Anda di halaman 1dari 24

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK SARI PUSTAKA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS FEBRUARI 2023


HASANUDDIN

TUBERKULOSIS PARU PASCA PRIMER PADA ANAK

Oleh :
NUR AISYAH
Pembimbing :
dr. Amiruddin L, Sp.A(K)
dr. Rahmawaty, Sp.A(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS


PPDS-1 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................3
A. DEFINISI.........................................................................................................3
B. EPIDEMIOLOGI..............................................................................................3
C. FAKTOR RISIKO............................................................................................4
D. ETIOLOGI DAN TRANSMISI TB....................................................................4
E. PATOFISIOLOGI............................................................................................7
F. MANIFESTASI KLINIS..................................................................................12
G. DIAGNOSIS...................................................................................................13
H. TATALAKSANA............................................................................................17
BAB III............................................................................................................... 20
KESIMPULAN...................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit kesehatan global utama, yang
setiap tahunnya menyumbang hampir 10 juta kasus baru seperti yang
diperkirakan oleh World Health Organization (WHO). Pada tahun 2020, WHO
mengumumkan bahwa terdapat 5,8 juta kasus TB dan 1,5 juta kematian di
seluruh dunia akibat TB. Oleh karena adanya pandemi, jumlah kasus baru TB
menurun pada tahun 2020, sedangkan jumlah kematian akibat TB meningkat
dibandingkan tahun 2019. Tingkat kumulatif penurunan infeksi TB antara
tahun 2015 dan 2020 adalah 11%. Jumlah kasus baru atau kasus berulang
berkisar dari <5 hingga >500 per 100.000 penduduk per tahun tergantung pada
negara dan oleh karena itu TB tetap menjadi tantangan utama bagi kesehatan
global dan biaya sosial. 1
Tuberkulosis disebut sebagai “penyakit sosial”, karena adanya faktor
sosial ekonomi yang mempengaruhi kerentanan terhadap kesehatan yang buruk
termasuk perumahan, kemiskinan, jenis kelamin, agama, pendidikan, tempat
kerja, gaya hidup, dan sistem perawatan kesehatan. 2
Secara global, kasus tuberculosis pada anak juga tinggi, dan banyak
terlihat pada anak di bawah usia lima belas tahun. Dengan sekitar 1,1 juta
kasus dan 230.000 kematian (80% lebih muda dari lima tahun) dilaporkan
setiap tahun di seluruh dunia. Oleh karena itu, TB anak terus menjadi tantangan
kesehatan masyarakat yang berkelanjutan, terutama di negara berkembang di
mana terdapat keterbatasan infrastruktur kesehatan masyarakat. 3
Tuberkulosis pasca primer ialah terjadinya reaktivasi bakteri yang
dorman dan menetap di jaringan selama beberapa bulan atau beberapa tahun
setelah infeksi primer, dan mulai kembali bermultiplikasi. Hal ini dapat terjadi
akibat melemahnya sistem imun host seperti pada infeksi HIV. Diagnosis
penyakit ini terutama pada anak masih menjadi tantangan bagi kalangan medis.
Oleh karena itu, pendekatan untuk mendiagnosis tuberkulosis pada anak
didasarkan pada hal berikut: anamnesis klinis yang cermat (termasuk riwayat
kontak dengan kasus tuberkulosis dan gejala yang sesuai dengan penyakit);

1
pemeriksaan klinis menyeluruh, dengan perhatian khusus pada aspek
perkembangan anak; hasil tes tuberkulin; temuan X-Ray Thoraks; konfirmasi
bakteriologis bila memungkinkan; pemeriksaan khusus organ yang terlibat; dan
tes HIV. 4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis pasca primer
merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang sebelumnya pernah
tersensitisasi bakteri M.tuberculosis. terjadi setelah periode laten yang
memakan waktu bulanan higga tahunan setelah infeksi primer. 5

B. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit kesehatan global utama, yang
setiap tahunnya menyumbang hampir 10 juta kasus baru seperti yang
diperkirakan oleh World Health Organization (WHO). Pada tahun 2020, WHO
mengumumkan bahwa terdapat 5,8 juta kasus TB dan 1,5 juta kematian di
seluruh dunia akibat TB. Oleh karena adanya pandemi, jumlah kasus baru TB
menurun pada tahun 2020, sedangkan jumlah kematian akibat TB meningkat
dibandingkan tahun 2019. Tingkat kumulatif penurunan infeksi TB antara
tahun 2015 dan 2020 adalah 11%. Jumlah kasus baru atau kasus berulang
berkisar dari <5 hingga >500 per 100.000 penduduk per tahun tergantung pada
negara.1
Berdasarkan Global TB Report 2018, diperkirakan di Indonesia pada
tahun 2017 terdapat 842.000 kasus TB baru (319 per 100.000 penduduk) dan
kematian karena TB sebesar 116.400 (44 per 100.000 penduduk) termasuk
pada TB-HIV positif. Angka notifikasi kasus (case notification rate/CNR) dari
semua kasus dilaporkan sebanyak 171 per 100.000 penduduk. Secara nasional
diperkirakan insidens TB HIV sebesar 36.000 kasus (14 per 100.000
penduduk). Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 12.000 kasus
(diantara pasien TB paru yang ternotifikasi) yang berasal dari 2.4% kasus baru
dan 13% kasus pengobatan ulang. Terlepas dari kemajuan yang telah dicapai
Indonesia, jumlah kasus tuberkulosis baru di Indonesia masih menduduki
peringkat ketiga di dunia dan merupakan salah satu tantangan terbesar yang

3
dihadapi Indonesia dan memerlukan perhatian dari semua pihak, karena
memberikan beban morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Tuberkulosis
merupakan penyebab kematian tertinggi setelah penyakit jantung iskemik dan
penyakit serebrovaskuler. Pada tahun 2017, angka kematian akibat tuberkulosis
adalah 40/100.000 populasi (tanpa TB-HIV) dan 3,6 per 100.000 penduduk
(termasuk TB-HIV).5
Secara global, kasus tuberculosis pada anak juga tinggi, dan banyak
terlihat pada anak di bawah usia lima belas tahun. Dengan sekitar 1,1 juta
kasus dan 230.000 kematian (80% lebih muda dari lima tahun) dilaporkan
setiap tahun di seluruh dunia.3

C. FAKTOR RISIKO
Secara umum, terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah:5
1. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.

2. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang.

3. Perokok

4. Konsumsi alkohol tinggi

5. Anak usia <5 tahun dan lansia

6. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang infeksius.

7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh:


lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)

8. Petugas kesehatan

D. ETIOLOGI DAN TRANSMISI TB


Infeksi tuberculosis dikaitkan erat dengan beberapa bakteri:
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium
africanum, Mycobacterium microti and Mycobacterium cannettii.
M.tuberculosis (MTB), hingga saat ini merupakan bakteri yang paling sering
ditemukan, dan menular antar manusia melalui rute udara.

4
M. bovis dapat bertahan dalam susu sapi yang terinfeksi dan melakukan
penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi jaringan limfe orofaring
saat seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang terinfeksi tersebut. Angka
kejadian infeksi M.bovis pada manusia sudah mengalami penurunan signifikan
di negara berkembang, hal ini dikarenakan proses pasteurisasi susu dan telah
diberlakukannya strategi kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak.
Penularan tuberkulosis biasanya lewat udara melalui percik renik atau
droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seorang yang terinfeksi TB
paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara. Percik renik juga dapat
dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan yang
menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya induksi sputum,
bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau
pengolahan jaringan di laboratorium. Percik renik, yang merupakan partikel
kecil berdiameter 1 sampai 5 μm dapat menampung 1-5 basilli, dan bersifat
sangat infeksius, dan dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam. Karena
ukurannya yang sangat kecil, percik renik ini memiliki kemampuan mencapai
ruang alveolar dalam paru, dimana bakteri kemudian melakukan replikasi.
Terdapat 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB :
1) Jumlah organisme yang keluar ke udara.

2) Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang dan


ventilasi.

3) Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.


Satu kali batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu
kali bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis
yang diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil. Kasus
yang paling infeksius adalah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan
sputum positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius. Pasien
dengan hasil pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak terlalu infeksius. Kasus
TB ekstra paru hampir selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita juga
memiliki TB paru. Individu dengan TB laten tidak bersifat infeksius, karena

5
bakteri yang menginfeksi mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat melalukan
transmisi ke organisme lain.
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan
minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu
yang lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili
dengan cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan
yang gelap. Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi
meningkatkan risiko penularan. Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan
tersebut berkembang menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun
individu. Pada individu dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan
berkembang menjadi penyakit TB dan hanya 10% dari kasus akan menjadi
penyakit TB aktif (setengah kasus terjadi segera setelah terinfeksi dan
setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko paling tinggi terdapat pada dua
tahun pertama pasca-terinfeksi, dimana setengah dari kasus terjadi. Kelompok
dengan risiko tertinggi terinfeksi adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan
lanjut usia.
Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit TB
aktif dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal. 50-60% orang
dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan mengalami penyakit TB yang
aktif. Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi medis lain di mana sistem imun
mengalami penekanan seperti pada kasus silikosis, diabetes melitus, dan
penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresan lain dalam jangka
panjang.
Anak-anak di bawah usia 2 tahun, terutama janin dan neonatus, paling
rentan terhadap infeksi TB dan lebih rentan terkena penyakit berat karena
sistem kekebalan tubuh yang masih belum berkembang. Sehingga, mereka
tidak memiliki perlindungan terhadap respons sitokin pro-inflamasi yang
berbahaya karena mereka masih bertransisi dari lingkungan intrauterin yang
seharusnya steril ke lingkungan eksternal yang terpajan antigen. Anak-anak
kurang dari 5 tahun biasanya tidak berkembang menjadi TB aktif segera
setelah infeksi MTB tetapi memiliki peluang 10% untuk mengalami reaktivasi

6
saat dewasa. Selain itu, pasien anak berisiko lebih besar terinfeksi dan
mengembangkan penyakit aktif setelah kontak dengan pasien dewasa yang
menderita TB. Oleh karena itu, anak-anak merupakan kelompok penting dari
pasien yang membutuhkan pengujian dan terapi infeksi TB laten. Anak-anak
berfungsi sebagai reservoir potensial untuk TB aktif di kemudian hari dan ini
dibuktikan dengan fakta bahwa secara global, sekitar 67 juta anak adalah
pembawa infeksi TB laten. 3
Saat anak-anak terinfeksi Mtb, mereka seringkali lebih rentan sakit
lebih cepat daripada orang dewasa yang sama-sama terpapar. Sehubungan
dengan populasi anak-anak, penyakit TB pada orang dewasa biasanya
dikaitkan dengan infeksi dorman sebelumnya yang kemudian berkembang
menjadi penyakit aktif bertahun-tahun kemudian, karena melemahnya sistem
kekebalan yang sering diakibatkan oleh penyakit yang mendasari, obat-obatan,
atau faktor lingkungan lainnya.3,6

E. PATOFISIOLOGI
Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan
trakea-bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di
mana nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus yang
kemudian akan memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap basilus.
Infeksi bergantung pada kapasitas virulensi bakteri dan kemampuan bakterisid
makrofag alveolus yang mencernanya. Apabila basilus dapat bertahan
melewati mekanisme pertahanan awal ini, basilus dapat bermultiplikasi di
dalam makrofag.
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23-32 jam
sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun
eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi.
Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan jumlahnya akan
mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang cukup untuk menimbulkan
sebuah respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi pada uji
tuberkulin skin test. Bakteri kemudian akan merusak makrofag dan

7
mengeluarkan produk berupa tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian
akan menstimulasi respon imun.
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar
melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran darah
dan menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui memiliki
resistensi terhadap replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar dan limpa
ditemukan hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan
dideposit di bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak, di mana kondisi
organ-organ tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri Mycobacteria.
Pada beberapa kasus, bakteri dapat berkembang dengan cepat sebelum
terbentuknya respon imun seluler spesifik yang dapat membatasi
multiplikasinya.
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili. TB
pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang sebelumnya
pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten yang memakan
waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal ini dapat
dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali
bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya sistem
imun host seperti pada infeksi HIV. Reinfeksi terjadi ketika seorang yang
pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh kontak dengan orang
yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil kasus, hal ini
merupakan bagian dari proses infeksi primer. Setelah terjadinya infeksi primer,
perkembangan cepat menjadi penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada
anak dibanding pada orang dewasa.

8
Gambar 1. Patogenesis terjadinya TB
Catatan:
1) Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadic (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat focus koloni
di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Focus ini
berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2) Kompleks primer terdiri dari focus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3)
3) TB primer adalah kompleks primer dan komplikasi-komplikasinya.
4) TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi focus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar
(eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type TB)
Perang gesekan pada granuloma hanya ada pada TB primer. Ini dapat
menghasilkan penyakit serius pada anak-anak dan orang dewasa dengan
kekebalan tubuh yang lemah. Tahap penyakit ini terjadi pada sebagian besar

9
model hewan. TB pasca-primer dimulai tanpa gejala (Gambar 1). TB pasca
primer juga dikenal sebagai TB bronkogenik karena penyebarannya melalui
bronkus lebih banyak daripada melalui limfatik atau aliran darah. Proses ini
dimulai dengan akumulasi asimtomatik antigen Mycobacterium dan lipid inang
yang berkepanjangan dan asimtomatik dalam makrofag alveolar sebagai
persiapan untuk serangan masif mendadak yang menghancurkan jaringan yang
cukup untuk menghasilkan rongga yang mampu mendukung sejumlah besar
organisme untuk ditransmisikan ke inang baru. Granuloma pada TB pasca-
primer secara morfologis berbeda dari TB primer. Mereka terbentuk
belakangan untuk mengelilingi pneumonia kaseosa nekrotik yang sudah ada
sebelumnya yang gagal dikeluarkan melalui batuk dalam pembentukan kavitas.
Granuloma TB primer memiliki kaseum homogen dengan lipid perifer dan
dapat ditemukan di semua organ. Granuloma TB pasca-primer, hanya
ditemukan di paru yang terdiri dari struktur alveolar yang dikelilingi oleh
peradangan granulomatosa. Lesi tersebut berkembang dari pneumonia caseous
yang sudah ada sebelumnya.7

Gambar 2. Patogenesis tuberculosis dalam tiga aksi. Penyebaran bronkogenik


yang berkepanjangan dari infeksi subklinis asimtomatik pada makrofag
alveolar. Sebagian besar lesi mengalami regresi secara spontan. Setelah 1-2
tahun, beberapa mengalami nekrosis kaseosa mendadak untuk menghasilkan
cavitas dan fibrokaseosa pasca-primer. Granuloma TB pasca primer berbeda

10
dengan TB primer karena mengandung “ghost” dinding alveolar, yang
merupakan sisa dari pneumonia kaseosa.7

Sebuah penelitian pada hewan coba dilakukan oleh Robert, dkk. tahun
2018 untuk melihat gambaran TB pasca primer. Paru hewan coba diperiksa dua
bulan setelah infeksi ketika hewan menunjukkan tanda-tanda penyakit klinis.
Paru hewan coba menunjukkan gambaran beberapa stadium penyakit dalam
satu paru yang tipikal dengan TB pasca-primer pada manusia. Lesi paling awal
adalah kumpulan makrofag di ruang alveolar, Gambar 3A. Dinding alveolar
kemudian menebal dengan sel limfoid, Gambar 3B. Lesi ini, terutama yang
lebih besar, biasanya berhubungan dengan obstruksi bronkial yang merupakan
bukti penyebaran infeksi bronkogenik. Dengan pemeriksaan lebih dekat, lesi
yang lebih besar terdiri dari massa pneumonia caseous nekrotik yang beberapa
di antaranya memiliki rongga sentral, Gambar 3C. Jaringan granulomatosa (sel
epiteloid dan fibroblas yang dikelilingi oleh limfosit) terdapat di sekitar lesi
yang tampak lebih tua. Hal ini sesuai dengan pengamatan bahwa granuloma
TB pasca primer pada manusia hanya terbentuk sebagai respons terhadap
pneumonia kaseosa yang ada. Di beberapa daerah, foamy makrofag alveolar
hadir di alveoli yang berdekatan dengan massa kaseosa. Beberapa di antaranya
telah mengalami nekrosis yang memperluas massa kaseosa, panah Gambar 3C.
Gambar 3D adalah gambar yang menunjukkan perkembangan pneumonia
kaseosa dan pneumonia lobular. Semua perubahan ini mirip dengan patologi
pengembangan TB pasca-primer pada manusia di mana cavitas berkembang
dari peleburan pneumonia kaseosa dan granuloma pasca-primer hanya
terbentuk secara sekunder sebagai respons terhadap pneumonia kaseosa
nekrotik yang tidak dikeluarkan melalui batuk. 7

11
Gambar 3. gambaran beberapa stadium penyakit dalam satu paru hewan coba.
A. Dinding alveolar kemudian menebal dengan sel limfoid, B. Lesi ini,
terutama yang lebih besar, biasanya berhubungan dengan obstruksi bronkial
yang merupakan bukti penyebaran infeksi bronkogenik. C. Jaringan
granulomatosa (sel epiteloid dan fibroblas yang dikelilingi oleh limfosit)
terdapat di sekitar lesi yang tampak lebih tua. D. perkembangan pneumonia
kaseosa dan pneumonia lobular. 7

F. MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan tuberculosis pasca primer biasanya asimptomatik, atau
dengan gejala ringan. Gejala utama tuberkulosis anak meliputi kelelahan,
kehilangan nafsu makan, keringat malam, lemas, penurunan berat badan, dan
demam. Ketika penyakit mencapai paru, anak dapat mengalami nyeri dada dan
batuk (produktif atau nonproduktif), yang dalam kasus yang jarang dapat
disertai dengan hemoptisis. Tanda dan gejala lain termasuk demam (sedang,
menetap selama 15 hari atau lebih, dan sering timbul pada malam hari),
penurunan berat badan, anoreksia, hemoptisis, pucat, limfadenopati, dan
hepatosplenomegali. Batuk terus-menerus (produktif atau tidak) adalah gejala
utama penyakit paru, yang merupakan bentuk paling umum dari tuberkulosis

12
pediatrik. Eritema nodosum, keratokonjungtivitis, dan nyeri sendi juga dapat
terjadi. Hemoptisis dapat terjadi pada masa remaja tetapi jarang terjadi pada
masa kanak-kanak.4

G. DIAGNOSIS
Sampai saat ini, diagnosis tuberculosis pada anak menjadi tantangan
tersendiri. Oleh karena itu, pendekatan untuk mendiagnosis tuberkulosis pada
anak didasarkan pada hal berikut: anamnesis klinis yang cermat (termasuk
riwayat kontak dengan kasus tuberkulosis dan gejala yang sesuai dengan
penyakit); pemeriksaan klinis menyeluruh, dengan perhatian khusus pada
aspek perkembangan anak; hasil tes tuberkulin; temuan X-Ray Thoraks;
konfirmasi bakteriologis bila memungkinkan; pemeriksaan khusus organ yang
terlibat; dan tes HIV. 4
Pernyataan WHO juga menyoroti pentingnya melakukan konfirmasi
bakteriologis atau molekuler dengan tes molekuler untuk M. tuberculosis dan
resistensi terhadap rifampisin (Xpert MTB/RIF) dan tidak merekomendasikan
apa yang disebut “tes terapeutik”; yaitu upaya menegakkan diagnosis dengan
menerapkan pengobatan tuberkulosis dan menunggu perbaikan status klinis
pasien. 4
Pada anak dengan HIV/AIDS, tuberkulosis harus diselidiki pada semua
kunjungan klinis rutin dengan menanyakan adanya empat gejala utama:
demam, batuk, keringat malam, dan penurunan berat badan. Jika ditemukan
salah satu dari gejala tersebut, maka ada kemungkinan anak menderita
tuberculosis sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih rinci.4
Secara umum, penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4
hal, yaitu:8
1) Konfirmasi bakteriologis TB
2) Gejala klinis yang khas TB
3) Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberculin positif atau kontak
erat dengan pasien TB)
4) Gambaran foto toraks sugestif TB

13
Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan
pemeriksaan sputum:8
1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) positif, anak didiagnosis
TB dan diberikan obat OAT
2. Jika hasil pemeriksaan mirobiologi (BTA/TCM) negative atau specimen
tidak dapat diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberculin dan foto toraks
maka:
a. Jika tidak ada fasilita satau tidak ada akses untuk uji tuberculin dan
foto toraks:
1) Jika anak ada Riwayat kontak erat dengan pasien TB menular, anak
dapat didiagnosis TB dan diberikan OAT
2) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis selama 2-4
minggu. Bila pada follow up gejala menetap, rujuk anak untuk
pemeriksaan uji tuberculin dan foto toraks.
b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberculin dan foto toraks, hitung skor
total menggunakan system skoring:
1) Jika skor total ≥ 6  diagnosis TB dan obati dengan OAT
2) Jika skor total < 6, dengan uji tuberculin positif atau ada kontak
erat  diagnosis TB dan obati dengan OAT
3) Jika skor total < 6, dan uji tuberculin negative atau tidak ada
kontak erat  observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap,
evaluasi ulang kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas
pelayanan Kesehatan yang lebih tinggi.

14
Gambar 3. Alur diagnosis TB Paru Anak8
Keterangan:
*) Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum
**) Kontak TB paru dewasa dan kontak TB paru anak terkonfirmasi
bakteriologis
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak ada respon dengan
pengobatan adekuat, evaluasi ualang diagnosis TB dan adanya
komorbiditas atau rujuk.

15
Tabel 1. Sistem skoring TB Anak8
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak jelas - Laporan BTA (+)
keluarga,
BTA (-) /
BTA tidak
jelas /
tidak tahu
Uji negatif - - Positif (≥
tuberculin 10 mm
(Mantoux) atau ≥ 5
mm pada
imunokom
promais)
Berat - BB/TB < Klinis gizi -
badan/ 90% atau buruk atau
keadaan BB/U < BB/TB
gizi 80% <70% atau
BB/U
<60%
Demam - ≥2 minggu - -
yang tidak
diketahui
Batuk - ≥2 minggu - -
kronik
Pembesara - ≥1 cm, - -
n kelenjar lebih dari 1
limfe kolli, KGB,
aksilla, tidak nyeri
inguinal

16
Pembengk - Ada - -
akan pembengk
tulang/sen akan
di panggul,
lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Gambaran - -
kelainan sugestif
tidak jelas (mendukun
g) TB
Skor Total

Karakteristik dari dari TB post primer yakni ditemukannya kavitas pada


lobus superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan sputum
biasanya menunjukkan hasil yang positif dan biasanya tidak ditemukan
limfadenopati intratorakal.5

17
H. TATALAKSANA
Penyakit tuberkulosis pada anak diobati dengan menggunakan
kombinasi obat antituberkulosis biasanya selama enam bulan untuk TB yang
sensitif terhadap obat atau lebih jika diperlukan, terutama bila terjadi resistensi.
Terlepas dari hasil uji kepekaan obat, terapi TB terutama difokuskan pada
penyembuhan pasien dan pengurangan penularan komunitas MTB. Perlu
diketahui bahwa penyakit TB dapat berulang pada anak-anak jika pemberian
obat dihentikan sebelum waktunya.3
Selain itu, jika obat diminum secara tidak benar, bakteri yang masih
aktif mungkin lebih sulit dan lebih mahal untuk diobati, menjadi resisten, dan
membuat pengobatan bertahan lebih lama (hingga delapan belas hingga dua
puluh empat bulan). Pengobatan TB yang rentan atau resistan terhadap obat
serupa pada orang dewasa dan anak-anak dengan variasi dalam hal dosis dan
kombinasi. Anak-anak mentolerir obat antituberkulosis jauh lebih baik
daripada orang dewasa dan memiliki risiko toksisitas yang lebih rendah.
Pemilihan rejimen obat khusus untuk pasien anak terutama bergantung pada
identitas strain Mtb penyebab penyakit (yaitu, sensitif atau resisten terhadap
obat). 3
Biasanya, rejimen diekstrapolasi dari dosis dewasa tetapi karena
perbedaan farmakodinamik, fisiologis, dan perkembangan antara orang dewasa
dan anak-anak, dosis pediatrik harus disesuaikan dengan berat badan dan usia
anak. Dosis antibiotik yang tidak sesuai dapat menghambat hasil farmakoterapi
yang diinginkan pada pasien anak yang menderita penyakit TB aktif. 3
Sekitar 80% kematian terkait dengan infeksi TB pediatrik aktif terjadi
pada kelompok usia kurang dari lima tahun, dengan hampir 90% dari kasus ini
terdiri dari anak-anak yang tidak memulai pengobatan antituberkulosis
apapun.3
Pengobatan TB-MDR (infeksi dengan strain M. tuberculosis yang
resisten terhadap setidaknya rifampisin dan isoniazid) pada masa kanak-kanak
masih berdasarkan rejimen yang direkomendasikan untuk orang dewasa. Ada
kemajuan baru-baru ini untuk mengurangi waktu pengobatan dalam situasi

18
khusus yang relevan dengan anak-anak, terutama karena pengenalan
diarylquinoline bedaquiline baru-baru ini dalam rejimen pengobatan tersebut.
Oleh karena itu, rejimen hanya 9-12 bulan dapat diresepkan pada pasien yang
belum pernah diobati untuk MDR-TB. Rejimen jangka panjang pada pasien
dengan MDR-TB dapat melibatkan pengobatan selama 20 bulan atau lebih. 4
Dalam evaluasi koinfeksi tuberkulosis/HIV pada anak,
direkomendasikan bahwa semua orang yang didiagnosis dengan HIV/AIDS
dan tuberkulosis aktif harus memulai terapi kombinasi antiretroviral (ART),
terlepas dari bentuk klinis tuberkulosis dan jumlah limfosit T CD4+. Perlu
diingat bahwa bentuk penyakit yang tidak khas terjadi pada pasien dengan
tingkat defisiensi imun yang lebih tinggi yang disebabkan oleh infeksi HIV. 4
Selama pengobatan koinfeksi tuberkulosis/HIV, ketika rejimen ART
dipilih, harus dipertimbangkan bahwa rifampisin adalah penginduksi kuat
sitokrom P450 dan glikoprotein P, yang secara signifikan mengurangi
konsentrasi protease inhibitor dan transkriptase balik non-nukleosida dalam
plasma. inhibitor, karena obat tersebut menggunakan jalur metabolisme yang
sama. 9
Sejak 2015, formulasi obat antituberkulosis dalam kombinasi dosis
tetap, disajikan sebagai tablet yang dapat larut dengan rasa yang enak, telah
tersedia dalam dosis berikut: rifampisin (75 mg), isoniazid (50 mg), dan
pirazinamid (150 mg) untuk fase intensif; dan rifampisin (75 mg) dan isoniazid
(75 mg) untuk fase pemeliharaan. 4
Tabel 1. Regimen pengobatan tuberculosis pada anak dibawah 10 tahun
Fase Obat Dosis harian, berdasarkan berat badan pasien
Pengo ≤ 20 21-25 26-30 31-35 36-40 41-45 ≥ 45
batan kg kg kg kg kg kg kg
mg/kg mg mg mg mg mg mg
2RHZ Rifampin 15 300 450 500 600 600 600
(10-
20)
Isoniazid 10 (7- 200 300 300 300 300 300

19
15)
Pyrazinami 35 750 1000 1000 1500 1500 2000
de (30-
40)
4RH Rifampin 15 300 450 500 600 600 600
(10-
20)
Isoniazid 10 (7- 200 300 300 300 300 300
15)

BAB III

20
KESIMPULAN

Tuberkulosis pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host
yang sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri M.tuberculosis. terjadi setelah
periode laten yang memakan waktu bulanan higga tahunan setelah infeksi primer.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama beberapa
bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali bermultiplikasi.
Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya sistem imun host seperti
pada infeksi HIV. Pasien dengan tuberculosis pasca primer biasanya
asimptomatik, atau dengan gejala ringan. Penegakkan diagnosis berdasarkan hasil
anamnesis (termasuk riwayat kontak dengan kasus tuberkulosis dan gejala yang
sesuai dengan penyakit); pemeriksaan klinis menyeluruh, dengan perhatian
khusus pada aspek perkembangan anak; hasil tes tuberkulin; temuan X-Ray
Thoraks; konfirmasi bakteriologis bila memungkinkan; pemeriksaan khusus organ
yang terlibat; dan tes HIV. Penyakit tuberkulosis pada anak diobati dengan
menggunakan kombinasi obat antituberkulosis biasanya selama enam bulan untuk
TB yang sensitif terhadap obat atau lebih jika diperlukan, terutama bila terjadi
resistensi.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Global tuberculosis report 2021. Geneva: World Health Organization; 2021.
Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO. Available from:
https://www.who.int/publications/i/item/9789240037021. Accessed 23 Jan 2023.
2. Lee JY, Kwon N, Goo G yeon, Cho S il. Inadequate housing and pulmonary
tuberculosis: a systematic review. BMC Public Health. 2022;22(1).
doi:10.1186/s12889-022-12879-6
3. Maphalle LNF, Michniak-Kohn BB, Ogunrombi MO, Adeleke OA. Pediatric
Tuberculosis Management: A Global Challenge or Breakthrough? Children.
2022;9(8). doi:10.3390/children9081120
4. Carvalho ACC, Cardoso CAA, Martire TM, Migliori GB, Sant’Anna CC.
Epidemiological aspects, clinical manifestations, and prevention of pediatric
tuberculosis from the perspective of the End TB strategy. Jornal Brasileiro de
Pneumologia. 2018;44(2):134-144. doi:10.1590/s1806-37562017000000461
5. Menkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Tatalaksana Tuberkulosis.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia; 2019.
6. Latent TB infection and TB disease. Centers for Disease Control and Prevention;
2020. Available from: https://www.cdc.gov/tb/topic/basics/tbinfectiondisease.htm.
Accessed 23 Jan 2023
7. Hunter RL, Actor JK, Hwang SA, et al. Pathogenesis and animal models of post-
primary (Bronchogenic) tuberculosis, a review. Pathogens. 2018;7(1).
doi:10.3390/pathogens7010019
8. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB Anak. 2016
9. Saunders J,Smith T.Malnutrition : causes and consequences. Clin Med 2010
10. Wu R, Wang L,Kuo HCD, Shannar A, Peter R, Chou PJ et al. An update on
current therapeutic drugs treating tuberculosis. Curr Pharmacl reports. 2020

22

Anda mungkin juga menyukai