Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI KECAMATAN


KELAPA GADING JAKARTA UTARA

Nama: NOVITA

NPM: 2143700376

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA

TAHUN 2022

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................................................ii
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................ii
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................................iv
1.3 Tujuan.........................................................................................................................................v
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................................................1
2.1. Definisi Tuberkulosis (TB)................................................................................................................1
2.2. Cara Penularan.................................................................................................................................1
2.3. Gejala Klinis Pasien Tuberkulosis.....................................................................................................2
2.4. Diagnosis Tuberkulosis....................................................................................................................4
2.6. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien................................................................................................5
2.7. Pengobatan Tuberkulosis................................................................................................................7
2.8 pengobatan penyakit TB di Puskesmas Kecamatan Kelapa Gading.................................................9
2.9 Jenis DRP menurut PCNE...........................................................................................................11
BAB III PEMBAHASAN ANALISA.....................................................................................................17
III. 1 PENGGUNAAN OBAT.............................................................................................................17
III.2 Identifikasi Drug Related Problems (DRPs)..............................................................................18
III.3 Drug Related Problems OAT.......................................................................................................19
111.4 Rekomendasi Obat.....................................................................................................................19
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................................................20
IV.1 Kesimpulan..................................................................................................................................20
IV.2 Saran............................................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................21

ii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
TBC adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Myobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut dikenal sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Myobacterium selain
Myobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada
saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Myobacterium Other Than
Tuberculosi) yang terkadang bisa mengganggu diagnosis dan pengobatan
tuberkulosis. Gejala utama pasien tuberkulosis paru yaitu batuk berdahak
selama 2 minggu lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, berkeringat pada malam hari,dan
meriang selamasatu bulan(Kemenkes RI, 2018).

Tuberkulosis paru adalah penyakit yang dapat menular melalui udara.


Kuman tuberkulosis menular dari orang ke orang melalui percikan dahak
ketika penderita tuberkulosis paru aktif batuk, bersin, bicara atau tertawa.
Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat tertidur lama selama beberapa
tahun (Kemenkes RI, 2012).

Upaya untuk menekan angka prevalensi kejadian tuberkulosis paru


dilakukan dengan pengobatan secara komprehensif. Lama pengobatan
penderita tuberkulosis paru selama minimal 6 bulan hingga 9 bulan atau
bahkan bisa lebih. Tingkat keparahan yang dialami pasien tuberkulosis
iii
paru dan alur pengobatan yang kompleks sangat berpengaruh dengan
besarnya biaya pengobatan yang dikeluarkan pasien baik pada saat
menjalani pengobatan rawat jalan ataupun terpaksa dirawat inap karena
keparahan penyakit tuberkulosis paru (Sabilla, 2016).

Di seluruh dunia, tuberkulosis adalah salah satu dari 10 penyebab


utama kematian. Jutaan orang terus jatuh sakit dengan tuberkulosis setiap
tahun. Pada tahun 2017, tuberkulosis menyebabkan kematian sekitar 1,3
juta orang. Secara global, ada 10 juta orang yang terkena penyakit
tuberkulosis pada tahun 2017. Diantaranya terdiri dari 5,8 juta pria, 3,2
juta wanita, dan 1 juta anak-anak (WHO, 2018).

Jumlah kasus baru tuberkulosis paru di Indonesia sebanyak 420.994


kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis
kelamin, jumlah kasus baru tuberkulosis paru tahun 2017 pada laki-laki
1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan (WHO,2018). Jumlah
kasustu berkulosis paru di Jawa Timur sebanyak 48.323 kasus pada tahun
2017. Hal ini membuktikan bahwa jumlah kasus Tuberkulosis Paru di
Jawa Timur menduduki peringkat nomor dua di Indonesia (Kemenkes RI,
2017).Jumlah kasus tuberkulosis paru khususnya di Surabaya pada tahun
2016 adalah sebanyak 5.428, terdiri dari laki-laki sejumlah 3.078, dan
perempuan sejumlah 2.350. (Kemenkes RI, 2016).

Berdasarkan survei prevalensi tuberkulosis tahun 2013-2014,


iv
prevalensi tuberkulosis dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia
sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan
prevalensiTBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur
15 tahun keatas. Berdasarkan survei Riskesdas 2013, semakin bertambah
usia, prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi
tuberculosis dan durasi paparan tuberkulosis lebih lama dibandingkan
kelompok umur di bawahnya (Kemenkes RI, 2018).

Risiko untuk terkena tuberkulosis paru terletak pada masa usia


produktif dan lansia yaitu umur 15-59 dan >60 tahun. Umur 15-59 tahun
termasuk orang yang produktif. Orang yang produktif memiliki resiko 5-
6 kali untuk mengalami kejadian tuberkulosis paru, hal ini karena pada
kelompok usia produktif setiap orang akan cenderung beraktivitas tinggi,
sehingga kemungkinan terpapar kuman Myobacterium tuberculosis lebih
besar, selain itu kuman tersebut akan aktif kembali dalam tubuh yang
cenderung terjadi pada usia produktif, Pada umur >60 tahun tergolong
lansia yang mempunyai kekebalan menurun seiring dengan proses menua
maka seluruh fungsi organ mengalami penurunan, kemampuan untuk
melawan kuman lemah sehingga kuman mudah masuk kedalam tubuh
lansia. Kasus tuberkulosis paru didapatkan hasil yang tinggi yakni hampir
50% pada usia 15-59 tahun dan hampir 50% pada usia ≥60 tahun,
sedangkan pada usia <15 tahun didapatkan hasil yang kecil (Andayani,
Astuti, 2017).

1.2Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan TBC (Tuberkulosis ) ?
v
2. Apa saja gejala klinik dari TBC ?
3. Apa tipe penderita TBC ?
4. Apa klasifikasi pengobatan TBC ?
5. Bagaimana pengananan DRP berdasarkan pemberian obat TBC ?

1.3Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan TBC ( Tuberkulosis )
2. Untuk mengetahui gejala klinik dari TBC
3. Untuk mengetahui tipe penderita TBC
4. Untuk Mengetahui klasifikasi pengobatan TBC
5. Untuk mengetahui DRP berdasarkan pemberian obat TBC

vi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Penyakit ini paling sering menyerang
paru-paru walaupun pada sepertiga kasus menyerang organ tubuh lain dan
ditularkan orang ke orang. Ini juga salah satu penyakit tertua yang diketahui
menyerang manusia. TB merupakan penyebab paling umum dari infeksi kematian
terkait penyakit di seluruh dunia. Meskipun tingkat TB menurun, penyakit ini
menjadi lebih umum di banyak bagian dunia. Selain itu, prevalensi TB yang
resistan terhadap obat meningkat di seluruh dunia. Mycobacterium tuberculosis,
suatu basil tuberkel, adalah agen penyebab TB. Bakteri ini termasuk dalam
kelompok organisme yang berkaitan erat dengan M africanum, M bovis, dan M-
microti di kompleks TB M.

2.2. Cara Penularan


Sumber penularan TB adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu
kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup
kedalam saluran pernafasan. Jadi penularan TB tidak terjadi melalui perlengkapan
makan, baju, dan perlengkapan tidur. Setelah kuman TB masuk kedalam tubuh
manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya , melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran nafas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.

1
2.3. Gejala Klinis Pasien Tuberkulosis
Gejala klinis yang biasa ditemui pada pasien TB paru adalah batuk-batuk
selama 2-3 minggu atau lebih. Selain batuk pasien juga mengeluhkan dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan
demam meriang lebih dari satu bulan (Aditama, 2002).

Gejala-gejala diatas tidak hanya ditemukan pada pasien TB paru saja namun
dapat dijumpai pada pasien bronkiektasis, bronkiolitis, bronkitis kronik, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini
masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK)
dengan gejala tersebut diatas dianggap sebagai seorang tersangka (suspek)
penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan
yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Depkes RI, 2007).

2
Pada anak-anak gejala TB terbagi 2, yakni gejala umum dan gejala khusus.
Gejala umum, meliputi :
 Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan
tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang
baik.

 Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria
atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.

 Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering di


daerah leher, ketiak dan lipatan paha.

 Gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari (setelah
disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.

 Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh
dengan peng

obatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam


abdomen.

3
2.4. Diagnosis Tuberkulosis
Pemerintah melalui gerakan terpadu nasional, memiliki upaya untuk
meningkatkan kemampuan Puskesmas untuk melakukan diagnosis TB berdasarkan
pemeriksaan BTA ini. Pemeriksaan dahak dilakukan sedikitnya 3 kali, yaitu
pengambilan dahak sewaktu penderita datang berobat dan dicurigai menderita TB,
kemudian pemeriksaan kedua dilakukan keesokan harinya, yang diambil adalah
dahak pagi. Sedangkan pemeriksaan ketiga adalah dahak ketika penderita
memeriksakan dirinya sambil membawa dahak pagi. Oleh sebab itu, disebut
pemeriksaan SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).

Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum


atau dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya 2 dari 3 spesimen sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) BTA hasilnya positif.
Apabila hanya 1 spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen
dada atau pemeriksaan SPS diulang. Kalau dalam pemeriksaan radiologi, dada
menunjukkan adanya tanda-tanda yang mengarah kepada TB maka yang
bersangkutan dianggap positif menderita TB. Kalau hasil radiologi tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda TB, maka pemeriksaan dahak SPS harus diulang.
Sedangkan pemeriksaan biakan basil atau kuman TB, hanya dilakukan apabila
sarana mendukung untuk itu.

4
2.6. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu
”definisi kasus” yang meliputi empat hal yaitu:
 Organ tubuh yang sakit: paru, atau ekstra paru,

 Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif


atau BTA negatif,

 Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat,

 Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah di obati.

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:


 Menentukan panduan pengobatan yang sesuai,
 Registrasi kasus secara benar,
 Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif,
 Analisis kohort hasil pengobatan.

5
Beberapa istilah dalam definisi kasus:
 Kasus TB : pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau di
diagnosis oleh dokter,

 Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk


Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-
kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik diperlukan


untuk:
 Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah
timbulnya resistensi.

 Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga


meningkatkan pemakaian sumber daya lebih biaya efektif (cost effective).

 Mengurangi efek samping.

Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa
tipe pasien, yaitu:
 Baru, adalah pasien yang belum pernah di obati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

 Kambuh (relaps), adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah


mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, di diagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).

6
 Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan
di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.

 Pengobatan setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah


beobat dan putus berobat dua (2) bulan atau lebih dengan BTA positif.

 Gagal (failure), adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap


positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima (5) atau lebih selama
pengobatan.

 Lain-lain, adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas,


dalam kelompok ini termsauk kasus kronik yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.7. Pengobatan Tuberkulosis


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Pengobatan
tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal. Pemakaian OAT kombinasi dosis tetap lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien
menelan obat, dilakukan pengawasan langsung oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO)

7
Pengobatan TB diberikan dalam dua (2) tahap, yaitu tahap awal dan lanjutan.
 Tahap awal (intesif) adalah tahap pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intesif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu minggu. Sebagian besar
pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam dua (2) bulan.
 Tahap lanjutan adalah saat pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama, tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Jenis OAT SIFAT Dosis yang
direkomendasikan
Mg/kg
Harian 3kali
seminggu

Isoniazid (H) Bakterisid 5 10


4-6 8-12
Rimfapisin R Bakterisid 10 10
8-12 8-12
Pyrazinamide (z) Bakterisid 25 35
20-30 30-40
Strepmycin (S) Bakterisid 15
12-18
Etambuthol Bakteriostatik 15 30
15-20 20-35

8
2.8 pengobatan penyakit TB di Puskesmas Kecamatan Kelapa Gading
Dewasa :
 Pengobatan tahap intensif/ Awal Dewasa : berisi RHZE (Rifampicin
150 mg , Isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg, dan Etambuthol 274
mg) sebanyak 6 blister untuk digunakan selama 2 bulan dan diminum
setiap hari , cara minumnya 1 hari 3 kaplet . waktu minumnya pagi hari
sebelum makan .
 Pengobatan tahap lanjutan: berisi tablet RH ( Rifampicin 150 mg dan
Isoniazid 150 mg ) sebanyak 6 blister digunakan selama 4 bulan. Cara
minumnya 3 kali seminggu 3tablet jadi diminum dihari senin, rabu, dan
jumat. Waktu minumnya di pagi hari sebelum makan.
Anak:
 Pengobatan tahap intensif / Awal anak : berisi RHZ (Rifampicin 75
mg, isoniazid 50 mg, pyrazinamide 150 mg ) sebanyak 6 blister
untuk digunakan selama 2 bulan dan diminum setiap hari, cara
minumnya 1 hari 3 kaplet, waktu minumnya pagi hari sebelum
makan .
 Pengobatan tahap lanjutan : berisi tablet RH ( Rifampicin 150 mg,
Isoniazid 150 mg ) sebanyak 6 blister untuk digunakan selama 4
bulan. cara minumnya diminum setiap harinya sebelum makan di
pagi hari.

9
Tata laksana terlewat minum obat.
o Kurang dari dua hari dari jadwal rutin mingguan : segera minum oabat dihari
tersebut : contoh : jadwal minum dihari senin, terlewat minum dihari senin,
teringat dihari selasa atau rabu , maka segera minum dihari selasa atau rabu.
Kemudian lanjutkan meminum obat dihari senin.
o Lebih dari 2 hari : lewatkan tidak perlu minum obat diminggu itu dan
minum kembali diminggu selanjutnya sesuai jadwal.
Contoh : jadwal minum hari senin terlewat minum, teringat dihari kamis
/jumat/ sabtu/ minggu maka tidak perlu meminum obat diminggu tersebut.
Obat diminum kembali saat jadwal hari senin minggu selanjutnya
penambahan durasi menjadi 3 bulan + 1 minggu.
o Lebih dari 2 hari : segera minum dihari itu, dan menjadikan hari itu sebagai
jadwal baru
Contoh : jadwal minum dihari senin , teringat di hari sabtu maka jadwal baru
minum obat yaitu setiap hari sabtu.

10
2.9 Jenis DRP menurut PCNE
Drug related problems adalah suatu peristiwa atau keadaan melibatkan
terapi obat yang benar-benar atau berpotensi mengganggu hasil kesehatan

11
yang diinginkan. Klasifikasi DRPs menurut Pharmaceutical Care Network
Europe (PCNE) seperti pada gambar dibawah ini:

Pharmaceutical Care Network Europe Versi Indonesia

12
Mekanisme kerja obat
a. Isoniazid
Isoniazid merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati
semua tipe Tuberkulosis (TB). Mekanisme kerja isoniazid yaitu
berpengaruh terhadap proses biosintesis lipid, protein, asam nukleat dan
glikolisis. Aksi utama isoniazid menghambat biosintesis asam mikolat
yang mempunyai konstituen penting dalam dinding sel mikrobakteri.
Perubahan pada biosintesis senyawa-senyawa di atas karena terbentuk
komplek enzim obat yang tidak aktif. Inaktifitas enzim ini terjadi melalui
mekanisme perubahan kotinamida dalam enzim oleh isoniazid. Isoniazid
dapat diserap dengan baik melalui saluran pencernaan dengan pemakaian
oral yang kadar puncak dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian oral.
Kontraindikasi isoniazid yaitu dengan penyakit hati yang
hipersensitifitas terhadap isoniazid. Efek samping isoniazid yaitu mual,
muntah, neuritisperifer, neuritis optic, kejang, demam, hiperglikemia,
dan ginekomastia. Dosis pemberian isoniazid yaitu Dengan tablet 50,
100, 300, dan 400mg, serta sirup10 mg/ml, diberikan dosis tunggal per
oral setiap hari dengan dosis 5mg/kgBB maksimum 300 mg/hari, anak
<4 tahun 10mg/kg BB/hari dapat diberikansecara intermitten 2x
seminggu dengan dosis15mg/kg BB/hari dan diberikan bersama
piridoksin 10 mg/hari (Saad dkk, 2006).

b. Rifampisin
Rifampisin merupakan suatu kompleks antibiotik makrosiklik yang
menghambat sintesis asam ribonukleat dalam spektrum luas terhadap
kuman patogen. Memiliki aktivitas bakterisidal dan efek sterilisasi yang
poten melawan baksil tuberkel baik pada lokasi lokal maupun
13
ekstraseluler.
Mekanisme rifampisin yaitu menghambat mekanisme kerja RNA-
polimerase yang tergantung pada DNA dari mikrobakteri dan beberapa
mikroorganisme. Penggunaan pada konsentrasi tinggi untuk
menginhibisi enzim bakteri dapat pula sekaligus menginhibisi sintesis
RNA dalam mitokondria mamalia (Wattimena dkk, 1991).
Kontraindikasi rifampisin yaitu tidak boleh digunakan pada keadaan
sirosis, insufisiensi hati, pecandu alkohol dan pada kehamilan muda.
Efek samping pada rifampisin adalah gangguan saluran cerna, terjadi
sindrom, influenza, gangguan respirasi, udem, kelemahan otot, gangguan
menstruasi, dan warna kemerahan pada urin. Rifampisin sebaiknya
diberikan paling sedikit30 menit sebelum makan, karena absorbsinya
akan berkurang jika diberikan bersama dengan makanan. Dewasa dan
anak diberikan 10mg/kg (maksimum600 mg) setiap hari atau tiga kali
seminggu (Anonim, 1996).

c. Etambutol
Etambutol merupakan suatu turunan sintetik dari 1,2-ethanediamine
yang umumnya memiliki sifat bakteriostatik jika diberikan sesuai
dengan dosis dianjurkan. Etambutol diberikan dalam bentuk kombinasi
dengan obat anti tuberkulosis lain untuk mencegah atau menghambat
resisten.
Mekanisme kerja etambutol yaitu menghambat sintesis metabolit sel
sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati, dapat timbul resistensi
bila digunakan tunggal, bersifat tuberkulostatik (hanya aktif terhadap sel
yang sedang tumbuh) dan menekan pertumbuhan kuman TB yang
resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kontraindikasi etambutol
14
yaitu diketahui adanya hipersesitivitas, kreatinin klereance kurang dari
50 ml/menit dan pada anak dibawah 6 tahun, neuritis optic, gangguan
visual. Efek samping etambutol adalah neuritis optik, buta warna
merah/hijau, neuritis primer. Dosis pemberian untuk etambutol yaitu
Untuk dewasa 25 mg/kg setiap hari selama tidak lebih dari 2 bulan, lalu
dosisnya diturunkan menjadi 15 mg/kg setiap hari atau 40 mg/kg tiga
kali seminggu sedangkan dosis untuk anak-anak yaitu 15 mg/kg setiap
hari. Dosis etambutol harus dihitung dengan cermat berdasarkan berat
badan untuk mencegah intoksikan, dan pada pasien yang menderita
gannguan fungsi ginjal dosisnya harus dikurangi (Anonim,
1996).

d. Streptomisin
Streptomisin merupakan golongan aminoglikosida yang merupakan
derivat dari streptomyces griseus, digunakan dalam pengobatan terhadap
tuberkulosis dan infeksi kuman gram negatif yang sensitif dan sebagai
obat TB pertama yang dinilai efektif, tidak ideal sebagai obat tunggal
(Anonim1996).
Mekanisme kerja dari streptomisin yang pemberiannya melalui
intramuskular yaitu absorpsi dari tempat suntikan, hampir semua berada
dalam plasma, hanya sedikit yang masuk ke eritrosit terdistribusi ke
seluruh cairan ekstrasel, sukar berdifusi ke cairan intrasel dapat
mencapai kavitas 1/3 streptomisin yang berada dalam plasma berikatan
dengan protein plasma waktu paruh 2-3 jam, memanjang pada gagal
ginjal sehingga menimbulkan efek samping ekskresi melalui filtrasi
glomerulus 50-60% diekskresi utuh dalam24jam (sebagian besar dalam
12 jam).

15
e. Pirazinamid
Pirazinamid merupakan suatu bakterisidik, terutama untuk basil
tuberkelintraseluler dimana obat ini efektif untuk tuberkulosis yang
merupakan infeksi intraseluler. Obat ini aktif terhadap M. Tuberculosis
yang telah resistenterhadap streptomosin dan isoniazid tetapi resisten
terhadap Pirazinamidsendiri dapat berkembang pesat selama pemberian.
Kontraindikasi pada Pirazinamid yaitu mutlak tidak diberikan kepada
penderita dengan ganguan hati. Indikasi Pirazinamid yaitu obat pilihan
kedua bagi pengobatan TB, dan hanya digunakan bila penyakit akan
lebih parah tanpa penggunaan obat ini dibandingkan akibat potensi
toksisitasnya hanya untuk jangka pendek pada resisten terhadap
isoniazid. Efek sampingnya yaitu gangguan hati, antara lain ikterus,
nekrosis hati, peningkatanSGOTdan SGPT menghambat ekskresi asam
urat (pirai) arthralgia, anoreksia, mual, muntah, disuria, malaise, dan
demam. Pirazinamid diberikan secara oral dalam bentuk sediaan tablet
yang lazimnya mengandung 500 mg/tablet. Dosis untuk orang dewasa
diberikansehari 20-30 mg/kg berat badan dalam dosis tunggal atau
ganda,maksimum3kali sehari. Pada anak-anak dianjurkan pemakainya
tidak ada dosis tertentu yang ditetapkan (Wattimena dkk, 1991).

16
BAB III
PEMBAHASAN ANALISA
III. 1 PENGGUNAAN OBAT

Peresepan obat Oat dipuskesmas Kecamatan Kelapa Gading


disesuaikan dengan kondisi klinis pasien dan formularium
puskesmas.
Pengobatan yang diterima oleh pasien adalah sebagai berikut:

Pemakaian OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Kombinasi Dosis Tetap


(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk
menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang
Pengawas Menelan Obat (PMO). kombinasi obat OAT untuk
tahapan awal yang berisi Rifampicin 150, isoniazid 75 mg,
pyrazinamide 400 mg, etambutol hcl 275 serta penambahan vitamin

17
B6 diberikan bersama dengan isoniazid untuk mencegah kerusakan
saraf (neuropati).

III.2 Identifikasi Drug Related Problems (DRPs)


Untuk melihat Drug Related Problems dari penggunaan obat terhadap
resep yang diberikan kepada pasien dilakukan pengecekan obat melalui
Medscape yaitu INH dan rifmpisin efek samping yang terjadi yaitu kelainan
kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal, bila terjadi efek samping ini
pemberian OAT dapat diteruskan sesuai dosis. Pada makanan seperti keju
dapat menurunkan konsentrasi INH sehingga dapat menyebabkan reaksi. Jika
terjadi efek samping pirazinamid seperti nyeri sendi segera diberikan aspirin.

18
III.3 Drug Related Problems OAT
Mekanisme interaksi OAT Rifampicin + isoniazid yaitu isoniazid dengan
meningkatkan metabolisme , rifampicin meningkatkan metabolisme
isoniazid menjadi metabolisme hepatoktosik. Rifampicin + phyrazinamide
yaitu meningkatkan toksisitas yang lain dengan sinergisme
farmakodinamik, hepatotoksisitas aditif. Isoniazid + phyrazinamide
meningkatkan toksisitas yang lain dengan sinergisme farmakodinamik.

111.4 Rekomendasi Obat


Rekomendasi pengobatan tidak diperlukan karena pasien masih fase awal,
bukan lanjutan ataupun resistensi salah satu OAT . Yang perlu diperhatikan
dalam mengomsumsi OAT yaitu dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk
dewasa adalah isoniazid 5 mg/kgBB (dosis maksimal 300 mg/hari),
rifampisin 10 mg/kgBB (dosis maksimal 600 mg), pirazinamid 25 mg/kgBB,
dan etambutol 15 mg/kgBB. Streptomisin juga dapat diberikan dengan dosis
sebesar 15 mg/kgBB.

Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat metolenrasi lebih dari 500-700
mg perhari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada
pasien kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan 50 kg tidak dapat
metoleransi dosis lebih dari 500-750 mg perhari.

Semua pasien yang belum pernah diobati sebelumnya dan tidak memiliki
faktor resiko untuk resistensi obat harus mendapatkan pengobatan lini
pertama yang sudah disetujui WHO dengan menggunakan obat yang
terjamin kualitasnya. Fase insentif harus mencangkup dua bulan pengobatan
dengan mengguakan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol.

19
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1.
2.
3.
4.

1.

2.

3.

4.

IV.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa Drug Related Problems yang telah dilakukan
terhadap pasien TB yaitu INH dan rifmpisin efek samping yang terjadi
yaitu kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal, Pada makanan
seperti keju dapat menurunkan konsentrasi INH sehingga dapat
menyebabkan rea Yang harus diperhatikan pada pasien TB pada saat
minum OAT yaitu waktu minum, dosis, regimen, dan tingkat kepatuhan
pasien meminum obat.

IV.2 Saran
Secara keseluruhan terdapat beberapa hal yang perlu disarankan agar
analisa DRPs pada pasien memperoleh hasil yang optimal yaitu:
1. Perlu dilakukan penggalian informasi lebih lanjut mengenai gejala yang
dialami pasien serta alasan dokter memilih terapi tersebut.

20
2. Perlu dilakukan monitoring terhadap kondisi pasien setelah
menggunakan obat

21
DAFTAR PUSTAKA
Aditama T. Y. 2022. Managemen administrasi rumah sakit . Edisi kedua . Jakarta:
UI. Press

Anonim . 1996. Tata laksana pengobatan TBC. Jakarta . trubus swadaya

Kementrian kesehatan RI. 2018. Profil kesehatan indonesia 2017. Jakarta :


kemenkes RI

Kemenkes Kesehatan RI 2012. Riset kesehatan dasar. Jakarta. Kemenkes RI

22

Anda mungkin juga menyukai