Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

TB Paru pada Anak

Disusun oleh:
Arie Sumbaga Agung Marbun
2265050045

Pembimbing:
dr. Christine H. Tampubolon, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 13 MARET – 27 MEI 2023
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat ini sebagai salah satu pemenuhan tugas Kepaniteraan Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Referat yang berjudul “TB
Paru pada Anak” ini diharapkan dapat memiliki manfaat bagi penulis serta pembaca referat ini.

Penulis menyadari bahwa di dalam melaksanakan Pendidikan Kepaniteraan Ilmu


Kesehatan Anak terdapat kesulitan dan hambatan yang dihadapi, namun berkat bimbingan dan
arahan dari dosen pembimbing serta para dokter pengajar, maka penulis dapat menyelesaikan
penulisan referat ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Christine H. Tampubolon, Sp.A selaku pembimbing referat, yang telah memberikan
waktu, arahan, nasihat serta saran dalam menyelesaikan referat ini
2. Teman – teman kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak FK UKI yang telah saling
mendukung dan membantu satu sama lain dalam melaksanakan program kepaniteraan
klinik Ilmu
Kesehatan Anak di RSU UKI Jakarta.
Referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki kekurangan, oleh karena itu penulis
berterima kasih atas kritik dan saran yang membangun untuk bekal yang baik dalam penulisan
berikutnya.

Jakarta, Maret 2023

(Arie Sumbaga)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis. Setiap tahun, 7,5 juta anak terinfeksi Tuberculosis dan 1,1 juta anak berkembang
menjadi TBC menyumbang penyakit di seluruh dunia, hingga mewakili 12% dari penderita TB
secara global. Pada saat yang sama, anak-anak memiliki angka kematian yang jauh lebih tinggi,
dengan 230.000 kematian setiap tahunnya. Peningkatan angka kematian merupakan cerminan
dari tantangan dalam mendiagnosis dan mengobati TB pada anak, terutama yang paling rentan
termasuk anak kecil di bawah 5 tahun dan anak-anak dengan koinfeksi HIV. Insiden penyakit
TBC semakin meningkat ketika mereka masuk remaja dan mulai mengembangkan penyakit tipe
dewasa.1
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta – 12,
juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden kasus
tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar estimasi insiden
TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%) dimana Indonesia merupakan
salah satu di dalamnya dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika. Badan kesehatan dunia
mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden countries (HBC) untuk TBC
berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang masuk
dalam daftar tersebut. Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau keduanya,
bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk dalam daftar
HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya Indonesia memiliki permasalahan besar dalam
menghadapi penyakit TBC.6
Di Amerika Serikat (AS), kasus TB telah bergeser ke orang dewasa yang lahir di luar
negeri, tapi 4% prevalensi penyakit TBC nasional masih pada anak di bawah 15 tahun dan 10%
adalah remaja dan dewasa muda berusia 15–24 tahun. Perawatan untuk Infeksi TB pada anak-
anak dan remaja sangat penting untuk mencegah perkembangan penyakit TB dan untuk
mencegah mereka menjadi reservoir masa depan untuk transmisi TB.2
Meskipun telah mencapai langkah kesehatan masyarakat yang baik dalam mengendalikan
tuberkulosis (TB) di Amerika Serikat, TB tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
sangat besar di seluruh dunia. Statistik yang akurat pada kasus TB anak sulit diperoleh karena
berbagai alasan, termasuk kurangnya pengakuan, tantangan dalam memastikan diagnosis, dan
pelaporan yang kurang ke program TB nasional. Secara klinis dan radiografi manifestasinya
kurang spesifik pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa dan sering bingung dengan
pneumonia bakterial. Kultur TB dan tes molekuler cepat yang lebih baru positif pada sebagian
kecil anak, umumnya kurang dari 25% sampai 40% anak dengan penyakit TBC.3
Insiden TB di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 319 per 100.000 penduduk dan angka
kematian penderita TB 40 per 100.000 penduduk. 4
Dengan terdapatnya data tersebut, maka
Indonesia beradapada peringkat ke-2 setelah India. Pada tahun 2018 ditemukannya data
sebanyak 566.623 kasus di Indonesia.5 Penderita TB di indonesia meningkat sebanyak 28%
antara tahun 2017 dan 2018.3 Jumlah penderita TB tertinggi terdapat di tiga provinsi yang
memiliki jumlah penduduk yang besar, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.4
Rumah sakit Al-Ihsan ialah salah satu rumah sakit regional di Provinsi Jawa Barat yang memiliki
kasus TB terbanyak pada bulan Oktober 2018.7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh organisme kompleks
Mycobacterium tuberculosis, yang meliputi M. africanum, M. bovis, dan M. canetti (dan lainnya
yang tidak memengaruhi manusia). Penyakit ini ditularkan melalui saluran napas kecil yang
terinfeksi (sekitar 1-5 mm) dan dikeluarkan berupa droplet nuklei dari pengidap TB dan dihirup
individu lain kemudian masuk sampai ke dalam alveolus melalui kontak dekat.8

Basil Mycobacterium tuberculosis disebarkan dari individu ke individu melalui partikel


aerosol. Droplet infeksius pada pasien terinfeksi berukuran kecil hingga sedang (0,65-7,5 μm)
dan melewati daerah nasofaring dan trakeobronkial, sedangkan droplet yang lebih besar
terperangkap di jalan napas bagian atas (orofaring) atau kelenjar getah bening servikal kemudian
menetap di dalam tubuh manusia. Tanda dan gejala penyakit TB pada anak antara lain batuk,
perasaan lemah dan lesu, penurunan berat badan atau kegagalan berkembang, demam, dan
keringat malam. Bayi, anak kecil, dan anak dengan gangguan sistem imun (misalnya anak
dengan HIV) berisiko tinggi untuk berkembang menjadi bentuk TB yang parah seperti
meningitis TB atau penyakit TB milier.8

Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, 85% dari seluruh kasus TBC adalah TBC
paru, sisanya (15%) menyerang organ tubuh lain mulai dari kulit, tulang, organ-organ dalam
seperti ginjal, usus, otak, dan lainnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, TBC dibagi
dalam: TBC paru BTA positif: sekurangnya 2 dari 3 spesimen sputum BTA positif, TBC paru
BTA negatif: dari 3 spesimen BTA negatif, foto toraks positif. Infeksi pada paru-paru dan
kadang-kadang pada struktur-struktur di sekitarnya, yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis.9
2.2 Epidemiologi
Penyakit tuberkulosis (TB) menduduki peringkat ke10 dengan kasus kematian tertinggi di
dunia. Sebagian besar kasus TB berada di benua Asia salah satunya Indonesia yang menduduki
peringkat ketiga dalam kasus TB. Tuberkulosis dapat berdampak pada anak memiliki prevalensi
yang terus meningkat. Faktor yang dapat menyebabkan penularan pada anak ialah lama pajanan,
daya tahan tubuh, dan lamanya penularan. World Health Organization (WHO) menyatakan
secara global tuberkulosis menyebabkan kematian sekitar 1,3 juta penderita. Sebagian besar
kasus TB berada di benua Asia (58%) dan Afrika (27%) dengan delapan negara yang memiliki
insidensi TB tertinggi di dunia, yaitu India (27%), Cina (9%), Indonesia (8%), Filipina (6%),
Pakistan (6%), Nigeria (4%), Bangladesh (4%), dan Afrika Selatan (3%).
Penderita TB di indonesia meningkat sebanyak 28% antara tahun 2017 dan 2018. Jumlah
penderita TB tertinggi terdapat di tiga provinsi yang memiliki jumlah penduduk yang besar, yaitu
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Rumah sakit Al-Ihsan ialah salah satu rumah sakit
regional di Provinsi Jawa Barat yang memiliki kasus TB terbanyak pada bulan Oktober 2018.7

2.3 Etiologi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dan Mycobacterium bovis (sangat jarang disebabkan oleh Mycobacterium avium).
Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis
dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi bila dalam cairan
akan mati pada suhu 60°C dalam waktu 15-20 menit. Fraksi protein basil tuberkulosis
menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan
merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat
mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang
gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama
beberapa tahun.
Basil tuberculosis tidak membentuk toksin (baik endotoksin maupun eksotoksin).
Penularan Mycobacterium tuberculosis biasanya melalui udara, sehingga sebagian besar fokus
primer tuberculosis terdapat dalam paru. Selain melalui udara, penularan dapat peroral misalnya
minum susu yang mengandung basil tuberculosis, biasanya Mycobacterium bovis. Dapat juga
melalui luka atau lecet di kulit.
Mycobacterium tuberculosis mengandung zat organik dan anorganik. Protein
(tuberculoprotein) bersifat sebagai antigen, sehingga terjadi reaksi antigen antibodi yang
menyebabkan terjadinya lesi dan eksudasi. Lipid (tuberculolipid) merangsang jaringan sehingga
terjadi reaksi spesifik (terbentuk tuberkel). Lipid bersama-sama dengan zat asam lain dari kuman
akan menyebabkan kuman menjadi tahan asam. Polisakarida dari kuman bersifat sebagai hapten
yang dianggap berperan dalam merangsang tubuh untuk membentuk suatu kekebalan.10

2.4 Faktor Resiko


Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya
penyakit TB pada anak. Faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko
progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit). Faktor risiko terjadinya infeksi TB yaitu
anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak dengan TB positif), berada di
daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (mencakup sanitasi dan hygiene yang
tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain)
yang banyak terdapat pasien TB dewasa. Sumber infeksi TB yang terpenting adalah pajanan
terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Artinya bayi dari ibu
dengan BTA positif memiliki risiko terinfeksi tuberkulosis. Semakin erat bayi kontak dengan
ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan droplet nuclei yang infeksius.
Transmisi kuman tuberkulosis dari orang dewasa ke anak-anak risikonya akan lebih meningkat
apabila pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrate luas atau kavitas pada
lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor
lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik. Selaiin itu makanan atau
susu bisa menginfeksi anak akibat tuberkulosis dari susu atau makanan, dan infeksi bisa terjadi
mulai pada mulut atau usus. Susu dapat mengandung tuberkulosis dari sapi (Mycobacterium
bovis), bila sapi di daerah tersebut menderita tuberkulosis dan susu tidak direbus sebelum
diminum. Bila hal ini terjadi, infeksi primer terjadi pada usus, atau terkadang pada amandel.
Faktor ekonomi berkaitan dengan ketersediaan pangan yang kaya zat gizi. Ekonomi juga menjadi
faktor pendukung yang mempengaruhi penyebab penularan tuberkulosis primer. Seorang ibu
dengan perekonomian rendah maka untuk mencukupi makanan bergizi untuk tumbuh kembang
anak susah, sehingga mereka hanya memberi makanan apa saja tanpa mengetahui nilai gizinya.
Padahal kita tahu bahwa dengan mengkonsumsi makanan sehat dan bergizi akan bermanfaat bagi
tumbuh kembang anak dan meningkatkan kekebalan tubuh anak terhadap penyakit. Apabila
tingkat pelayanan kesehatan tidak optimal maka akan mempengaruhi penyembuhan tuberkulosis
primer dan bila tingkat pelayanan kesehatan bekerja secara optimal maka laju peningkatan
penyakit tuberkulosis primer dapat ditekan seminimal mungkin
Pasien TB anak jarang menularkan kuman tuberkulosis pada anak lain atau orang
dewasa di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena kuman TB pada anak sangat jarang ditemukan
di dalam sekret endobronkial. Penjelasan mengenai hal tersebut, pertama, jumlah kuman TB
pada anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah
yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan anak sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang
kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh
dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi
sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya
terdapat gejala batuk pada TB anak. Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami
sakit TB. Namun terdapat beberapa faktor yang dapat mengakibatkan berkembangnya infeksi TB
menjadi sakit TB. Pertama adalah anak usia dibawah 5 tahun memiliki risiko lebih besar
mengalami progresi infeksi menjadi saki TB karena imunitas selulernya belum berkembang
secara bertahap seiring dengan bertambahnya usia. Progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB
risiko tertingginya adalah selama 1 tahun pertama setelah infeksi. Terutama selama 6 bulan
pertama. Pada bayi, rentan waktu antara terjadinya infeksi menjadi sakit TB singkat yaitu kurang
dari 1tahun dan biasanya timbu gejala yang akut.
Kedua, infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberculin (dari negative
menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir. Faktor risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan
imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan
imunosupresi), diabetes mellitus, dan gagal ginjal kronik. Selain itu, faktor yang juga menjadi
penting adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian,
pengangguran, pendidikan yang rendah, kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat.11

2.5 Patofisiologi
Paru merupakan port de’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik
renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (< 5µm) akan terhirup dan dapat mencapai
alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar
limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada
proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala
penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10 3 -
104 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui
dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh
imunitas selular spesifik.
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak
menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau kelenjar
limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi,
akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen
distal paru melalui mekanisme ventil (ballvalve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan
atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi di dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps-konsolidasi,
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat
juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu,
dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dll. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses
patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang dikemudian hari dapat
mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut. Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke
seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinik penyakit TB secara akut,
yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadinya infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. TB diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya anak dibawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun.12
2.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis TB sangat bervariasi dikarenakan patogenesis TB sangat kompleks, dan
bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman TB, pejamu, serta
interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi kuman, sedangkan
faktor pejamu bergantung pada usia, dan kompetensi imun serta kerentanan pejamu pada awal
terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak
pembesaran kelenjar hilus pada foto toraks. Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi
sistemik dan manifestasi spesifik organ/lokal.
Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk persisten, berat badan turun
atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-gejala tersebut sering dianggap
tidak khas karena juga dijumpai pada penyakit lain. Namun demikian, sebenarnya gejala TB
bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah diberikan terapi yang adekuat
(misalnya antibiotika atau anti malaria untuk demam, antibiotika atau obat asma untuk batuk
lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk masalah berat badan.
A. Gejala sistemik/umum
1) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal tumbuh
(failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2
bulan.
2) Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih, malaria, dan lain- lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat
malam saja bukan merupakan gejala spesifk TB pada anak apabila tidak disertai dergan
gcjala-gejala sis temnik/ umum lain.
3) Batuk lama >2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. Batuk tidak
membaik dengan pemberian antibiotika atau obat asma (sesuai indikasi).
4) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain
5) Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku

B. Gejala khusus
- Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening
yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai
sesak.
- Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.
- Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu
saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini
akan keluar cairan nanah.
- Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak
dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia
3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA
positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.13

2.6.1 Penegakan Diagnosis


1. Anamnesis
- Berkurangnya berat badan 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau gagal
tumbuh
- Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu
- Batuk kronik >2 minggu, dengan atau tanpa wheeze
- Riwayat kontak dengan pasien tb paru dewasa.
2. Pemeriksaan fisik
- Pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, inguinal
- Pembengkakan progresif atau deformitas tulang, sendi, lutut, falang
- Uji tuberculin. Biasanya positif pada anak dengan TB paru, tetapi bias negative pada anak
dengan TB milier atau juga menderita HIV/AIDS, gizi buruk atau beru menderita campak
- Pengukuran berat badan menurut umur atau lebih baik pengukuran berat menurut
panjang/tinggi badan
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan untuk diagnosis TB anak yaitu:
1. Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan sputum pada anak terutama dilakukan pada anak usia lebih dari 5 tahun,
HIV positif, gambaran kelainan paru luas.
Cara mendapatkan sputum pada anak :
• Dahak Pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan sputum /
dahak secara langsung dengan berdahak
• Bilas lambung Bilas lambung dengan NGT dapat dilakukan pada anak yang tidak
dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan minimal 2 hari
berturut-turut pada pagi hari.
• Induksi sputum Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak
semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila
menggunakan lebih dari 1 sampel.

Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB :


Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain (cairan tubuh atau
jaringan biopsi) minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi hari. Hasil dari pemeriksaan
BTA:
• Negatif : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan
• Positif + (1+) : Ditemukan 10 - 99 BTA / 100 Lapangan Pandang
• Positif ++ (2+) : Ditemukan 1 - 10 BTA / 1 Lapangan Pandang
• Positif +++ (3+) : Ditemukan > 10 BTA / 1 Lapangan Pandang

a. Tes cepat molekuler (TCM) TB


1) Line Probe Assay dan NAAT-Nucleic Acid Amplification Test dapat mendeteksi
kuman Mycobacterium tuberculosis dalam waktu kurang lebih 2 jam.
2) Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman Mycobacterium
tuberculosis secara molecular sekaligus menentukan ada tidaknya resistensi terhadap
rifampicin. Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diagnostic yang lebih baik daripada
pemeriksaan mikroskopis sputum.
3) Contohnya yaitu Xpert/MTB RIF. Minimal 1 ml sputum, bukan saliva, tanpa sisa
makanan, dengan penyimpanan yaitu suhu <35Cmaksimal 3 hari atau maksimal 10
hari.

b. Pemeriksaan biakan
Pemeriksaan biakan yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik apusan
langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman Mycobacterium
tuberculosis dan pemeriksaan PCR. Merupakan Gold Standart diagnosis TB dengan
menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari
sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan).
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit
mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas
lambung didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur
hasil dinyatakan positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat
ini PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk
pemeriksaan klinis rutin Pemeriksaan biakan sputum dan uji kepekaan obat
dilakukan jika fasilitas tersedia. Jenis media untuk pemeriksaan biakan :
1) Media padat : hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu
2) Media cair : hasil biakan bisa diketahui lebih cepat (1-2 minggu) tetapi lebih
mahal

2. Uji Tuberkulin (Mantoux Test)


Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak,
khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberkulin tidak
bisa membedakan antara infeksi dan sakit TB. Hasil positif menunjukkan adanya
infeksi dan tidak menunjukkan ada tidaknya sakit TB, sebaliknya hasil negatif belum
tentu menyingkirkan diagnosis TB. Tes ini dilakukan berdasarkan adanya
hipersensitivitas tubuh akibat adanya infeksi oleh M.Tuberkulosis sebelumnya. Hal
ini yang dimediasi oleh sel2 limfosit T yang telah tersensitisasi akibat terinfekasi
oleh M.Tuberkulosis secara alamiah. Tes ini dilakukan dengan menginjeksikan
tuberculin tes (PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU), dosis 0,1 cc, secara intrakutan di
bagian volar lengan bawah. Reaksi tuberculin mulai 5-6 jam setelah penyuntikan dan
indurasi maksimal terjadi setelah 48 – 72 jam dan selanjutnya berkurang selama
beberapa hari. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran
dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan pada bagian yang hiperemis atau
eritemanya. dilakukan pada ruangan dengan pencahayaan yang baik dan lengan
bawah sedikit difleksikan pada siku. Hasil pembacaan diukur dan ditulis dalam
ukuran millimeter. Hasil interpretasi:
• Pembengkakan (indurasi) : 0 – 4 mm, uji mantoux negative Arti klinis: tidak ada
infeksi Mycobacterium tuberculosis
• Pembengkakan (indurasi) : 5 – 9 mm, uji mantoux meragukan Hal ini bisa karena
kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi
BCG
• Pembengkakan (indurasi) : ≥ 10 mm, uji mantoux positif Arti klinis: sedang atau
pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis

3. Pemeriksaan Radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibanding pemeriksaan sputum, tapi dalam beberapa hal pemeriksaan radiologis
memberikan beberapa keuntungan seperti tuberkulosis pada anak – anak dan tuberculosis
millier. Pada kedua hal tersebut diagnosa dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologi
dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. Pada anak dengan uji
tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan radiologis. Gambaran radiologis paru yang
biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru:
1. Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran.
2. Pembesaran kelenjar paratrakeal.
3. Penyebaran milier.
4. Penyebaran bronkogen
5. Atelektasis
6. Pleuritis dengan efusi.
Pemeriksaan radiologis pun saja tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis
tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya.

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang maka


dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan jumlah skor >6 (sama atau
lebih dari 6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat pengobatan dengan obat
anti tuberkulosis (OAT). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan ke arah TB
kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung,
patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan
dll.

Tabel Sistem scoring diagnosis TB anak

Interpretasi scoring TB pada anak, yaitu sebagai berikut


• Jika skor ≥ 6 maka diagnosis TB dan obati dengan OAT
• Jika skor < 6 dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak erat maka observasi
gejala selama 2-4 minggu. Bila menetap evaluasi ulang suspect diagnosis TB.
2.7 Diagnosis Banding
1. Pneumonia
2. Abses paru
3. Kanker paru
4. Bronkiektasis

2.8 Pencegahan
Investigasi kontak
Investigasi kontak (IK) adalah salah satu cara menentukan pasien TB secara aktif
termasuk TB pada anak. Investigasi kontak seharusnya dilakukan pada semua oran yang
berkontak dengan pasien TB. Anak menjadi sasaran prioritas IK karena alasan berikut :
1. Apabila kontak erat dengan menderita TB paru yang infeksius, anak lebih berisiko untuk
terinfeksi dan setelah terinfeksi anak berisiko tinggi untuk menjadi sakit TB

2. Jika anak TB, anak berisiko lebih tinggi untuk menderita TB berat seperti meningitis TB dan
TB milier dengan resiko kematian yang tinggi. Anak balita yang tinggal serumah dengan
penderita TB paru dewasa lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah sehingga lama
berkontak dengan kasus indeks dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih tua yang
mempunyai aktivitas di luar rumah lebih banyak.

3. Jika tidak diobati dengan benar, anak-anak degan infeksi laten TB yang teridentifikasi melalui
investigasi kontak dapat berkembang menjadi kasus TB di masa dewasanya, yang merupaka
sumber penularan baru di masa mendatang.

Vaksinasi BCG
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guérin) adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang
berasal dari Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-1 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi >1
bulan harus didahului dengan uji tuberkulin/ Mantoux test.
Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program Pemberian
Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin BCG cfcktif untuk mencegah terjadinya
TB berat seperti TB milier dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Vaksinasi
BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan
Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis
yang virulen. Imunitas timbul 6 – 8 minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi
tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi super infeksi meskipun biasanya tidak
progresif dan menimbulkan komplikasi yang berat.
Kemoprofilaksis
- Kemoprofilaksis primer diberikan pada anak yang belum terinfeksi (uji tuberkulin
negatif) tetapi kontak dengan penderita TB aktif. Obat yang digunakan adalah INH 5
– 10 mg/kgBB/hari selama 2 – 3 bulan.
- Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak dengan uji tuberkulin positif tanpa
gejala klinis, dan foto paru normal, tetapi memiliki faktor resiko menjadi TB aktif,
obat yang digunakan adalah INH 5 – 10 mg/kgBB/hari selama 6 –12 bulan.1

2.9. Penatalaksanaan
Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri atas terapi (pengobatan) pada anak yang
sakit, profilaksis primer (pencegahan) anak yang berkontak dengan pasien TB dan profilaksis
sekunder pada anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB. Prinsip pengobatan TB anak sama
dengan TB dewasa, dengan tujuan:
1. Menyembuhkan pasien TB
2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangak panjangnya
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat
5. Menurunkan transmisi TB
6. Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin
7. Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang.
Edukasi yang harus diberikan untuk orang tua pada saat penatalaksaan TB anak sedang
berlangsung:
1. Obat TB diberikan dalam paduan obat, tidak boleh diberikan sebagai monoterapi
2. Pengobatan diberikan setiap hari
3. Pemberian gizi yang adekuat
4. Menacari penyakit penyerta, jika ada ditata laksana secara bersamaan.

Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/ intensif (2 bulan pertama) dan
sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada
fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4
bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada anak dapat diberikan setiap hari, baik pada intensif
maupun tahap lanjutan.
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan dalam
bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket OAT anak
berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), sedangkan
untuk tahap lanjutan, yaitu Rifampisin dan isoniazid.

Nama Dosis (mg/kgBB/hari) Dosis maksimal (mg/hari)

Isoniazid (INH) 5-15 mg/kgBB/hari 300 mg/hari

Rifampisin (RIF) 10-20 mg/kgBB/hari 600 mg/hari

Pirazinamid (PZA) 25-35 mg/kgBB/hari 2000 mg/hari

Streptomisin (harus 15-40 mg/kgBB/hari 1250 mg/hari


parenteral)

Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari 1000 mg/hari

Paduan OAT disediakan dalam bentuk kombinasi dosis tetap = KDT. Tablet KDT untuk anak
tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu :
- Tablet RHZ yang merupakan kombinasi dari R (Rifampisin), H (Isoniazid), dan Z
(Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
- Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H (Isoniazid)
yang digunakan pada tahap lanjutan.
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak dan komposisi
dari tablet KDT tersebut.

Dosis KDT pada anak


Berat badan (KG) 2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 Tablet 1 Tablet
10-14 2 Tablet 2 Tablet
15-19 3 Tablet 3 Tablet
20-32 4 Tablet 4 Tablet

Keterangan :
- Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk kerumah sakit
- Anak dengan BB > 33 kg, disesuaikan dengan dosis dewasa
- Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
- OAT KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh atau digerus
Bila paket KDT belum tersedia dapat digunakan paket OAT Kombipak anak dosisnya

Dosis OAT Kombipak fase awal/intensif pada anak

Jenis obat BB <10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG


(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Dosis OAT Kombipak fase lanjutan pada anak

Jenis obat BB <10 KG BB 10-20 KG BB 20-32 KG


(KOMBIPAK)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul antara lain:
 TB milier

 Meningitis TB
 Efusi pleura
 Pneumotoraks
 Bronkiektasis
 Atelektasis

2.11 Prognosis
• Jika kuman sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang
minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya.
• Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap
berbagai rejimen obat, yang berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut.
• Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka kesembuhan
menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid) terjadi
perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB milier
maka angka kematian hampir mencapai 100%

BAB III
KESIMPULAN
Penyakit tuberkulosis dapat menyerang semua umur, baik pada anak maupun orang
dewasa. Penyakit ini juga salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di
negara berkembang maupun di Negara maju yaitu merupakan satu diantara 10 penyebab
kematian utama di dunia. Pada saat yang sama, anak-anak memiliki angka kematian yang jauh
lebih tinggi, dengan 230.000 kematian setiap tahunnya. Peningkatan angka kematian merupakan
cerminan dari tantangan dalam mendiagnosis dan mengobati TB pada anak, terutama yang
paling rentan termasuk anak kecil di bawah 5 tahun dan anak-anak dengan koinfeksi HIV.
Insiden penyakit TBC semakin meningkat ketika mereka masuk remaja dan mulai
mengembangkan penyakit tipe dewasa.

Dalam mencegah penyakit ini dapat dilakukan upaya dengan pemberian vaksinasi BCG
sewaktu anak baru lahir atau dengan kemoprofilaksis primer pada anak yang belum terinfeksi
(uji tuberkulin negatif) tetapi kontak dengan penderita TB aktif, yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi tuberculosis pada anak, dengan memberikan Isoniazid 5-15mg/kgbb/hari, dosis
tunggal dan kemoprofilaksis sekunder bertujuan untuk mencegah aktifnya infeksi sehingga anak
tidak sakit yang ditandai dengan uji tuberculin (+) terapi gejala klinis dan radiologis normal,
yang diberikan adalah isoniazid 10mg/kgbb/hari selama 6-12 bulan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jaganath D, Beaudry J, Salazar-Austin N. Tuberculosis in Children. Infect Dis Clin North


Am. 2022 Mar;36(1):49-71. doi: 10.1016/j.idc.2021.11.008. PMID: 35168714; PMCID:
PMC8867883.
2. Deutsch-Feldman M, Pratt RH, Price SF, Tsang CA, Self JL. Tuberculosis - United
States, 2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Mar 26 2021;70(12):409–414.
doi:10.15585/mmwr.mm7012a1 [PubMed: 33764959]
3. Thomas, T. A. (2019). Tuberculosis in Children. Thoracic Surgery Clinics, 29(1), 109–
121. doi:10.1016/j.thorsurg.2018.09.00
4. World Health Organization (WHO). Tuberculosis in women. 2019.
5. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. InfoDatin
Tuberkulosis [Internet]. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta; 2018. Available from:
https://www.depkes.go.id/article/view/18030500005/waspadai-peningkatan-penyakit
menular.html%0Ahttp://www.depkes.go.id/article/view/17070700004/program
indonesia-sehat-dengan-pendekatan-keluarga.htm
6. Indah M : Tuberkulosis. Infodatin : Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
2018.
7. RSUD Al-Ihsan Bandung [Internet]. Bandung: 10 besar penyakit | RSUD Al-Ihsan
Provinsi Jawa Barat; 2018 [updated 4 Des 2018; diunduh 2 Januari 2020]. Tersedia dari:
rsudalihsan.
8. Sterling TR, Njie G, Zenner D, Cohn DL, Reves R, Ahmed A, et al. Guidelines for the
treatment of latent tuberculosis infection: recommendations from the National
Tuberculosis Controllers Association and CDC, 2020. Am J Transplant.
2020;20(4):1196-206.
9. Indah M : Tuberkulosis. Infodatin : Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
2018.
10. Herchline T. Tuberculosis. eMedicine. 2018.
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak. 2016.
12. Retno. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu
Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga. FKUI.
13. Thomas, A. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5555046/. Diakses
pada tanggal 1 Januari 2023.

Anda mungkin juga menyukai