Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA PENYAKIT PARU


OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)

Oleh:

ABD RAHMAN
11151030000096

Pembimbing:

dr. Ratih Pahlesia, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK PULMONOLOGI


RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Puja dan puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena
atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dalam
Kepaniteraan Klinik Pulmonologi Program Studi Profesi Dokter FK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta di RSUP Fatmawati. Shalawat dan salam tak lupa juga penulis
junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW karena Ialah Nabi yang telah membawa
kita dari alam gelap gulita menuju alam yang terang menderang.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
pengajar di KSM Paru RSUP Fatmawati khususnya dr. Ratih Pahlesia, Sp.P
selaku pembimbing dalam menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari bahwa pemaparan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak agar makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi pembaca
nya.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menjadi
salah satu bahan dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, khususnya bagi kami
yang sedang menempuh pendidikan profesi dokter.
Wassalamu’alaikumwarahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 23 Januari 2019

ABD RAHMAN
BAB 1
PENDAHULUAN
PPOK masih merupakan masalah kesehatan global yang serius. PPOK akan
memiliki dampak pada berbagai aspek kehidupan, baik beban secara individual
maupun komunitas. World Health organization (WHO) memperkirakan sekitar 210
juta orang di dunia menderita PPOK. Pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang
meninggal akibat PPOK, jumlah ini sama artinya dengan 5% dari seluruh kematian
dunia. Sekitar 90 % kematian akibat PPOK terjadi pada negara dengan pendapatan
menengah atau rendah, dimana strategi pencegahan dan kontrol tidak berjalan
dengan baik.1,2
PPOK dapat dicegah dan diobati, tetapi pengobatan efektif diperlukan agar
pasien merasa nyaman (mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup
pasien) dan meningkatkan kemampuan beraktivitas dalam kegiatan sehari -hari.
Walaupun demikian keterbatasan pada saluran nafas tidak bisa disembuhkan
secara total.3 Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan
dihubungkan dengan respon inflamasi paru. Menurut dr.Wiwien H. Wiyono Sp.P
dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia “ Rokok merupakan penyebab utama dari penyakit ini dan
hampir semua negara melaporkan konstribusi rokok sebagai penyebab PPOK”
WHO memperkirakan terjadinya peningkatan angka kematian akibat PPOK
lebih dari 30% dalam 10 tahun, bila intervensi untuk menghindari factor risiko,
khususnya pajanan asap rokok tidak dilakukan dengan baik, pada tahun 2030,
PPOK bahkan diperkirakan menjadi penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia.
Melihat besarnya masalah yang ditimbulkan oleh PPOK, para ahli terus berusaha
menyempurnakan pemahaman mengenai tatalaksana kondisi ini untuk dapat
menangani dan mencegah perburukan. Penyempurnaan paradigma mengenai
inflamasi, eksaserbasi, serta dampak sistemik PPOK, terutama yang selalu
mengalami perubahan dari tahun ketahun adalah paradigma mengenai terapi jangka
panjang PPOK.2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial.
PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut,
tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema Suatu kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli.4

2.2 Epidemiologi

Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk,


dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1. Penderita
PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan
PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil penelitian Setiyanto
dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005 sampai
April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun dan
tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah
bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak
ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas (Survei
Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2%
penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok.
Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah,
ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar
anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.
2.3 Faktor Risiko4
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok
perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok - Perokok aktif - Perokok pasif - Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB),
yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

2.4 Patogenesis5
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi
dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru.
Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah,
sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan
ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter
yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV),
sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap
kapasitas vital paksa (VEP1/KVP).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen
asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain
itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan
adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak
struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan
kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada
ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara
pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa
eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan
dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi
perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan
konstriksi hipoksik pada arteriol.
2.5. Diagnosis PPOK6
Diagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.

Gambar 1. Alur Diagnosis PPOK menurut GOLD 2018


2.5.1. Anamnesis6
a. Faktor risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan
adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi
tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan
riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok
aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.
b. Gejala klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa
terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3
bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak
napas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat
melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak
napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.

2.5.2. Pemeriksaan Fisik 6


Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada
seperti tong (barrel chest), terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti
orang meniup), terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran
sela iga, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis
dan edema tungkai. Pada perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor.
Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas vesikuler
melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi.
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang 6
a. Spirometri
Spirometri merupakan alat yang digunakan untuk menilai batasan aliran
udara atau obstruksi. Spirometry mengukur volume udara yang dihembuskan secara
paksa dari titik maksimal inspirasi (kapasitas vital paksa atau KVP) dan volume
udara yang dihembuskan selama detik pertama ( Volume ekspirasi paksa dalam
detik pertama atau VEP1) dan rasio keduanya VEP1/KVP. Pengukuran spirometry
ini diukur berdasarkan usia, tinggi, jenis kelamain & ras.

Gambar 1. Perbedaan gambaran spirometry pada orang normal dan pasien dengan obstruksi saluran nafas
berdasarkan GOLD 2018

Meskipun sensitivitasya bagus, pucak aliran ekspirasi tidak bisa diandalkan


sebagai satu-satunya nilai diagnostic karena spesifitasnya lemah. Obstruksi
ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1
merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak
mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
Klasifikasi derajat keparahan keterbatasan aliran udara pasien PPOK (VEP1 pasca-
bronkodilator)
Pada pasien dengan VEP1/KVP <0,70 :
GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80 % nilai
prediksi
GOLD 2 Sedang 50 % ≤ VEP1 < 80 %
nilai prediksi
GOLD 3 Berat 30 % ≤ VEP1 < 50 %
nilai prediksi
GOLD 4 Sangat Berat VEP1 < 30% nilai
prediksi

b. Foto Rontgen
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa
hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler
meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-
kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi
pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit
paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.

Gambar 2. Foto Rontgen Thorax pasien PPOK


2.5.4 Penilaian PPOK6
Tujuan dari assessment pasien PPOK adalah menentukan derajat keparahan
penyakit sehingga mempengaruhi status kesehatan pasien dan berisiko terjadinya
kejadian ke depannya (eksaserbasi, rawat inap, hingga kematian) dalam rangka
untuk pemilihan terapi yang sesuai. Hal ini dapat dinilai melalui beberapa aspek,
yaitu:
1. Penilaian Gejala PPOK6
 mMRC (modified British Medical Research Council)
mMRC Grade 0 Saya hanya susah bernapas jika
aktivitas berat
mMRC Grade 1 Napas saya menjadi pendek jika naik
tangga dengan bergegas atau berjalan
ke tanjakan
mMRC Grade 2 Saya berjalan lebih lambat dibanding
teman sebaya karena susah bernapas,
atau saya harus berhenti untuk
mengambil napas ketika berjalan di
tangga
mMRC Grade 3 Setelah berjalan 100 meter atau
beberapa menit di tangga, saya harus
berhenti untuk mengambil napas
mMRC Grade 4 Saya tidak bisa keluar rumah karena
susah bernapas atau tidak bisa
mengganti baju karena susah
bernapas
 COPD Assesent Test

Berbeda dengan GOLD sebelumnya, GOLD revisi tahun 2017 dan 2018
mengelompokkan penderita PPOK stabil menjadi empat kelas berdasarkan pada
riwayat eksaserbasi dan penilaian gejala saja. Kriteria spirometri yang digunakan
pada kriteria terdahulu saat ini tidak dipergunakan lagi dalam pengelompokan
karena pada berbagai penelitian didapatkan bahwa FEV1 berkorelasi lemah dengan
keberatan gejala. Selain itu pada beberapa keadaan seperti keadaan emergensi atau
rawat inap, kemampuan menilai pasien berdasarkan gejala dan riwayat eksaserbasi
tanpa pemeriksaan spirometry memberikan peluang pada klinisi untuk memulai
terapi dini berdasarkan GOLD kelas ABCD
Gambar 3. Pengelompokan Pasien PPOK berdasarkan GOLD 2018

2. Penilaian Risiko Eksaserbasi6


Eksaserbasi pada PPOK diartikan sebagai kejadian akut akibat gejala
pernapasan yang memburuk dibanding biasanya sehingga menyebabkan perubahan
tata laksana. Eksaserbasi dikatakan sering jika terjadi >2x/tahun.
Kriteria eksaserbasi PPOK anatar lain sputum berubah warna atau semakin
banyak dan sesak yang memberat. Gejala dapat disertai dengan batuk semakin
sering, keterbatasan aktivitas, gagal napas acute on chronic, hingga penurunan
kesadaran.
Eksaserbasi akut dapat diklasifikasikan berdasarkan 3 gejala kardinal
diatas :
1. Eksaserbasi berat : terdapat 3 gejala kardinal
2. Eksaserbasi sedang : terdapat 2 dari 3 gejala kardinal
3. Eksaserbasi ringan : terdapat 1 dari 3 gejala kardinal ditambah salah
satu dari kriteria tambahan, antara lain infeksi saluran napas atas>
5 hari, demam tanpa sebab lainnya, peningkatan batuk, mengi,
peningkatan laju pernapasan atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar.

Kombinasi Penilaian Pasien PPOK6


Pasien Karakteristik Klasifikasi Eksaserbasi CAT mMRC
Spirometri per tahun
A Risiko GOLD 1-2 ≤1 < 10 0-1
rendah,
gejala
sedikit
B Risiko GOLD 1-2 ≤1 ≥10 ≥2
rendah,
gejala
banyak
C Risiko GOLD 3-4 ≥2 < 10 0-1
tinggi, gejala
sedikit
D Risiko GOLD 3-4 ≥2 ≥10 ≥2
tinggi, gejala
banyak
2.6 Diagnosis Banding6
Penyakit Gambaran klinis
PPOK 1. Onset usia pertengahan
2. Gejala progresif lambat
3. Riwayat merokok (lama & jumlah rokok)
4. Sesak saat aktivitas
5. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel
Asma 1. Onset usia dini
2. Gejala bervariasi dari hari ke hari
3. Gejala pada waktu malam/ dini hari lebih
menonjol
4. Dapat ditemukan alergi, rhinitis, dan atau
eksim
5. Riwayat asma dalam keluarga
6. Hambatan aliran udara umumnya reversibel
Gagal jantung 1. Riwayat hipertensi
kongestif 2. Ronki basah halus di basal paru
3. Gambaran foto toraks pembesaran jantung dan
edema paru
4. Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan
obstruksi
Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah banyak
2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
3. Ronki basah kasar dan jari tabuh
4. Gambaran foto toraks tampak gambaran
sarang tawon dan penebalan dinding bronkus
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran foto toraks infiltrat
3. Konfirmasi mikrobiologi (Basil Tahan Asam)
Sindrom Obstruksi 1. Riwayat pengobatan antituberkulosis adekuat
Pasca TB (SOPT) 2. Gambaran foto toraks bekas TB: fibrotik dan
kalsifikasi minimal
3. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi
yang ireversibel

2.7 Tata Laksana6


2.7.1 Manajemen PPOK Stabil
Tujuan utama penatalaksanaan PPOK stabil adalah semaksimal mungkin
mengurangi gejala (menghilangkan gejala, memperbaiki toleransi latihan,
memperbaiki kualitas hidup) dan mengurangi risiko (mencegah progresifitas
penyakit, mencegah dan mengobati eksaserbasi, mengurangi kematian).
Penatalaksanaan PPOK stabil secara umum meliputi edukasi, program
berhenti merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, dan nutrisi.
Kriteria PPOK stabil adalah sebagai berikut :7
 Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
 Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis gas darah
menunjukkan pH normal, PCO2 > 60 mmHg, dan PO2< 60 mmHg.
 Dahak tidak berwarna atau jernih
 Aktivitas terbatas tidak disertai sesak
 Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
 Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Manajemen Farmakologi pada PPOK Stabil6
Terapi farmakologi dapat menurunkan gejala, risiko, keberatan eksaserbasi dan
juga memperbaiki status kesehatan serta toleransi terhadap aktivitas fisik. Kelas
pengobatan yang sering digunakan untuk menerapi PPOK stabil adalah golongan
bronkodilator, antiinflamasi, serta obat-obatan penunjang lain.
A. Poin penting penggunaan bronkodilator menurut GOLD 2018.
 LABA/LAMA lebih dipilih dari SABA/SAMA kecuali pada pasien
yang sangat jarang sesak.
 Pasien dapat memulai terapi dengan monoterapi long acting
bronkodilator atau kombinasi dual long acting bronkodilator.
 Pada pasien dengan sesak persisten, monoterapi sebaiknya dieskalasi
menjadi kombinasi dua lterapi.
 Bronkodilator inhalasi lebih direkomendasikan daripada bronkodilator
oral.
 Terapi jangka panjang dengan teofilin tidak direkomendasikan kecuali
terapi jangka panjang dengan bronkodilator yang lain tidak tersedia.

B. Poin penting penggunaan antiinflamasi menurut GOLD 2018.


 Monoterapi jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi (ICS)
pada penderita PPOK tidak direkomendasikan.
 Terapi jangka panjang dengan ICS dipertimbangkan bersamaan
dengan LABA untuk pasien dengan riwayat eksaserbasi walaupun
sudah diberikan terapi adekuat dengan LABA.
 Terapi jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak
direkomendasikan.
 Pada penderita dengan eksaserbasi walaupun telah menggunakan
LABA/ICS atau LABA/LAMA/ICS, penderita bronkitis kronik,
dan hambatan jalan napas berat sampai sangat berat, penambahan
PDE-4 inhibitor harus dipertimbangkan.
 Pada perokok/mantan perokok dengan eksaserbasi walaupun terapi
adekuat, pemberian makrolide dapat dipertimbangkan.
 Terapi statin tidak direkomendasikan untuk mencegah eksaserbasi.
 Antioksidan dan mukolitik direkomendasikan hanya pada pasien
tertentu.

C. Poin penting penggunaan penggunaan obat lainnya menurut GOLD 2018.


 Pasien dengan defisiensi berat alpha-1-antitripsin dan mengalami
emfisema dapat merupakan kandidat pemberian alpha-1-antitripsin
augumentation therapy.
 Pemberian antitusif tidak direkomendasikan pada penderita PPOK.
 Obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi pulmonal primer
tidak direkomendasikan untuk digunakan pada pasien dengan
hipertensi pulmonal sekunder akibat PPOK.
Grup A : Semua pasien grup A sebaiknya ditawarkan untuk terapi bronkodilator
sebagai terapi jangka panjang berdasarkan efeknya terhadap sesak napas baik short
acting maupun long acting bronkodilator. Terapi sebaiknya diteruskan jika secara
klinis memberikan manfaat.

Grup B : terapi inisial sebaiknya terdiri dari long acting bronkodilator. Pemilihan
bronkodilator berdasarkan perbaikan gejala pada persepsi pasien. Untuk pasien
sesak persisten dengan monoterapi maka penggunaan kombinasi dua bronkodilator
direkomendasikan. Untuk pasien yang dari awal memang sudah sesak berat terapi
inisial dengan dua bronkodilator dapat dipertimbangkan. Jika dengan dua
bronkodilator tidak memperbaiki gejala maka pertimbangkan step down menjadi
monotorapi, Pasien grup B memiliki komorbiditas yang harus diinvestigasi karena
memiliki pengaruh pada gejala dan prognosis.
Grup C : Inisial terapi pada grup ini terdiri dari single long acting bronkodilator.
Pada perbandingan antara LAMA dan LABA monoterapi didapatkan bahwa
LAMA lebih superior dibanding LABA untuk mencegah eksaserbasi, oleh karena
itu direkomendasikan memulai terapi dengan LAMA pada grup ini. Pasien dengan
eksaserbasi persisten dapat diberikan kombinasi terapi dengan LABA/LAMA atau
LABA/ICS. Karena ICS meningkatkan risiko pneumonia maka pilihan utama
adalah LABA/LAMA.

Grup D : pada grup D direkomendasikan memulai terapi dengan LABA/LAMA


karena kombinasi LABA/LAMA lebih superior dibandingkan terapi bronkodilator
tunggal. Kombinasi LABA/LAMA lebih superior dari LABA/ICS dalam mencegah
eksaserbasi pada pasien grup D. Pasien Grup D lebih rentan mengalami pneumonia
ketika menerima terapi dengan ICS. Pada beberapa pasien terapi inisial dengan
LABA/ICS adalah pilihan utama yaitu pada pasien yang memiliki gejala asma-
COPD overlap. Jumlah eosinophil darah yang tinggi juga dipertimbangkan sebagai
parameter untuk mendukung penggunaan ICS. Untuk pasien yang tetap eksaserbasi
dengan penggunaan LABA/LAMA maka lakukan eskalasi menggunakan
LABA/LAMA/ICS. Jika pasien yang sudah diterapi dengan LAMA/LABA/ICS
tetap mengalami eksaserbasi maka pertimbangkan penambahan roflumilast (PDE4
Inhibitor) untuk pasien bronkitis kronik. Tambahkan makrolide pada mantan
perokok atau stop ICS karena terbukti tidak berguna.
Pertimbangan Terapi Antibiotik Pada PPOK Stabil
Dalam GOLD 2018 disebutkan bahwa pada studi terbaru menunjukkan
bahwa penggunaan antibiotik secara teratur dapat mengurangi tingkat eksaserbasi.
Azitromicin (250mg/hari atau 500 mg 3 kali/minggu) atau eritrmicin (500mg 2
kali/minggu) dapat mengurangi resiko eksaserbasi dalam kurung waktu 1 tahun
masa perawatan. Selain itu penggunaan azitrmicin dikaitkan dengan peningkatan
insidensi resistensi bakteri dan membuat gangguan pendengaran. Hasil analisis juga
menunjukkan kurangnya manfaat pengguaan antibiotik pada pasien perokok, dan
belum ada data yang menunjukkan keefektifitan penggunaan antibiotic pada
perawatan tahun kedua pasien PPOK untuk mencegah eksaserbasi.
Manajemen non farmakologi PPOK Stabil
Manajemen non farmakologi yang paling penting dalam penatalaksanaan
PPOK adalah berhenti merokok untuk semua pasien PPOK, menghindari factor
pencetus seperti polusi indor dan outdor, serta menghindari pajanan pekerjaan.

Edukasi diperlukan untuk merubah pengetahuan penderita.


 Edukasi manajemen individu dengan atau tanpa penambahan action plan
direkomendasikan untuk mencegah eksaserbasi dan peningkatan keperluan
rawat inap.
 Rehabilitasi diindikasikan pada penderita dengan gejala yang relevan dan
risiko tinggi eksaserbasi.
 Aktivitas fisik adalah prediktor kuat dari mortalitas. Penderita harus
didorong untuk meningkatkan aktivitas fisiknya.

Vaksin :
 Vaksinasi influensa direkomendasikan untuk semua penderita PPOK.
 Vaksin pneumokokus direkomendasikan untuk pasien berusia > 65 tahun
dan pasien dengan komorbid penyakit jantung dan paru kronik.

Terapi hipoksemia dan hiperkapnia :


 Pada pasien dengan hipoksemi saat istirahat dan desaturase pada saat
aktivitas fisik direkomendasikan penggunaan terapi oksigen jangka
panjang.
 Oksigenasi saat istirahat pada sea level tidak mengeksklusi terjadinya
hipoksemia pada saat bepergian menggunakan pesawat.
 Pada pasien dengan hiperkapnia kronik berat dan riwayat rawat inap
dengan gagal napas

Pembedahan
 Lung volume reduction surgery diperlukan pada pasien tertentu dengan
emfisema lobus atas.
 Bronchoscope lung volume reduction intervention dipertimbangkan pada
pasien dengan advanced emfisema.
 Pada pasien dengan bula yang besar, bulektomi dapat dipertimbangkan.
 Pada pasien dengan PPOK sangat berat, transplantasi paru dapat
dipertimbangkan.
Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam
program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal
yang disertai:
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu: latihan fisik, psikososial dan
latihan pernapasan. Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas sistem
transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan:
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan meningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan. Latihan ini
diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan pada otot
pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup
untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot
pernapasam akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum,
memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas. Pada penderita yang tidak
mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar
manfaatnya. Apabila ke dua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh
penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita
PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan pada otot pernapasan,
maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2
darah tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance
yang diutamakan.
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita
PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak
sebesar pada orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat
meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena
meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen.
Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian
oksigen di jaringan dari toleransi terhadap asam laktat.
Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita
PPOK menghentikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan
otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor
yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktivitas kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan
fungsi otot skeletal. Imobilitasasi selama 4 - 6 minggu akan menyebabkan
penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan activiti
enzim metabolik. Berbaring ditempat tidur dalam jangka waktu yang lama
menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan control kardiovaskuler. Hal-hal yang
perlu diperhatikan sebelum latihan :
 Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
 Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latihan
 Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan
koordinasi atau pusing latihan segera dihentikan
 Pakaian longgar dan ringan

Psikososial
Status psikososial penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila
diperlukan dapat diberikan obat

Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.
Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki
ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga
untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti.

2.7.2 Manajemen PPOK Eksaserbasi6


Penatalaksanaan yang dilakukan yaitu :
 Penilaian awal ( derajat, kesadaran)
 Pemeriksaan penunjang : AGD, darah perifer lengkap, foto thoraks, EKG
 Pemberian oksigen
 Bronkodilator :
-𝛽2 agonis kerja cepat dengan / tanpa antikolinergik kerja cepat
-Xantin IV (bolus dan drip)
 Kortikosteroid sistemik
Pemberian ini akan mempercepat waktu pemulihan; meningkatkan fungsi
paru dan hipoksemia arteri. Dianjurkan pemberian prednisone 30-40 mg
selama 10-14 hari. Diberikan PO untuk eksaserbasi ringan sedang dan IV
untuk eksaserbasi berat. Pemberian kortikosteroid sebaiknya < 2 minggu
untuk mencegah efek samping.
 Antibiotik
Antibiotik diindikasikan jika terdapat salah satu gejala kardinal atau pada
pasien dengan ventilasi mekanik. Pemilihan regimen antibiotic tergantung
dengan data prevalensi bakteri setempat. Dianjurkan untuk menggunakan
antibiotic spektrum sempit jika belum memiliki riwayat penggunaan
antibiotic sebelumnya (amoksisilli 500 mg 3x/hari PO 3-14 hari atau
Doksisiklin 100 mg 2x/hari PO 3-14 hari) atau spectrum luas jika
diketahui terdapat resistensi antibiotic (amoksisilin klavulanat 875 mg
2x/hari atau 500 mg 3x/hari PO 5 hari atau levofloksasin 500 mg 1x/hari
PO 5 hari).

2.7.3 Manajemen Rumah Sakit


2.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal
napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal
napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan
PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas
kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum
bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK
produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini
memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas
tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan
dapat disertai gagal jantung kanan.
BAB 3

KESIMPULAN

1. GOLD 2018 telah menyempurnakan penilaian PPOK kategori ABCD


dengan hanya memasukkan gejala pernapasan dan eksaserbasi
2. Dalam GOLD 2018 terjadi perubahan paradigma dalam pengobatan PPOK
stabil dimana LAMA/LABA baik tunggal ataupun kombinasi menjadi
pilihan yang lebih diutamakan menjadi pengobatan awal dalam sebagian
besar kelas PPOK. LAMA tunggal lebih unggul dibandingkan LABA dalam
mengurangi risiko eksaserbasi pada GOLD B. Kombinasi LABA/LAMA
lebih dipilih daripada kombinasi LABA/ICS sebagai terapi awal PPOK pada
GOLD kelas C dan D, karena pertimbangan risiko pneumonia lebih tinggi
pada pasien dengan terapi ICS. Terapi kombinasi dengan ICS diberikan
terbatas pada pasien yang masih memiliki gejala setelah pemberian
LABA/LAMA, pasien dengan asma-COPD overlap, atau pasien dengan
kadar eosinofil tinggi ≥ 300 μg. Dengan perawatan dan pemilihan obat yang
tepat, tidak hanya akan terjadi perbaikan pada gejala dan fungsi paru namun
juga pada status kesehatan dan pengurangan risiko eksaserbasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2011.


Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. p. 8-12
2. World Health Organization. Chronic Obstructive Pulmonary disease.2009.
Available at : http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/index/html.
3. Rasional Media informasi peresepan rasional bagi tenaga kesehatan
Indonesia Volume 4, Nomor 2 September 2006 ISSN 1411 – 8742 dan
Volume 4, Nomor 3 Desember 2006 ISSN 1411 – 8742v
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis
dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta; 2004.v
5. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Edisi IV Jilid III. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam.
6. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2018
Global Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. p. 8-12
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2016. PPOK (penyakit Paru
Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI Press). p. 7-14

Anda mungkin juga menyukai