Anda di halaman 1dari 60

Laporan Kasus

Pneumoniae

Oleh :

Anindya Pujiningtyas S.Ked

NIM. 1830912320135

Pembimbing :

Dr. Priyanti Kisworini, Sp.A, M. Kes

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Oktober, 2019
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL…........................................................................... i

DAFTAR ISI…........................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN …............................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 5

BAB III LAPORAN KASUS............................................................... 34

BAB IV PEMBAHASAN....................................................... ............. 49

BAB V PENUTUP............................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 58

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian

besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri/virus) dan sebagian

kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll).1 Namun, sebagian besar

episode serius disebabkan oleh bakteri, dan Streptococcus pneumonia adalah

bentuk bakteri yang paling banyak dilaporkan pada anak usia pra-sekolah dan usia

sekolah.2,3 Kejadian pneumonia sebagai bentuk inflamasi pada parenkim paru

sebenarnya dapat terjadi pada segala usia dan angka kejadian pneumonia terutama

pada anak-anak yang dirawat disalah satu rumah sakit di Indonesia dilaporkan

masih tinggi dan terus meningkat tiap tahunnya.4 Kejadian pneumonia di

Indonesia juga terbukti mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebesar 2,1%

menjadi 2,7% pada tahun 2013.5 Pada tahun 2007, pneumonia menjadi salah satu

penyebab kematian balita di Indonesia sebesar 15,5%. Bahkan termasuk penyakit

penyebab kematian kedua tertinggi setelah diare diantara balita. 6 Angka kematian

balita di Indonesia berkisar 32 kematian per 1000 kelahiran hidup, sedangkan

target kesehatan dunia angka kematian anak dibawah 5 tahun ialah 25 kematian

per 1000 kehidupan.7 Oleh karena itu salah satu upaya menurunkan angka

kematian balita tersebut adalah dengan menurunkan angka kematian dan kesakitan

balita akibat pneumonia.

Peningkatan kejadian pneumonia pada balita diperngaruhi beberapa

aspek, baik dari aspek individu anak, perilaku orang tua, maupun lingkungan.

1
Anak dengan daya tahan tubuh terganggu akan menderita pneumonia berulang,

dan kepadatan hunian di rumah merupakan faktor lingkungan yang dapat

meningkatkan kerentanan balita terhadap pneumonia.8 Menurut penelitian Anwar

dan Dharmayanti, faktor sosial, demografi, ekonomi, dan kondisi lingkungan fisik

rumah secara bersama-sama dilaporkan berperan penting terhadap kejadian

pneumonia pada balita dan anak-anak di Indonesia. 5 Pneumonia merupakan salah

satu penyakit infeksi menular yang menyebabkan kematian pada balita dan

anakanak di dunia, termasuk di Indonesia.9,6

Keadaan inflamasi pada parenkim paru akan menstimulasi liver untuk

menghasilkan hormon inflamasi hepsidin, dimana salah satu fungsi hormon ini

dapat menghambat proses eritropoiesis sehingga menyebabkan penurunan

hemoglobin darah.10 Anak dibawah 6 tahun dengan kadar hemoglobin dibawah

9,3 g/dl disebut anemia.2 Prevalensi anemia pada anak balita di negara

berkembang sekitar 40-50%, dan dari 200 juta penduduk Indonesia diperkirakan

50 sampai 70 juta orang menderita anemia defisiensi besi.11

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini diperkirakan telah menginfeksi

sepertiga penduduk dunia, bahkan pada tahun 1993, WHO (World Health

Organization) mencanangkan kedaruratan global penyakit TB, karena sebagian

besar negara di dunia, penyakit TB ini tidak terkendali. Ini disebabkan banyaknya

penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular Basil

2
Tahan Asam (BTA) positif. Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi

sekitar 9 juta penderita baru TB dengan kematian 3 juta orang. Sekitar 95 %

penderita TB berada di negara berkembang, dimana 75% dari angka tersebut

adalah kelompok usia produktif (15 – 50 tahun), dengan kematian mencapai 25%.
12

Penanggulangan TB terutama di Negara berkembang masih belum

memuaskan, karena angka kesembuhan hanya mencapai 30% saja. Masalah yang

dihadapi adalah :

a. Meningkatnya populasi TB sehubungan adanya letusan Human

Immunodeficiency Virus (HIV)

b. Timbulnya resistensi terhadap beberapa obat anti TB

c. Kurangnya biaya pengadaan obat TB seperti Rifampisin dan

Pirazinamid yang relatif mahal

d. Kurangnya perhatian aparat pemerintah terhadap besarnya masalah TB

dini dan kurang terpadu penanggulangannya 13

Pengobatan yang rasional sangat penting, terutama di negara berkembang

karena dana untuk pengobatan sangat terbatas demi mendapatkan pelayanan

kesehatan yang luas. Kerasionalan penggunaan obat erat kaitannya dengan 2

penulisan resep yang benar, ketersediaan obat, peracikan obat yang benar, aturan

pakai yang benar (dosis, lama pengobatan), jalur pemberian, khasiat serta keadaan

dan mutu obat. Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis

Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi anatara 1-2

%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 % berarti setiap tahun di antara 1000

3
penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi

tidak akan menderita TB, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi

penderita TBC. Dari keterangan tersebut diatas, dapat diperkirakan bahwa pada

daerah dengan ARTI 1% maka antara 100.000 penduduk rata – rata terjadi 100

penderita Tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif.12

Dengan meningkatnya kejadian TBC pada dewasa, maka jumlah anak

yang terinfeksi TBC akan meningkat dan jumlah anak dengan penyakit TBC juga

meningkat. Tuberculosis primer pada anak kurang membahayakan masyarakat

karena kebanyakan tidak menular, tetapi pada anak sendiri cukup berbahaya oleh

karena dapat timbul TBC ekstra torakal yang sering kali menjadi penyebab
14
kematian atau menimbulkan cacat misalnya TBC meningitis dan TBC tulang.

Tuberkulosis pada anak merupakan faktor penting di negara – negara berkembang

karena jumlah anak berusia < 15 tahun adalah 40 – 50 % dari jumlah seluruh

populasi. Penyakit tuberkulosis pada anak dapat terjadi pada semua usia, namun

lebih sering terjadi pada usia 1- 4 tahun. 15

Berdasarkan pemaparan diatas, dalam laporan kasus kali ini akan

dipaparkan seorang anak perempuan berusia 1 tahun yang didiagnosis dengan

pneumonia dd suspect TB PAru Anak, dirawat inap dari tanggal 14 Oktober 2019

di bangsal Anak 2A RSUD Anshari Sholeh sebagai bahan pembelajaran untuk

menambah wawasan dan ilmu pengetahuan agar sebagai seorang klinisi mampu

membuat diagnosa klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara

mandiri dan tuntas.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian

besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil

disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dll). 1 Namun sebagian besar episode

serius disebabkan oleh bakteri,2 dan Streptococcus pneumonia adalah bentuk

bakteri yang paling banyak dilaporkan pada anak usia pra-sekolah dan usia

sekolah.4

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini diperkirakan telah menginfeksi

sepertiga penduduk dunia, bahkan pada tahun 1993, WHO (World Health

Organization) mencanangkan kedaruratan global penyakit TB, karena sebagian

besar negara di dunia, penyakit TB ini tidak terkendali. Ini disebabkan banyaknya

penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular Basil

Tahan Asam (BTA) positif. Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi

sekitar 9 juta penderita baru TB dengan kematian 3 juta orang. Sekitar 95 %

penderita TB berada di negara berkembang, dimana 75% dari angka tersebut

adalah kelompok usia produktif (15 – 50 tahun), dengan kematian mencapai 25%
11
.

Tuberkulosis paru pada anak adalah penyakit tuberkulosis paru yang

terjadi pada anak usia 0-14 tahun. TB anak biasanya muncul di lingkungan

5
dimana TB menjadi penyakit yang biasa. TB pada anak juga merupakan salah satu

penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara endemik TB. 15

Pasien TB pada anak jarang menularkan bakteri Mycobacterium

tuberculosis pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya karena bakteri TB

sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Beberapa hal

yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah pertama karena jumlah bakteri pada

anak umumnya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah,

bakteri yang sedikit tersebut sudah dapat menyebabkan sakit. Kedua, lokasi

infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya

terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi

sputum. Ketiga, tidak ada atau sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya

reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk

pada TB anak. 16

Beberapa perbedaan antara TB pada anak dengan TB pada orang dewasa

adalah lokasi TB pada anak terdapat pada setiap bagian paru, sedangkan pada

orang dewasa terdapat didaerah apeks dan infra klavikuler, pada anak terjadi

pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada orang dewasa tanpa

pembesaran kelenjar limfe regional, pada anak penyembuhan dengan perkapuran,

sedangkan pada orang dewasa dengan fibrosis, pada anak ebih banyak terjadi

penyebaran hematogen, sedangkan pada orang dewasa jarang terjadi penyebaran

hematogen. 17

Tuberkulosis pada anak memiliki permasalahan khusus yang berbeda

dengan orang dewasa. Secara umum tantangan utama dalam program

6
pengendalian TB anak adalah sulitnya melakukan diagnosis karena gejala pada

anak tidak khas sehingga sering terjadi kecenderungan diagnosis yang berlebihan

(overdiagnosis) yang diikuti dengan overtreatment, di lain pihak juga ditemukan

underdiagnosis yang diikuti undertreatment. Karena tuberkulosis pada anak

umumnya tidak menular sehingga tuberkulosis pada anak kurang mendapat

perhatian dari program pengendalian TB nasional yang lebih memprioritaskan

mencegah penularan TB dengan menemukan dan mengobati kasus dengan BTA

positif. 17

B. Patofisiologi

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui

saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang

mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian

paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin,

eritrosit, cairan edema dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut

stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah,

terdapat fibrin dan leukosit PMN, di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang

cepat. Stadium ini disebut stadium stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah

makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis,

kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. 1

Seorang anak biasanya tertular penyakit TB dari orang dewasa. Penularan

tuberkulosis paru terjadi karena bakteri dibatukkan atau di bersinkan keluar

menjadi percik renik (droplet nuclei) dalam udara. Partikel infeksi dapat menetap

7
dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada atau tidaknya sinar

ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana gelap dan

lembab bakteri dapat bertahan selama berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan.

Bila partikel infeksi ini terhirup oleh orang sehat, bakteri akan masuk ke dalam

paru melalui pernafasan, dan hal ini merupakan cara penularan yang terbanyak,

tapi hal ini bukan merupakan satu-satunya cara. TB juga dapat menginfeksi anak

lewat makanan atau minuman susu yang terkontaminasi Mycobacterium

tuberculosis jenis bovin dan infeksi dapat dimulai dari mulut atau usus. Bila

terjadi infeksi primer dalam usus atau seringkali pada tonsil namun hal ini jarang

terjadi. Selain itu, penularan TB juga dapat terjadi melalui kulit. Kulit yang utuh

akan tahan terhadap tuberkulosis. Tetapi bila terdapat luka, Mycobacterium

tuberculosis dapat masuk dan terjadi infeksi sebagaimana yang terjadi pada paru.
18

Paru merupakan Port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB.

Mycobacterium tuberculosis dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya

sangat kecil akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Bakteri ini akan di hadapi

pertama kali oleh neutrofil, pada sebagian kasus bakteri penyebab TB dapat

dihancurkan seluruhnya oleh neutrofil, akan tetapi pada sebagian kasus lainnya,

tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat

menghancurkan seluruh bakteri, makrofag alveolus akan memfagosit bakteri

penyebab TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil

bakteri penyebab TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di

dalam sitoplasma makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.

8
Selanjutnya bakteri Mycobacterium tuberculosis membentuk lesi di tempat

tersebut yang dinamakan fokus primer Ghon. Dari fokus primer Ghon, bakteri TB

menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar

limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini

menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar

limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau

tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus

(perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru yang akan terlibat

adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan

limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex). 18

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa

inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8

minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga

mencapai jumlah 103–104 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons

imunitas selular. 18

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah

terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB

terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin

masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi

9
baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.

Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila

imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli

akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated

immunity, CMI). 18

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya

akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi

setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga

akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan

menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan

gejala sakit TB. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus

di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan

menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Universitas Sumatera Utara 15

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal

infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus

dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal

menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil

(ballvalve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar

yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan

menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial

10
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada

bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang

sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi,

sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan

hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe

regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara

limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman

masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya

penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit

sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,

kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Bakteri TB kemudian akan mencapai berbagai organ

di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling

sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga

Universitas Sumatera Utara 16 bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang,

ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi

tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks

paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami

reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa. Bentuk penyebaran hematogen

yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized

hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan

beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan

11
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB

diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah

terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman

TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis

diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam

mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di

bawah dua tahun. Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted

hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di

dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar

kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat

penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic

spread. 19

C. Diagnosis

Pada pemeriksaan penunjang foto thorax akan ditemukan konsolidasi pada

lobus yang terinfeksi. Konsolidasi muncul padat dan non-aerasi, akibat infiltrasi

dari eksudat, pus, dan sel-sel inflamasi. Adanya infiltrat di lobus lebih

mengutamakan penyebab bakteri dibanding penyebab virus.20 Hal ini sejalan

dengan penelitian, bahwa grup anak-anak dengan perubahan berupa infiltrat di

alveolus dan lobus, 69% adalah pneumonia bakterial, dan 18% adalah pneumonia

viral. Selain itu sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan foto thorax (CXR posisi

frontal) untuk konsolidasi lobus adalah 100%.21

12
Gambar 2.1 Hubungan Diagnosis Klinis dan Klasifikasi Pneumonia2

Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah

dengan menemukan bakteri penyebab TB yaitu Mycobacterium tuberculosis pada

pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun

biopsi jaringan. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak

direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan

Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan

Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan

diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena

sulitnya pengambilan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum

atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas

tersedia. Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, terutama bagi anak

yang mampu mengeluarkan dahak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan

dahak mikroskopis. Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada

anak >5 tahun. Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan

pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak, spesimen dianjurkan

13
dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari. Induksi sputum relatif

aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, dengan hasil yang

lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1

sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan

dan peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini. Kesulitan lainnya

adalah sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary). Jumlah bakteri TB di sekret

bronkus pasien TB anak lebih sedikit dari dewasa karena lokasi kerusakan

jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian

perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa.

BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000

bakteri dalam 1 ml dahak. Untuk mengatasi kesulitan menemukan bakteri

penyebab TB pada anak dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan

memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya

riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi

penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu

dibuktikan apakah anak telah tertular bakteri penyebab TB dengan melakukan uji

tuberkulin. Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan

diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan

melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat

ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark produksi dari

Biofarma, namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan

kesehatan. Efektifitas dalam menemukan infeksi TB dengan uji tuberkulin adalah

lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TB aktif

14
uji tuberkulin positif 100%, umur 1-2 tahun 92%, 2-4 tahun 78%, 4-6 tahun 75%,

dan umur 6-12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin

besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa

cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering

digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan

bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji

tuberkulin 48-72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter pembengkakan

(indurasi) yang terjadi apabila pembengkakan (indurasi) 0-4 mm berarti uji

mantoux negatif, tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis. Pembengkakan

(indurasi) 5-9 mm berarti uji mantoux meragukan, hal ini bisa karena kesalahan

teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.

Pembengkakan (indurasi) ≥10 mm artinya uji mantoux positif, hal ini berarti

sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Uji tuberkulin yang

positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen

(tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan

bahwa pernah ada Mycobacterium tuberculosis yang masuk ke dalam tubuh anak

atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum

tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau

imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak

cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini

yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak

lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi

menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis

15
dan radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat

menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian

dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks. Pemeriksaan

penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun

gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada

penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat

digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum,

gambaran radiologis yang menunjang TB adalah adanya pembesaran kelenjar

hilus/paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat , konsolidasi segmental/lobar, efusi

pleura, milier, atelektasis, kavitas, kalsifikasi dengan infiltrat, dan tuberkuloma.

Berdasarkan keterangan sebelumnya, mendiagnosis TB anak sulit dilakukan

karena gejalanya tidak khas, dibuatlah suatu kesepakatan penanggulangan TB

anak oleh beberapa pakar. Kesepakatan ini dibuat untuk memudahkan penanganan

TB anak secara luas, terutama apabila ditemui keterbatasan sarana diagnostik

yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai

sistem skoring. Sistem skoring ini dikembangkan dan diuji coba melaui tiga tahap

oleh para ahli IDAI, Kemenkes, dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai

salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di

fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga

kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun

pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi

terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis. Hal-hal yang perlu diperhatikan

dalam melakukan penilaian/pembobotan pada sistem skoring adalah parameter uji

16
tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai tertinggi

yaitu 3, uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan

diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring, pasien dengan

jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT. 18

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT

(Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara

cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan

baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis

tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan

rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam penegakan diagnosis dengan sistem skoring adalah diagnosis

ditegakkan oleh dokter, namun apabila di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut

tidak ada dokter wewenang terbatas diberikan kepada petugas kesehatan terlatih

strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu

pada pedoman nasional ; anak dididagnosis TB jika skor ≥6, dengan skor

maksimal 13 ; anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA

positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi tanpa gejala klinik, maka dilakukan

observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak; foto toraks

bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak ; pasien usia balita yang

mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut

dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut ; anak dengan skor 5 yang terdiri dari

kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji

tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak.

17
Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan

klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai ; semua bayi dengan reaksi

cepat (<2 minggu ) saat imunisasi BCG dicurigai telah terinfeksi TB dan harus

dievaluasi dengan sistem skoring TB anak ; Jika dijumpai skrofuloderma, anak

langsung dapat didiagnosis TB ; untuk daerah dengan fasilitas pelayanan

kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia)

maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB

dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13; pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2

tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya

kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit

penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari

pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang

dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan

pada anak tersebut pada saat diagnosis. 19

18
D. Manifestasi klinis

Gambaran klinis pneumonia pada anak bergantung pada berat-

ringannya infeksi tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

a.) Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,

penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah

atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.1

b.) Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,

takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis.1

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,

suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonates dan bayi kecil, gejala

dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlibat. Pada perkusi

dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan. Beberapa faktor yang

mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas anatomik

19
dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang

kadangkadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur

diagnostic invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering dan faktor

pathogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan factor penting

yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu

dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia1

Gejala umum TB pada anak adalah sebagai berikut:

a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan

adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang

baik.

b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan

demam tifoid, infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas akut, malaria, dan lain-

lain) dapat disertai keringat malam. Demam umumnya tidak tinggi. Keringat

malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai

dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.

c. Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit.

d. Gejala-gejala respiratorik seperti batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-

remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan

sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. Gejala respiratorik yang lain adalah

tanda cairan di dada, nyeri dada.

e. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh

(failure to thrive). f. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

g. Gejala gastrointestinal seperti diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak

20
sembuh dengan pengobatan baku diare,benjolan/ massa di abdomen, tanda-tanda

cairan di dalam abdomen. 20

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang

terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit,

adalah sebagai berikut:

a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran

KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan

kadang saling melekat atau konfluens.

b. Tuberkulosis otak dan selaput otak terdiri dari meningitis TB dan tuberkuloma

otak. Gejala pada meningitis TB adalah gejala-gejala meningitis dengan seringkali

disertai gejala akibat keterlibatan saraf-saraf tak yang terkena. Gejala pada

tuberkuloma otak adalah adanya lesi desak ruang.

c. Tuberkulosis sistem skeletal terdiri dari tuberkulosis tulang belakang

(spondilitis) ditandai dengan adanya penonjolan tulang belakang (gibbus).

Tuberkulosis tulang panggul (koksitis) ditandai dengan adanya gangguan berjalan,

pincang, atau tanda peradangan di daerah panggul. Tuberkulosis tulang lutut

(gonitis) dengan gejala pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang

jelas. Tuberkulosis tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

d. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi

ulkus (skin bridge).

e. Tuberkulosis mata : konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)

dan tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai

21
bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas

dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB. 19

G. Tatalaksana

Namun hingga saat ini belum ada standarisasi minimal penegakkan

diagnosis dan pendekatan terapi pneumonia komunitas anak, hanya bergantung

pada hasil pemeriksaan penunjang radiografi, dan penatalaksaannya tergantung

pada pendapat konsensus.14

a.) Pneumonia Ringan. Di samping batuk atau kesulitan bernapas, hanya

terdapat napas cepat saja. Napas cepat yaitu pada anak umur 2 bulan – 11

bulan: ≥ 50 kali/menit, sedangkan pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40

kali/menit Pastikan bahwa anak tidak mempunyai tanda-tanda pneumonia

berat. Anak cukup rawat jalan. Beri antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg

TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg

BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5

hari. Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk

membawa kembali anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan

anak memburuk atau tidak bisa minum atau menyusu. Ketika anak

kembali maka jika pernapasannya membaik (melambat), demam

berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai

seluruhnya 3 hari. Jika frekuensi pernapasan, demam dan nafsu makan

tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk

kembali 2 hari lagi, namun jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di

rumah sakit dan tangani sesuai pedoman di bawah ini.2

22
b.) Pneumonia Berat. Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal

salah satu hal berikut ini: kepala terangguk-angguk, pernapasan cuping

hidung, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, foto dada

menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi, dll) Selain

itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:2

• Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit,

• Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali/menit,

• Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit,

• Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali/menit,

• Suara merintih (grunting) pada bayi muda.

Pada auskultasi terdengar:2

• Crackles (ronki),

• Suara pernapasan menurun, dan

• Suara pernapasan bronkial.

Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:2

• Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan

semuanya,

• Kejang, letargis atau tidak sadar,

• Sianosis, dan

• Distres pernapasan berat.

23
Untuk keadaan di atas ini tatalaksana pengobatan dapat berbeda (misalnya:

pemberian oksigen, jenis antibiotik) dan anak dirawat di rumah sakit. Beri

ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus

dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang

baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di

rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5

hari berikutnya. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat

keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan

semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat)

maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).2

Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan

pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-

gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV

sekali sehari). Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan

buat foto dada.2

Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan

gentamisin (7.5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau

IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari–3 kali pemberian). Bila

keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4

kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara

oral selama 2 minggu.2

Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat Bila tersedia pulse

oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen (berikan pada anak

24
dengan saturasi oksigen <90%, bila tersedia oksigen yang cukup). Lakukan

periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan

pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil >90%. Pemberian oksigen setelah saat

ini tidak berguna Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.

Masker wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen harus tersedia

secara terus-menerus setiap waktu.2

Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan

dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas >70/menit) tidak

ditemukan lagi. Perawat sebaiknya memeriksa sedikitnya setiap 3 jam bahwa

kateter atau prong tidak tersumbat oleh mukus dan berada di tempat yang benar

serta memastikan semua sambungan baik. Sumber oksigen utama adalah silinder.

Penting untuk memastikan bahwa semua alat diperiksa untuk kompatibilitas dan

dipelihara dengan baik, serta staf diberitahu tentang penggunaannya secara benar.2

Bila anak disertai demam (>390C) yang tampaknya menyebabkan distres,

beri parasetamol. Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronkhodilator kerja cepat.

Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak,

hilangkan dengan alat pengisap secara perlahan. Pastikan anak memperoleh

kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak, tetapi hati-hati terhadap kelebihan

cairan/overhidrasi.

• Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.

• Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan

cairan rumatan dalam jumlah sedikit tetapi sering. Jika asupan cairan

oral mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk

25
meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan risiko pneumonia

aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik,

pasang keduanya pada lubang hidung yang sama.

Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Beri

makanan sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam

menerimanya.

Anak harus diperiksa oleh perawat paling sedikit setiap 3 jam dan oleh

dokter minimal 1 kali per hari. Jika tidak ada komplikasi, dalam 2 hari akan

tampak perbaikan klinis (bernapas tidak cepat, tidak adanya tarikan dinding dada,

bebas demam, dan anak dapat makan dan minum).2

Tujuan pengobatan TB pada anak di antaranya adalah untuk

menyembuhkan pasien TB, mencegah kematian akibat TB atau efek jangka

panjangnya, mencegah kekambuhan penyakit TB, mencegah TB resisten obat,

menurunkan penularan TB kepada orang lain. Penggunaan Obat Anti TB yang

dipakai dalam pengobatan TB adalah antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk

membunuh bakteri Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga

mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah

resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin,

Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer.

Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri

dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan pirazinamid

paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 21

Pengobatan tuberkulosis pada anak dibagi dalam 2 tahap, yaitu tahap

26
awal/intensif selama 2 bulan pertama, dan tahap lanjutan selama 4 bulan, kecuali

pada TB berat. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif

maupun pada tahap lanjutan. Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap

pasien, OAT disediakan dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien

dalam satu masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif,

yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), sedangkan untuk tahap

lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniazid (H). Kombinasi 3 obat tersebut

memiliki success rate lebih dari 95%, dan efek samping obat kurang dari 2%. 19

Keterangan : 2HRZ artinya Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z)

diberikan setiap hari selama 2 bulan. 4HR adalah Isoniazid (H), Rifampisin (R)

diberikan setiap hari selama 4 bulan. 2HRZ tambah E dan atau S adalah Isoniazid

(H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), ditambah Etambutol (E) atau Streptomisin

(S) diberikan setiap hari selam 2 bulan. 10HR adalah Isoniazid (H), Rifampisin

(R) diberikan setiap hari selama 10 bulan.

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang

relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, panduan OAT disediakan dalam

bentuk Kombinasi Dosis Tetap/KDT (Fixed Dose Combination/FDC). Jumlah

tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak dan

komposisis dari tablet tersebut. Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam

tablet yaitu tablet RHZ dan tablet RH. Tablet RHZ merupakan tablet kombinasi

27
dari Rifampisin (R) 75 mg, Isoniazid (H) 50 mg, dan Pirazinamid (Z) 150 mg

yang digunakan pada tahap intensif. Tablet RH merupakan tablet kombuinasi dari

Rifampisin (R) 75 mg dan Isoniazid (H) 50 mg yang digunakan dalam tahap

lanjutan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah berat badan yang lebih dari

30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa, bayi di bawah 5 kg

pemberian OAT secara terpisah tidak dalam bentuk kombinasi tetap dan sebaiknya

di rujuk ke rumah sakit rujukan, apabila ada kenaikan berat badan maka dosis atau

jumlah tablet disesuaikan dengan berat badan, untuk anak obesitas dosis KDT

menggunakan berat badan ideal (sesuai umur), OAT KDT harus diberikan secara

utuh, tidak boleh dibelah dan digerus, obat dapat diberikan dengan cara ditelan,

dikunyah/dikulum, dimasukkan air dalam sendok, obat diberikan pada saat perut

kosong atau paling cepat 1 jam setelah makan, apabila OAT lepas dalam bentuk

puyer maka semua obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam 1 puyer.

Pada fase intensif pasien TB anak kontrol setiap minggu untuk melihat kepatuhan,

toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan anak

kontrol setiap bulan. Setelah OAT diberi selama 2 bulan respon pengobatan pasien

harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis

berkurang, nafsu makan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang.

28
Apabila respon pengobatan baik, maka pemberian OAT dilanjutkan sampai 6

bulan. Sedangkan bila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan

TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap.

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan

evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks.

Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk

pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akan

memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan

perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka

pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai. Pada pasien TB anak

yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan

pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan

alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA positif.

E. KOMPLIKASI

Jika anak tidak mengalami perbaikan setelah dua hari, atau kondisi anak

semakin memburuk, lihat adanya komplikasi atau adanya diagnosis lain. Jika

mungkin, lakukan foto dada ulang untuk mencari komplikasi. Beberapa

komplikasi yang sering terjadi adalah:2

a. Pneumonia Stafilokokus. Curiga ke arah ini jika terdapat perburukan klinis

secara cepat walaupun sudah terapi, yang ditandai dengan adanya

pneumotokel atau pneumotoraks dengan efusi pleura pada foto dada,

ditemukan kokus gram positif yang banyak pada sediaan apusan sputum.

29
Adanya infeksi kulit disertai pus/pustula mendukung diagnosis. Terapi

komplikasi ini dengan kloksasilin (50mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam)

dan gentamisin (7.5 mg/kgBB IM atau IV 1x sehari). Bila keadaan anak

mengalami perbaikan, lanjutkan kloksasilin oral 50mg/kgBB/hari 4 kali

sehari selama 3 minggu. Kloksasilin dapat diganti dengan antibiotic anti

stafilokokal lain seperti oksasilin, flukloksasilin atau dikloksasilin.

b. Empiema. Curiga kea rah ini apabila terdapat demam persisten, ditemukan

tanda klinis dan gambaran foto dada yang mendukung. Bila massif

terdapat tanda pendorongan organ intratorakal. Pekak pada perkusi.

Gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi

dada. Jika terdapat empyema, demam menetap meskipun sedang diberi

antibiotic dan cairan pleura menjadi keruh atau purulent. Empiema, harus

didrainase, mungkin diperlukan drainase ulangan sebanyak 2-3 kali jika

terdapat cairan lagi. Kemudian, dilakukan tatalaksana berdasarkan hasil

analisis cairan pleura terutama jumlah protein, glukosa, jumlah sel, jenis

sel, pewarnaan Gram dan pewarnaan ZN.

F. Pencegahan

a. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG) pada Anak

Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari

Mycrobacterium bovis. Efek proteksi bervariasi mulai 0-80%, bahkan di wilayah

endemis TB diragukan efek proteksinya. Namun demikian, vaksin BCG

memberikan proteksi yang cukup baik terhadap terjadinya TB berat seperti TB

30
milier dan TB meningitis yang sering terjadi pada usia muda, sebaliknya pada

anak terinfeksi HIV maka vaksin BCG tidak banyak memberikan efek

menguntungkan dan dikhawatirkan dapat menimbulkan BCG-itis diseminata,

yaitu penyakit TB aktif akibat pemberian BCG pada pasien imunokompromais.

Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan program pengembangan imunisasi

diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi >2 bulan harus

di dahului dengan uji tuberkulin. Vaksinasi ulang BCG tidak disarankan karena

karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan.

b. Skrining dan manajemen kontak

Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan

secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu anak yang mengalami

paparan dari TB BTA+, dan orang dewasa yang menjadi sumber penularan bagi

anak yang didiagnosis TB. Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah

untuk meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati temua

kasus sakit TB, identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang

asimptomatik TB, yang berisiko untuk berkembang menjadi sakit TB, dan

memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi anak

usia < 5 tahun dan infeksi HIV pada semua umur. Kasus TB yang memerlukan

skrining kontak adalah semua kasus TB dengan BTA positif dan semua kasus

anak yang didiagnosis TB. Skrining kontak ini dilaksanakan secara sentripetal

dan sentrifugal.

c. Pemberian INH Profilaksis. Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien

TB BTA positif akan terinfeksi juga. Sekitar 10% diantaranya akan berkembang

31
menjadi sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB

diseminta yang berat seperti TB meningitis atau TB milier sehingga diperlukan

pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah sakit TB. Profilaksis primer

diberikan pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa

dengan BTA positif, namun pada evaluasi tidak didapatkan indikasi gejala dan

tanda klinis TB. Obat yang diberikan adalah INH dengan dosis 10 mg/kgBB/hari

selama 6 bulan, dengan pemantauan dan evaluasi minimal satu kali per bulan.

Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG

setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai dan anak belum atau tidak

terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada anak dengan kontak erat TB yang

imunokompromais seperti pada HIV, gizi buruk dan lainnya, profilaksis INH

tetap diberikan meskipun usia di atas 5 tahun. Profilaksis sekunder diberikan

kepada anak-anak dengan bukti infeksi TB (uji tuberkulin positif) namun tidak

terdapat gejala dan tanda klinis TB. Dosis dan lama pemberian INH sama dengan

pencegahan primer. Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan dan tidak

ada gejala TB selama 6 bulan pemberian, maka rejimen isoniazid profilaksis

dapat dihentikan.

BAB III

LAPORAN KASUS

32
I. IDENTITAS

A. Identitas Penderita

Nama : An. EA

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat & tanggal Lahir : Banjarmasin, 11 oktober 2018

Umur : 1 tahun

B. Identitas Orangtua

Nama ayah : Tn. M Nama ibu : Ny. E


Usia : 24 th Usia : 23 th
Pekerjaan : pekerja pabrik Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Sidomulyo raya komplek Griya Kartika Landasan Ulin

Timur

II. ANAMNESIS

Kiriman dari : Poli RSUD Anshari Sholeh Banjarmasin

Diagnosis : obs febris + ISPA + Dermatitis

Aloanamnesis dengan : Orang tua pasien

Tanggal/jam : 22 Oktober 2019/ 19.00 WITA

Masuk rumah sakit tanggal : 18 September 2019

1. Keluhan Utama

Demam

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli anak RSUD Anshari Sholeh Banjarmasin dengan

33
keluhan demam sejak 1 hari sebelum maasuk rumah sakit. Demam timbul

perlahan, makin lama makin tinggi suhunya dan terjadi terus menerus tanpa ada

penurunan suhu badan. Demam disertai dengan batuk berdahak dan bunyi napas

yang terdengar grok grook oleh orang tua pasien. Batuk diawali tanpa adanya

dahak, namun lama kelamaan ada dahak terbentuk. Pasien tidak dapat

mengeluarkan dahak sehinnga dahak tertahan dalam tenggorokan, menyebabkan

pasien jugsa susah bernapas dan sulit untuk tidur pada malam hari. Pasien juga

menggigil pada malam hari sbelum dibawa ke poli anak. Sebelum kepoli, belum

ada dikasih obat oleh orang tua pasien. Setelah berkunjung ke poli, pasien di

rawat inapkan di bangsal anak dengan diagnosis pneumoniae. Saat di bangsal,

pasien juga didiagnosis dengan Tb paru anak, sehingga dikasih obat FDC yang

terdiri dari rifampisin 75 mg, isoniazid 50 mg, dan pirazinamid 100 mg. awal

meminum obat yaitu pada hari Sabtu tanggal 18 Oktober 2019. Efek samping dari

pemberian FDC OAT pada pasien muncul, seperti adanya keringat dan aair

kencing yang berwarna kemerahan. Untuk diagnosis pneumonia pasien diberikan

obar cefiim 2x40 mg, ondansentron 3x10 mg, dan Dexamethasone 3x25 mg.

keluhan pasien untuk hari ini pasien tidak BAB sejak hari sabtu sehinnga

diberikan microlam 1x/hari. Dan hari ini BAB mau keluar walaupun keras..

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Hal serupa tidak pernah dialami, anak tidak pernah dirawat di rumah sakit
4. Riwayat Penyakit Keluarga

Kakek pasien dirawat di Nshaari Sholeh dengan diagnosis TB paru, namun

akhirnya keluar dari rumah sakit dan tidak meminum obat TB yang diberikan

karena sudah tidak makan. Pasien dengan kakek pasien akrab dan ssering

34
digendong oleh kakek pasien.

5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Riwayat antenatal : Ibu dengan G2P2A0 rutin pemeriksaan Antenatal Care

(ANC) di puskesmas, sebanyak 6 kali ibu melakukan

ANC. Tidak ada keluhan saat kehamilan, tidak ada

penyakit serius yang diderita ibu, serta pengakuan ibu

tidak ada obat obat yang dikonsumsi selain pemberian

dari puskesmas. Ibu tidak ada memelihara kucing ataupun

hewan lainnya di rumah.

Riwayat Natal :

Spontan/tidak spontan : operasi Sectio Cesar

Nilai APGAR : Merintih

Berat badan lahir : 4800 gram

Panjang badan lahir : 48 cm

Lingkar kepala : Ibu lupa

Penolong : Dokter

Tempat : Rumah Sakit Anshari shaleh

5. Riwayat Neonatal

Anak dirawat di dalam incubator atass indikasi infeksi pada saat kehamila.

Pasien dilaahirkn dengan umur kehamilan 44 minggu.

6. Riwayat Perkembangan

Tiarap : 5 bulan

Merangkak : 7 bulan

35
Duduk : 8 bulan

Berdiri : 12 bulan

Berjalan : mulai mencoba di umur 12 bulan

Saat ini : mencba berjalan dan mengangkat bokong di umur 12 bulan

7.Riwayat Imunisasi :

Dasar Ulangan
Nama
(umur dalam bulan) (Umur dalam bulan)
BCG 0 1
Polio 0 | 2 | 3 | 4 4
Hepatitis B 0 | 2 | 3 | 4 4
DPT 2 | 3 | 4 3
Campak 9 1

8. Makanan (Tulis jenis/kualitas, kuantitas, dan umur)

Sejak lahir anak minum ASI sampai umur 12 bulan. Pemberian ASI sering,

dan susu formula sebanyak 7-8 kali sehari.

Bubur saring dari umur 7 bulann sampai sekaarang. 4 kali sehari

9. Riwayat Penyakit Keluarga

Iktisar Keturunan :

36
Ket :

: Perempuan : Laki-laki
: Pasien

Susunan Keluarga

Jelaskan : Sehat, Sakit (apa)


No. Nama Umur L/P
Meninggal (umur,sebab)
1. Tn. M 24 tahun L Sehat

2. Ny. E 23 tahun P Sehat

3. AA 10 tahun L Sehat
4. AN 4 tahun P sakit

9. Riwayat Sosial Lingkungan

Pasien tinggal di kawasan padat penduduk dan tinggal bersama orang tua.

Sumber air untuk keperluan sehari-hari menggunakan air PDAM. WC dan kamar

mandi terletak di dalam rumah.

I. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 27 Agustus 2019)

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

GCS : E4 V5 M6

2. Pengukuran

Tanda vital : Nadi : 94 x/menit, kualitas : reguler, kuat angkat

Suhu : 36.9°C,

37
SPO2 : 99% tanpa O2

Respirasi : 30 x/menit

Berat badan : 6.5 kg

Panjang/tinggi badan : 68 cm

3. Kulit : Warna : sawo matang

Sianosis : Tidak ada

Hemangiom : Tidak ada

Turgor : Cepat kembali

Kelembaban : Lembab

Pucat : (-)

Lain-lain : ptekie (-), hematom (-)

4. Kepala : Bentuk : Normocefali

UUB : menutup

UUK : menutup

Lain-lain : (-)

Rambut : Warna : Hitam

Tebal/tipis : Tipis

Distribusi : Normal

Alopesia : -

Lain-lain : -

Mata : Palpebra : Simetris, edema (-)

Alis dan bulu mata : Distribusi merata, tidak mudah dicabut

Konjungtiva : Anemis (+/+)

38
Sklera : Ikterik (+/+)

Produksi air mata : normal

Pupil : Diameter : 3 mm / 3 mm

Simetris : +/+

Reflek cahaya : +/+

Kornea : Jernih / jernih

Telinga : Bentuk : Simetris

Sekret : Tidak ada

Serumen : Minimal

Nyeri : Tidak ada

Hidung : Bentuk : Simetris

Pernafasan Cuping Hidung : Tidak ada

Epistaksis : Tidak ada

Sekret : tidak ada

Mulut : Bentuk : Simetris

Bibir : Mukosa bibir lembab, sianosis (-)

Gusi : Tidak mudah berdarah

Lidah : Bentuk : Simetris

Pucat/tidak : Tidak pucat

Tremor/tidak : Tidak tremor

Kotor/tidak : Tidak kotor

Warna : Merah muda

Faring : Hiperemi : Tidak ada

39
Edem : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

Tonsil : Warna : merah muda

Pembesaran : Tidak ada

Abses/tidak : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

1. Leher :

Vena Jugularis : Pulsasi : Tidak teraba

Tekanan : Tidak terdapat peningkatan JVP

Pembesaran kelenjar leher : Tidak ada

Kaku kuduk : Tidak ada

Massa : tidak ada

Tortikolis : Tidak ada

1. Toraks :
a. Dinding dada/paru

Inspeksi : Bentuk : Simetris (+/+)

Retraksi : Tidak ada

Dispnea : Tidak ada

Pernafasan : Thoraco-abdominal Palpasi

: Fremitus fokal : Simetris kanan dan

kiri

Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru

Auskultasi : Suara Napas Dasar : Vesikuler

Suara Tambahan : Tidak ada, rh (-) wh (-)

40
b. Jantung

Inspeksi : Iktus : Tidak terlihat

Palpasi : Apeks : Teraba di ICS V LMCS

Thrill : Tidak ada

Perkusi : Batas kanan : ICS II LPS (d) – ICS V LPS (d)

Batas kiri : ICS V LMCS

Batas atas : ICS II LPS (d) – ICS II LPS (s)

Auskultasi : Murmur (-)

1. Abdomen :

Inspeksi : Bentuk : cembung (+), distensi(-)

Lain-lain : Venektasi vena (+), hematom (-)

Spider nevi (-), petekie (-), hernia

umbilikalis (+)

Palpasi : Hati : Hepatomegali (-), margo hepatis licin,

permukaan tidak berdugul.

Lien : Tidak ada splenomegali

Ginjal : Tidak ada nyeri ketok ginjal

Massa : Tidak ada di seluruh region abdomen

Perkusi : Timpani/pekak : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal

8. Ekstremitas :

Umum : Ekstremitas atas : Akral hangat (+),parese (-), edema (-)

Ekstremitas bawah : Akral hangat (+),parese (-), edema (-)

41
Neurologis :

Lengan Tungkai
Tanda Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Klonus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Refleks ++/++ ++/++ ++/++ ++/++
Fisiologis
Refleks - - - -
patologis
Sensibilitas +(baik) +(baik) + (baik) +(baik)
Tanda - - - -
meningeal

9. Susunan Saraf : N.Kranialis I-XII normal

10. Genitalia : Perempuan, tidak ada kelainan

11. Anus : Ada, tidak ada kelainan

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 14 Oktober 2019


LED : 37 mm
WBC : 13.3
HGB : 10.7
HCT : 31.6
MCV : 71.8
MCHC: 37.9
RDW : 14.9
Neut %: 34
Lymp : 55
MXD : 11
MXD# : 1.5

42
Lymp# : 7.3

Hasil Pemeriksaan foto Thorax AP Lateral 2019


Hasil bacaan : peneumonia

RESUME

Nama : An. EA

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 1 tahun

Berat badan : 6.5 kg

Keluhan Utama : Demam

Uraian :

43
Orang tua pasien mengeluhkan anaknya demam sejak 1 hari SMRS.

Demam disertai dengan keluhan batuk berdahak (+), suara napas (-). Ada

riwayat menggigil ketika demam. Belum pernah diobati sebelumnya.

Didiagnosis TB paru anak dan pneumonia. RPD(-) RPK (+)

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Denyut Nadi : 119 kali/menit kualitas : reguler, kuat angkat

Pernafasan : 30 kali/menit

Suhu : 36.9 °C

Kulit : sawo matang, ikterik (-), pucat (-). Sianosis (-)

Kepala : Normal

Mata : Konjungtiva anemis (-), ikterik (-) ede palpebra (-)

Telinga : Normal

Hidung : Normal

Mulut : Normal

Toraks/Paru : Normal

Jantung : Normal

Abdomen : Normal

Ekstremitas : Normal

Susunan saraf : Normal

Genitalia : Perempuan

Anus : Normal

44
DIAGNOSIS

Diagnosis banding :

 pneumonia

 TB paru anak

 Emfiema paru

 Dermatitis

Diagnosis Kerja : Pneumonia + Dermatitis

PENATALAKSAAN

 IVFD RL 8 tpm

 Inj PCT 3x60 mg (kp)

 Inj cefixime 2x40 mg

 Inj dexamethasone 3x25 mg

 Inj ondansentron 3x10 mg

 FDC OAT

 Dexamethasone cream ue

 Diet 1100 kkal ikan haruan

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Follow up

1. Senin, 21 oktober 2019

45
a. S susah BAB

b. O tampak sakit sedang, compos mentis, HR 84/RR

27/Temp 36.4/SPO2 98% tanpa

O2

c. A pneumonia + dermatitis

d. P IVFD RL 8 tpm, inj cefixime 2x40 mg, inj

dexamethasone 3x25 mg, inj ondansentron 3x10 mg, FDC

OAT, dexamethasone cream, diet 1100 kkal, (+)microlax

2. Selasa, 22 oktober 2019

a. S susah BAB

b. O tampak sakit sedang, compos mentis, HR 84/RR

27/Temp 36.4/SPO2 98% tanpa

O2

c. A pneumonia + dermatitis + konstipasi

d. P IVFD RL 8 tpm, inj cefixime 2x40 mg, inj

dexamethasone 3x25 mg, inj ondansentron 3x10 mg, FDC

OAT, dexamethasone cream, diet 1100 kkal, (+)microlax

3. Rabu, 23 oktober 2019

a. S susah BAB

b. O tampak sakit sedang, compos mentis, HR 90/RR

27/Temp 36.8/SPO2 99% tanpa

O2

c. A pneumonia + dermatitis

46
d. P IVFD RL 8 tpm, inj cefixime 2x40 mg, inj

dexamethasone 3x25 mg, inj ondansentron 3x10 mg, FDC

OAT, dexamethasone cream, diet 1100 kkal, (+)microlax

BAB IV

PEMBAHASAN

Telah dilaporkan sebuah kasus bayi perempuan berumur 1 tahun dengan

47
keluhan demam, batuk berdahak, dan sesak, yang kemudian didiagnosis dengan

pneumonia berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang berupa foto thorax yang menunjukkan pneumonia.

Gambaran klinis pneumonia secara umum ditandai dengan adanya batuk

dengan napas cepat dalam beberapa hari, demam, disertai tarikan otot-otot dinding

dada, napas cuping hidung, dan pada infeksi yang berat mungkin dapat dijumpai

sianosis dan gagal napas, dan pada pemeriksaan fisik akan didapatkan napas

cepat, demam, ronkhi, dan mengi.1,2,18 Namun pada pasien tersebut didapatkan

gejala demam selama 3 harian (awal masuk saat di IGD suhu 38,0°C, napas cepat

dengan RR anak usia 3 bulan >50x menit, tarikan otot-otot dinding dada (retraksi

minimal), ronkhi di kedua lapang paru, dan saturasi oksigen 96% tanpa

suplementasi O2, tanpa adanya gejala infeksi yang sangat berat berupa sianosis

dan napas cuping hidung. Tanda bahaya lain seperti kejang, muntah, tidak mau

menyusu sama sekali, penurunan kesadaran, ataupun komplikasi pneumonia

seperti sianosis, gagal napas, atelektasis, efusi pleura, pneumothorax, abses paru,

dan lainnya tidak ditemukan.18

Hasil temuan penelitian lain bahwa pneumonia anak di rumah sakit lain

memiliki gambaran klinis berupa batuk (94,4%), napas cuping hidung (93,1%),

ronkhi (92,3%), demam (76,4%) dengan suhu 38 0C, takipnu rata-rata laju napas

60 kali/menit, takikardi dengan denyut nadi 146 kali /menit disertai retraksi otot-

otot dinding dada, mengi, dan pilek. Leukositosis rata-rata 14.000/mm 3 dan hasil

foto thoraks sesuai dengan pneumonia 95,8%. Kasus paling banyak terjadi pada

jenis kelamin laki-laki, kelompok usia 2–11 bulan (58,3%), dengan gizi baik

48
49,3%, dan nilai hemoglobin terbanyak 10,9 g/dl. 4 Hal ini sama dengan pasien

perempuan dengan umur 1 tahun dengan status gizi baik dengan nilai hemoglobin

10.7 g/dl. Dididapatkan penyakit penyerta lain seperti kecurigaan TB paru,

sebagai penyakit penyerta yang paling sering ditemukan bersamaan dengan

pneumonia. Lama sakit sebelum anak dirawat di rumah sakit terbanyak setelah

hari ke-3 yaitu 58,3%, diikuti hari sakit ke-5 dan kurang dari 2 hari, dengan lama

rawat inap rata-rata 8 hari.4 Sedangkan pada pasien dirawat inap setelah keluhan

batuk hari ketujuh dan demam hari keempat, dan diperbolehkan pulang setelah 7

hari rawat inap. Jenis pneumonia pada anak tergolong pneumonia komunitas,

sebab anak mendapat gejala dan tanda pneumonia saat diluar dari rumah sakit,

yang ditandai dengan perkembangan demam dan perburukan gejala pernapasan.

Pneumonia komunitas terbagi menjadi tipikal/bakterial tipikal dan virus atau

bacterial atipikal. Pada pasien kecurigaan pneumonia adalah indeterminate dan

cenderung bakteri tipikal, sebab kriteria pneumonia komunitas bakteri tipikal

harus memenuhi ≥3 kriteria, yaitu:demam >39,0C secara mendadak, nyeri dada

pleuritik, auskultasi fokal ditemukan ronkhi, hipoventilasi, leukositosis

≥12.000/mm3 dengan neutrofilia ≥6.000/mm3, dan konsolidasi pada foto thorax.19

Pada anak didapatkan demam yang tinggi mendadak, suhu yang tidak diukur saat

terjadi peningkatan, suara napas terdengar grok grok, leukositosis dengan nilai

13.300/mm3, dengan neutrofilia 19.600/mm3, dan gambaran foto thoraks

mengarah ke pneumonia.

Sedangkan untuk pneumonia komunitas bakteri atipikal seharusnya tidak

memenuhi semua kriteria tersebut. Streptococcus pneumonia adalah bakteri yang

49
paling sering dilaporkan sebagai penyebab umum pada anak, namun virus lebih

sering dilaporkan pada anak yang lebih kecil.19

Berdasarkan hasil salah satu penelitian di Indonesia bahwa faktor sosial,

demografi, ekonomi, dan kondisi lingkungan fisik rumah secara bersama-sama

dilaporkan berperan penting terhadap kejadian pneumonia pada balita dan anak-

anak di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis multivariat, faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap pneumonia pada balita adalah jenis kelamin, tipe tempat

tinggal, pendidikan ibu, tingkat ekonomi/kuintil indeks kepemilikan, letak dapur,

keberadaan/kebiasaan membuka jendela dan ventilasi kamar tidur. 5 Yang

berhubungan dengan pasien adalah, faktor pekerjaan ayah pasien adalah buruh,

tergolong sosial ekonomi menengah bawah, dan lingkungan tempat tinggal pasien

yang merupakan daerah padat penduduk, serta ada faktor keluarga yaitu kakek

yang meenderita TB paru, dan batuk lama, dan kondisi dapur yang tidak terpisah

dengan ruangan lainnya. Dinding rumah yang terbuat dari beton, semen, dan

sebagian triplek.

Untuk keadaan di atas ini, tatalaksana pengobatan dapat berbeda

(misalnya: pemberian oksigen, jenis antibiotik) dan anak harus dirawat di rumah

sakit.2. Obat antibiotik yang diberikan ceftriaxon 2x400 mg, yang harus dipantau

dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka

diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah

sakit dengan cefixim oral untuk 5 hari berikutnya. Bila keadaan klinis memburuk

sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau

minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar,

50
sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25

mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam). Bila pasien datang dalam keadaan klinis

berat, segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisinkloramfenikol

atau ampisilin-gentamisin.2 Pada saat awal masuk anak juga telah mendapat terapi

suplementasi oksigen 2-4 lpm nasal kanul, sedangkan antibiotik pasien ini adalah

inj.ceftriaxon 2x400 mg dan diganti ke cefixime oral ½ cth, dan terapi

simptomatik lainnya inj antrain jika demam . Antibiotik diberikan selama 5 hari

dan pasien mendapat antibiotik oral untuk selanjutnya.

Terdapat guideline lain yang menganjurkan jenis antibiotik sefotaksim

atau seftriakson ditambah klindamisin atau linkomisin sebagai terapi antibiotik

infan usia 4-16 bulan dengan pneumonia berat. Gentamisin diberikan pada usia

neonatus.20

Pasien meminum FDC OAT yang terdiri dari Rifampisin 75 mg, isoniazid

100 mg, dan pirazinamid 225 mg. terlihat efek samping setelah penggunaan dari

obat ini, yyaitu adanya keringat, warna air kencing dan BAB yang beerwarna

kemerahan. Pasien mengalami sakit perut, dan menjadi susah makan, namun

pasien tidak menolak jika didororng untuk makan.

Terapi suportif yang didapatkan pada kasus ini ialah pemberian cairan

maintenance IVFD RL 1100 cc/24 jam. Terapi laing yang diberikan adalah

dexamethasone, untuk mengobati gaatal gatal yang terjadi pada bagian

selangkangan pasien, yang muncul dalam beberapa hari ini dikarenakan

kemungkinan karena lembabnya popok yang dipakai oleh pasien. Dalam hari

pemberian, terdapat perbaikan pada bagian yang gatal pada pasien. Kemerahan

51
pada bagian lipatan selangkangan juga mulai berkurang setelah di oles tipis

dengan dexamethasone.

Jika tidak ada komplikasi, dalam 2 hari akan tampak perbaikan klinis

(bernapas tidak cepat, tidak adanya tarikan dinding dada, bebas demam, dan anak

dapat makan dan minum).2 Kondisi pasien dirawat diruangan biasa RSUD Anshari

Sholeh Banjarmasin. Pada 3 hari perawatan menunjukkan perbaikan seperti tidak

bernapa cepat, tidak demam, tidak ada retraksi dinding dada. Kondisi pasien stabil

dan semakin membaik hingga diperbolehkan pulang. Pada pasien nilai leukosit

meningkat namun belum ada menunjukkan perbaikan, namun tidak dilakukan foto

thorax evaluasi setelah pengobatan atau sebelum pulang. Selain itu tidak

dilakukan kultur darah untuk menemukan jenis bakteri penyebab pneumonia. Hal

ini mungkin dikarenakan pemeriksaan kultur bakteri memang tidak rutin

dilakukan, apalagi anak masih memberikan respon terhadap kedua macam

antibiotik tersebut. Padahal pemeriksaan kultur darah merupakan pemeriksaan

yang disarankan dilakukan pada pasien rawat inap dan pneumonia klasifikasi

moderat-berat, dan dengan komplikasi.18 Pada pasien tersebut juga tidak dilakukan

pemeriksaan analisis gas darah untuk menentukan derajat hipoksemia,

pemeriksaan test virus atau bakteri atipikal, maupun reaktan fase akut seperti C-

Reactive Protein (CRP), konsentrasi prokalsitonin serum, ataupun Erythrocyte

Sedimentation Rate (ESR).

Setelah dilakukan terapi-terapi diatas, pasien bereaksi baik dengan pilihan

terapi pengobatan. Pada hari perawatan ke enam, keadaan umum pasien baik,

batuk sudah tidak ada, saturasi oksigen 97% tanpa bantuan O 2 dan sudah tidak

52
ditemukan ronki, sehingga pasien sudah dibolehkan pulang. Pasien pulang dengan

dibawakan rumatan di rumah berupa antibiotik sefiksim, puyer (salbutamol,

ambroxol dan prednisone) dan paracetamol. Kemudian orang tua pasien diedukasi

untuk kontrol ke poli anak agar dapat memonitor kesehatan anaknya dan tidak

lupa meminum serta menyelesaikan terapi antibiotik.

Prognosis dari pneumonia pada umumnya baik dengan pengawasan dan

terapi yang adekuat. Prognosis pada pasien quo ad vitam adalah bonam karena

penyakit pada pasien saat ini tidak mengancam nyawa, walaupun menurut angka

kejadian pneumonia masih menjadi penyebab kematian anak tertinggi bersama

diare di Indonesia dan di dunia.23,24 Prognosis quo ad functionam adalah bonam

karena organ vital pasien masih berfungsi dengan baik. Gejala pneumonia apabila

cepat dikenali dan diberikan terapi yang adekuat, maka kemungkinan besar dapat

membaik.25 Prognosis quo ad sanactionam adalah dubia ad bonam karena

kejadian pneumonia dapat berulang bila faktor tidak dihentikan.

53
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus bayi perempuan usia 1 tahun dengan

keluhan sesak napas, batuk berdahak, dan demam dan didiagnosis dengan

pneumonia berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang laboratorium dan foto thorax yang menunjukkan pneumonia di

diagnosis banding dengan TB paru pada anak. Faktor risiko pasien adalah kakek

yang mngidap TB paru sejak 201 dan putus obat, kondisi rumah dan lingkungan,

serta faktor sosial ekonomi. Kondisi pasien dirawat diruangan biasa RSUD

Ansyari Sholeh Banjarmasin dengan perawatan berupa terapi cairan maintanance,

2 macam antibiotik sistemik, FDC OAT, dan obat simpton unutk panas. Kondisi

pasien stabil dan semakin membaik. Saat ini, pasien masih dirawat di RSUD

Ansyari Sholeh Banjarmasin.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Said M. Pneumonia. Dalam: Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku


Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
IDAI; 2013.

2. WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta:


World Health Organization; 2009.

3. Johnson WBR, Abdulkarim AAA. Childhood Pneumonia in Developing


Country. African Journal of Respiratory Medicine. 2013; 8(2): 1—9.

4. Nurjannah, Sovina N, Anwar S. Profil Pneumonia Pada Anak di RSUD Dr.


Zainoel Abidin, Studi Retrospektif. Sari Pediatri. 2012; 13(5): 324—328.

5. Anwar A, Dharmayanti I. Pneumonia Pada Anak Balita di Indonesia.


Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2014; 8(8): 359—365.

6. Kementrian Kesehatan Indonesia. Pneumonia Balita. Buletin Jendela


Epidemiologi. 2010; 3: 1—40.

7. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Survei


Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: BKKBN; 2018.

8. Listyowati. Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian


Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tegal Barat Kota Tegal.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2013; 2(1): 1—11.

9. UNICEF, WHO. Pneumonia: The Forgotten Killer of Children. New York:


WHO Press; 2006.

10. Budnevsky AV, Esaulenko IE, Ovsyannikov ES, Labzhaniya NB, Voronina
EV, Chernov AV. Anemic Syndrome In Patients With Community-Acquired
Pneumonia. Klin Med. 2016; 94(1): 56-60.

11. Ringoringo HP, Endang W. Profil Parameter Hematologik dan Anemian


Defisiensi Zat Besi Bayi Berumur 0-6 Bulan di RSUD Banjarbaru. Sari
Pediatri. 2006: 7(4); 214-218.

12. Depkes RI, 2007, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, edisi


2 cetakan pertama, Jakarta
13. Amin, Z., Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru. Dalam:Sudoyo, A., W., dkk.
Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam Jilid III. Ed 5. Jakarta : FKUI; 2230-2239.

58
14. Setiawati. 2008. Proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan,
Jakarta: TIM
15. World Health Organization (WHO). Global Tuberculosis Report 2015.
Switzerland. 2015.
16. Kartasasmita, C.B. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri Vol. 11
No.2 Hal. 124-129
17. Aditama, T. Y. (2009). Tuberculosis Diagnosis, Terapi dan Masalahnya,
Edisi V. Jakarta: YP-IDI.
18. Crofton, J., dkk. 1998. Tuberkulosis Klinik. Widya Medika. Jakarta
19. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta : Kemenkes
RI; 2015.
20. Schrock KS, Hayes BL, George CM. Community acquired pneumonia in
children. American Family Physician. 2012;86(7):661-667.
21. British Thoracic Sosiety Community Acquired Pneumonia in Children
Group.

Guidelinesdee for management of community acquired pneumonia in children


update. Thorax An International Journal of Respiratory Medicine.
2011;66(2):1-26.

59
60
49

Anda mungkin juga menyukai