

- Ranitidine 150 mg 2x1

- SF 1x1

- Asam folat 1x1

28
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan pasien tidak bisa buang
air kecil dialami penderita sejak 1 hari SMRS. Awalnya penderita mengalami nyeri
saat buang air kecil sejak 8 bulan yang lalu, lama kelamaan semakin nyeri dan sulit
buang air kecil. Penderita juga mengeluh ada rasa tidak puas setelah buang air kecil,
pancaran urin yang lemah, waktu berkemih lama. Keluhan ini sesuai dengan teori yang
menyatakan retensi urine adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai
dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui batas
maksimal.1

Secara garis besar penyebab retensi dapat dapat diklasifikasi menjadi 5 jenis
yaitu akibat obstruksi, infeksi, farmakologi, neurologi, dan faktor trauma. Pada kasus
ini, retensi urine terjadi akibat adanya obstruksi pada saluran kemih, yang disebut
striktur uretra. Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan
parut dan kontraksi.1 Striktur Uretra pada pasien ini diduga terjadi akibat trauma akibat
pemasangan kateter. Karena pada anamnesis didapatkan riwayat pemasangan keteter 8
bulan yang lalu selama 20 hari kemudian pada saat kateter dilepas, terdapat darah pada
selang kateter serta darah keluar dari penis. Sejak 6 bulan yang lalu, saat pasien berobat
kembali dan direncanakan pemasangan kateter, kateter tidak bisa dipasang.

Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada uretra. Jaringan parut ini berisi kolagen dan

29
fibroblast, dan ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi ke seluruh
ruang pada lumen dan menyebabkan pengecilan diameter uretra, sehingga
menimbulkan hambatan aliran urine.1

Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis. Tekanan darah 149/61 mmHg, Nadi 92x/menit, Respirasi 20x/menit, Suhu
37,80C. Konjungtiva tampak anemis, regio thoraks, abdomen, dan ekstremitas tidak
ada kelainan. Pada status urologis Costo-Vertebra Angle: Nyeri ketok -/-, ballottement
(-), bulging (-), Supra Pubik: Full blast (+), dan Orifisium Uretra Eksternum: darah (-
), lendir (-).

Pemeriksaan pada supra pubik didapatkan full blast (+) yang menandakan
kandung kemih penuh. Hal ini terjadi karena urine tidak bisa dikeluarkan akibat adanya
striktur pada uretra. Pada pemeriksaan Rectal Toucher prostat tidak teraba membesar,
sehingga diagnosis BPH dapat disingkirkan.

Untuk mendiagnosis Striktur Uretra, ada beberapa pemeriksaan penunjang


yang dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis namun belum dilakukan pada
kasus ini. Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah uroflowmetri, untuk mengetahui
pancaran urine secara obyektif, Retrograde Uretrografi, untuk menentukan panjang dan
lokasi striktur, USG, untuk mengevaluasi striktur pada pars bulosa, serta uretroskopi
dan sistoskopi, yaitu penggunaan kamera fiberoptik masuk ke dalam uretra sampai ke
buli-buli. Dengan alat ini kita dapat melihat penyebab, letak, dan karakter striktur
secara langsung.1,3,7

Pada kasus ini pasien ditangani dengan dilakukan sistostomi suprapubic CITO.
Sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa jika pasien datang dengan retensi urine
akut, secepatnya lakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine dari buli-
buli. Sistostomi adalah tindakan operasi dengan membuat jalan antara buli-buli dan
dinding perut anterior.1

30
Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak
hanya sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada lokasi
striktur, panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya. Beberapa pilihan terapi untuk

striktur uretra ialah dilatasi uretra, Uretrotomi interna,Pemasangan stent, Uretroplasti

Prosedur rekonstruksi multiple.1,4,6

Pada pasien ini diberikan terapi medikamentosa berupa IVFD NaCl 0,9%
sebagai balance cairan, antibiotik untuk mencegah infeksi dan analgetik untuk
mengurangi nyeri.

Dilakukan follow up pasien mengenai luka operasi, observasi pada kateter dan
pengeluaran urine. Setelah beberapa hari observasi dan keadaan pasien sudah
membaik, pasien direncanakan untuk rawat jalan dengan kateter terpasang. Diberikan
obat pulang yaitu analgetik, antibiotik, H2 blocker, dan SF serta asam folat karena pada
pasien didapatkan anemia pada pemeriksaan darah.

31
BAB V

KESIMPULAN

a. Kesimpulan

Telah dilaporkan suatu laporan kasus Retensi Urine ec Striktur Uretra.


Retensi urine adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai
dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui batas
maksimal. Salah satu penyebabnya adalah akibat penyempitan pada lumen
uretra karena fibrosis pada dindingnya, disebut dengan striktur uretra. Pada
kasus di atas diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Penanganan yang diberikan adalah Sistostomi.
Prognosis pada kasus ini dubia et bonam.

b. Saran

1. Kepada penderita disarankan untuk rutin kontrol ke dokter terkait masalah


pada sistem kemih untuk mengevaluasi kekambuhan striktur uretra.
2. Kepada penderita juga disarankan untuk periksa ke dokter penyakit dalam
terkait masalah penyakit penyerta yang dialami pasien, yaitu Accute Kidney
Injury dd Chronic Kidney Disease.
3. Disarankan dilakukan pemeriksaan penunjang berupa uroflowmetri,
Retrograde Uretrografi, USG, serta uretroskopi dan sistoskopi untuk
mengkonfirmasi diagnosis dengqn melihat penyebab, letak, dan karakter
striktur secara langsung.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo B. Basuki. Dasar-dasar urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung


Seto; 2011.
2. Barbagli Guido, Lazerri Masimo. Surgical treatment of anterior urethral
stricture disease: brief overview. International Braz J Urol. 2007; 33. P. 461-

469. 


3. Widya AA, Oka G, Kawiyana KS, Maliawan S. Diagnosis dan penanganan


striktur uretra. E-Jurnal Medika Udayana. 2013.
4. Selius Brian, Subedi Rajesh. Urinary retention in adults: diagnosis and initial

management. American Family Physician. 2008; 77. P. 643-650. 


5. Broghammer Joshua. Urethral strictures in males. Medscape. 2015. Diunduh


dari: https://emedicine.medscape.com/article/450903-overview#a9
6. Santucci Richard, Joyce Geoffrey, Wisse Matthew. Male Urethral Stricture

Disease. Urologic Disease in America. Diunduh dari 
 URL:

http://kidney.niddk.nih.gov/statistics/uda/male_urethral_stricture_disease-
chapter16.pdf.
7. Kotb A. Fouad. Post-traumatic posterior urethral stricture: clinical

consideration. Turkish Journal of Urology. 2010; 36. P. 182-189. 


8. Shet Vasant. Stricture uretra. Department of Urology. Bellary. Diunduh dari

URL: http://www.kua.in/stricture_urethra.pdf. 


9. Purnomo B. Basuki. Dasar-dasar urologi. Edisi kedua. Jakarta: CV Sagung

33
Seto; 2003. P. 199-202.
10. De Jong, Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: ECG; 2007. P. 868.
11. Peterson Andrew, Webster George. Management of urethral stricture disease:
developing option for surgical intervention . BJU International. 2004; 94. P.

971- 976. 


12. DeLong J, Buckley J. Patient-reported outcomes combined with objective data


to evaluate outcomes after urethral reconstruction. Urology. 2013 Feb.
81(2):432-6.
13. Milroy E, Allen A. Long-term results of urolume urethral stent for recurrent
urethral strictures. J Urol. 1996 Mar. 155(3):904-8.

34

Anda mungkin juga menyukai