Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

ILMU KESEHATAN ANAK


TUBERKULOSIS PARU PADA ANAK

Pembimbing :
dr. Bing Rudyanto, Sp.A

Penyusun :

Intan Malafina A. T. (201704200266)


Intan Siti Khoiriyah (201704200267)
Irawati Timur (201704200268)
Istna Aisyatul Afiya (201704200269)
Itsna Amrina Yusro (201704200270)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

TUBERKULOSIS PARU PADA ANAK

Oleh:

Intan Malafina A. T. (201704200266)


Intan Siti Khoiriyah (201704200267)
Irawati Timur (201704200268)
Istna Aisyatul Afiya (201704200269)
Itsna Amrina Yusro (201704200270)

Referat ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima sebagai salah satu
tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSAL Dr. Ramelan Surabaya, Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah Surabaya.

Surabaya, 29 April 2019

Mengesahkan,

Dokter Pembimbing

dr. Bing Rudyanto, Sp.A

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat


dan karunia - Nya serta memberikan kemudahan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat dengan judul “TUBERKULOSIS PARU PADA
ANAK” dengan tepat waktu. Penulis menyadari tanpa bantuan dan
bimbingan dari semua pihak, kami tidak bisa menyelesaikan referat ini
dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Bing Rudyanto, Sp.A yang
telah menyediakan waktu dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan
penulis dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya
bagi rekan – rekan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya.
Akhir kata, terima kasih semoga Tuhan YME senantiasa memberikan
kasih sayang - Nya kepada penulis dan kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam penyusunan referat ini.

Surabaya, 29 April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Definisi 3
2.2. Etiologi 3
2.3. Epidemiologi 4
2.4. Faktor Resiko 5
2.5. Patofisiologi 7
2.6. Klasifikasi 11
2.7. Manifestasi Klinis 13
2.8. Diagnosa 14
2.9. Diagnosa Banding 20
2.10. Penatalaksanaan 20
2.11. Komplikasi 23
2.12. Prognosis 24
2.13. Preventif 25
BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN 27
DAFTAR PUSTAKA 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat
sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru.
Sifat sistemik ini disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen
setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan
prevalens tuberkulosis anak tidak mudah. Dengan penelitian indeks
tuberkulin dapat diperkirakan angka kejadian prevalens tuberkulosis anak.
Kriteria masalah tuberkulosis di suatu negara adalah kasus BTA positif per
satu juta penduduk. Jadi sampai saat ini belum ada satu negara pun yang
bebas tuberkulosis. TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan
pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu
penderita TB dewasa. Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV
maka perhatian pada penyakit TB harus lebih ditingkatkan Anak biasanya
tertular TB, atau juga disebut mendapat infeksi primer TB, akan membentuk
imunitas sehingga uji tuberkulin akan menjadi positif. Tidak semua anak
yang terinfeksi TB primer ini akan sakit TB. Setelah beberapa puluh tahun
penurunan insidensi tuberkulosis, angka kasus tuberkulosis telah
bertambah secara dramatis selama decade terakhir ini. Hampir 1,3 kasus
dan 450.000 kematian terjadi pada anak-anak setiap tahunnya di seluruh
dunia.1
Penyebaran penyakit tuberkulosis (TBC) di Indonesia dari tahun ke ke
tahun mengalami kecenderungan naik 2 persen sampai 5 persen. Kenaikan
terutama terjadi beberapa tahun belakangan ini, bersamaan dengan
terjangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Setiap tahun
diperkirakan terdapat 262 ribu penderita baru di Indonesia. Di Indonesia,
penyakit TBC bahkan menjadi penyebab kematian akibat penyakit infeksi
nomor tiga setelah stroke dan jantung. Hasil penelitian yang dilakukan
Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization), jumlah
penderita TBC di Indonesia sekira 0,3 persen dari jumlah penduduk total

1
setiap tahun. Meskipun dari persentase kecil, namun jumlah penderita TBC
cukup tinggi apalagi setelah krisis ekonomi melanda negara Indonesia,
yang ditandai dengan penurunan kualitas hidup masyarakat, angka
penderita semakin naik.2
Jawa barat dengan jumlah penduduk sekitar 36 juta, ada sekira 108
ribu penderita TBC paru setiap tahunnya. 8 program pengendalian TBC
secara directly observed treatment short course (DOTS) telah luas
dilaksanakan pemerintah sejak 1999. Namun sampai sekarang hanya
menjangkau sekitar 30% saja dari jumlah penderita yang ada. Sisanya yang
70% sebagian di antaranya diduga menjadi pasien yang dikelola oleh
fasilitas swasta.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini
dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Sebagian besar
kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainya. Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman/bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini pada umumnya menyerang paru
dan sebagian lagi dapat menyerang di luar paru, seperti kelenjar getah
bening(kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan, selaput otak, dan
sebagianya.2

2.2. Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis (sangat jarang
disebabkan oleh Mycobacterium avium). Mycobacterium tuberculosis
ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis dapat
hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi bila
dalam cairan akan mati pada suhu 60°C dalam waktu 15-20 menit. Fraksi
protein basil tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan
lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan merupakan faktor penyebab
terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Kuman ini
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA),
kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa
tahun. Basil tuberculosis tidak membentuk toksin (baik endotoksin maupun
eksotoksin). Penularan Mycobacterium tuberculosis biasanya melalui
udara, sehingga sebagian besar fokus primer tuberculosis terdapat dalam

3
paru. Selain melalui udara, penularan dapat peroral misalnya minum susu
yang mengandung basil tuberculosis, biasanya Mycobacterium bovis.
Dapat juga melalui luka atau lecet di kulit.3
Mycobacterium tuberculosis mengandung zat organik dan anorganik.
Protein (tuberculoprotein) bersifat sebagai antigen, sehingga terjadi reaksi
antigen antibodi yang menyebabkan terjadinya lesi dan eksudasi. Lipid
(tuberculolipid) merangsang jaringan sehingga terjadi reaksi spesifik
(terbentuk tuberkel). Lipid bersama-sama dengan zat asam lain dari kuman
akan menyebabkan kuman menjadi tahan asam. Polisakarida dari kuman
bersifat sebagai hapten yang dianggap berperan dalam merangsang tubuh
untuk membentuk suatu kekebalan.3

2.3. Epidemiologi
TB merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia.
Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
TB sebagai Global Emergency. WHO dalam Annual Report on Global TB
Control 2011 menyatakan bahwa terdapat 22 negara dikategorikan
sebagai high burden countriesterhadap TB, termasuk Indonesia. Pada
tahun 2010 diperkirakan terdapat 8,8 juta kasus TB, dimana 3,9 juta adalah
kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif serta 1,4 juta orang meninggal di
seluruh dunia akibat TB termasuk 0,35 juta orang dengan penyakit HIV. 5
Tahun 2010, Indonesia menempati peringkat ke-4 negara dengan
insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,37 – 0,54 juta setelah India (2,0
– 2,5 juta), Cina (0,9 – 1,2 juta), Afrika Selatan (0,40 – 0,59 juta). Pada
tahun 2004, diperkirakan angka prevalensi kasus TB di Indonesia
130/100.000 penduduk, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah
kematian sekitar 101.000 orang pertahun serta angka insidensi kasus TB
BTA positif sekitar 110/100.000 penduduk. Penyakit ini merupakan
penyebab kematian terbesar ke-3 setelah penyakit kardiovaskular dan
penyakit saluran pernapasan serta merupakan nomor satu terbesar dalam
kelompok penyakit infeksi.5

4
2.4. Faktor Resiko
Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya tuberkulosis primer5:
1. Faktor Infeksi
Penularan tuberkulosis primer dapat melalui 4 cara, yaitu:
- Batuk orang dewasa
Saat orang dewasa batuk atau bersin, sejumlah tetesan cairan
(ludah) tersembur ke udara. Bila orang tersebut menderita
tuberkulosis paru, maka tetesan tersebut mengandung kuman.
Jika disekitar orang tersebut terdapat orang dewasa atau anak-
anak yang pada saat itu kekebalan tubuhnya menurun maka
dengan mudah akan terinfeksi atau tertular.
- Makanan atau susu
Anak- anak bisa terinfeksi tuberkulosis dari susu atau makanan,
dan infeksi bisa terjadi mulai pada mulut atau usus. Susu dapat
mengandung tuberkulosis dari sapi (bovine TB), bila sapi di
daerah tersebut menderita tuberkulosis dan susu tidak direbus
sebelum diminum. Bila hal ini terjadi, infeksi primer terjadi pada
usus, atau terkadang pada amandel.
- Melalui kulit
Kulit yang utuh ternyata tahan terhadap tuberkulosis yang jatuh
diatas permukaannya. Namun, bila terdapat luka atau goresan
baru, tuberkulosis dapat masuk dan menyebabkan infeksi yang
serupa dengan yang ditemukan pada paru.
- Keturunan dari ibu
Apabila seorang ibu yang sedang hamil menderita tuberkulosis
maka sudah pasti anaknya positif menderita tuberkulosis.

5
2. Faktor Lingkungan
Lingkungan yang tidak sehat, gelap dan lembab akan
mendukung perkembangbiakan basil Mycobacterium Tuberkulosis.
Seperti diketahui basil tuberkulosis merupakan BTA (Basil Tahan
Asam) yang dapat berkembangbiak apabila ada di ruangan yang
gelap dan lembab, akan mati jika terkena sinar matahari secara
langsung. Jadi kebersihan lingkungan perlu diperhatikan.

3. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi berkaitan dengan ketersediaan pangan yang
kaya zat gizi. Ekonomi juga menjadi faktor pendukung yang
mempengaruhi penyebab penularan tuberkulosis primer. Seorang
ibu dengan perekonomian rendah maka untuk mencukupi makanan
bergizi untuk tumbuh kembang anak susah, sehingga mereka
hanya memberi makanan apa saja tanpa mengetahui nilai gizinya.
Padahal kita tahu bahwa dengan mengkonsumsi makanan sehat
dan bergizi akan bermanfaat bagi tumbuh kembang anak dan
meningkatkan kekebalan tubuh anak terhadap penyakit.

4. Pelayanan Kesehatan
Adanya penyakit tuberkulosis primer yang semakin tinggi
prevalensi di Indonesia maka pelayanan kesehatan yang harus
ditingkatkan oleh pemerintah, melihat penderita penyakit tersebut
adalah anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan
membutuhkan perawatan intensive. Apabila tingkat pelayanan
kesehatan tidak optimal maka akan mempengaruhi penyembuhan
tuberkulosis primer dan bila tingkat pelayanan kesehatan bekerja
secara optimal maka laju peningkatan penyakit tuberkulosis primer
dapat ditekan seminimal mungkin. Hal ini tidak lepas pula dari peran
pemerintah dan masyarakat dalam menanggapi segala macam
penyakit agar tidak terjadi angka kematian anak yang tinggi.

6
2.5. Patofisiologi8
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Kuman TB dalam droplet nuclei yang ukurannya sangat kecil (<5μm), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB
dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik,
sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu
yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi,
sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon.8
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis)
yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah,
kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat
adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).8
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12
minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi
tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular.8
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan
telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh

7
terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.
Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. 8
Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular
spesifik (cellular mediated immunity, CMI).8
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di
paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal
pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui
mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi 8

8
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular,
dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran
limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks
primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi
penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula
dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa. 8
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman
TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita)
terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus

9
perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh,
sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. 8

Gambar 2.1. Patogenesis Infeksi Tuberkulosis


Sumber: Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak

10
2.6. Klasifikasi8
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari
hal berikut:
 Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis Paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan
kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru.
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya
pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru.
Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru
diklasifikasikan sebagai TB paru
 Riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan (28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai
definisi diatas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.
b. Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT
lebih dari 1 bulan (28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi diatas, lokasi penyakit bisa paru atau
ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak
dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang
diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

11
 Berat dan ringannya penyakit
a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB
kelenjar, dan lain-lain.
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan
berat atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang
dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru
BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.
 Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB
pada daerah endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV.
Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB pada anak diklasifikasikan
sebagai:
a. HIV positif
b. HIV negatif
c. HIV tidak diketahui
d. HIV expose / curiga HIV.
Anak dengan orang tua penderita HIV diklasifikasikan sebagai
HIV expose, sampai terbukti HIV negatif. Apabila hasil
pemeriksaan HIV menunjukkan hasil negatif pada anak usia
< 18 bulan, maka status HIV perlu diperiksa ulang setelah usia
> 18 bulan.
 Resistensi Obat
Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M.
tuberculosis terhadap OAT terdiri dari:
a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.
b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid
(H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

12
c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang
resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan
atau tanpa OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai
dengan resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua
jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap
OAT lain yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan
yang sesuai, pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan
cepat. Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap resistansi
terhadap rifampisin dalam bentuk Monoresistance, Polydrug
Resistance, MDR dan XDR.

2.7. Manifestasi Klinis


Gejala penyakit TBC paru dapat dibagi menjadi gejala umum dan
gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran
secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup
sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

1. Gejala sistemik/umum
- Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang
serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
- Penurunan nafsu makan dan berat badan.
- Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
- Perasaan malaise, lemah.
2. Gejala khusus
- Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat
penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan
suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.

13
- Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertai dengan keluhan sakit dada.
- Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang
yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada
kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
- Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah
demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat
terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-
kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa
memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun
yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA
positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

2.8. Diagnosa
1. Anamnesis
- Berkurangnya berat badan 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang
jelas atau gagal tumbuh
- Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu
- Batuk kronik >3 minggu, dengan atau tanpa wheeze
- Riwayat kontak dengan pasien tb paru dewasa.5
2. Pemeriksaan fisik
- Pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, inguinal
- Pembengkakan progresif atau deformitas tulang, sendi, lutut, falang
- Uji tuberculin. Biasanya positif pada anak dengan TB paru, tetapi
bias negative pada anak dengan TB milier atau juga menderita
HIV/AIDS, gizi buruk atau beru menderita campak
- Pengukuran berat badan menurut umur atau lebih baik pengukuran
berat menurut panjang/tinggi badan.5
3. Pemeriksaan penunjang
- Uji Tuberkulin

14
Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat pada kebanyakan
individu yang terinfeksi dengan basil tuberculosis membuat uji
tuberculin sangat dibutuhkan.Pemeriksaan ini merupakan alat
diagnosis yang penting dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis.
Uji multi punksi tidak seakurat uji Mantoux karena dosis antigen
tuberculin yang dimasukkan ke dalam kulit tidak dapat di control.Uji
tuberkulin lebih penting lagi artinya pada anak kecil bila diketahui
adanya konvensi dari negatif. Pada anak dibawah umur 5 tahun
dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya masih aktif
meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan radiologis.10
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu dengan cara
mono dengan salep, dengan goresan disebut patch test cara von
pirquet, cara mantoux dengan menyuntikan intrakutan dan multiple
puncture metode dengan 4 – 6 jarum berdasarkan cara Heat
andTine. Uji kulit Mantoux adalah injeksi intradermal 0.1 mL yang
mengandung 5 unit tuberculin ( UT ) derivate protein yang dimurnikan
( PPD ) yang distabilkan dengan Tween 80.9 Sampai sekarang cara
Mantoux masih dianggap sebagai cara yang paling dapat
dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin yang dimasukkan
dapat diketahui banyaknya.
Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas:
1. Eritema karena vasodilatasi perifer
2. Edema karena reaksi antara antigen yang dimasukkan dengan
antibody
3. Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
Pembacaan uji tuberculin dilakukan 48 – 72 jam. Setelah
penyuntikan diukur diameter melintang dari indurasi yang terjadi.
Kadang-kadang penderita akan mulai berindurasi lebih dari 72 jam
sesudah perlakuan uji, ini adalah hasil positif. Faktor – factor yang
terkait hospes, termasuk umur yang amat muda, malnutrisi,
immunosupresi karena penyakit atau obat – obat, infeksi virus,
vaksin virus hidup, dan tuberculosis yang berat, dapat menekan

15
reaksi uji kulit pada anak yang terinfeksi dengan M.tuberculosis.
Terapi kortikosteroid dapat menurunkan reaksi erhadap tuberculin,
dengan pengaruh yang sangat bervariasi10.
Interpretasi hasil test Mantoux9
1. Indurasi 10 mm atau lebih → reaksi positif
Arti klinis adalah sedang atau pernah terinfeksi dengan kuman
Mycobacterium tuberculosis.
2. Indurasi 5 – 9 mm → reaksi meragukan
Arti klinis adalah kesalahan teknik atau memang ada infeksi
dengan Mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu diulang
dengan konsentrasi yang sama. Kalau reaksi kedua menjadi 10
mm atau lebih berarti infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.
Kalau tetap 6 – 9 mm berarti cross reaction atau BCG, kalau tetap
6 – 9 mm tetapi ada tanda – tanda lain daritubeculosis yang jelas
maka harus dianggap sebagai mungkin sering kali infeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis.
3. Indurasi 0 – 4 mm → reaksi negatif.
Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis.
Reaksi positif palsu terhadap tuberculin dapat disebabkan oleh
sensitisi silang terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis.
Reaksi silang ini biasanya sementara selama beberapa bulan
sampai beberapa tahundan menghasilkan indurasi kurang dari 10 –
12 mm. Vaksinasi sebelumnya (BCG) juga dapat menimbulkan
reaksi terhadap uji kulit tuberculin. Sekitar setengah dari bayi yang
mendapat vaksin BCG tidak pernah menimbulkan uji kulit tuberculin
reaktif, dan reaktivitas akan berkurang 2 – 3 tahun kemudian pada
penderitayang pada mulanya memiliki uji kulit positif.9

- Pemeriksaan Radiologis9
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara
yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini

16
memang membutuhkan biaya lebih dibanding pemeriksaan sputum,
tapi dalam beberapa hal pemeriksaan radiologis memberikan
beberapa keuntungan seperti tuberkulosis pada anak – anak dan
tuberculosis millier. Pada kedua hal tersebut diagnosa dapat
diperoleh melalui pemeriksaan radiologi dada, sedangkan
pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. Pada anak dengan uji
tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan radiologis. Gambaran
radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru:
1. Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran.
2. Pembesaran kelenjar paratrakeal.
3. Penyebaran milier.
4. Penyebaran bronkogen
5. Atelektasis
6. Pleuritis dengan efusi.
Pemeriksaan radiologis pun saja tidak dapat digunakan untuk
membuat diagnosis tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis
lainnya.

- Pemeriksaan Laboratorium9
1. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya
kadang-kadang meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai
( aktif ) akan didapatkan sedikit leukosit yang sedikit meningkat.
Jumlah limfosit masih normal. Laju Endap Darah mulai meningkat.
Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan
laju endap darah mulai turun kearah normal lagi.
2. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan
ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat
dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat
memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan,
tetapi kadang – kadang tidak mudah untuk menemukan sputum

17
terutama penderita yang tidak batuk atau pada anak –anak.
Padapemeriksaan sputum kurang begitu berhasil karena pada
umumnya sputum langsung ditelan, untuk itu dibutuhkan fasilitas
laboratorium berteknologi yang cukup baik, yang berarti
membutuhkan biaya yang banyak Adapun bahan – bahan yang
digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi adalah :
1. Bilasan lambung
2. Sekret bronkus
3. Sputum
4. Cairan pleura
5. Liquor cerebrospinalis
6. Cairan asites
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang – kurang nya
ditemukan tiga batang kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan
kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum.

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


penunjang maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien
dengan jumlah skor >6 (sama atau lebih dari 6), harus ditatalaksana
sebagai pasien TB dan mendapat pengobatan dengan obat anti
tuberkulosis (OAT). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis
kecurigaan ke arah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi
lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan dll.

18
Tabel 2.1. Sistem scoring diagnosis TB anak

Catatan:
 Diagnosis dengan sistem scoring ditegakkan oleh dokter
 Bila dijumpai skrofuloderma (tb pada kelenjar dan kulit
), langsung didiagnosis TB.
 Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
 Demam dan Batuk tidak memiliki respon terhadap terapi baku
 Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
 Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul <7 hari
setelah penyuntikan), harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
 Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS

19
Gambar 2.2. Alur diagnosis dan tatalaksana TB Anak

2.9. Diagnosis Banding


1. Pneumonia
2. Abses paru
3. Kanker paru
4. Bronkiektasis
5. Pneumonia aspirasi.4

2.10. Penatalaksanaan
Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah ini.

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan


cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6bulan,lakukan evaluasi baik klinis
maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan
parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai

20
perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjuk-
kan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.7
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2
bulan pertama) dan tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah
minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan
dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada
TB berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif
maupun tahap lanjutan.7
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT
disediakan dalam bentuk paket.Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk
satu masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif,
yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap
lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniasid (H). Berikut dosis-dosis OAT7:
 Isoniazid: 5-15mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300mg/hari,
 Rifampisin: 10-20mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600mg/hari
 Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
 Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
 Streptomisin:15–40mg/kgBB/hari, dosis maksimal1000mg/hari
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan
dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap/KDT (Fixed Dose Combination/FDC).
Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu: Tablet RHZ
yang merupakan tablet kombinasi dari Rifampisin (R), Isoniazid (H),
Pirazinamid (Z) yang digunakan pada tahap intensif. Tablet RH yang
merupakan tablet kombinasi dari Rifampisin (R), Isoniazid (H) yang
digunakan pada tahap lanjutan. Jumlah tablet KDT yang diberikan harus
disesuaikan dengan berat badan anak dan komposisi dari tablet KDT
tersebut.7

21
Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis KDT yang komposisi tablet
RHZ adalah R=75mg,H=50mg,Z=150mg dan komposisi tablet RH adalah
R=75mg dan H=50mg

Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak
Anak. Dosisnya seperti pada tabel berikut ini7:

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstra pulmonal


seperti TB milier, meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain : Pada
tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin). Pada tahap lanjutan diberikan
INH dan Rifampisin selama 10 bulan.Untuk kasus TB tertentu yaitu TB
milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB dan
peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1–2 mg/kg

22
BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2–4
minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu
2–6 minggu. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan. Perhatian : Hindarkan
pemakaian streptomisin pada anak bila memungkinkan, karena
penyuntikan terasa sakit, dapat terjadi kerusakan permanen syaraf
pendengaran, dan terdapat risiko penularan HIV akibat perlakuan yang
tidak benar terhadap alat suntik.7
Setelah diberi OAT selama 2 bulan,respons pengobatan pasien
harus dievaluasi. Respons pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis
berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam meng-
hilang, dan batuk berkurang. Apabila respons pengobatan baik maka
pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila
respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap
dilanjutkan sambil mencari penyebabnya. Sistem skoring hanya digunakan
untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.7

2.11. Komplikasi
Komplikasi TB pada neonatus adalah koagulasi intravaskular
diseminata, meningitis, gagal napas, perforasi usus dan syok sepsis.
Limfadenitis, meningitis, osteomyelitis, arthtritis, enteritis, peritonitis,
penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang
dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko
yang besar untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya
gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien
dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus. 5,6

23
2.12. Prognosis
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan
OAT terkini memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan.
Jika kuman sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh
dengan gejala sisa yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang
memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan
imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai regimen obat, yang
berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien
dengan resistensi multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu
ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter meresepkan regimen terapi
yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam menjalani
pengobatan.5,12,13
Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan
Rifampin, angka kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah
lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100%
pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier maka
angka kematian hampir mencapai100%.12,13
Prognosis TB kongenital biasanya lebih buruk dari TB didapat pasca
natal. Hampir 50% dari kasus TB kongenital dilaporkan meninggal,
meskipun dengan penanganan yang intensif. Hal ini disebabkan karena
keterlambatan diagnosis dan komplikasi. Oleh karena itu deteksi dini Ibu
dan neonatus dengan TB serta penanganan yang baik pada neonatus
sangat penting untuk memperkecil angka kematian TB pada neonatus. 5

24
2.13. Preventif
 Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia
sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak
0,10 ml, diberikan secaraintrakutan di daerah insersi otot deltoid
kanan (penyuntikan lebih mudah danlemak subkutis lebuh tebal,
ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila
BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Insidensi TB anak yang mendapat BCG
berhubungandengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian
vaksin, jarak pemberianvaksin dan intensitas pemaparan infeksi.5,6
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu
antara 0-80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB
milier, meningitis TB danspondilitis TB pada anak. Imunisasi ini
memberikan perlindungan terhadapterjadinya TB milier, meningitis
TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta diklinik sekitar 70% TB
berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG.Imunisasi
BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya
tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia.2,6
Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek samping yang
serius. Efek samping yang seringditemukan adalah ulserasi lokal dan
limfadenitis (adenitis supuratif) denganinsidens antara 0,1 sampai
1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisiimunokompromais,
misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagaltumbuh.
Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat
badanoptimal.2,6
 Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer
dankemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan
untuk mencegahterjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis
sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.2,6,9

25
Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis
5-10mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini
diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama
dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin
negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji
tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah
sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH
profilaksisdihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi
status TB pasien. Jikadidapatkan uji tuberkulin negatif dan INH
profilaksis telah dihentikan, sebaiknyadilakukan uji tuberkulin ulang
3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.2,6,11
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah
terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif,
sedangkan klinis danradiologis normal. Tidak semua anak diberi
kemoprofilaksis sekunder, tetapihanya anak yang termasuk dalam
kelompok resiko tinggi untuk berkembangmenjadi sakit TB, yaitu
anak-anak pada keadaan imunokompromais.2,6,11
Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia
balita, menderitamorbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat
imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja,
dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulindalam kurun waktu
kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis
sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer,
profilaksissekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk
menilai respon dan efek samping obat.2,6,11

26
BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka


morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun di Negara
maju yaitu merupakan satu diantara 10 penyebab kematian utama di
dunia.Penyakit ini dapat menyerang semua umur, baik pada anak maupun
orang dewasa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan terdapat
lebih dari 250.000 anak menderita TB dan 100.000 diantaranya meninggal
dunia.
Penyebab penyakit ini adalah kuman Mycobacterium tuberculosis
yang merupakan bakteri tahan asam. Penyakit ini memerlukan pengobatan
yang lama dan teratur sehingga memerlukan kesabaran dan peran serta
dari keluarga dan dokter yang memberi pengobatan.
Upaya untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan
pemberian vaksinasi BCG sewaktu anak baru lahir atau dengan
kemoprofilaksis primer pada anak yang belum terinfeksi (uji tuberkulin
negatif) tetapi kontak dengan penderita TB aktif, yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi tuberculosis pada anak, dengan memberikan
Isoniazid 5-15mg/kgbb/hari, dosis tunggal dan kemoprofilaksis sekunder
bertujuan untuk mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit yang
ditandai dengan uji tuberculin (+) teapi gejala klinis dan radiologis normal,
yang diberikan adalah isoniazid 10mg/kgBB/hari selama 6-12 bulan.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahajoe NN, Basir D, Kartasasmita CB, editor. Pedoman nasional


tuberculosis anak. Jakarta : UKK Pulmonologi PP IDAI; 2007.
2. Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab,
SpA(K) et al : Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15, buku 2, EGC
2008. Hal : 1028 – 1042.
3. Herchline T. Tuberculosis. [Online]. 2007 Jan 8 [cited 2019 April 27];
[15 screens]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/230802-overview
4. BIKA FK UH RSUP dr.WSH Makassar. Diktat Anak : Pulmonologi.
Makassar. 2009.
5. WHO Indonesia, Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit, Jakarta : WHO Indonesia; 2009. Hal : 113-118
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2010. Hal : 162–227.
7. International Child Health. Tuberkulosis: Diagnosis. 2012. Diunduh
dari : http://www.ichrc.org/481-tuberkulosis-diagnosis . 18 April 2019.
8. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Manajemen TB
pada Anak, Kementerian Kesehatan RI, 2016.
9. Alatas, Dr. Husein et al : Ilmu Kesehatan Anak, edisi ke 7, buku 2,
Jakarta; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007; 573–761.
10. Price, Sylvia A; Wilson, Lorraine M. : Patofisiologi Klinik, edisi ke 5,
Tuberkulosis. 2012. Hal : 753 – 761.
11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. Jakarta : IDAI. 2005.
12. Setiabudy, R. Nafrialdi. Tuberkulostatik. Farmakologi dan
Terapi. Edisi Ke-5. Jakarta : Gaya Baru. 2007. Hal : 613 – 632.
13. Sutoyo, D.K. Multi Drug Resistence pada Tuberkulosis.
Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 30. No. 2. Indonesia : PDPI. 2010.
Hal : 72 – 74.

28

Anda mungkin juga menyukai