Oleh:
ABD RAHMAN
11151030000096
Pembimbing:
Bismillahirahmanirrahim.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Puja dan puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena
atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dalam
Kepaniteraan Klinik Pulmonologi Program Studi Profesi Dokter FK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta di RSUP Fatmawati. Shalawat dan salam tak lupa juga penulis
junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW karena Ialah Nabi yang telah membawa
kita dari alam gelap gulita menuju alam yang terang menderang.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
pengajar di KSM Paru RSUP Fatmawati khususnya dr. Ratih Pahlesia, Sp.P
selaku pembimbing dalam menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari bahwa pemaparan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi pembaca
nya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menjadi
salah satu bahan dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, khususnya bagi kami
yang sedang menempuh pendidikan profesi dokter.
Wassalamu’alaikumwarahmatullahi wabarakatuh
ABD RAHMAN
BAB 1
PENDAHULUAN
PPOK masih merupakan masalah kesehatan global yang serius. PPOK akan
memiliki dampak pada berbagai aspek kehidupan, baik beban secara individual
maupun komunitas. World Health organization (WHO) memperkirakan sekitar 210
juta orang di dunia menderita PPOK. Pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang
meninggal akibat PPOK, jumlah ini sama artinya dengan 5% dari seluruh kematian
dunia. Sekitar 90 % kematian akibat PPOK terjadi pada negara dengan pendapatan
menengah atau rendah, dimana strategi pencegahan dan kontrol tidak berjalan
dengan baik.1,2
PPOK dapat dicegah dan diobati, tetapi pengobatan efektif diperlukan agar
pasien merasa nyaman (mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup
pasien) dan meningkatkan kemampuan beraktivitas dalam kegiatan sehari -hari.
Walaupun demikian keterbatasan pada saluran nafas tidak bisa disembuhkan
secara total.3 Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan
dihubungkan dengan respon inflamasi paru. Menurut dr.Wiwien H. Wiyono Sp.P
dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia “ Rokok merupakan penyebab utama dari penyakit ini dan
hampir semua negara melaporkan konstribusi rokok sebagai penyebab PPOK”
WHO memperkirakan terjadinya peningkatan angka kematian akibat PPOK
lebih dari 30% dalam 10 tahun, bila intervensi untuk menghindari factor risiko,
khususnya pajanan asap rokok tidak dilakukan dengan baik, pada tahun 2030,
PPOK bahkan diperkirakan menjadi penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia.
Melihat besarnya masalah yang ditimbulkan oleh PPOK, para ahli terus berusaha
menyempurnakan pemahaman mengenai tatalaksana kondisi ini untuk dapat
menangani dan mencegah perburukan. Penyempurnaan paradigma mengenai
inflamasi, eksaserbasi, serta dampak sistemik PPOK, terutama yang selalu
mengalami perubahan dari tahun ketahun adalah paradigma mengenai terapi jangka
panjang PPOK.2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut,
tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema Suatu kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli.4
2.2 Epidemiologi
2.4 Patogenesis5
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi
dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru.
Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah,
sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan
ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter
yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV),
sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap
kapasitas vital paksa (VEP1/KVP).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen
asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain
itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan
adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak
struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan
kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada
ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara
pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan
dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi
perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan
konstriksi hipoksik pada arteriol.
2.5. Diagnosis PPOK6
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Gambar 1. Perbedaan gambaran spirometry pada orang normal dan pasien dengan obstruksi saluran nafas
berdasarkan GOLD 2018
b. Foto Rontgen
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa
hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler
meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-
kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi
pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit
paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.
Berbeda dengan GOLD sebelumnya, GOLD revisi tahun 2017 dan 2018
mengelompokkan penderita PPOK stabil menjadi empat kelas berdasarkan pada
riwayat eksaserbasi dan penilaian gejala saja. Kriteria spirometri yang digunakan
pada kriteria terdahulu saat ini tidak dipergunakan lagi dalam pengelompokan
karena pada berbagai penelitian didapatkan bahwa FEV1 berkorelasi lemah dengan
keberatan gejala. Selain itu pada beberapa keadaan seperti keadaan emergensi atau
rawat inap, kemampuan menilai pasien berdasarkan gejala dan riwayat eksaserbasi
tanpa pemeriksaan spirometry memberikan peluang pada klinisi untuk memulai
terapi dini berdasarkan GOLD kelas ABCD
Gambar 3. Pengelompokan Pasien PPOK berdasarkan GOLD 2018
Grup B : terapi inisial sebaiknya terdiri dari long acting bronkodilator. Pemilihan
bronkodilator berdasarkan perbaikan gejala pada persepsi pasien. Untuk pasien
sesak persisten dengan monoterapi maka penggunaan kombinasi dua bronkodilator
direkomendasikan. Untuk pasien yang dari awal memang sudah sesak berat terapi
inisial dengan dua bronkodilator dapat dipertimbangkan. Jika dengan dua
bronkodilator tidak memperbaiki gejala maka pertimbangkan step down menjadi
monotorapi, Pasien grup B memiliki komorbiditas yang harus diinvestigasi karena
memiliki pengaruh pada gejala dan prognosis.
Grup C : Inisial terapi pada grup ini terdiri dari single long acting bronkodilator.
Pada perbandingan antara LAMA dan LABA monoterapi didapatkan bahwa
LAMA lebih superior dibanding LABA untuk mencegah eksaserbasi, oleh karena
itu direkomendasikan memulai terapi dengan LAMA pada grup ini. Pasien dengan
eksaserbasi persisten dapat diberikan kombinasi terapi dengan LABA/LAMA atau
LABA/ICS. Karena ICS meningkatkan risiko pneumonia maka pilihan utama
adalah LABA/LAMA.
Vaksin :
Vaksinasi influensa direkomendasikan untuk semua penderita PPOK.
Vaksin pneumokokus direkomendasikan untuk pasien berusia > 65 tahun
dan pasien dengan komorbid penyakit jantung dan paru kronik.
Pembedahan
Lung volume reduction surgery diperlukan pada pasien tertentu dengan
emfisema lobus atas.
Bronchoscope lung volume reduction intervention dipertimbangkan pada
pasien dengan advanced emfisema.
Pada pasien dengan bula yang besar, bulektomi dapat dipertimbangkan.
Pada pasien dengan PPOK sangat berat, transplantasi paru dapat
dipertimbangkan.
Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam
program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal
yang disertai:
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu: latihan fisik, psikososial dan
latihan pernapasan. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas sistem
transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan:
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan meningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan. Latihan ini
diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot
pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup
untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot
pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum,
memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita yang tidak
mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar
manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh
penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita
PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan,
maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2
darah tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance
yang diutamakan.
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita
PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak
sebesar pada orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat
meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena
meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen.
Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian
oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat.
Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita
PPOK menghentikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan
otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor
yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktivitas kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan
fungsi otot skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan
penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti
enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan control kardiovaskuler. Hal-hal yang
perlu diperhatikan sebelum latihan :
Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan
koordinasi atau pusing latihan segera dihentikan
Pakaian longgar dan ringan
Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila
diperlukan dapat diberikan obat
Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.
Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki
ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga
untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal
napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal
napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan
PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas
kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum
bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK
produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas
tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan
dapat disertai gagal jantung kanan.
BAB 3
KESIMPULAN