Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem perkemihan atau sistem urinaria, adalah suatu sistem dimana terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh
dan menyerap zat-zat yang masih di pergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air kemih). Ruptur
uretra adalah suatu kegawatdaruratan bedah yang sering terjadi akibat kecelakaan
lalulintas atau jatuh dari ketinggian. Ruptur uretra merupakan trauma uretra yang terjadi
karena jejas yang mengakibatkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa
baik parsial ataupun total (Sjamjuhidajat, Wim De Jong, 2004).
Ruptur uretra adalah suatu kegawatdaruratan bedah yang sering terjadi oleh karena
fraktur pelvis akibat kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Sekitar 70% dari
kasus fraktur pelvis yang terjadi akibat dari kecelakaan lalu lintas/kecelakaan kendaraan
bermotor, 25% kasus akibat jatuh dari ketinggian dan 90% kasus cedera uretra akibat
trauma tumpul. Secara keseluruhan pada fraktur pelvis akan terjadi pula cedera uretra
bagian posterior (3,5%-19%) pada pria dan (0%-6%) pada uretra perempuan.
Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra posterior dengan
angka kejadian 20 per 100.000 populasi dan penyebab utama terjadinya fraktur pelvis
adalah kecelakaan bermotor (15,5%), diikuti oleh cedera pejalan kaki (13,8%), jatuh dari
ketinggian lebih dari 15 kaki (13%), kecelakaan pada penumpang mobil (10,2%) dan
kecelakaan kerja (6%). Fraktur pelvis merupakan salah satu tanda bahwa telah terjadi
cedera intra abdominal ataupun cedera urogenitalia yang kira-kira terjadi pada 15-20%
pasien. Cedera organ terbanyak pada fraktur pelvis adalah pada uretra posterior (5,8%-
14,6%), diikuti oleh cedera hati (6,1%-10,2%) dan cedera limpa (5,2%-5,8%) (Schreiter.
2006).
Trauma uretra lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita, perbedaan ini
disebabkan karena uretra wanita pendek, lebih mobilitas dan mempunyai ligamentum
pubis yang tidak kaku (Schreiter. 2006).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari ruptur uretra ?
2. Apa saja klasifikasi dari ruptur uretra ?
3. Apa saja etiologi dari ruptur uretra ?
4. Apa saja manifetasi klinis dari ruptur uretra ?
5. Bagaimana patofisiologi dari ruptur uretra ?
6. Bagaimana pathway dari ruptur uretra ?
1
7. Apa saja pemeriksaan diagnostik dari ruptur uretra ?
8. Bagaimana penatalaksanaan medis pada pasien yang mengalami ruptur uretra ?
9. Apa saja komplikasi daru ruptur uretra ?
10. Bagaimana pengkajian pada pasien yang mengalami ruptur uretra ?
11. Apa saja diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien yang mengalami ruptur
uretra ?
12. Bagaimana intervensi keperawatan pada pasien yang mengalami ruptur uretra ?
13. Bagaimana implementas keperawatan pada pasien yang mengalami ruptur uretra ?
14. Bagaimana evaluasi pada pasien yang mengalami ruptur uretra ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari ruptur uretra
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari ruptur uretra
3. Untuk mengetahui etiologi dari ruptur uretra
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari ruptur uretra
5. Untuk mengetahui patofisiologis dari ruptur uretra
6. Untuk mengetahui pathway dari ruptur uretra
7. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari ruptur uretra
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis pada pasien yang mengalami ruptur uretra
9. Untuk mengetahui komplikasi dari ruptur uretra
10. Untuk mengetahui pengkajian pada pasien yang mengalami ruptur uretra
11. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien yang mengalami
ruptur uretra
12. Untuk mengetahui intervensi keperawatan pada pasien yang mengalami ruptur uretra
13. Untuk mengetahui implementasi keperawatan pada pasien yang mengalami ruptur
uretra
14. Untuk mengetahui evaluasi pada pasien yang mengalami ruptur uretra

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah mahasiswa mampu mengetahui konsep
dasar dari penyakit ruptur uretra yang meliputi pengertian, anatomi fisiologi, klasifikasi,
etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan medis, dan komplikasinya serta dapat memahami dan mengaplikasikan
konsep dasar asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, menetapkan diagnosa,
intervensi, implementasi dan mengevaluasi pasien yang mengalami ruptur uretra.

2
BAB II
PEMBAHASAN

I. KONSEP DASAR PENYAKIT


A. Anatomi Fisiologi Uretra
Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika urinaria
sampai keluar tubuh, yang berfungsi untuk menyalurkan urin dari vesika urinaria
hingga meatus bermuara ke meatus urinarius externus.Secara anatomis, urethra pada
pria terbagi dua menjadi pars anterior dan pars posterior, yang saling berbatasan pada
diafragma urogenital. Urethra proksimal mulai dari perbatasan dengan buli-buli,
orificium uretra internum dan uretra prostatica. Urethra postatica seluruhnya terdapat
di dalam prostat dan berlanjut menjadi urethra membranaceus. Struktur yang menjaga
adalah ligamentum puboprostatika melekatkan prostat membran pada arkus anterior
pubis.
Uretra membranaceus terdapat pada ujung anterior diafragma urogenital dan
menjadi bagian proksimal urethra anterior setelah melewati membran perineum.
3
Urethra bulbosa, agak menonjol pada proksimal anterior, berjalan di sepanjang bagian
proksimal korpus spongiosum dan berlanjut menjadi urethra pendulosa di sepanjang
uretra anterior. Ductus dari glandula Cowper bermuara di urethra bulbosa. Urethra
penil atau pendulosa berjalan di sepanjang penis dimana berakhir pada fossanavicula
dan meatus urethra eksternus.

Gambar 1: Potongan sagital organ pelvis pada pria dan perempuan


Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan
buli – buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan antara
uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang
dipersarafi oleh sistem simpatis
sehingga pada saat buli – buli
penuh, sfingter ini terbuka.
Sfingter uretra eksterna terdiri
atas otot bergaris
dipersarafi oleh sistem somatik
yang dapat diperintah sesuai
dengan keinginan
seseorang.
Pada saat kencing sfingter
ini terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing. Panjang uretra pada pria
sekitar 8 inci (20 cm) sedangkan pada uretra wanita sekitar 1 1/2 inci (4cm), yang berada
di bawah simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Di dalam uretra
4
bermuara kelenjar pariuretra, diantaranya adalah kelenjar skene. Kurang lebih sepertiga
medial uretra, terdapat sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot
sfingter uretra eksterna dan tonus otot levator ani berfungsi mempertahankan agar urin
tetap berada di dalam buli – buli pada saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi jika
tekanan intravesica melebihi tekanan intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan
relaksasi sfingter uretra eksterna.
B. Definisi Ruptur Uretra
Ruptur uretra merupakan trauma uretra yang terjadi karena jejas yang
mengakibatkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial
ataupun total (Sjamjuhidajat, Wim De Jong, 2004).
Truma uretra adalah suatu cedera yang mengenai uretra sehingga
menyebabkan ruptur pada uretra (Arif Muttaqin, 2011).
Trauma uretra adalah trauma atau cedera yang mengenai uretra yang terjadi akibat
tenaga / tekanan dari luar atau akibat instrumentasi pada uretra. Trauma uretra ini
merupakan suatu kegawatdaruratan bedah urologi biasanya di sebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian.

C. Klasifikasi
1. Ruptur uretra dibagi berdasarkan anatomi :
a. Ruptur uretra anterior
Terletak di proksimal diafragma urogenital, hampir selalu disertai fraktur
tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranasea
karena prostat dengan uretra prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen
fraktur, sedangkan uretra membranasea terikat di diafragma urogenital. Ruptur
uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra
terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-
bulidan prostat terlepas ke kranial. (Purnomo, Basuki. 2012)
b. Ruptur uretra posterior
Terletak di distal dari diafragma urogenital. Terbagi atas 3 segmen, yaitu:
Bulbous urethra, Pendulous urethra, Fossa navicularis. Namun, yang paling
sering terjadi adalah rupture uretra pada pars bulbosa yang disebabkan oleh
Saddle Injury, dimana robekan uretra terjadi antara ramus inferior os pubis dan
benda yang menyebabkannya. (Purnomo, Basuki. 2012)
2. Menurut Collpinto dan McCallum tahun 1977 cedera uretra dapat diklasifikasikan
berdasarkan luas dari cederanya, menjadi:

5
a. Tipe I : Uretra teregang (stretched) akibat ruptur ligamentum puboprostatikum
dan hematom periuretra. Uretra masih intack.
b. Tipe II : Uretra pars membranacea ruptur diatas diafragma urogenital yg masih
intack. Ekstravasasi kontras ke ekstraperitoneal pelvic space.
c. Tipe III : Uretra pars membranacea ruptur. Diafragma urogenital ruptur.
Trauma uretra bulbosa proksimal. Ekstravassasi kontras ke peritoneum.

D. Etiologi
Terjadinya ruptur uretra dapat disebabkan oleh cedera eksternal yang meliputi
fraktur pelvis atau cedera tarikan ( shearing injury). Selain itu, juga dapat disebabkan
oleh cedera iatrogenik, seperti akibat pemasangan kateter, businasi, dan bedah
endoskopi.
Ruptur uretra anterior biasanya terjadi karena trauma tumpul (paling sering) atau
trauma tusuk. Dan terdapat sekitar 85% kasus rupture uretra anterior pars bulbosa
akibat trauma tumpul.
1. Fraktur pelvis
Cedera urethra posterior utamanya disebabkan oleh fraktur pelvis. Yang
menurut kejadiannya, terbagi atas 3 tipe, yaitu :
a. Cedera akibat kompresi anterior-posterior
b. Cedera akibat kompresi lateral
c. Cedera tarikan vertikal.
Pada fraktur tipe I dan II mengenai pelvis bagian anterior dan biasanya lebih
stabil bila dibandingkan dengan fraktur tipe III dengan tipe tarikan vertical. Pada
fraktur tipe III ini seringkali akibat jatuh dari ketinggian, paling berbahaya dan
bersifat tidak stabil. Fraktur pelvis tidak stabil (unstable) meliputi cedera pelvis
anterior disertai kerusakan pada tulang posterior dan ligament disekitar articulation
sacroiliaca sehingga salah satu sisi lebih ke depan dibanding sisi lainnya (Fraktur
Malgaigne). Cedera urethra posterior terjadi akibat terkena segmen fraktur atau
paling sering karena tarikan ke lateral pada uretra pars membranaceus dan
ligamentum puboprostatika.
2. Cedera tarikan ( shearing injury)
Cedera akibat tarikan yang menimbulkan rupture urethra di sepanjang pars
membranaceus (5-10%). Cedera ini terjadi ketika tarikan yang mendadak akibat
migrasi ke superior dari buli-buli dan prostat yang menimbulkan tarikan di
sepanjang urethra posterior. Cedera ini juga terjadi pada fraktur pubis bilateral
(straddle fraktur) akibat tarikan terhadap prostat dari segmen fraktur berbentuk
kupu-kupu sehingga menimbulkan tarikan pada urethra pars membranaceus.
3. Cedera uretra karena pemasangan kateter

6
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena edema
atau bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat mengakibatkan demam.
Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat lebih meluas. Pada ekstravasasi
ini, mudah timbul infiltrate urin yang mengakibatkan sellulitis dan septisemia bila
terjadi infeksi.

E. Manifestasi Klinis
Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan peruretram,
yaitu terdapat darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah mengalami
trauma.Perdarahan peruretram ini harus dibedakan dengan hematuria yaitu urine yang
bercampur dengan darah.Pada trauma uretra yang berat, pasien seringkali mengalami
retensio urin (Sjamjuhidajat, Wim De Jong. 2004).
Ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis, pada daerah suprapubik
dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas hematom dan nyeri tekan.Bila disertai
ruptur kandung kemih, bisa ditemukan tanda rangsangan peritoneum (Purnomo,
Basuki. 2012).
Ruptur uretra anterior terdapat daerah memar atau hematom pada penis dan
skrotum. Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera
uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil
sejak terjadi trauma dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik.Pada
perabaan mungkin ditemukan kandung kemih yang penuh (Smith. 2009).
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena udem atau
bekuan darah.Abses periuretral atau sepsis mengakibatkan demam.Ekstravasasi urin
dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fasia yang turut rusak.Pada
ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat yang disebut infiltrat urin yang mengakibatkan
selulitis dan septisemia bila terjadi infeksi (Smith. 2009).

F. Patofisiologi
Ruptur uretra sering terjadi bila seorang penderita patah tulang panggul karena
jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Ruptur uretra dibagi menjadi 2 yaitu ; rupture uretra
posterior dan anterior.
Ruptur uretran posterior hampir selalu disertai fraktur pelvis. Akibat fraktur tulang
pelvis terjadi robekan pars membranaseae karena prostat dan uretra prostatika tertarik
ke cranial bersama fragmen fraktur. Sedangkan uretra membranaseae terikat di
diafragma urogenital. Ruptur uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada
rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek,
sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial.
7
Rupture uretra anterior atau cedera uretra bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau

terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras seperti batu, kayu atau
palang sepeda dengan tulang simpisis. Cedera uretra anterior selain oleh cedera
kangkang juga dapat di sebabkan oleh instrumentasi urologic seperti pemasangan
kateter, businasi dan bedah endoskopi. Akibatnya dapat terjadi kontusio dan laserasi
uretra karena straddle injury yang berat dan menyebabkan robeknya uretra dan terjadi
ekstravasasi urine yang biasa meluas ke skrotum, sepanjang penis dan ke dinding
abdomen yang bila tidak ditangani dengan baik terjadi infeksi atau sepsis.

G. Pathway

H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan curiga trauma
uretra adalah: USG, akan tetapi tidak sesuai karena kondisi yang akut dan posisi organ

8
retroperitoneal. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan hasil yang
signifikan untuk pemeriksaan dengan menggunakan IVP (Intra Venous
Pyelogram).Untuk pasien dengan kondisi stabil dapat menggunakan pemeriksaan ct-
scan (Pereira et al. 2010).
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis
cedera uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma.
Sementara CT Scan merupakan pemeriksaan yang ideal untuk saluran kemih bagian
atas dan cedera vesika urinaria dan terbatas dalam mendiagnosis cedera
uretra.Sementara MRI berguna untuk pemeriksaan pelvis setelah trauma sebelum
dilakukan rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak berperan dalam pemeriksaan cadera
uretra.Sama halnya dengan USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam pelvis dan
vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik (Rosentain. 2006).

I. Penatalaksanaan Medis
Penanganan pada pasien dengan ruptur uretra, terutama ruptur uretra posterior yang
dapat mengakibatkan pasien jatuh dalam keadaan syok karena perdarahan yang
banyak, maka penanganan awal adalah dengan resusitasi cairan untuk kondisi
hemodinamik stabil.Pada ruptur uretra anterior jarang mengakibatkan syok. Selain
resusitasi atasi nyeri yang dikeluhkan pasien dengan pemberian analgetik (Santucci.
2012).
Ruptur uretra posterior ketika tidak disertai cedera organ intraabdomen maka
cukup dilakukan sistostomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan
melakukan anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3
minggu. Apabila disertai dengan cedera organ lain, sehingga tidak memungkinkan

9
untuk dilakukan reparasi dalam waktu 2-3 hari, maka dilakukan pemasangan kateter
secara langsir (rail roading).
Tehnik kateterisasi railroading
Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan
anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silicon selama 3
minggu. Bila ruptur parsial, dilakukan sistostomi dan pemasangan kateter foley di
uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera.Kateter sistostomi
dicabut apabila ketika kateter sistostomi di klem, pasien bisa buang air kecil
(Sjamjuhidajat, Wim De Jong. 2004).

J. Komplikasi
Komplikasi dini setelah rekontruksi uretra pada ruptur uretra anterior adalah
infeksi, hematoma, abses periuretral, fistel uretrokutan, dan epididimitis. Komplikasi
lanjut yang paling sering terjadi adalah striktur uretra (Smith. 2009)
Komplikasi pada ruptur uretra posterior: Striktur, impotensi, dan inkotinensia urin
merupakan komplikasi rupture prostatomembranosa paling berat yang disebabkan
trauma pada sistem urinaria. Striktur yang mengikuti perbaikan primer dan
anastomosis terjadi sekitar 50% dari kasus.Jika dilakukan sistotomi suprapubik,
dengan pendekatan “delayed repair” maka insidens striktur dapat dikurangi sampai
sekitar 5%.Insidens impotensi setelah “primary repair”, sekitar 30-80% (rata-rata
sekitar 50%).Hal ini dapat dikurangi hingga 30-35% dengan drainase suprapubik pada
rekontruksi uretra tertunda. Jumlah pasien yang mengalami inkotinensia urin <2 %
biasanya bersamaan dengan fraktur tulang sakrum yang berat dan cedera nervus S2-4
(Tanagho. 2008)

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Airway
1. Pastikan kepatenan jalan napas dan kebersihannya segera. Partikel-partikel
benda asing seperti darah, muntahan, permen karet, gigi palsu, atau tulang.
10
Obstruksi juga dapat di sebabkan oleh lidah atau edema karena trauma
jaringan.
2. Jika pasien tidak sadar, selalu dicurigai adanya fraktur spinal serviikal dan
jangan melakukan hiperekstensi leher sampai spinal dipastikan tidak ada
kerusakan.
3. Gunakan chin lift dan jaws thrust secara manual untuk membuka jalan
napas.
b. Breathing
1. Kaji irama, kedalaman dan keteraturan pernapasan dan observasi untuk
ekspansi bilateral dada.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya krekels, wheezing atau tidak
adanya bunyi napas.
3. Jika pernapasan tidak adekuat atau tidak ada dukungan pernapasan pasien
dengan suatu alat oksigenasi yang sesuai.
c. Circulation
1. Tentukan status sirkulasi dengan mengkaji nadi, dan catat irama dan
ritmenya dan mengkaji warna kulit
2. Jika nadi karotis tidak teraba, lakukan kompresi dada tertutup.
3. Kaji tekanan darah.
4. Jika pasien hipotensi, segera pasang jalur intravena dengan jarum besar
(16-18). Mulai penggantian volume per protokol. Cairan kristaloid
seimbang (0,9 % salin normal atau ringer’s lactate ) biasanya di gunakan.
5. Kaji adanya bukti perdarahan dan kontrol perdarahan dengan penekanan
langsung.
2. Pengkajian Sekunder
a. Biodata
b. Kaji riwayat trauma
1) Riwayat penyakit dahulu
Pernah jatuh dari tempat yang tinggi dan terkena daerah perineum.
2) Riwayat penyakit sekarang :
3) Nyeri tekan, memar atau hematoma, hematuri bila terjadi rupture total
uretra anuria.
c. Pemeriksaan fisik
1) Adanya trauma di daerah perineum
2) Adanya perdarahan per uretra
3) Adanya nyeri tekan pada daerah supra pubik dan abdomen bagian bawah
4) Adanya jejas pada daerah supra pubik dan abdomen bagian bawah.
5) Adanya fraktur tulang pelvis
6) Adanya retensi urin
7) Pemeriksaan rektal tuse : Floating Prostat
d. Kaji kemungkinan adanya fraktur multipel :
1) Trauma pada tungkai akibat jatuh dari ketinggian, sering disertai dengan
trauma pada lumbal.

11
2) Trauma pada lutut saat pasien jatuh dengan posisi duduk dapat disertai
dengan trauma panggul
3) Trauma pada lengan sering menyebabkan trauma pada siku, sehingga
lengan dan siku harus dievaluasi dengan bersamaan
4) Trauma pada lutut dan proksimal fibula sering menyebabkan trauma pada
tungkai bawah maka lutut dan tungkai bawah harus dilakukan evaluasi
bersamaan.
5) Trauma apapun yang mengenai bahu harus diperhatikan secara seksama
karena dapat melibatkan leher, dada atau bahu.
e. Kaji adanya nyeri pada area fraktur dan dislokasi
f. Kaji adanya krepitasi pada area fraktur
g. Kaji adanya sindrom kompartemen. Fraktur terbuka atau tertutup, atau
kompresi, dapat menyebabkan pendarahan atau hematoma pada daerah yang
tertutup sehingga menyebabkan penekanan padaa syaraf, pembuluh darah dan
kegagalan sirkulasi.
h. Kaji TTV secara kontinue

B. Diagnosa
1. Nyeri Akut b/d agen cedera fisik
2. Resiko syok b/d hypovolemia
3. Retensi urin b/d sumbatan pada saluran perkemihan

C. Intervensi
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
No Diagnosa Keperawatan Hasil
(NIC)
(NOC)
1. Nyeri Akut Setelah dilakukan NIC
asuhan keperawatan Analgesic Administration
selama ...x….. jam □ Tentukan lokasi, karakteristik,
Batasan Karakteristik diharapkan nyeri kualitas, dan derajat nyeri
□ Bukti nyeri dengan berkurang dengan sebelum pemberian obat
menggunakan standar kriteria hasil : □ Cek riwayat alergi terhadap
daftar periksa nyeri NOC: obat
untuk pasien yang Pain Level □ Pilih analgesik yang tepat atau
tidak dapat □ Melaporkan gejala kombinasi dari analgesik lebih
mengungkapkannya nyeri berkurang dari satu jika diperlukan
□ Melaporkan lama
(mis., Neonatal Infant □ Tentukan analgesik yang
nyeri berkurang
Pain Scale, Pain diberikan (narkotik, non-
□ Tidak tampak

12
Assesment Checklist ekspresi wajah narkotik, atau NSAID)
for Senior with kesakitan berdasarkan tipe dan keparahan
□ Tidak gelisah
Limited Ability to nyeri
□ Respirasi dalam
Communicate) □ Tentukan rute pemberian
batas normal
□ Diaphoresis
analgesik dan dosis untuk
□ Dilatasi pupil (dewasa: 16-20
□ Ekspresi wajah nyeri mendapat hasil yang maksimal
kali/menit)
(mis., mata kurang □ Pilih rute IV dibandingkan rute
bercahaya, tampak IM untuk pemberian analgesik
kacau, gerakan mata secara teratur melalui injeksi
berpencar atau tetap jika diperlukan
pada satu focus, □ Evaluasi efektivitas pemberian
meringis) analgesik setelah dilakukan
□ Focus menyempit
injeksi. Selain itu observasi efek
(mis., persepsi waktu,
samping pemberian analgesik
proses berfikir,
seperti depresi pernapasan,
interaksi dengan
mual muntah, mulut kering dan
orang dan
konstipasi.
lingkungan)
□ Monitor vital sign sebelum dan
□ Focus pada diri
sesudah pemberian analgesik
sendiri
□ Keluhan tentang pertama kali
intensitas
menggunakan standar
skala nyeri (mis.,
skala Wong-Baker
FACES, skala analog
visual, skala
penilaian numerik)
□ Keluhan tentang
karakteristik nyeri
dengan menggunakan
standar isntrumen
nyeri (mis., McGill
Pain Questionnaire,
Brief Pain Inventory)
13
□ Laporan tentang
perilaku
nyeri/perubahan
aktivitas (mis.,
anggota keluarga,
pemberi asuhan)
□ Mengekspresikan
perilaku (mis.,
gelisah, merengek,
menangis, waspada)
□ Perilaku distraksi
□ Perubahan pada
parameter fisiologis
(mis., tekanan darah,
frekuensi jantung,
frekuensi pernafasan,
saturasi oksigen, dan
endtidal karbon
dioksida (CO2))
□ Perubahan posisi
untuk menghindari
nyerii
□ Perubahan selera
makan
□ Putus asa
□ Sikap melindungi
area nyeri
□ Sikap tubuh
melindungi

Faktor yang
berhubungan :
□ Agens cedera
biologis (mis.,
infeksi, iskemia,
neoplasma)
□ Agens cedera fisik
14
(mis., abses,
amputasi, luka bakar,
terpotong,
mengangkat berat,
prosedur bedah,
trauma, olahraga
berlebihan)
□ Agens cedera
kimiawi (mis., luka
bakar, kapsaisin,
metilen klorida,
agens mustard)
2. Risiko syok Setelah diberikan asuhan NIC
keperawatan selama Shock Prevention
Faktor risiko : …..x…. jam diharapkan □ Monitor tanda-tanda vital (nadi,
□ Hipoksemia
tidak terjadi syok tekanan darah, RR)
□ Hipoksia
□ Hipotensi dengan kriteria hasil : □ Posisikan pasien untuk
□ Hipovolemia
NOC: memaksimalkan perfusi
□ Infeksi
□ Sepsis Shock Severity: □ Perbaiki jalan napas pasien jika
□ Sindrom respons
Anaphylactic diperlukan
inflamasi
□ Tidak terjadi □ Monitor tanda-tanda kegagalan
sistemik
penurunan sistolik pernapasan (PaO2 rendah,
(systemic
secara drastis PaCO2 tinggi)
inflammatory
□ Tidak terjadi □ Kolaborasi pemberian O2 atau
response
penurunan diastolik ventilasi mekais jika diperlukan
syndrome
secara drastis □ Kolaborasi pemberian cairan
(SIRS))
□ Tidak terjadi infus
peningkatan heart □ Lakukan pemeriksaan EKG
rate secara drastis pada pasien
□ Tidak ada aritmia
□ Tidak ada suara Anaphylaxis Management
napas tambahan □ Kolaborasi pemberian
(wheezing dan epinephrine yang diencerkan
stridor) 1:1000 disesuaikan dengan usia

15
□ Tidak ada dispneu pasien
□ Edema □ Monitor tnda-tanda syok seperti
berkurang/hilang kesulitan bernapas, aritmia,
□ Tidak terjadi kejang, dan hipotensi
penurunan kesadaran □ Kolaborasi pemberian
spasmolitik, anti histamin atau
Shock Severity: kortikosteroid jika ada reaksi
Cardiogenic alergi (urtikaria, angioedema,
□ MAP dalam batas atau bronkospasme)
normal (60-100)
□ Tidak terjadi Cardiac care
penurunan tekanan □ Monitor status
sistolik secara kardiovaskuler
drastis □ Monitor pernapasan untuk
□ Tidak terjadi tanda gejala dari gagal
penurunan tekanan jantung
diastolik secara □ Evaluasi kejadian nyeri
drastis dada sebelum masuk rumah
□ CRT < 3 detik sakit
□ Tidak terjadi □ Lakukan pengkajian
peningkatan heart komperhensif pada sirkulasi
rate secara drastis perifer
□ Nadi teraba kuat □ Monitor hasil laboratorium
□ Nyeri dada (mis. elektrolit)
berkurang
□ Tidak ada Bleeding reduction
peningkatan RR □ Identifikasi penyebab
secara drastis perdarahan
□ Tidak ada sianosis □ Monitor jumlah perdarahan
□ Kadar PO2 dan □ Monitor kadar hematokrit
PCO2 dalam batas □ Kolaborasi pemberian
normal transfusi darah

16
Shock Severity:
Hypopholemic
□ MAP dalam batas
normal (60-100)
□ Tidak terjadi
penurunan tekanan
sistolik secara
drastis
□ Tidak terjadi
penurunan tekanan
diastolik secara
drastis
□ Tidak terjadi
peningkatan heart
rate secara drastis
□ CRT < 3 detik
□ Nadi teraba kuat
□ Tidak ada
peningkatan RR
secara drastis
□ Tidak ada sianosis
□ Kadar PO2 dan
PCO2 dalam batas
normal
□ Hematocrit dalam
batas normal
□ Tidak terjadi
penurunan kesadaran

Shock Severity:
Neurogenic
□ Tidak terjadi
penurunan tekanan

17
sistolik secara
drastis
□ Tidak terjadi
penurunan tekanan
diastolik secara
drastis
□ Nadi teraba kuat
□ Tidak ada perubahan
RR secara drastis
□ Kadar PO2 dan
PCO2 dalam batas
normal
□ Tidak terjadi
penurunan kesadaran
□ Tidak terjadi
penurunan suhu
tubuh

Shock Severity: Septic


□ Tidak terjadi
penurunan tekanan
sistolik secara
drastis
□ Tidak terjadi
penurunan tekanan
diastolik secara
drastis
□ Nadi teraba kuat
□ Tidak ada
peningkatan RR
secara drastis
□ Tidak terjadi
penurunan kesadaran

18
□ Tidak terjadi
perubahan suhu
tubuh secara drastic
3. Retensi Urin Setelah dilakukan NIC
Fluid Management
tindakan keperawatan
 Monitor status hidrasi
Definisi : ..x.. jam diharapkan
(misalnya; membrane mukosa
Pengosongan kandung mampu
lembab, denyut nadi adekuat,
kemih tidak efektif. mempertahankan
dan tekanan darah ortostatik)
kebersihan jalan nafas  Monitor hasil laboratorium
Batasan Karakteristik dengan kriteria : yang relevan dengan retensi
□ Berkemih sedikit NOC cairan ( misalnya; peningktan
□ Distensi kandung
Urinary Elimination berat jenis, peningkatan BUN,
kemih
□ Pola Eliminasi penurunan hematokrit, dan
□ Disuria
□ Inkontinensia aliran dalam batas normal peningkatan kadar osmolalitas
( ±7 kali/hari atau
berlebih urin )
□ Urin menetes setiap 3-4 jam  Monitor tanda – tanda vital
□ Residu urin
sekali,600-1600 pasien
□ Sensasi kandung
ml/24 jam)  Monitor indikasi kelebihan
kemih
□ Bau Urine Khas cairan/retensi ( misalnya;
□ Sering berkemih
□ Tidak ada haluaran (urine yang segar crackles, elevasi CVP, atau
urin tidak berbau tekanan kapiler paru-paru yang
keras/menyengat) terganjal, edema, distensi vena
Faktor yang □ Mengosongkan
leher dan ascites)
berhubungan kandung kemih  Monitor perubahan berat badan
□ Inhibisi arkus refleks secukupnya pasien sebelum dan setelah
□ Springter kuat □ Mengenali keinginan
□ Sumbatan saluran dialysis
untuk berkemih  Kaji lokasi dan luasnya edema,
perkemihan □ Tidak nyeri saat
□ Tekanan ureter tinggi jika ada
kencing
 Berikan terapi IV, seperti yang
□ Tidak ada rasa
ditentukan
terbakar saat
 Monitor asupan gizi
berkemih  Timbang berat badan dan
□ Frekuensi berkemih
monitor status pasien
( ±7 kali/hari atau  Jaga intake/asupan yang akurat
setiap 3-4 jam dan catat output (pasien)
sekali,600-1600  Berikan diuretic yang

19
ml/24 jam) diresepkan
 Tingkatkan asupan oral
( misalnya; memberikan
sedotan, menawarkan cairan dia
antara waktu makan /
mengganti air es secara rutin
menggunakan es untuk jus
favorit anak, potongan gelatin
ke dalam jotak yang
menyenangkan, menggunakan
cangkir obat kecil ) yang sesuai.
 Berikan penggantia nasogastrik
yang diresepkan berdasarkan
output ( pasien )
 Konsultasikan dengan dokter
jika tanda-tanda dan gejala
kelebihan volume cairan
menetap atau memburuk
 Atur kesediaan produk darah
untuk transfuse, jika perlu
 Persiapkan pemberian produk –
produk darah ( misalnya; cek
darah dan mempersiapkan
pemasangan infuse )
 Berikan produk – produk darah
( misalnya ; trombosit dan
plasma yang baru )

Fluid Monitoring
 Tentukan jumlah dan jenis
intake/asupan cairan serta
kebiasaan eliminasi (misalnya,
kehilangan albumin, luka bakar,
malnutrisi,, sepsis, sindrom
nefrotik, hipertermia, terapi
diuretic, patologi ginjal, gagal
20
jantung, diaphoresis, disfungsi
hati, olahraga berat, paparan
panas, infeksi, paska operasi,
poliuria, muntah, dan diare)
 Tentukan apakah pasien
mengalami kehausan atau gejala
perubahan cairan (misalnya,
pusing, sering berubah pikiran,
melamun, ketakutan, mudah
tersinggung, mual, berkedutan)
 Periksa isi ulang kapiler
dengan memegang tangan
pasien pada tinggi yang sama
seperti jantung dan menekan
jari tengah selama lima detik,
lalu lepaskan tekanan dan
hitung waktu sampai jarinya
kembali merah (yaitu, harus
kurang dari 2 detik)
 Periksa turgor kulit dengan
memegang jaringan sekitar
tulangseperti tangan atau tulang
kering, mencubit kulit dengan
lembut, pegang dengan kedua
tangan dan lepaskan ( diman,
kulit akan turun kembali dengan
cepat jika pasien terhidrasi
dengan baik)
 Monitor berat badan
 Monitor asupan dan
pengeluaran
 Monitor nilai kadar serum dan
elektrolit urin
 Monitor kadar serum albumin
dan potein total
 Monitor kadar serum dan
21
osmolalitas urine
 Monitor tekanan darah, denyut
jantung dan status pernapasan
 Monitor tekanan darah
ortostatik dan perubahan irama
jantung, dengan tepat
 Monitor parameter
hemodinamik invasive
 Catat dengan akurat asupan dan
pengeluaran (misalny, asupan
oral, asupan pipa makan, asupan
IV, antibiotic, cairan yang
diberikan dengan obat-oatan,
tabung nasogastrik (NG),
saluran air, muntah, tabung
dubur, pengeluaran kolostomi
dan air seni)
 Cek kembali asupan dan
pengeluaran pada semua pasien
dengan terapi intravena , infuse
subkutan, makanan enteral,
tabung NGT, kateter urine,
muntah, diare, drainase luka,
drainase dada, dan kondisi
medis yang mempengaruhi
keseimbangan cairan (misalnya,
gagal jantung, gagal ginjal,
malnutrisi, luka bakar, sepsis)
 Monitor membrane mukosa,
turgor kulit dan respon haus
 Monitor warna, kuantitas dan
berat jenis urine
 Monitor tanda-tanda asietas
 Berikan cairan dengan tepat
 Pastikan bahwa semua IV dan
asupan enteral berjalan dengan

22
benar, terutama jika tidak diatur
oleh pompa infuse
 Batasi dan alokasikan asupan
cairan
 Konsultasikan ke dokter jika
pengeluaran urine kurang dari
0,5ml/kg/jam atau asupan cairan
orang dewasa kurang dari 2000
dalam 24 jam
 Berikan agen farmakologi untuk
meningkatkan pengeluaran
urine

Urinary Catheterization
 Jelaskan dan rasionalisasi
kateterisasi
 Pasang alat dengan tepat
 Berikan privasi dan tutupi
pasien dengan baik untuk
kesopanan ( yaitu hanya
mengekspos area genetalia )
 Pastikan pencahayaan yang
tepat untuk visualisasi anatomi
yang tepat
 Isi bola kateter sebelum
pemasangan kateter untuk
memeriksa ukuran dan
ketepatan kateter
 Pertahankan teknik aseptic yang
ketat
 Pertahankan kebersihan tangan
yang baik sebelum, selama dan
setelah insersi atau saat
memanipulasi kateter
 Posisikan pasien dengan tepat
( misalnya; perempuan
terlentang dengan kedua kaki
23
direnggangkan atau fleksi pada
bagian panggul dan lutut; laki-
laki dengan posisi terlentang )
 Bersihkan daerah sekitar meatus
uretra dengan larutan antiseptic,
saline steril atau air steril sesuai
kebijakan lembaga
 Masukkan dengan lurus atau
retensi kateter kedalam kandung
kemih
 Gunakan ukuran kateter terkecil
yang sesuai
 Pastikan bahwa kateter yang
dimasukkan cukup jauh ke
dalam kandung kemih untuk
mencegah trauma pada jaringan
uretra dengan inflasi balon
 Isi bola kateter untuk
menetapkan kateter,
berdasarkan usia dan ukuran
tubuh sesuai rekomendasi
pabrik ( misalnya; dewasa 10cc,
pada anak 5cc )
 Amankan kateter pada kulit
dengan plaster yang sesuai
 Tempatkan kantung drainase
dibawah permukaan kandung
kemih
 Pertahankan system drainase
kemih tertutup dan terhalang
 Monitor intake dan output
 Lakukan atau ajarkan pasien
membersihkan selang kateter di
waktu yang tepat
 Lakukan pengosongan kantung
kateter jika diperlukan
 Dokumentasikan perawatan
24
termasuk ukuran kateter, jam
dan jumlah pengisian bola
kateter
 Pastikan pencabutan kateter
segera seperti yang dianjurkan
oleh kondisi pasien
 Ajarkan pasien dan keluarga
mengenai perawatan kateter
yang tepat.

Farmacology Management
 Efek obat Tentukan obat apa
yang diperlukan, dan kelola
menurut resep dan/atau protocol
 Diskusikan masalah keuangan
yang berkaitan dengan regimen
obat
 Tentukan kemampuan pasien
untuk mengobati diri sendiri
dengan cara yang tepat
 Monitor efektifitas cara
pemberian obat yang sesuai
 Monitor tandan dan gejala
toksisitas obat
 Monitor efek samping obat
 Monitor level serum darah
( misalnya; elektrolit,
protombin, obat-obatan ) yang
sesuai
 Monitor interaksi obat yang non
terapeutik
 Kaji ulang pasien dan/atau
keluarga secara berkala
mengenai jenis dan jumlah obat
yang dikonsumsi
 Buang obat yang sudah
kadaluarsa, yang sudah
25
diberhentikan atau yang
mempunyai kontraindikasi obat
 Fasilitasi perubahan pengobatan
dengan dokter
 Monitor respon terhadap
perubahan pengobatan dengan
cara yang tepat
 Pertimbangkan pengetahuan
pasien mengenai obat-obatan
 Pantau kepatuhan mengenai
regimen obat
 Pertimbangkan factor – factor
yang dapat menghalangi pasien
untuk mengonsumsi obat yang
diresepkan
 Kembangkan strategi bersama
pasien untuk meningkatkan
kepatuhan mengenai regimen
obat yang diresepkan
 Konsultasi dengan professional
perawatan kesehatan lainnya
untuk meminimalkan jumlah
dan frekuensi obat yang
dibutuhkan agar didapatkan
efek terapiutik
 Ajarkan pasien dan/atau
anggota keluarga mengenai
metode pemberian obat yang
sesuai
 Ajarkan pasien dan/atau
anggota keluarga mengenai
informasi tertulis dan visual
untuk meningkatkan
pemahaman diri mengenai
pemberian obat yang tepat
 Kembangkan strategi untuk

26
mengelola efek samping obat
 Dapatkan resep dokter bagi
pasien yang melakukan
pengobatan sendiri dengan cara
yang tepat
 Buat protocol untuk
penyimpanan, penyimpanan
ulang, dan pemantauan obat
yang tersisa untuk tujuan
pengobatan sendiri
 Selidiki sumber-sumber
keuangan yang memungkinkan
untuk memperoleh obat yang
diresepkan dengan cara yang
tepat
 Tentukan dampak penggunaan
obat pada gaya hidup pasien
 Berikan alternative mengenai
jangka waktu dan cara
pengobatan mandiri untuk
meminimalkan efek gaya hidup
 Bantu pasien dan anggota
keluarga dalam membuat
penyesuaian gaya hidup yang
diperlukan terkait dengan
( pemakaian )obat – obat
tertentu dengan cara yang tepat
 Anjurkan pasien mengenai
kapan harus mencari bantuan
medis
 Identifikasi jenis dan jumlah
obat bebas yang digunakan
 Berikan informasi mengenai
penggunaan obat bebsa dan
bagaimana obat- obatan tersebut
dapat memepengaruhi kondisi

27
saat ini
 Pertimbangkan apakah pasien
menggunakan obat – obatan
berbasis budaya dan
kemungkinan adanya efek dari
penggunaan oat bebas dan obat
yang diresepkan
 Kaji ulang strategi bersama
pasien dalam mengelola obat –
obatan
 Sediakan pasien dengan daftar
sumber – sumber untuk (bisa)
dihubungi untuk mendapatkan
informasi lebih lanjut mengenai
obat – obatan tersebut
 Hubungi pasien dan keluarga
setelah pemulangan pasien
untuk menjawab pertanyaan dan
mendiskusikan kekhawatiran
terkait dengan regimen obat
 Dorong pasien untuk ( bersedia
dilakukan ) uji skrining dalam
menentukan.

D. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi keperawatan.

E. Evaluasi
Melakukan penilaian akhir terhadap status dan kondisi pasien.

28
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Trauma uretra adalah trauma atau cedera yang mengenai uretra yang terjadi
akibat tenaga / tekanan dari luar atau akibat instrumentasi pada uretra. Trauma uretra
ini merupakan suatu kegawatdaruratan bedah urologi biasanya di sebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian.
Terjadinya ruptur uretra dapat disebabkan oleh cedera eksternal yang meliputi
fraktur pelvis atau cedera tarikan ( shearing injury). Selain itu, juga dapat disebabkan
oleh cedera iatrogenik, seperti akibat pemasangan kateter, businasi, dan bedah
endoskopi.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan curiga
trauma uretra adalah: USG, akan tetapi tidak sesuai karena kondisi yang akut dan
posisi organ retroperitoneal. Penelitian yang dilakukan di Amerika menunjukkan hasil
yang signifikan untuk pemeriksaan dengan menggunakan IVP (Intra Venous
Pyelogram).Untuk pasien dengan kondisi stabil dapat menggunakan pemeriksaan ct-
scan.

B. Saran
Setelah membaca materi yang telah dipaparkan dalam bab II makalah ini,
diharapkan pembaca khususnya mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang
29
“Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Trauma Sistem Perkemihan: Ruptur
Uretra”.

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). United Kingdom :
Elsevier

Herdman, T. Heater.2015. NANDA Internasional Inc. nursing diagnoses: definitions &


classification 2015-2017.Jakarta:EGC

Moorhead,S, dkk. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC). Untited Kingdom :


Elsevier

Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika

Pereira, Bruno. A review of ureteral injuries after external trauma. In Journal of Trauma,
Resuscitation and Emergency Medicine 2010

Purnomo, Basuki. 2012. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto

Rosentein DI, Alsikafi NF .Diagnosis and classification of urethral injuries.In : McAninch


JW, Resinck MI, editors. Urologic clinics of north america. Philadelpia : Elseivers Sanders;
2006 . p. 74-83

Santucci. 2012. Manajement of iatrogenic uretral injury

Schreiter F, et al. Reconstruction of the bulbar and membranous urethra. In : Schreiter F,


et al, editors. Urethral reconstructive surgery.Germany : Springer Medizin Verlag
Heidelberg; 2006 . p.107-20
30
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2004.Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta : EGC

Tanagho EA, et al. Injuries to the genitourinary tract. In : McAninch, editor. Smith’s
general urology.17th Edition. United States of America : Mc Graw Hill; 2008. p.278-93

31

Anda mungkin juga menyukai