PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
3
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara
melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika
seorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara.
Percik renik juga dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur
pemeriksaan yang menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya
induksi sputum, bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap
lesi atau pengolahan jaringan di laboratorium.1
Percik renik, merupakan partikel dapat menampung 1-5 basilli, dan
bersifat sangat infeksius, dan dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam.
Karena ukurannya yang sangat kecil, percik renik ini memiliki kemampuan
mencapai ruang alveolar dalam paru, dimana bakteri kemudian melakukan
replikasi. Ada 3 faktor yang menentukan transmisi Myobacterium
Tuberculosis:1
Satu kali batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis yang
diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil. Kasus yang
paling infeksius adalah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan
sputum positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius. Pasien
dengan hasil pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak terlalu infeksius.
Kasus TB ekstra paru hampir selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita
juga memiliki TB paru. Individu dengan TB laten tidak bersifat infeksius,
karena bakteri yang menginfeksi mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat
melalukan transmisi ke organisme lain.1
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan
minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu
yang lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili
dengan cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan
yang gelap. Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi
4
meningkatkan risiko penularan. Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan
tersebut berkembang menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi
imun individu.1
Pada individu dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan
berkembang menjadi penyakit TB dan hanya 10% dari kasus akan menjadi
penyakit TB aktif (setengah kasus terjadi segera setelah terinfeksi dan
setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko paling tinggi terdapat pada dua
tahun pertama pasca-terinfeksi, dimana setengah dari kasus terjadi. Kelompok
dengan risiko tertinggi terinfeksi adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan
lanjut usia. Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami
penyakit TB aktif dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal.
50- 60% orang dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan mengalami
penyakit TB yang aktif. Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi medis lain di
mana sistem imun mengalami penekanan seperti pada kasus silikosis,
diabetes melitus, dan penggunaan kortikosteroid atau obat-obat
imunosupresan lain dalam jangka panjang.1
2.3 Epidemiologi
Jumlah kasus terbanyak adalah pada regio Asia Tenggara (44%), Afrika
(25%) dan regio Pasifik Barat (18%). Terdapat 8 negara dengan jumlah kasus
TB terbanyak yang mencakup dua pertiga dari seluruh kasus TB global yaitu
India (26%), Indonesia (8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,7%),
Nigeria (4,4%), Bangladesh (3,6%), dan Afrika Selatan (3,6%). Sebanyak
8,2% kasus TB adalah HIV positif. Pada tahun 2019, diperkirakan sebanyak
3,3% dari TB Paru kasus baru dan 18% dari TB Paru dengan riwayat
pengobatan TB sebelumnya merupakan TB multidrug-resistant atau
rifampicin-resistant (TB MDR/RR) dengan jumlah absolut sebanyak 465.000
(400.000–535.000) kasus TB MDR/RR baru. Di Indonesia sendiri
diperkirakan pada tahun 2019 terdapat 845.000 (770.000–923.000) kasus
baru TB Paru, sebanyak 19.000 kasus baru di antaranya merupakan kasus TB-
HIV positif. Diperkirakan terdapat 92.000 kematian pada kasus TB-HIV
negatif dan 4.700 kematian pada pasien TB-HIV positif.2
5
2.4 Perjalanan Penyakit Tuberkulosis
Patogenesis dari TB terkait erat dengan respon imun dari inang (host).
Pada sebagian besar inang, invasi patogen TB akan direspon secara adekuat
oleh sistem imun, membatasi pertumbuhan bakteri, dan mencegah terjadinya
infeksi. Secara paradoks, sebagian besar kerusakan jaringan yang ditimbulkan
pada infeksi TB justru berasal dari respon imun inang, misalnya pada
kejadian nekrosis perkijuan dan kavitas yang khas dilihat pada paru pasien
TB. Pada pasien dengan sistem imun yang inadekuat, misalnya pada pasien
HIV, dapat menghasilkan tanda dan gejala yang atipikal. Pada pasien TB-
HIV, penampakan kavitas biasanya tidak dijumpai pada foto toraks.
Meskipun demikian, meskipun tidak atau sedikit dijumpai kerusakan jaringan
akibat respon imun inang pada pasien TB-HIV, rendahnya respon imun
mengakibatkan bakteri TB lebih mudah berproliferasi dan menyebar. Hal
tersebut dapat dilihat dari gambaran foto toraks TB miliar yang umum
dijumpai pada pasien TB-HIV. Tidak semua orang yang terpajan dengan
patogen TB akan berkembang menjadi penyakit TB. Secara skematis,
persentase orang terpajan TB yang akan berkembang menjadi penyakit TB
dapat dilihat pada Gambar 1.
Sekitar 30% dari orang yang terpajan terhadap kuman TB akan terinfeksi
dengan TB. Dari pasien yang terinfeksi TB, sekitar 3 – 10 % akan
berkembang menjadi TB aktif dalam 1 tahun pertama setelah infeksi.2
6
Patogenesis TB
1. TB primer
7
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili. Hal
ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan sebagai
TB anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun pada
individu yang belum pernah terpapar Myobacterium Tuberculosis
sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan
menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian bawah
lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian
mengalami terfagosistosis oleh makrofag produk mikrobakterial mampu
menghambat kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus,
sehingga bakteri dapat melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag
dan monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi
menuju fokus infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini
kemudian disebut sebagai Ghon focus. Basili dan antigen kemudian
bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui jalur limfatik menuju Limfe
nodus hilus dan membentuk kompleks (Ghon) primer. Respon inflamasinya
menghasilkan gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Di dalam nodus limfe,
limfosit T akan membentuk suatu respon imun spesifik dan mengaktivasi
makrofag untuk menghambat pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus
primer ini mengandung 1,000–10,000 basili yang kemudian terus
melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan
dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya terdapat makrofag
yang mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem imun host
adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk
beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan kuman laten. Infeksi
primer biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil
tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa kasus,
respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat perkembang biakan
bakteri dan basili akan menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam
beberapa bulan. TB primer progresif pada parenkim paru menyebabkan
membesarnya fokus primer, sehingga dapat ditemukan banyak area
8
menunjukkan gambaran nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas,
menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB post primer.1
2. TB pasca primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang
sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten
yang memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal
ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali
bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya
sistem imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi ketika seorang
yang pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh kontak
dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil
kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi primer. Setelah
terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi penyakit intra-
torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding pada orang dewasa. Foto
toraks mungkin dapat memperlihatkan gambaran limfadenopati
intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB post-primer biasanya
mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan organ tubuh
lain. Karakteristik dari dari TB post- primer adalah ditemukannya kavitas
pada lobus superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan
sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif dan biasanya tidak
ditemukan limfadenopati intratorakal.1
Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah :1
9
4. Konsumsi alkohol tinggi
5. Anak usia <5 tahun dan lansia
6. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang
terinfeksius
7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh:
lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
8. Petugas kesehatan
1. Batuk ≥ 2 minggu
2. Batuk berdahak
3. Batuk berdahak dapat bercampur darah
4. Dapat disertai nyeri dada
5. Sesak napas
1. Malaise
2. Penurunan berat badan
3. Menurunnya nafsu makan
4. Menggigil
5. Demam
6. Berkeringat di malam hari
10
mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan. Termasuk dalam kelompok
pasien ini adalah.1:
11
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Bakteriologis4:
12
Interferon-Gamma Realease Assays (IGRAs): tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosis TB aktif, tapi hanya digunakan untuk
mendiagnosis TB laten
Nucleic Acid Amplification Test (NAAT)
Pemeriksaan lain4:
A. Diagnosis
1. Tes Cepat Molekuler (TCM) adalah alat diagnosis utama yang digunakan
untuk penegakan diagnosis Tuberkulosis. Alur penegakan diagnosis TBC
adalah sebagai berikut.:5
13
2. Pemeriksaan TCM digunakan untuk mendiagnosis TBC, baik TBC paru
maupun TBC ekstra paru, baik riwayat pengobatan TBC baru maupun yang
memiliki riwayat pengobatan TBC sebelumnya, dan pada semua golongan
umur termasuk pada ODHA.
3. Pemeriksaan TCM dilakukan dari spesimen dahak (untuk terduga TBC paru)
dan non dahak (untuk terduga TBC ekstra paru, yaitu dari cairan serebro spinal,
kelenjar limfe dan jaringan).
4. Seluruh terduga TBC harus dilakukan pemeriksaan TCM pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang saat ini sudah mempunyai alat TCM.
5. Jumlah dahak yang dikumpulkan adalah 2 (dua) dahak yaitu Sewaktu-Sewaktu,
Sewaktu-Pagi maupun Pagi - Sewaktu, dengan jarak 1 jam dari pengambilan
dahak pertama ke pengambilan dahak kedua. Standar kualitas dahak yang
digunakan adalah dahak dengan volume 3-5 ml dan mukopurulen. Hasil
pemeriksaan TCM terdiri dari MTB pos Rif resistan, MTB pos Rif sensitif,
MTB pos Rif indeterminate, MTB negatif dan hasil gagal (error, invalid, no
result). Beberapa ketentuan terkait hasil pemeriksaan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Pasien dengan hasil MTB pos, Rif Resistan berdasarkan Riwayat
pengobatannya terdiri dari:
1) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru atau tidak ada kontak erat
dengan TBC RO harus dilakukan pengulangan TCM sebanyak 1 kali,
dan hasil pengulangan yang memberikan hasil MTB pos yang menjadi
acuan.
2) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru dengan riwayat kontak
erat dengan pasien TBC RO atau terduga TBC dengan riwayat
pengobatan sebelumnya dinyatakan sebagai pasien TBC Rifampisin
resistan dan selanjutnya dilakukan inisiasi pengobatan TBC RO.
3) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC ekstra paru tanpa riwayat
pengobatan TBC sebelumnya sebaiknya diulang TCM sebanyak 1 kali
dengan spesimen yang berbeda. Apabila tidak dimungkinkan untuk
dilakukan pengulangan terkait kesulitan mendapatkan spesimen baru,
pertimbangkan kondisi klinis pasien.
14
b. Pasien yang terkonfirmasi sebagai pasien TBC Rifampisin resistan akan
dilanjutkan dengan pemeriksaan molekuler (LPA lini dua atau TCM XDR)
dan pemeriksaan paket standar uji kepekaan fenotipik. Fasilitas Pelayanan
Kesehatan akan mengirimkan spesimen dahak dari pasien tersebut ke
laboratorium rujukan sesuai jejaring rujukan yang berlaku. Hasil
pemeriksaan ini akan menentukan paduan pengobatan TBC RO yang akan
diberikan terhadap pasien.
c. Pasien dengan hasil MTB pos Rif sensitif berdasarkan Riwayat
pengobatannya terdiri dari:
1) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru akan dilakukan inisiasi
pengobatan dengan OAT kategori 1
2) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC dengan riwayat pengobatan
sebelumnya (kambuh, gagal, loss to follow up, tidak konversi) akan
dilanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan terhadap INH. Inisiasi
atau melanjutkan pengobatan dengan OAT Kategori 1 dilakukan
sambal menunggu hasil uji kepekaan terhadap INH. Apabila hasil uji
kepekaan menunjukkan INH resistan akan diberikan paduan
pengobatan TBC monoresistan INH.
d. Pasien dengan hasil MTB indeterminate akan dilakukan pengulangan oleh
laboratorium TCM sebanyak 1 kali untuk memastikan status resistansi
terhadap rifampisin. Gunakan dahak dengan kualitas baik yaitu volume 3-5
ml dan mukopurulen.
e. Pasien dengan hasil TCM gagal (invalid, error, no result) akan dilakukan
pengulangan oleh laboratorium TCM untuk memastikan pasien positif atau
negatif TBC dan mengetahui status resistansi terhadap rifampisin.
Gunakan sisa sampel jika masih tersedia. Pada kondisi volume sampel
kurang dari 2 ml, gunakan dahak kedua. Apabila dahak kedua tidak
tersedia, kumpulkan dahak baru dengan kualitas baik yaitu volume 3-5 ml
dan mukopurulen.
f. Pasien dengan hasil MTB negatif dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks
dan/atau pemberian antibiotik spektrum luas. Pasien tersebut dapat
didiagnosis sebagai TBC klinis sesuai pertimbangan klinis.
15
g. Penegakan diagnosis TBC secara klinis harus didahului dengan
pemeriksaan bakteriologis sesuai dengan butir A. 1 di atas.
h. Fasilitas Pelayanan kesehatan bersama dinas kesehatan setempat. Harus
mengevaluasi proporsi pasien TBC terkonfirmasi bakteriologis
dibandingkan dengan pasien TBC terkonfirmasi klinis. Proporsi antara
terkonfirmasi bakteriologis dan terdiagnosis klinis idealnya adalah 60:40.
6. Fasilitas pelayanan kesehatan yang belum/tidak mempunyai TCM, harus merujuk
terduga TBC atau dahak dari terduga TBC tersebut ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan TCM. Merujuk dahak lebih direkomendasikan dibanding merujuk
terduga TBC terkait alasan pengendalian infeksi.
7. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota mengatur jejaring rujukan dan
menetapkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan TCM menjadi pusat rujukan
pemeriksaan TCM bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan di sekitarnya.
8. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota menyiapkan sumber daya di
fasilitas pelayanan kesehatan yang akan mengoperasikan TCM.
9. Jika fasilitas pelayanan kesehatan mengalami kendala mengakses layanan TCM
berupa kesulitan transportasi, jarak dan kendala geografis maka penegakan
diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
10. Pasien TBC yang terdiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis harus
dilakukan pemeriksaan lanjutan menggunakan TCM. Dinas Kesehatan berperan
mengatur jejaring rujukan spesimen ke Fasilitas Pelayanan. Kesehatan TCM
terdekat. Jumlah dahak yang dikirimkan adalah sebanyak 2 dahak. Pemeriksaan
TCM ini bertujuan untuk mengetahui status resistansi terhadap Rifampisin.
Tindak lanjut hasil pemeriksaan TCM pada pasien yang terdiagnosis TBC
melalui pemeriksaan mikroskopis adalah sebagai berikut:
a. Pasien terdiagnosis sebagai TBC terkonfirmasi bakteriologis dari
pemeriksaan mikroskopis.
1) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTB pos Rifampisin resistan,
pertimbangkan kriteria terduga (baru atau memiliki riwayat pengobatan
sebelumnya) dan mengikuti alur sesuai poin A.5.a di atas.
2) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTB pos Rifampisin sensitif,
MTB pos Rifampisin indeterminate, MTB negatif dan hasil gagal (error,
16
invalid, no result) maka hasil TCM tidak mengubah diagnosis pasien
sebagai TBC terkonfirmasi bakteriologis.
B. Pengobatan
1. Obat Anti TBC (OAT) Kategori 1 fase awal dan lanjutan dengan dosis
harian. OAT Kat 1 dosis harian akan mulai dipergunakan secara bertahap.
Pada tahun 2021, prioritas pemberian OAT ini adalah untuk:
3) Kasus TBC dengan hasil MTB pos Rifampisin sensitif dan Rifampisin
indeterminate dengan riwayat pengobatan sebelumnya.
17
3. Pasien TBC MTB pos Rifampisin Sensitif yang berasal dari kriteria dengan
riwayat pengobatan sebelumnya (kambuh, gagal dan loss to follow up)
diobati dengan OAT Kategori 1 dosis harian.
4. Sejak tahun 2019, Program TBC sudah menyediakan OAT dalam sediaan
tablet dispersible untuk pengobatan TBC RO anak dan TPT anak kontak
dengan pasien TBC RO. Sediaan ini mudah dikonsumsi oleh anak, namun
pemanfaatannya masih terbatas. Dinas Kesehatan Provinsi dan Kab/Kota agar
melakukan sosialisasi supaya OAT RO anak dapat dimanfaatkan sebaik-
baiknya.
2.10 Tatalaksana
2. Prinsip Pengobatan TB :
18
b. mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi
c. Diberikan dalam dosis yang tepat
d. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(pengawas menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
e. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
a. Tahap awal
b. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan
selama 4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.
19
Pengobatan Lanjutan Dengan RH(150/75 mg) di berikan selama 4
bulan.RH berisi obat-obatan rifampisin dan isoniazid.
20
21
2.11 Tuberkulosis Dengan DILI
Drug Induced Liver Injury (DILI) adalah cedera hati yang disebabkan paparan
obat atau agen toksik non infeksius dan berhubungan dengan berbagai tingkat
disfungsi organ. DILI adalah gangguan fungsi hati akibat penggunaan obat-obatan
yang bersifat hepatotoksik seperti OAT. DILI akibat OAT terjadi dalam waktu 2
bulan setelah pemberian OAT dimulai dan kejadian tertinggi pada 2 minggu
pertama Gejala DILI bervariasi dari gejala ringan seperti kehilangan nafsu makan,
kelelahan, sakit perut, demam, dan sakit kuning dengan peningkatan transaminase
hingga gejala gagal hati akut. Faktor yang dapat menyebabkan DILI antara lain
IMT, status asetilator metabolik INH, usia, jenis kelamin, faktor metabolik,
interaksi obat, dan konsumsi alkohol. Pengobatan TB yang diketahui
menyebabkan DILI adalah INH, rifampisin, dan pirazinamid. Jika terjadi selama
22
pengobatan TBC maka pengobatan dihentikan sampai gejala klinis hilang selama
2 minggu dan fungsi hati kembali normal. Pirazinamid tidak digunakan untuk
perawatan selanjutnya. Peningkatan ALT dan ALP merupakan penanda
kerusakan jaringan, sedangkan peningkatan bilirubin total, penurunan protein
plasma dan albumin, koagulopati (peningkatan PPT dan INR) merupakan penanda
disfungsi hati. DILI dapat asimtomatik bila kapasitas adaptasi hati masih cukup
dan fungsi hati belum terganggu.6
1. Bila ditemukan gejala klinis yaitu mual, muntah, maka OAT dihentikan.
2. Bila ditemukan gejala klinis disertai peningkatan SGOT dan/ SGPT > 3
kali, maka OAT dihentikan.
3. Bila tidak ditemukan gejala klinis, OAT dihentikan apabila hasil
laboratorium bilirubin >2, atau SGOT, SGPT >5 kali. Apabila SGOT,
23
SGPT >3 kali, maka pengobatan dilanjutkan, dengan pengawasan. Cara
pemberian OAT yang dianjurkan: Hentikan OAT yang bersifat
hepatotoksik (RHZ). Setelah itu, monitor gejala klinis dan laboratorium.
Bila gejala klinis dan laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT,
SGPT), maka mulai diberikan rifampisin dosis naik perlahan sampai dosis
penuh. Selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat
rifampisin dosis penuh, bila gejala klinis dan laboratorium normal,
tambahkan INH dengan dosis naik perlahan sampai dengan dosis penuh
(sesuai berat badan). Paduan OAT dapat diberikan secara individual
setelah dilakukan inisiasi ulang atau rechallenge. Pada pasien yang
mengalami ikterik, maka dianjurkan tidak memasukkan pirazinamid
kedalam paduan obat.
Bila rifampisin tidak dapat ditoleransi: 2HES/10HE Bila INH tidak dapat
ditoleransi: 6-9 RZE.4
Pasien dengan pembawa virus hepatitis, riwayat hepatitis akut serta konsumsi
alkohol yang berlebihan apabila tidak terdapat bukti penyakit hati kronik dan
fungsi hati normal dapat mengkonsumsi OAT standar. Reaksi hepatotoksik lebih
sering terjadi sehingga perlu diantisipasi lebih lanjut.1
Pada pasien dengan penyakit hati kronik lanjut pemeriksaan fungsi hati harus
dilakukan sebelum pengobatan dimulai dan secara berkala selama pengobatan.
Apabila kadar SGPT >3x normal sebelum terapi dimulai maka paduan obat
berikut ini perlu dipertimbangkan. Paduan obat yang dapat diberikan adalah dapat
mengandung obat hepatotoksik, 1 obat hepatotoksik atau tanpa obat hepatotoksik.1
24
2. Satu obat hepatotoksik,
Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan. Pada penderita kelainan hati kronik pyrazinamid tidak diberikan.
Paduan OAT yang direkomendasikan WHO.1
Virus hepatitis B adalah virus DNA yang mempengaruhi 296 juta orang secara
global dan merupakan penyebab kematian yang signifikan. Terapi saat ini
membutuhkan supresi kronis HBV dan hanya sekitar 10% dari pasien yang
dirawat dapat mencapai penyembuhan fungsional. HDV adalah virus RNA yang
koinfeksi atau superinfeksi pada HBV. Koinfeksi TB dengan hepatitis B kronik
dapat umum ditemukan pada praktik sehari-hari. Pemberian kombinasi OAT
berhubungan dengan risiko kejadian penyakit hati fulminan dan peningkatan
mortalitas. Diperlukan skrining HBsAg pada semua pasien TB. sebelum
25
terapi OAT diberikan. Pada kelompok dengan HBsAg positif maka
pemeriksaan serologi infeksi dan pemeriksaan fungsi hati perlu dilakukan.
Pada kelompok TB dengan karier virus hepatitis B (HBsAg positif, HBeAg
negatif, kadar HBV-DNA rendah, dan ALT normal persisten) maka pemberian
regimen OAT standar dapat diberikan. Karena risiko hepatotoksisitas berat dapat
terjadi, maka diperlukan pemantauan fungsi hati yang lebih ketat. Apabila
hepatotoksisitas muncul maka pemberian OAT dihentikan dan dimodifikasi
dengan regimen tanpa agen hepatotoksik. Pada kelompok pasien TB dengan
replikasi virus hepatitis B yang aktif di pertimbangkan pemberian analog
nukleosida sebelum terapi OAT dimulai untuk mencegah munculnya
hepatotoksisitas yang berat. Pada sebuah laporan kasus dilaporkan pemberian
terapi lamivudin dapat memberikan keberhasilan tatalaksana TB dengan INH
dan dan RIF pada pasien dengan TB dan koinfeksi hepatitis B. 7,11
26
metabolik, proses autoimun, gangguan fungsi penyimpanan glikogen, obat-obatan
hepatotosik dan zat toksik.8
Sistem penilaian asli mereka menggunakan lima kriteria klinis dan laboratorium
untuk mengkategorikan pasien: bilirubin serum, albumin serum, asites, gangguan
neurologis, dan status gizi klinis. Sistem penilaian kemudian dimodifikasi oleh
Pugh et al., menggantikan waktu protrombin untuk status gizi klinis. Selain itu,
27
mereka memperkenalkan poin variabel untuk setiap kriteria berdasarkan tingkat
keparahan yang meningkat :9
Ensefalopati:
Asites:
Sedikit = 2 poin
Sedang = 3 poin
Bilirubin:
Albumin:
28
Tingkat Keparahan Sirosis:
BAB III
29
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS
Nama : Nn. LW
Nomor MR : 505005
Suku : Papua
MRS : 10/12/2022
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Sesak
Pasien datang dengan keluhan sesak dirasakan ± 2 bulan, sesak hilang timbul,
pasien mengatakan sesak dirasakan pada malam hari ketika suhu dingin, pasien
juga mengatakan ada batuk batuk ± 2 bulan, batuk berlendir (+) berwarna kuning
kehijaun dan kental batuk berdarah (-) , batuk dirasakan semakin berat pada
malam hari hingga membuat pasien sulit untuk tidur, jika batuk maka pasien
merasa sesak dan untuk menghilangkan sesak, pasien meminum air hangat dan
beristirahat dengan menggunakan 2 bantal, Pasien juga menyatakan lemas disertai
nyeri kepala (+) . Pasien juga Mual (+) Muntah (+) hilang timbul dan dirasakan ±
1 bulan yang lalu dengan frekuensi 1-2x/ hari sesudah makan. Pasien Demam (+)
± 1 bulan yang lalu SMRS dirasakan hilang timbul . Pasien juga menyatakan
30
Nyeri dada (+) nyeri dada dirasakan kadang-kadang dan hilang timbul. Pasien
juga menyeluhkan nyeri perut (+) Pasien mengatakan nafsu makan berkurang,
minum baik, BB menurun selama 2 bulan saat keluhan-keluhan dirasakan, BB
dulu 40kg. BAK (+), BAB (-) belum BAB 4 hari SMRS . pasien berobat ke
Puskesmas Elly Uyo, tetapi tidak ada perubahan batuk dan sesak bertambah berat.
Riwayat TB : disangkal
Riwayat Kebiasaan
31
Riwayat pengunaan obat-obatan (NAPZA) : Disangkal
Status Umum
Tanda Vital
Nadi : 78 x/menit
Respirasi : 24x/menit
Suhu : 36.6 °C
BB : 34 Kg
TB : 160 Cm
Kepala
Mata : sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (+), pupil bulat isokor
Mulut : bibir kering (+), Sianosis (-) perdarahan gusi (-), oral trush (+)
Leher :
32
Kelenjar tiroid : tidak teraba pembesaran
Thorax
Paru
Anterior
Posterior
Auskultasi : Suara napas vesicular (+) /Suara nafas vesicular kiri (+),
Jantung
Perkusi : Redup
33
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar, pelebaran vena pada dinding perut (-),
distensi (-).
Ekstremitas
Ekstremitas atas :
Ekstremitas bawah :
Pemeriksaan penunjang
34
35
Foto Thorax
Kesan : TB paru
3.4 DIAGNOSA
Susp TB Paru
Anemia
Hiponatremia
Hipokalemia
Oral Candidiasis
3.5 Terapi
O2 8 Lpm
36
Inj. Cefotaxim 0,5 gr/8 Jam
R/ PITC
37
3.6 follow up pasien
38
39
40
41
42
43
44
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan sesak Pasien datang dengan keluhan sesak
dirasakan ± 2 bulan, sesak hilang timbulpasien juga mengatakan ada batuk batuk
± 2 bulan, batuk berlendir (+) berwarna kuning kehijaun dan kental batuk
berdarah (-) menyatakan lemas disertai nyeri kepala (+) . Pasien Demam (+) ± 1
bulan yang lalu SMRS dirasakan hilang timbul . Pasien juga menyatakan Nyeri
dada (+) Pasien mengatakan nafsu makan berkurang, BB menurun selama 2
bulan saat keluhan-keluhan dirasakan, BB dulu 40kg Turun 34 Kg berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun pmeriksaan penunjang membuktikan
bahwa pasien ini di diagnosis TB hal ini sesuai yang dengan teori tentang tb paru
dimana jika gejala klinis di dapat seperti batuk > dari dua minggu, batuk berdahak
dan bercmpur darah, nyeri dada, sesak nafas da gejala laian yang meliputi seperti
malaise, penurunan berat badan, penueunan nafsu makan, demam, berkeringat
pada malam hari .
Anemia merupakan indikator dari nutrisi yang buruk dan kesehatan yang buruk
Sehingga penanganan pada pasien ini dilakukan tranfusi PRC sebanyak 2 kolf
dan B6 1x10mg
45
mEq/L Terapi yang di berikan IVFD NS 500 cc/ 8 Jam + drip KCL 25 meq/8 jam,
KSR 1x1 tab
46
Bab v
Kesimpulan
47
DAFTAR PUSTAKA
48
10. Egle, Janina. Hepatitis C Virus Epidemiology in Lithuania: Situation before
Introduction of the National Screening Programme. Published online 2022
May 30. In Journal National Library Of Medicine
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9230764/
11. Iman Khan, Mati Ullah, Novel Therapies of Hepatitis B and D. Published
online 2021 Dec 17. In Journal National Library Of Medicine .
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8707465/
49