Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi tertua yang
melekat sepanjang sejarah peradaban manusia dan masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang penting di dunia hingga hari ini. Pada tahun
1993,World Health Organization (WHO) telah mencanangkan TB sebagai
Global Emergency. Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2020 yang
diterbitkan oleh WHO, diperkirakan pada tahun 2019 terdapat Insidens kasus
sebanyak 10 juta (8,9 – 11 juta), Untuk Kasus meninggal (HIV negatif)
sebanyak 1,2 juta (1,1 – 1,3 juta), dan kasus meninggal (HIV positif) sebanyak
208.000(177.000- 242.000). Terlepas dari kemajuan yang telah dicapai
Indonesia, jumlah kasus tuberkulosis paru di Indonesia masih menduduki
peringkat ketiga di dunia dan merupakan salah satu tantangan terbesar yang
dihadapi Indonesia dan memerlukan perhatian dari semua pihak, karena
memberikan beban morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Tuberkulosis
merupakan penyebab kematian tertinggi setelah penyakit jantung iskemik dan
penyakit serebrovaskuler. 1,2
Hati adalah organ terbesar yang secara metabolisme paling kompleks
didalam tubuh. Hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagai obat
dan toksikan. Toksikan Zat ini biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi
banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksikan. Pemeriksaan
fungsi hati merupakan salah satu pemeriksaan kimia klinik yang sering diminta
oleh dokter, hal ini dikarenakan peran hati sebagai organ tubuh yang penting
dan merupakan pusat metabolisme. Hati menerima pasokan darah dari sirkulasi
sistematik melalui arteri hepatica dan menampung aliran darah dan sistem
porta yang mengandung zat makanan yang diabsorpsi di usus. Pada pasien
dengan penyakit hati kronik dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum
pengobatan dimulai dan secara berkala selama pengobatan.3

1
1.2 Tujuan

1. Mengetahui alur dalam mendiagnosis Tuberkulosis paru


2. Mengetahui tatalaksana pada Tuberkulosis paru
3. Melihat perkembangan terapi dari pasien Tuberkulosis paru

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium Tuberculosis complex. Myobacterium tuberculosis
complex terdiri dari delapan spesies yaitu Myobacterium tuberculosis,
Myobacterium bovis, Myobacterium Caprae, Myobacterium africanum,
Myobacterium microti, Myobacterium canneti, Myobacterium pinnipedii
Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga sering dikenal
dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB sering
ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru , namun
bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB
ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru
lainnya.1

2.2 Etiologi dan Transmisi TB

Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB yaitu


Myobacterium Tuberculosis, Myobacterium Bovis, Myobacterium Africanum,
Myobacterium Microti, Myobacterium Canettii. Myobacterium Tuberculosis
hingga saat ini merupakan bakteri yang paling sering ditemukan, dan menular
antar manusia melalui rute udara.1
Tidak ditemukan hewan yang berperan sebagai agen penularan pada
Myobacterium Tuberculosis. Namun, Myobacterium Bovis dapat bertahan
dalam susu sapi yang terinfeksi dan melakukan penetrasi ke mukosa saluran
cerna serta menginvasi jaringan limfe orofaring saat seseorang mengonsumsi
susu dari sapi yang terinfeksi tersebut. Angka kejadian infeksi Myobacterium
Bovis pada manusia sudah mengalami penurunan signifikan di negara
berkembang, hal ini dikarenakan proses pasteurisasi susu dan telah
diberlakukannya strategi kontrol tuberkulosis yang efektif pada ternak.
Infeksi terhadap organisme lain relatif jarang ditemukan.1

3
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara
melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika
seorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara.
Percik renik juga dapat dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur
pemeriksaan yang menghasilkan produk aerosol seperti saat dilakukannya
induksi sputum, bronkoskopi dan juga saat dilakukannya manipulasi terhadap
lesi atau pengolahan jaringan di laboratorium.1
Percik renik, merupakan partikel dapat menampung 1-5 basilli, dan
bersifat sangat infeksius, dan dapat bertahan di dalam udara sampai 4 jam.
Karena ukurannya yang sangat kecil, percik renik ini memiliki kemampuan
mencapai ruang alveolar dalam paru, dimana bakteri kemudian melakukan
replikasi. Ada 3 faktor yang menentukan transmisi Myobacterium
Tuberculosis:1

1. Jumlah organisme yang keluar ke udara


2. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang dan
ventilasi
3. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi

Satu kali batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali
bersin dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis yang
diperlukan terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil. Kasus yang
paling infeksius adalah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan
sputum positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius. Pasien
dengan hasil pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak terlalu infeksius.
Kasus TB ekstra paru hampir selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita
juga memiliki TB paru. Individu dengan TB laten tidak bersifat infeksius,
karena bakteri yang menginfeksi mereka tidak bereplikasi dan tidak dapat
melalukan transmisi ke organisme lain.1
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan
minim ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu
yang lebih lama. Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili
dengan cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan
yang gelap. Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi

4
meningkatkan risiko penularan. Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan
tersebut berkembang menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi
imun individu.1
Pada individu dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan
berkembang menjadi penyakit TB dan hanya 10% dari kasus akan menjadi
penyakit TB aktif (setengah kasus terjadi segera setelah terinfeksi dan
setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko paling tinggi terdapat pada dua
tahun pertama pasca-terinfeksi, dimana setengah dari kasus terjadi. Kelompok
dengan risiko tertinggi terinfeksi adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan
lanjut usia. Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami
penyakit TB aktif dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal.
50- 60% orang dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan mengalami
penyakit TB yang aktif. Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi medis lain di
mana sistem imun mengalami penekanan seperti pada kasus silikosis,
diabetes melitus, dan penggunaan kortikosteroid atau obat-obat
imunosupresan lain dalam jangka panjang.1

2.3 Epidemiologi

Jumlah kasus terbanyak adalah pada regio Asia Tenggara (44%), Afrika
(25%) dan regio Pasifik Barat (18%). Terdapat 8 negara dengan jumlah kasus
TB terbanyak yang mencakup dua pertiga dari seluruh kasus TB global yaitu
India (26%), Indonesia (8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,7%),
Nigeria (4,4%), Bangladesh (3,6%), dan Afrika Selatan (3,6%). Sebanyak
8,2% kasus TB adalah HIV positif. Pada tahun 2019, diperkirakan sebanyak
3,3% dari TB Paru kasus baru dan 18% dari TB Paru dengan riwayat
pengobatan TB sebelumnya merupakan TB multidrug-resistant atau
rifampicin-resistant (TB MDR/RR) dengan jumlah absolut sebanyak 465.000
(400.000–535.000) kasus TB MDR/RR baru. Di Indonesia sendiri
diperkirakan pada tahun 2019 terdapat 845.000 (770.000–923.000) kasus
baru TB Paru, sebanyak 19.000 kasus baru di antaranya merupakan kasus TB-
HIV positif. Diperkirakan terdapat 92.000 kematian pada kasus TB-HIV
negatif dan 4.700 kematian pada pasien TB-HIV positif.2

5
2.4 Perjalanan Penyakit Tuberkulosis

Patogenesis dari TB terkait erat dengan respon imun dari inang (host).
Pada sebagian besar inang, invasi patogen TB akan direspon secara adekuat
oleh sistem imun, membatasi pertumbuhan bakteri, dan mencegah terjadinya
infeksi. Secara paradoks, sebagian besar kerusakan jaringan yang ditimbulkan
pada infeksi TB justru berasal dari respon imun inang, misalnya pada
kejadian nekrosis perkijuan dan kavitas yang khas dilihat pada paru pasien
TB. Pada pasien dengan sistem imun yang inadekuat, misalnya pada pasien
HIV, dapat menghasilkan tanda dan gejala yang atipikal. Pada pasien TB-
HIV, penampakan kavitas biasanya tidak dijumpai pada foto toraks.
Meskipun demikian, meskipun tidak atau sedikit dijumpai kerusakan jaringan
akibat respon imun inang pada pasien TB-HIV, rendahnya respon imun
mengakibatkan bakteri TB lebih mudah berproliferasi dan menyebar. Hal
tersebut dapat dilihat dari gambaran foto toraks TB miliar yang umum
dijumpai pada pasien TB-HIV. Tidak semua orang yang terpajan dengan
patogen TB akan berkembang menjadi penyakit TB. Secara skematis,
persentase orang terpajan TB yang akan berkembang menjadi penyakit TB
dapat dilihat pada Gambar 1.

Sekitar 30% dari orang yang terpajan terhadap kuman TB akan terinfeksi
dengan TB. Dari pasien yang terinfeksi TB, sekitar 3 – 10 % akan
berkembang menjadi TB aktif dalam 1 tahun pertama setelah infeksi.2

6
 Patogenesis TB

Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan trakea-


bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di mana
nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh makrofag alveolus yang
kemudian akan memproduksi sebuah respon nonspesifik terhadap basilus.
Infeksi bergantung pada kapasitas virulensi bakteri dan kemampuan
bakterisid makrofag alveolus yang mencernanya. Apabila basilus dapat
bertahan melewati mekanisme pertahanan awal ini, basilus dapat
bermultiplikasi di dalam makrofag.1
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23- 32 jam
sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun
eksotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang
terinfeksi. Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan
jumlahnya akan mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang cukup untuk
menimbulkan sebuah respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi
pada uji tuberkulin skin test. Bakteri kemudian akan merusak makrofag dan
mengeluarkan produk berupa tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian
akan menstimulasi respon imun.1
Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar
melalui sistem limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran
darah dan menyebar ke organ lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui
memiliki resistensi terhadap replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar dan
limpa ditemukan hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria.
Organisme akan dideposit di bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan
otak, di mana kondisi organ-organ tersebut sangat menunjang pertumbuhan
bakteri Mycobacteria. Pada beberapa kasus, bakteri dapat berkembang
dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun seluler spesifik yang dapat
membatasi multiplikasinya.1

1. TB primer

7
Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili. Hal
ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan sebagai
TB anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun pada
individu yang belum pernah terpapar Myobacterium Tuberculosis
sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan
menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian bawah
lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian
mengalami terfagosistosis oleh makrofag produk mikrobakterial mampu
menghambat kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus,
sehingga bakteri dapat melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag
dan monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi
menuju fokus infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini
kemudian disebut sebagai Ghon focus. Basili dan antigen kemudian
bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui jalur limfatik menuju Limfe
nodus hilus dan membentuk kompleks (Ghon) primer. Respon inflamasinya
menghasilkan gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Di dalam nodus limfe,
limfosit T akan membentuk suatu respon imun spesifik dan mengaktivasi
makrofag untuk menghambat pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus
primer ini mengandung 1,000–10,000 basili yang kemudian terus
melakukan replikasi. Area inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan
dengan jaringan fibrotik dan kalsifikasi, yang didalamnya terdapat makrofag
yang mengandung basili terisolasi yang akan mati jika sistem imun host
adekuat. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk
beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan kuman laten. Infeksi
primer biasanya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil
tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa kasus,
respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat perkembang biakan
bakteri dan basili akan menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam
beberapa bulan. TB primer progresif pada parenkim paru menyebabkan
membesarnya fokus primer, sehingga dapat ditemukan banyak area

8
menunjukkan gambaran nekrosis kaseosa dan dapat ditemukan kavitas,
menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB post primer.1

2. TB pasca primer
TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang
sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten
yang memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal
ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.
Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama
beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali
bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya
sistem imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi ketika seorang
yang pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh kontak
dengan orang yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil
kasus, hal ini merupakan bagian dari proses infeksi primer. Setelah
terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi penyakit intra-
torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding pada orang dewasa. Foto
toraks mungkin dapat memperlihatkan gambaran limfadenopati
intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB post-primer biasanya
mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan organ tubuh
lain. Karakteristik dari dari TB post- primer adalah ditemukannya kavitas
pada lobus superior paru dan kerusakan paru yang luas. Pemeriksaan
sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif dan biasanya tidak
ditemukan limfadenopati intratorakal.1

2.5 Faktor risiko TB

Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah :1

1. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain


2. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu
panjang
3. Perokok

9
4. Konsumsi alkohol tinggi
5. Anak usia <5 tahun dan lansia
6. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang
terinfeksius
7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh:
lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
8. Petugas kesehatan

2.6 Gejala klinis TB paru

Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat menunjukkan


manifestasi klinis sebagai berikut.:1

1. Batuk ≥ 2 minggu
2. Batuk berdahak
3. Batuk berdahak dapat bercampur darah
4. Dapat disertai nyeri dada
5. Sesak napas

Dengan gejala lain meliputi :

1. Malaise
2. Penurunan berat badan
3. Menurunnya nafsu makan
4. Menggigil
5. Demam
6. Berkeringat di malam hari

2.7 Klasifikasi dan Tipe Pasien TB

Terduga (presumptive) pasien TB adalah seseorang yang mempunyai


keluhan atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai
terduga TB). Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB
yang terbukti positif bakteriologi pada hasil pemeriksaan (contoh uji
bakteriologi adalah sputum, cairan tubuh dan jaringan) melalui pemeriksaan

10
mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan. Termasuk dalam kelompok
pasien ini adalah.1:

1. Pasien TB paru BTA positif


2. Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif
3. Pasien TB paru hasil tes cepat M.TB positif
4. Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena
5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis

Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi


kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB
aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB. Termasuk
dalam kelompok pasien ini adalah :1

1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks


mendukung TB
2. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3. Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis
4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring

Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi


bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan)
harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.1

Guna menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi yang merugikan


pasien, pemberian pengobatan TB berdasarkan diagnosis klinis hanya
dianjurkan pada pasien dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung diagnosis TB


2. Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal: pada kasus
meningitis TB, TB milier, pasien dengan HIV positif, perikarditis TB dan
TB adrenal.1

11
2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Bakteriologis4:

 Bahan pemeriksaan: dahak, bronchoalveolar lavage (BAL)


 Dahak /sputum BTA pengambilan 2x pada pagi hari 1x sebelum
makan dan 1x sesudah makan
 Cara pemeriksaan dahak dan BAL dilakukan dengan cara
mikroskopik dan biakan
 Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan
atau
pewarnaan Auramin-rhodamin
 Biakan bakteri TB dapat menggunakan media padat (Lowenstein
Jensen) maupun media cair (Mycobacteria Growth Indikator
Tube/MGIT)
 Tes Cepat Molekuler (TCM) : menggunakan GeneXpert MTB/RIF
dan atau jenis lain
 Uji molekular lainnya:
 MTBDRplus (uji kepekaan untuk R dan H)
 MTBDRsl (uji kepekaan untuk etambutol, aminoglikosida, dan
florokuinolon)
 Molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R)
 PCR-Based Methods of IS6110 Genotyping
 Spoligotyping
 Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)
 MIRU / VNTR Analysis
 PGRS RFLP
 Genomic Deletion Analysis
 Genoscholar: PZA TB II (uji kepekaan untuk Z), NTM+MDRTB II
(uji kepekaan untuk identifikasi spesies Mycobacterium dan uji
kepekaan H + R), serta FQ+KM-TB II (uji kepekaan florokuinolon
dan kanamisin)

12
 Interferon-Gamma Realease Assays (IGRAs): tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosis TB aktif, tapi hanya digunakan untuk
mendiagnosis TB laten
 Nucleic Acid Amplification Test (NAAT)

Pemeriksaan lain4:

 Radiologi: Foto toraks, PA/lateral/lateral dekubitus/obliq


 Histopatologi jaringan: biopsi jaringan paru dan lesi yang dicurigai
 CT scan toraks pada keadaan khusus bila diperlukan

2.9 Diagnosis Tuberkulosis

A. Diagnosis

1. Tes Cepat Molekuler (TCM) adalah alat diagnosis utama yang digunakan
untuk penegakan diagnosis Tuberkulosis. Alur penegakan diagnosis TBC
adalah sebagai berikut.:5

13
2. Pemeriksaan TCM digunakan untuk mendiagnosis TBC, baik TBC paru
maupun TBC ekstra paru, baik riwayat pengobatan TBC baru maupun yang
memiliki riwayat pengobatan TBC sebelumnya, dan pada semua golongan
umur termasuk pada ODHA.
3. Pemeriksaan TCM dilakukan dari spesimen dahak (untuk terduga TBC paru)
dan non dahak (untuk terduga TBC ekstra paru, yaitu dari cairan serebro spinal,
kelenjar limfe dan jaringan).
4. Seluruh terduga TBC harus dilakukan pemeriksaan TCM pada fasilitas
pelayanan kesehatan yang saat ini sudah mempunyai alat TCM.
5. Jumlah dahak yang dikumpulkan adalah 2 (dua) dahak yaitu Sewaktu-Sewaktu,
Sewaktu-Pagi maupun Pagi - Sewaktu, dengan jarak 1 jam dari pengambilan
dahak pertama ke pengambilan dahak kedua. Standar kualitas dahak yang
digunakan adalah dahak dengan volume 3-5 ml dan mukopurulen. Hasil
pemeriksaan TCM terdiri dari MTB pos Rif resistan, MTB pos Rif sensitif,
MTB pos Rif indeterminate, MTB negatif dan hasil gagal (error, invalid, no
result). Beberapa ketentuan terkait hasil pemeriksaan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Pasien dengan hasil MTB pos, Rif Resistan berdasarkan Riwayat
pengobatannya terdiri dari:
1) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru atau tidak ada kontak erat
dengan TBC RO harus dilakukan pengulangan TCM sebanyak 1 kali,
dan hasil pengulangan yang memberikan hasil MTB pos yang menjadi
acuan.
2) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru dengan riwayat kontak
erat dengan pasien TBC RO atau terduga TBC dengan riwayat
pengobatan sebelumnya dinyatakan sebagai pasien TBC Rifampisin
resistan dan selanjutnya dilakukan inisiasi pengobatan TBC RO.
3) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC ekstra paru tanpa riwayat
pengobatan TBC sebelumnya sebaiknya diulang TCM sebanyak 1 kali
dengan spesimen yang berbeda. Apabila tidak dimungkinkan untuk
dilakukan pengulangan terkait kesulitan mendapatkan spesimen baru,
pertimbangkan kondisi klinis pasien.

14
b. Pasien yang terkonfirmasi sebagai pasien TBC Rifampisin resistan akan
dilanjutkan dengan pemeriksaan molekuler (LPA lini dua atau TCM XDR)
dan pemeriksaan paket standar uji kepekaan fenotipik. Fasilitas Pelayanan
Kesehatan akan mengirimkan spesimen dahak dari pasien tersebut ke
laboratorium rujukan sesuai jejaring rujukan yang berlaku. Hasil
pemeriksaan ini akan menentukan paduan pengobatan TBC RO yang akan
diberikan terhadap pasien.
c. Pasien dengan hasil MTB pos Rif sensitif berdasarkan Riwayat
pengobatannya terdiri dari:
1) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC baru akan dilakukan inisiasi
pengobatan dengan OAT kategori 1
2) Pasien berasal dari kriteria terduga TBC dengan riwayat pengobatan
sebelumnya (kambuh, gagal, loss to follow up, tidak konversi) akan
dilanjutkan dengan pemeriksaan uji kepekaan terhadap INH. Inisiasi
atau melanjutkan pengobatan dengan OAT Kategori 1 dilakukan
sambal menunggu hasil uji kepekaan terhadap INH. Apabila hasil uji
kepekaan menunjukkan INH resistan akan diberikan paduan
pengobatan TBC monoresistan INH.
d. Pasien dengan hasil MTB indeterminate akan dilakukan pengulangan oleh
laboratorium TCM sebanyak 1 kali untuk memastikan status resistansi
terhadap rifampisin. Gunakan dahak dengan kualitas baik yaitu volume 3-5
ml dan mukopurulen.
e. Pasien dengan hasil TCM gagal (invalid, error, no result) akan dilakukan
pengulangan oleh laboratorium TCM untuk memastikan pasien positif atau
negatif TBC dan mengetahui status resistansi terhadap rifampisin.
Gunakan sisa sampel jika masih tersedia. Pada kondisi volume sampel
kurang dari 2 ml, gunakan dahak kedua. Apabila dahak kedua tidak
tersedia, kumpulkan dahak baru dengan kualitas baik yaitu volume 3-5 ml
dan mukopurulen.
f. Pasien dengan hasil MTB negatif dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks
dan/atau pemberian antibiotik spektrum luas. Pasien tersebut dapat
didiagnosis sebagai TBC klinis sesuai pertimbangan klinis.

15
g. Penegakan diagnosis TBC secara klinis harus didahului dengan
pemeriksaan bakteriologis sesuai dengan butir A. 1 di atas.
h. Fasilitas Pelayanan kesehatan bersama dinas kesehatan setempat. Harus
mengevaluasi proporsi pasien TBC terkonfirmasi bakteriologis
dibandingkan dengan pasien TBC terkonfirmasi klinis. Proporsi antara
terkonfirmasi bakteriologis dan terdiagnosis klinis idealnya adalah 60:40.
6. Fasilitas pelayanan kesehatan yang belum/tidak mempunyai TCM, harus merujuk
terduga TBC atau dahak dari terduga TBC tersebut ke Fasilitas Pelayanan
Kesehatan TCM. Merujuk dahak lebih direkomendasikan dibanding merujuk
terduga TBC terkait alasan pengendalian infeksi.
7. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota mengatur jejaring rujukan dan
menetapkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan TCM menjadi pusat rujukan
pemeriksaan TCM bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan di sekitarnya.
8. Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota menyiapkan sumber daya di
fasilitas pelayanan kesehatan yang akan mengoperasikan TCM.
9. Jika fasilitas pelayanan kesehatan mengalami kendala mengakses layanan TCM
berupa kesulitan transportasi, jarak dan kendala geografis maka penegakan
diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
10. Pasien TBC yang terdiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis harus
dilakukan pemeriksaan lanjutan menggunakan TCM. Dinas Kesehatan berperan
mengatur jejaring rujukan spesimen ke Fasilitas Pelayanan. Kesehatan TCM
terdekat. Jumlah dahak yang dikirimkan adalah sebanyak 2 dahak. Pemeriksaan
TCM ini bertujuan untuk mengetahui status resistansi terhadap Rifampisin.
Tindak lanjut hasil pemeriksaan TCM pada pasien yang terdiagnosis TBC
melalui pemeriksaan mikroskopis adalah sebagai berikut:
a. Pasien terdiagnosis sebagai TBC terkonfirmasi bakteriologis dari
pemeriksaan mikroskopis.
1) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTB pos Rifampisin resistan,
pertimbangkan kriteria terduga (baru atau memiliki riwayat pengobatan
sebelumnya) dan mengikuti alur sesuai poin A.5.a di atas.
2) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTB pos Rifampisin sensitif,
MTB pos Rifampisin indeterminate, MTB negatif dan hasil gagal (error,

16
invalid, no result) maka hasil TCM tidak mengubah diagnosis pasien
sebagai TBC terkonfirmasi bakteriologis.

b. Pasien terdiagnosis sebagai TBC klinis dengan hasil BTA negatif.

1) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTB pos Rifampisin resistan,


pertimbangkan kriteria terduga (baru atau memiliki riwayat pengobatan
sebelumnya) dan mengikuti alur sesuai poin A.5.c di atas.
2) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTB pos Rifampsisin sensitif,
MTB pos Rifampisin indeterminate, lanjutkan pengobatan, pasien
dinyatakan sebagai TBC terkonfirmasi bakteriologis.
3) Apabila hasil TCM lanjutan menunjukkan MTB negatif atau hasil gagal
lanjutkan pengobatan, pasien tetap sebagai TBC terdiagnosis klinis.

B. Pengobatan

Terkait dengan tatalaksana pengobatan, perubahan yang terjadi adalah sebagai


berikut:

1. Obat Anti TBC (OAT) Kategori 1 fase awal dan lanjutan dengan dosis
harian. OAT Kat 1 dosis harian akan mulai dipergunakan secara bertahap.
Pada tahun 2021, prioritas pemberian OAT ini adalah untuk:

1) Pasien TBC HIV

2) Kasus TBC yang diobati di Rumah Sakit

3) Kasus TBC dengan hasil MTB pos Rifampisin sensitif dan Rifampisin
indeterminate dengan riwayat pengobatan sebelumnya.

2. Pemberian OAT Kategori 2 tidak direkomendasikan untuk pengobatan


Pasien TBC. Mulai tahun 2021 Program TBC tidak menyediakan OAT
Kategori 2. Akan tetapi bila stok OAT Kategori 2 masih tersedia di instalasi
farmasi provinsi, kabupaten/kota dan di fasilitas pelayanan kesehatan, maka
harus dimanfaatkan sampai habis.

17
3. Pasien TBC MTB pos Rifampisin Sensitif yang berasal dari kriteria dengan
riwayat pengobatan sebelumnya (kambuh, gagal dan loss to follow up)
diobati dengan OAT Kategori 1 dosis harian.

4. Sejak tahun 2019, Program TBC sudah menyediakan OAT dalam sediaan
tablet dispersible untuk pengobatan TBC RO anak dan TPT anak kontak
dengan pasien TBC RO. Sediaan ini mudah dikonsumsi oleh anak, namun
pemanfaatannya masih terbatas. Dinas Kesehatan Provinsi dan Kab/Kota agar
melakukan sosialisasi supaya OAT RO anak dapat dimanfaatkan sebaik-
baiknya.

C.Pemantauan kemajuan pengobatan

1.Pemantauan pengobatan pasien TBC SO menggunakan pemeriksaan


mikroskopis.

2.Pemantauan pengobatan pasien TBC SO menggunakan pemeriksaan


mikroskopis dan biakan.5

2.10 Tatalaksana

1. Tujuan pengobatan TB adalah :

a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas


pasien
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
c. Mencegah kekambuhan TB
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
e. Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat

2. Prinsip Pengobatan TB :

Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam


pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien
untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:

a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat

18
b. mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi
c. Diberikan dalam dosis yang tepat
d. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(pengawas menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
e. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi
dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

3. Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :

a. Tahap awal

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini


adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus
diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara
teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun
setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.

b. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan
selama 4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.

Pengobatan Awal Fase Intensif Dengan RHZE(150/75/400/275mg)


diberikan selama 2 bulan. RHZE berisi obat-obatan rifampisin isoniazid,
pirazinamid, dan ethambuttamol.

19
Pengobatan Lanjutan Dengan RH(150/75 mg) di berikan selama 4
bulan.RH berisi obat-obatan rifampisin dan isoniazid.

20
21
2.11 Tuberkulosis Dengan DILI

Drug Induced Liver Injury (DILI) adalah cedera hati yang disebabkan paparan
obat atau agen toksik non infeksius dan berhubungan dengan berbagai tingkat
disfungsi organ. DILI adalah gangguan fungsi hati akibat penggunaan obat-obatan
yang bersifat hepatotoksik seperti OAT. DILI akibat OAT terjadi dalam waktu 2
bulan setelah pemberian OAT dimulai dan kejadian tertinggi pada 2 minggu
pertama Gejala DILI bervariasi dari gejala ringan seperti kehilangan nafsu makan,
kelelahan, sakit perut, demam, dan sakit kuning dengan peningkatan transaminase
hingga gejala gagal hati akut. Faktor yang dapat menyebabkan DILI antara lain
IMT, status asetilator metabolik INH, usia, jenis kelamin, faktor metabolik,
interaksi obat, dan konsumsi alkohol. Pengobatan TB yang diketahui
menyebabkan DILI adalah INH, rifampisin, dan pirazinamid. Jika terjadi selama

22
pengobatan TBC maka pengobatan dihentikan sampai gejala klinis hilang selama
2 minggu dan fungsi hati kembali normal. Pirazinamid tidak digunakan untuk
perawatan selanjutnya. Peningkatan ALT dan ALP merupakan penanda
kerusakan jaringan, sedangkan peningkatan bilirubin total, penurunan protein
plasma dan albumin, koagulopati (peningkatan PPT dan INR) merupakan penanda
disfungsi hati. DILI dapat asimtomatik bila kapasitas adaptasi hati masih cukup
dan fungsi hati belum terganggu.6

Evaluasi terhadap ada nya komorbiditas penyakit hati kronik seperti


koinfeksi virus hepatitis, alkoholisme, dan status nutrisi perlu
dilakukan. Berbagai pedoman merekomendasikan penghentian OAT jika
ditemukan gejala dan tanda hepatitis seperti mual, muntah disertai
peningkatan kadar ALT. Pada kelompok asimptomatik American Thoracic
Society (ATS), British Thoracic Society (BTS), dan European Respiratory
Society merekomendasikan penghentian pemberian OAT pada peningkatan ALT
lebih dari 5 kali ULN. Sedangkan pedoman Hong Kong Tuberculosis Service
menetapkan batasan lebih rendah yaitu apabila ditemukan peningkatan ALT lebih
dari 3 kali ULN atau peningkatan kadar bilirubin lebih dari 2 kali ULN.
Pedoman ATS merekomendasikan penghentian pemberian OAT apabila
terdapat peningkatan enzim hati lebih dari 3 kali ULN disertai gejala.7

Tatalaksana Hepatitis Imbas Obat :4

1. Bila ditemukan gejala klinis yaitu mual, muntah, maka OAT dihentikan.
2. Bila ditemukan gejala klinis disertai peningkatan SGOT dan/ SGPT > 3
kali, maka OAT dihentikan.
3. Bila tidak ditemukan gejala klinis, OAT dihentikan apabila hasil
laboratorium bilirubin >2, atau SGOT, SGPT >5 kali. Apabila SGOT,

23
SGPT >3 kali, maka pengobatan dilanjutkan, dengan pengawasan. Cara
pemberian OAT yang dianjurkan: Hentikan OAT yang bersifat
hepatotoksik (RHZ). Setelah itu, monitor gejala klinis dan laboratorium.
Bila gejala klinis dan laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT,
SGPT), maka mulai diberikan rifampisin dosis naik perlahan sampai dosis
penuh. Selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat
rifampisin dosis penuh, bila gejala klinis dan laboratorium normal,
tambahkan INH dengan dosis naik perlahan sampai dengan dosis penuh
(sesuai berat badan). Paduan OAT dapat diberikan secara individual
setelah dilakukan inisiasi ulang atau rechallenge. Pada pasien yang
mengalami ikterik, maka dianjurkan tidak memasukkan pirazinamid
kedalam paduan obat.

Bila rifampisin tidak dapat ditoleransi: 2HES/10HE Bila INH tidak dapat
ditoleransi: 6-9 RZE.4

2.2.1 Tuberkulosis dengan kelainan hati

Pasien dengan pembawa virus hepatitis, riwayat hepatitis akut serta konsumsi
alkohol yang berlebihan apabila tidak terdapat bukti penyakit hati kronik dan
fungsi hati normal dapat mengkonsumsi OAT standar. Reaksi hepatotoksik lebih
sering terjadi sehingga perlu diantisipasi lebih lanjut.1

Pada pasien dengan penyakit hati kronik lanjut pemeriksaan fungsi hati harus
dilakukan sebelum pengobatan dimulai dan secara berkala selama pengobatan.
Apabila kadar SGPT >3x normal sebelum terapi dimulai maka paduan obat
berikut ini perlu dipertimbangkan. Paduan obat yang dapat diberikan adalah dapat
mengandung obat hepatotoksik, 1 obat hepatotoksik atau tanpa obat hepatotoksik.1

1. Dua obat hepatotoksik

a. 9 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol (9 RHE)


b. 2 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol + streptomisin diikuti 6 bulan
isoniazid + rifampisin (2 HRES/6HR) .
c. 6-9 bulan rifampisin + pirazinamid + etambutol (6-9 RZE)

24
2. Satu obat hepatotoksik,

2 bulan isoniazid, etambutol, streptomisin diikuti 10 bulan


isoniazid+etambutol (2SHE/10HE)

3. Tanpa obat hepatotoksik,

18-24 bulan streptomisin, etambutol, fluorokuinolon (18 – 24 SEQ)

Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan. Pada penderita kelainan hati kronik pyrazinamid tidak diberikan.
Paduan OAT yang direkomendasikan WHO.1

Pada pasien-pasien dengan riwayat gangguan fungsi yang sudah ada


sebelumnya penting untuk dilakukan diagnosis penyebab dan derajat gangguan
fungsi hati yang ada sebelum memulai pemberian OAT. Pada penyakit hati
kronik diperlukan penentuan derajat severitas penyakit sesuai kriteria Child-
Pugh. Derajat severitas selanjutnya dapat menjadi dasar pertimbangan
pemberian regimen OAT yang dimodifikasi. Selain itu adanya peningkatan
kadar enzim ALT lebih dari 3 kali ULN sebelum terapi OAT diberikan juga
menjadi salah satu pertimbangan modifikasi pada regimen OAT.7

 Tatalaksana Koinfeksi Tuberkulosis dengan Virus Hepatitis B Kronik

Virus hepatitis B adalah virus DNA yang mempengaruhi 296 juta orang secara
global dan merupakan penyebab kematian yang signifikan. Terapi saat ini
membutuhkan supresi kronis HBV dan hanya sekitar 10% dari pasien yang
dirawat dapat mencapai penyembuhan fungsional. HDV adalah virus RNA yang
koinfeksi atau superinfeksi pada HBV. Koinfeksi TB dengan hepatitis B kronik
dapat umum ditemukan pada praktik sehari-hari. Pemberian kombinasi OAT
berhubungan dengan risiko kejadian penyakit hati fulminan dan peningkatan
mortalitas. Diperlukan skrining HBsAg pada semua pasien TB. sebelum

25
terapi OAT diberikan. Pada kelompok dengan HBsAg positif maka
pemeriksaan serologi infeksi dan pemeriksaan fungsi hati perlu dilakukan.
Pada kelompok TB dengan karier virus hepatitis B (HBsAg positif, HBeAg
negatif, kadar HBV-DNA rendah, dan ALT normal persisten) maka pemberian
regimen OAT standar dapat diberikan. Karena risiko hepatotoksisitas berat dapat
terjadi, maka diperlukan pemantauan fungsi hati yang lebih ketat. Apabila
hepatotoksisitas muncul maka pemberian OAT dihentikan dan dimodifikasi
dengan regimen tanpa agen hepatotoksik. Pada kelompok pasien TB dengan
replikasi virus hepatitis B yang aktif di pertimbangkan pemberian analog
nukleosida sebelum terapi OAT dimulai untuk mencegah munculnya
hepatotoksisitas yang berat. Pada sebuah laporan kasus dilaporkan pemberian
terapi lamivudin dapat memberikan keberhasilan tatalaksana TB dengan INH
dan dan RIF pada pasien dengan TB dan koinfeksi hepatitis B. 7,11

 Tatalaksana Koinfeksi Tuberkulosis dengan Virus Hepatitis C Kronik

Infeksi virus hepatitis C (HCV) merupakan penyebab utama penyakit hati


kronis seperti sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler.10
Pada pemberian regimen kombinasi OAT didapatkan peningkatan kejadian
cedera hati sebesar 5 kali lipat. Kejadian efek samping ini meningkat menjadi
14 kali lipat apabila selain menderita hepatitis C kronik, juga terdapat
koinfeksi dengan HIV. Mekanisme peningkatan risiko diakibatkan steatosis hati
akibat virus hepatitis C dimana akan mencetuskan apoptosis hepatosit dan
memfasilitasi proses inflamasi dan fibrosis. Sampai saat ini pada pasien
hepatitis C kronik yang menderita TB dapat diberikat OAT dengan regimen
standar disertai pemantauan fungsi hati yang dilakukan secara berkala. Apabila
terjadi cedera hati maka OAT dapat dihentikan sampai fungsi hati kembali
normal dan dapat dipertimbangkan untuk dilakukan reintroduksi secara
bertahap.7

 Tatalaksana Tuberkulosis dengan sirosis Hati


Sirosis hepatis merupakan suatu penyakit yang diakibatkan oleh adanya
inflamasi kronik yang terjadi di hati. Sirosis hepatis biasanya berhubungan dengan
transmisi penyakit infeksi, seperti hepatitis virus, konsumsi alkohol, sindroma

26
metabolik, proses autoimun, gangguan fungsi penyimpanan glikogen, obat-obatan
hepatotosik dan zat toksik.8

Berbagai literatur dan pedoman menyarankan tidak diberikannya PZA


pada pasien-pasien dengan sirosis hati, terutama sirosis hati dekompensata.
Pada kondisi TB berat dan memiliki indikasi pemberian PZA, maka
disarankan pertimbangan pemberian dosis lebih rendah yaitu 15-30
mg/kg/hari dimana secara signifikan memiliki risiko hepatotoksisitas yang lebih
rendah. Berdasarkan risiko ini maka pemberian OAT pada pasien TB
dengan sirosis hati memerlukan pertimbangan seksama dimana pada
pasien-pasien dengan sirosis hati yang terkompensasi maka dapat
dipertimbangkan pemberian regimen OAT dengan 2 obat hepatotoksik.
Namun pada pasien-pasien TB dengan sirosis hati dekompensata maka tidak
disarankan pemberian regimen yang mengandung agen hepatotoksik.7

Sistem penilaian Child-Pugh (juga dikenal sebagai skor Child-Pugh-Turcotte)


dirancang untuk memprediksi kematian pada pasien sirosis. Awalnya
dikonseptualisasikan oleh Child dan Turcotte pada tahun 1964 untuk memandu
pemilihan pasien yang akan mendapat manfaat dari operasi elektif untuk
dekompresi portal, membagi pasien menjadi tiga kategori:

A. Fungsi hati baik


B. Gangguan fungsi hati sedang
C. Gangguan Fungsi hati berat/ lanjut

Sistem penilaian asli mereka menggunakan lima kriteria klinis dan laboratorium
untuk mengkategorikan pasien: bilirubin serum, albumin serum, asites, gangguan
neurologis, dan status gizi klinis. Sistem penilaian kemudian dimodifikasi oleh
Pugh et al., menggantikan waktu protrombin untuk status gizi klinis. Selain itu,

27
mereka memperkenalkan poin variabel untuk setiap kriteria berdasarkan tingkat
keparahan yang meningkat :9

 Ensefalopati:

Tidak ada = 1 poin

Tingkat 1 dan 2 = 2 poin

Tingkat 3 dan 4 = 3 poin

 Asites:

Tidak ada = 1 poin,

Sedikit = 2 poin

Sedang = 3 poin

 Bilirubin:

<2 mg/ml = 1 poin

2-3 mg/ml = 2 poin

>3 mg/ml = 3 poin

 Albumin:

> dari 3,5 mg/ml = 1 poin

2,8 - 3,5 mg/ml = 2 poin

<2,8 mg/ml = 3 poin

 Waktu Protrombin* (detik memanjang):

0-4 detik = 1 poin

4-6 detik = 2 poin

>6 detik = 3 poin

28
Tingkat Keparahan Sirosis:

Child-Pugh A: 5 sampai 6 poin

Child-Pugh B: 7 hingga 9 poin

Child-Pugh C: 10 sampai 15 poin

BAB III

29
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS

Nama : Nn. LW

Umur/Tanggal Lahir : 15 Tahun/05-02-2007

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Tidak bekerja

Alamat : dok II Jayapura

Nomor MR : 505005

Status : Belum menikah

Suku : Papua

Agama : Kristen Protestan

MRS : 10/12/2022

3.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama :
Sesak

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan sesak dirasakan ± 2 bulan, sesak hilang timbul,
pasien mengatakan sesak dirasakan pada malam hari ketika suhu dingin, pasien
juga mengatakan ada batuk batuk ± 2 bulan, batuk berlendir (+) berwarna kuning
kehijaun dan kental batuk berdarah (-) , batuk dirasakan semakin berat pada
malam hari hingga membuat pasien sulit untuk tidur, jika batuk maka pasien
merasa sesak dan untuk menghilangkan sesak, pasien meminum air hangat dan
beristirahat dengan menggunakan 2 bantal, Pasien juga menyatakan lemas disertai
nyeri kepala (+) . Pasien juga Mual (+) Muntah (+) hilang timbul dan dirasakan ±
1 bulan yang lalu dengan frekuensi 1-2x/ hari sesudah makan. Pasien Demam (+)
± 1 bulan yang lalu SMRS dirasakan hilang timbul . Pasien juga menyatakan

30
Nyeri dada (+) nyeri dada dirasakan kadang-kadang dan hilang timbul. Pasien
juga menyeluhkan nyeri perut (+) Pasien mengatakan nafsu makan berkurang,
minum baik, BB menurun selama 2 bulan saat keluhan-keluhan dirasakan, BB
dulu 40kg. BAK (+), BAB (-) belum BAB 4 hari SMRS . pasien berobat ke
Puskesmas Elly Uyo, tetapi tidak ada perubahan batuk dan sesak bertambah berat.

Riwayat Penyakit Dahulu:

 Riwayat Pengobatan TB : disangkal

 Riwayat Pengobatan HIV : disangkal

 Riwayat hipertensi : disangkal

 Riwayat diabetes melitus : disangkal

 Riwayat penyakit jantung : disangkal

 Riwayat penyakit ginjal : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat TB : disangkal

 Riwayat HIV : disangkal

 Riwayat hipertensi : disangkal

 Riwayat diabetes melitus : disangkal

 Riwayat penyakit jantung : disangkal

 Riwayat penyakit ginjal : disangkal

 Riwayat kanker : disangkal

 Riwayat alergi : disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien sebagai pelajar SMP

 Riwayat Kebiasaan

Riwayat merokok : Disangkal

31
Riwayat pengunaan obat-obatan (NAPZA) : Disangkal

Riwayat berhubungan seksual : Disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Umum

• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

• Kesadaran : Compos Mentis

Tanda Vital

 Tekanan darah : 110/70 mmhg

 Nadi : 78 x/menit

 Respirasi : 24x/menit

 Suhu : 36.6 °C

 SpO2 : 89% oksigen ruangan

 BB : 34 Kg

 TB : 160 Cm

 IMT : 13,28 ( Under weight)

Kepala

 Rambut : hitam, tidak mudah dicabut.

 Mata : sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (+), pupil bulat isokor

 Hidung : pernapasan cuping hidung (-), epitaksia (-), sekret (-)

 Telinga : gangguan pendengaran (-), perdarahan dari liang telinga (-)

 Mulut : bibir kering (+), Sianosis (-) perdarahan gusi (-), oral trush (+)

Leher :

 Tekanan vena jugularis : (-)

32
 Kelenjar tiroid : tidak teraba pembesaran

 Kelenjar limfe : tidak teraba pembesaran

Thorax

Paru

Anterior

 Inspeksi : ekspansi dinding dada Dextra = Sinistra , retraksi


dinding dada (-), jejas (-)

 Palpasi : vocal fremitus kanan menurun

 Perkusi : sonor (+) / sonor (+)

 Auskultasi : Suara napas vesicular (+) /Suara nafas vesicular


kiri (+), Rhonki Basah Kasar mulai dari ICS II / Rhonki Basah Kasar
mulai ICS IV sampai ICS VI

Posterior

 Inspeksi : ekspansi dinding dada Dextra = Sinistra , retraksi dinding


dada (-), jejas (-)

 Palpasi : vocal fremitus kanan menurun

 Perkusi : sonor (+) / sonor (+)

 Auskultasi : Suara napas vesicular (+) /Suara nafas vesicular kiri (+),

Rhonki Basah Kasar mulai dari ICS II / Rhonki Basah


Kasar mulai ICS IV sampai ICS VI

Jantung

 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

 Palpasi : Iktus Cordis teraba pada ICS V Midline clavicula sinistra

 Perkusi : Redup

 Auskultasi : Bunyi jantung I-II Reguler, Gallop (-), Murmur (-)

33
Abdomen

 Inspeksi : Perut tampak datar, pelebaran vena pada dinding perut (-),
distensi (-).

 Auskultasi : Bising usus (+) 3-5x normal

 Palpasi : Supel, Nyeri Tekan (+) Epigastrium

Hepar/Lien tidak teraba besar

 Perkusi : timpani pada semua regio abdominal

Ekstremitas

Ekstremitas atas :

 Akral teraba hangat (+/+), CRT <2”, ptekie/purpura/ekimosis (-). Edema


(-/-), ulkus (-/-)

Ekstremitas bawah :

 Akral teraba hangat (+/+), CRT >2”, ptekie/purpura/ekimosis (-), pitting


edema (+/+), ulkus (-/-).

Pemeriksaan penunjang

3.4 Pemeriksan penunjang

34
35
Foto Thorax

Kesan : TB paru

Multiple ekstasis paru kanan disertai infiltrat

Fibro infiltrat paru kiri

Jantung tidak dapat di nilai

3.4 DIAGNOSA

 Susp TB Paru

 Anemia

 Hiponatremia

 Hipokalemia

 Oral Candidiasis

3.5 Terapi

 O2 8 Lpm

 IVFD Threeway Nacl 3% 500cc/24 Jam : NS 0,9% 500cc/24 Jam

36
 Inj. Cefotaxim 0,5 gr/8 Jam

 Levofloxacin 750mg/24 Jam

 Transfusi PRC 1 Kolf/hari – Hb > 10

 R/ PITC

37
3.6 follow up pasien

38
39
40
41
42
43
44
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan sesak Pasien datang dengan keluhan sesak
dirasakan ± 2 bulan, sesak hilang timbulpasien juga mengatakan ada batuk batuk
± 2 bulan, batuk berlendir (+) berwarna kuning kehijaun dan kental batuk
berdarah (-) menyatakan lemas disertai nyeri kepala (+) . Pasien Demam (+) ± 1
bulan yang lalu SMRS dirasakan hilang timbul . Pasien juga menyatakan Nyeri
dada (+) Pasien mengatakan nafsu makan berkurang, BB menurun selama 2
bulan saat keluhan-keluhan dirasakan, BB dulu 40kg Turun 34 Kg berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun pmeriksaan penunjang membuktikan
bahwa pasien ini di diagnosis TB hal ini sesuai yang dengan teori tentang tb paru
dimana jika gejala klinis di dapat seperti batuk > dari dua minggu, batuk berdahak
dan bercmpur darah, nyeri dada, sesak nafas da gejala laian yang meliputi seperti
malaise, penurunan berat badan, penueunan nafsu makan, demam, berkeringat
pada malam hari .

Pada pemeriksaan lboratorium didapatkan penurunan HB: 6.6 g/dL Anemia


merupakan suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau kapasitas pembawa
oksigen lebih rendah daripada kebutuhan fisiologis tubuh. Anemia dapat juga diartikan

 kadar hemoglobin kurang dari 13.0 g/dL pada laki-laki

 pada wanita tidak hamil < kurang dari 12.0 g/dL

 pada wanita hamil kurang dari 11.0 g/dL

Anemia merupakan indikator dari nutrisi yang buruk dan kesehatan yang buruk
Sehingga penanganan pada pasien ini dilakukan tranfusi PRC sebanyak 2 kolf
dan B6 1x10mg

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan Kalium Darah: 3.05


mEq/L Hipokalemia adalah kondisi ketika tubuh tidak mendapatkan asupan
kalium yang cukup. Artinya, kadar kalium di dalam darah lebih rendah daripada
batas normal Kadar kalium dalam darah normalnya berkisar antara 3,5 - 5,2

45
mEq/L Terapi yang di berikan IVFD NS 500 cc/ 8 Jam + drip KCL 25 meq/8 jam,
KSR 1x1 tab

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan Kalium Darah: 3.05


mEq/L Hipokalemia adalah kondisi ketika tubuh tidak mendapatkan asupan kalium
yang cukup. Artinya, kadar kalium di dalam darah lebih rendah daripada batas normal
kadar kalium dalam darah normalnya berkisar antara 3,5 - 5,2 mEq/L Terapi yang
di berikan IVFD NS 500 cc/ 8 Jam + drip KCL 25 meq/8 jam, KSR 1x1 tab

Pada Pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan Natrium Darah: 122.10


mEq/L Hiponatremia didefinisikan sebagai natrium plasma atau serum rendah
yang kurang dari 135 mEq / L, Pada pasien diberikan terapiIVFD Threeway Nacl
3% 500cc/24 Jam : NS 0,9% 500cc/24 Jam

Pada Pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan Albumin sebesar 3.1


g/dL Rendahnya kadar albumin didalam darah karena abnormalitas. Penyebabnya:
gangguan gizi yang buruk kadar normal pada albumin adalah 3,5 g/dl -5,0 g/dl
terapi yang diberikan Inj. H. Albumin 20% 100cc/hari selama 3 hari, Inbumin 3x1
Tab

46
Bab v

Kesimpulan

Berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada


pasien ini di dapatakan diagnosis TB Paru, Anemia, Hiponatremia Dan
Hipokalemia . Oleh karena itu, penatalaksaan awal diberikan pada pasien sesak
adalah oksigenasi dan resusitasi cairan. Setelah kondisi lebih membaik kita
lakukan anamnesis untuk mengetahui penyebab dari keluhan utama serta riwayat
penyakit pasien.

Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yaitu pasien TB yang ditemukan


bukti infeksi kuman MTB berdasarkan pemeriksaan bakteriologis. Termasuk di
dalamnya adalah: Pasien TB paru BTA positif dan Pasien TB paru hasil biakan
MTB positif. Penatalaksanaan pasien dengan TB Paru dapat mengikuti Paduan
Kategori Obat untuk TB Paru sesuai berat badan pasien , pada pasien ini di
berikan FDC OAT 2 tablet. Dan pemberian terapi simpomatik seperi pada anemia
tranfusi PCR , hipoalbumin diberikan tranfusi human albumin , pada hiponatremia
diberikan NacL 3 % , hipokalemia di berikan KCL .

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis, Jakarta; 2020. Hal 9-15,19-21,22-
28,58,59.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia(PDPI). Tuberkulosis Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia, Jakarta; 2021. Hal 1,5,6.
3. Warsidah, Sari. Gambaran SGOT dan SGPT Pada Penderita Penyakit
Tuberculosis Paru (TB)Dalam Masa Pengobatan 6 Bulan Di Rumah Sakit Umum
Wisata Universitas Indonesia Timur Jurnal Media Laboran, Volume 10, Nomor 2,
November 2020 Hal 7( Akses: Desember 2022)
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Panduan Umum Praktik Klinis
Penyakit Paru dan Pernapasan, Jakarta; 2021. Hal 70-74
5. Surat Edaran Perubahan Alur Diagnosis Dan Pengobatan Tuberkulosis Di
Indonesia,https://puskesmastembelang.com/alur-penegakan-diagnosis-tb-
terbaru
6. Soedarsono, Riadi Tuberculosis Drug Induced Liver Injury. Jurnal Respirasi, Mei
2020, Vol 06 (02); Hal 49-54 ( Akses: Desember 2022)
7. Banjuradja, Singh. Mekanisme Hepatotoksisitas Dan Tatalaksana
Tuberkulosis Pada Gangguan Hati Indonesia Journal Chest | Vol.7 No.2
July-Dec. 2020 Hal 58-62 (Akses : November 2022)
8. Fadila, Ellyza , Rina .Perbedaan Rerata Kadar Albumin Serum Berdasarkan
Klasifikasi Child Turcotte Pugh Pasien Sirosis Hepatis Jurnal Ilmu
Kesehatan Indonesia, VOL. 1 NO. 3 (2020)
9. Tsoris, Marlar. Use Of The Child Pugh Score In Liver Disease. Update 2022
Maret. In Journal National Library Of Medicine
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542308

48
10. Egle, Janina. Hepatitis C Virus Epidemiology in Lithuania: Situation before
Introduction of the National Screening Programme. Published online 2022
May 30. In Journal National Library Of Medicine
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9230764/
11. Iman Khan, Mati Ullah, Novel Therapies of Hepatitis B and D. Published
online 2021 Dec 17. In Journal National Library Of Medicine .
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8707465/

49

Anda mungkin juga menyukai