EPILEPSI
Disusun oleh:
dr. Lismya Wahyu Ningrum
Pembimbing:
dr. Wayan Widyana
dr. Lia Pebriani
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ’’Epilepsi ” untuk
memenuhi tugas referat yang mempakan salah satu syarat mengikuti Program Internsip
Dokter Indonesia di RSUD Suladana Lampung Timur.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Wayan Widyana dan dr. Lia
Pebriani selaku dokter pendamping dan pembimbing yang telah memberikan
bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang
akan datang. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi
kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi..............................................................................................2
2.2 Epidemiologi.....................................................................................3
2.3 Etiologi..............................................................................................4
2.4 Klasifikasi..........................................................................................5
2.5 Patofisiologi.......................................................................................7
2.6 Gejala dan Tanda...............................................................................9
2.7 Diagnosis.........................................................................................11
2.8 Penatalaksanaan...............................................................................13
BAB III PENUTUP...................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................17
ii
i
BABI
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan.
Dahulu masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya
juga bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang munculnya
mitos dan rasa takut terhadap epilepsi berasal hal tersebut. Mitos tersebut
mempengaruhi silap masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi
dalam kehidupan normal. Penyakit tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000
sebelum Masehi. Orang pertama yang berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala
penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh
adanya gangguan di otak adalah Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi
yang dapat teijadi pada setiap orang di seluruh dunia. 2
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal. 13 Terdapat dua kategori
dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal teijadi
karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada kelainan ini
dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi
mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfor
cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum. 4,5
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik)
yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau
tanpa perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf
di otak dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. 6
Kejang epilepsi harus dibedakan dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi
adalah timbulnya kejang akibat berbagai penyebab yang ditandai dengan serangan
tunggal atau tersendiri.1 Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan
tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang epilepsi berulang, meliputi berbagai
etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas. 6
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada,
2
tetapi tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. 1 Seorang anak terdiagnosa
menderita epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa
dihilangkan atau disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan
otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma,
adanya inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau
elektrolit dalam darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik maka
dapat menyebabkan timbulnya epilepsi di kemudian hari. 6
2.2 Epidemiologi
Kejang mempakan kelainan neurologi yang paling sering teijadi pada anak,
dimana ditemukan 4 - 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada 16
tahun pertama kehidupan. Studi yang ada menunjukkan bahwa 150.000 anak
mengalami kejang tiap tahun, di mana terdapat 30.000 anak yang berkembang menjadi
penderita epilepsi.2
Faktor resiko teijadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya adalah infeksi
SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan penyakit metabolik. Meskipun
terdapat bermacam-macam faktor resiko tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat
ditemukan penyebab yang pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa
insidensi epilepsi pada anak laki - laki lebih tinggi daripada anak perempuan. 3
Epilepsi paling sering teijadi pada anak dan orang lebih tua (di atas 65 tahun).
Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak. Puncak insidensi epilepsi
terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun pada masa kanak-kanak,
dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun
epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1-5 tahun, 50
pada 5-9 tahun, dan 39 pada 10 - 14 tahun.2
2.3 Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus
epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut
sebagai kelainan idiopatik.2 Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal
dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu: 7
Tabel 1. Etiologi epilepsi
3
Kejang Fokal Kejang Umum
c. Infeksi c. Idiopatik
d. Mal formas i vaskuler d. Faktor genetik
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis
7. Dewasa (35-60 tahun): trauma, neoplasma, keracunan alkohol atau obat lainnya.
8. Usia lanjut (>60 tahun): penyakit vascular (biasanya pasca infark), tumor, abses,
penyakit degeneratif, trauma.
2.4 KlasiHkasi
Klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 untuk kejang
4
epilepsi:
5
• Kejang atonik
6
dapat Tanpa • Epilepsi dengan gelombang paku kontinu
ditentukan gambaran selama gelombang rendah tidur (Sindroma
fokal atau tegas fokal Taissinare)
• Sindroma Landau-Kleffher
generali sata OLau uiiiuiii
4 Sindrom Status epileptikus
khusus Kejang berkaitan dengan geiala metabolik atau toksik akut
2.5 Patofisiologi
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini teijadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron.
Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan
bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui
akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan
menyebabkan teijadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian
inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan
inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang
akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain.
Patofisiologi utama teijadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat
dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam
perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).
1) Mekanisme iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan
dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan neuron.
• Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya pembahan
fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; pembahan pada tipe,
jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang- ligan; atau
pembahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan penneabilitas terhadap
Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan yang mengawali
kejang.
7
• Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari pembahan
fisiologis dan struktural. Pembahan fisiologis meliputi pembahan konsentrasi ion,
pembahan metabolik, dan kadar neurotransmitter.
Pembahan stmktural dapat teijadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca
ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama kejang, yang mendahului pembahan
pada konsentasi K2+. Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal
daripada kadar K2+.
• Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di sepanjang
sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan
neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.
2) Mekanisme epileptogenesis
• Mekanisme nonsinaptik
Pembahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar K 2+
ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+ akibat
hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan
angkutan Cl -K+, yang mengatur kadar Cl' intrasel dan aliran Cl' inhibisi yang
diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi
dari ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah
neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal
pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting
pada epileptogenesis.
• Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi
GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
-GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan serebrospinal)
pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari
pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa
pasien ini mengalami penurunan inhibisi.
-Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan
kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului kejang.
Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama
kejang, konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan
hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan
toksik di glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang
epileptogenetik (Eisai, 2012).
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak atau satu
hemisfer serebrum. Kejang teijadi pada satu sisi atau satu bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena halusinatorik,
psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial sederhana, kesadaran
penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana, tetapi yang
2) Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak atau
kedua hemisfer serebrum. Kejang teijadi pada seluruh bagian tubuh dan kesadaran
penderita umumnya menurun.
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak disertai amnesia.
Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi, sehingga
sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
9
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota badan, leher,
dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan singkat. Kejang
yang teijadi dapat tunggal atau berulang.
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan cepat dan
total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata mengalami
deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10-20 detik dan diikuti oleh fase klonik
yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena
otonom yang teijadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan
denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang teijadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi kejang yang
teijadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering mengalami jatuh
akibat hilangnya keseimbangan.
2.7 Diagnosis
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang
tidak dipicu.1 Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang teijadi selama
perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan gejala
pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang tetap yang paling utama. Diagnosis epilepsi
mempakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin
memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang khusus. Pada kebanyakan
pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi, dan
pencitraan otak.7
1) Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:
1
0
a. Pola atau bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam
keadaan istirahat dan pada waktu tidur. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila:
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
1
1
hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada orang normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal.
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan prognosis dan
penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi (OAE). 6
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak (neuroimaging)
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data
EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul
dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan menggambarkan lesi
epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single Photon Emission Computerised
Tomography (SPECT), Positron Emission Tomography (PET), dan MRI fungsional
digunakan lebih lanjut untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum
pembedahan jika pencitraan struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat
membantu menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan
{Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy,
2010).
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi
(ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang
sedini mungkin. Setiap kali teqadi serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa
menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak.
Apabila hal ini terus-menerus teijadi, maka dapat mengakibatkan menurunnya
kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE
dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi
terkontrol dengan obat-obatan.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
1
2
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan faktor
penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental. Tapi secara
umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam
menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan,
pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go slow)”
akan mengurangi risiko intoleransi obat. Penatalaksanaan epilepsi sering membutuhkan
pengobatan jangka panjang. Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi,
memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan
politerapi.
1
3
Tipe kejang Lini pertama Lini kedua
Kejang parsial
Kejang umum
Tonik-klonik. Carbamazepine Acetazolamide
Klonik Lamotrigine Levetiracetam
1
4
tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau jika
terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima.
Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh
daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal
didekatnya (Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2010).
Prognosis epilepsi dihubungkan dengan teijadinya remisi serangan baik
dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita.
Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang)
dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun hams
dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lam yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan
(remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas
serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk
menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu
mempertimbangkan risiko teijadinya relaps setelah penghentian obat.
BAB III
PENUTUP
1
5
dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang umum. Kejang fokal
teijadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di mana pada
kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang
umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai
kedua hemisfor cerebri.
Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang
yang tidak dipicu. Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang teijadi selama
perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan
gejala pasien. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,
pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak.
DAFTAR PUSTAKA
1
7