Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

OBAT GANGGUAN SALURAN CERNA & NAFAS


“TUBERCULOSIS (TBC)”
Disusun oleh:

Kelompok VII

1. Jekson Ayhuan
2. Jeril Riski Malara
3. Rafi’a Adinda Putri
4. Sefren Geiner Tumilaar
5. Regina Febiola Tjandra
6. Vanesa Vebiola Kumakauw
7. Riska Tuloli
8. Yunita A. P. Damapolii
9. Muhammad Rifain
10. Mikhael Cristianto Agow

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena berkat karunia-
Nya kami boleh menyelesaikan makalah ini yang berjudul “TUBERCULOSIS”. Kami sangat
berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan juga wawasan ilmu
pengetahuan.

Makalah ini membahas tentang apa itu tuberculosis, etiologi, patogenesis. Serta
bagaimana cara penularan, gejala dan penatalaksanaan penyakit Tuberculosis

Kami menyadari bahwa didalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi
perbaikan makalah yang akan dibuat selanjutnya.

Mudah-mudahan makalah ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya bagi para
pembaca. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata yang kurang berkenan.

Manado, November 2018

Kelompok VII

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... i

DAFTAR ISI......................................................................................................................... ii

I. PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1. 1 Latar Belakang............................................................................................. 1
1. 2 Rumusan Masalah........................................................................................ 1
1. 3 Tujuan.......................................................................................................... 1
II. PEMBAHASAN................................................................................................ 3
III. PENUTUP........................................................................................................... 20
3. 1 Kesimpulan.................................................................................................. 20
3. 2 Saran............................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA

ii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia,


menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per
tahun (WHO, 1993). Di Negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian
penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB
berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemic HIV/AIDS di dunia
jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada
kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan
darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan Penyakit TBC dapat
menyerang siapa saja(tua,muda,laki-laki,perempuan,miskin,ataukaya) dan dimana saja. Setiap
tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000
kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC.Bahkan, Indonesia adalah negara
ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia.

Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993
menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 ± 0,65%. Sedangkan
menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004,
angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000
penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian dari Tuberculosis ?
2. Bagaimana Etiologi dari Tuberculosis?
3. Bagaimana Patogenesis dari Tuberculosis ?
4. Apa Klasifikasi dari Tuberculosis ?
5. Bagaimana Cara Penularan Penyakit Tuberculosis ?
6. Bagaimana Gejala Penyakit Tuberculosis ?
7. Bagaimana Diagnosa Penyakit Tuberculosis ?
8. Bagaimana Penatalaksanaan dari Penyakit Tuberculosis?
1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui Pengertian dari Tuberculosis
2. Dapat mengetahui Etiologi dari Tuberculosis
3. Dapat mengetahui Patogenesis dari Tuberculosis

1
4. Dapat mengetahui Klasifikasi dari Tuberculosis
5. Dapat mengetahui Cara Penularan Penyakit Tuberculosis
6. Dapat mengetahui Gejala Penyakit Tuberculosis
7. Dapat mengetahui Diagnosa Penyakit Tuberculosis
8. Dapat mengetahui Penatalaksanaan dari Penyakit Tuberculosis

2
II. ISI
2.1 Pengertian Tuberculosis

Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat
sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi
organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.

Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga
dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh
Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut
diberi nama baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch
Pulmonum (KP).

2.2 Etiologi
a. Faktor Agent (Mycobacterium tuberculosis)

Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap disifektan kimia
atau antibiotika dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang
lama. Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium
Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir rendah dan daya virulensinya tergantung dosis
infeksi dan kondisi Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul
setelah penggunaan kemoterapi moderen, sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan
obat baru.

Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi.
Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi
kongenital yang jarang terjadi.

b. Faktor Lingkungan

Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang besar
dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa
dipengaruhi musim dan letak geografis.

Keadaan sosial-ekonomi merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran


sosiobiologis menyebutkan adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang

3
mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan
ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi
komunitas perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, penggangguran dan
tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TBC dapat juga menjadi pertimbangan
pencetus peningkatan epidemi penyakit ini.

Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulang-ulang dengan
hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya.

c. Faktor Host

Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC. Terdapat 3 puncak kejadian
dan kematian ; (1) paling rendah pada awal anak (bayi) dengan orang tua penderita, (2) paling
luas pada masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan
fisikmental dan momen kehamilan pada wanita, (3) puncak sedang pada usia lanjut. Dalam
perkembangannya, infeksi pertama semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada
golongan dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak
terlindung dari resiko infeksi.

Pria lebih umum terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan
psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk pribumi memiliki laju lebih
tinggi daripada populasi yang mengenal TBC sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi
sosial ekonomi. Aspek keturunan dan distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam
TBC, tetapi mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang
pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan
dalam infeksi TBC, sejak timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi, kondisi
kesehatan secara umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan
umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan infeksi primer
memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.

II.3 Patogenesis

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis
non spesifik. Makrof ag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di

4
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.

Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer
merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks


primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.

Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. Selama berminggu-minggu
awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang
awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada
saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal
tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih
negatif.

Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah


terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu
system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

5
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu.

Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan


ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi


penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh.

Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di
berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum
terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus
potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit
TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

6
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread


dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan
granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic


spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular
di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara
klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering
terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi
primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna.

Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang
dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun
tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi
primer.

7
II.4 Klasifikasi Penyakit TBC
II.4.1 Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
II.4.2 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu pada TB Paru:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2. Tuberkulosis paru BTA negative
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:
 Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
II.4.3 Klasifikasi berdasarkan tingkat kePARAHan penyakit.
1. TB paru BTA negatif foto toraks positif
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
2. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

8
 TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
 TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih
dan alat kelamin.
Catatan:
• Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka untuk
kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru.
• Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
II.5 Cara Penularan Penyakit TBC

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-
anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering
masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama
pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh
darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir
seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah

9
bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-
paru.

Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera


akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian
reaksi imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di
sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat
jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada
pemeriksaan foto rontgen.

II.6 Gejala Penyakit TBC


II.6.1 Gejala sistemik/umum
 Demam tidak terlalu tinggiyang berlangsung lama,biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang timbul.
 Penurunan nafsu makan dan berat badan.
 Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
II.6.2 Gejala khusus
 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah
yang disertai sesak.
 Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
 Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya
penurunan kesadaran dan kejangkejang.
 Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang
kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif.
Pada anak usia 3 bulan ± 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru

10
dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan
serologi/darah.

II.7 Diagnosis Penyakit TBC

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:

 Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.


 Pemeriksaan fisik.
 Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
 Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
 Rontgen dada (thorax photo).
 Uji tuberkulin.

Diagnosis TB Paru

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat
dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang

tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak.

Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB pada anak

11
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis pada semua suspe TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu
(SPS):

 S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat
pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
 P (Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
 S (sewaktu):
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak
mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.

12
Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan


dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu
pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

 Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan
foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.
 Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
 Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau
efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma).

Diagnosis TB Ekstra Paru

 Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis
TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.
 Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan
penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung pada metode pengambilan bahan
pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi
anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain.

Uji Tuberkulin

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan
dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin
adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif
uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur
6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka
hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.

13
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux
lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan
bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).

Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari
pembengkakan (indurasi) yang terjadi:

1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif.


Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal
atau pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

Alur Diagnosa Penyakit TBC

14
II.8 Penatalaksanaan Penyakit TBC

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan.  Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Obat yang dipakai :
1. Isoniazid (H)
2. Rifampisin (R)
3. Pirazinamid (Z)
4. Etambutol (E)
5. Streptomisin (S)

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)


·       Kanamisin
·       Amikasin
·       Kuinolon
·       Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat
·       Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
        o       Kapreomisin
        o       Sikloserino      
        o       PAS (dulu tersedia)
        o       Derivat rifampisin dan INH
        o       Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
-  Obat tunggal,
   Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid
dan etambutol.
-  Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)
   Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Dosis OAT
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT

Dosis Dosis yg dianjurkan DosisMa Dosis (mg) / berat


Oba ks (mg) badan (kg)
t (Mg/Kg Haria Intermitten < 40 40- >60
n (mg/Kg/BB/ka 60
BB/ (mg/ li)
Hari) kgBB
/ hari)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
100 150
Z 20-30 25 35 750
0 0
E 15-20 15 30 750 100 150

15
0 0
Sesu 100
S 15-18 15 15 1000 750
ai BB 0
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk
menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis).
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama
WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan
WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis
tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi
dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3. Keuntungan kombinasi dosis
tetap antara lain:
1.      Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2.      Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja
3.      Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar
dan standar
4.      Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5.      Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi
Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap

Fase intensif Fase lanjutan

2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE RHZ RHZ RH RH

150/75/400/27 150/75/40 150/150/50 150/7 150/150


5 0 0 5
30- 2 2 2 2 2
37
3 3 3 3 3
38-
54 4 4 4 4 4

55- 5 5 5 5 5
70

>71
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang
telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam
batas dosis terapi dan non toksik.

Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang
mampu menanganinya.
B. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
 ·  TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan   : 2 RHZE / 4 RH            

16
                                                 atau                           
                                               : 2 RHZE/ 6HE 
                                                 atau                                                                                    
                                                 2 RHZE / 4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk
  a. TB paru BTA (+), kasus baru
  b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru)

 ·  TB paru kasus kambuh


    Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan  2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan
sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji  resistensi dapat diberikan
obat RHE selama 5 bulan.
 ·  TB Paru kasus gagal pengobatan
    Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan  obat lini 2 (contoh paduan: 3-6
bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat
diberikan  2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila
tidak terdapat hasil uji  resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
   -         Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang
optimal
   -         Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru
 ·  TB Paru kasus putus berobat
    Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut :
   a.   Berobat  > 4 bulan
        1)  BTA saat ini negatif
   Klinis dan  radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru
lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.
        2)  BTA saat ini positif
  Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama
   b.    Berobat < 4 bulan

17
        1)  Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
        2)  Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan
    Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji      resistensi terhadap OAT.
·  TB Paru kasus kronik
   -  Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES.  Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
      (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2
seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.
   -  Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
   -  Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
   -  Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
Tabel 4. Ringkasan paduan obat
Kategor Kasus Paduan obat yang Keterangan
i diajurkan
I - TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
+,
2 RHZE / 6 HE
  BTA - , lesi
*2RHZE / 4R3H3
luas

II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai Bila


hasil uji resistensi atau streptomisin
- Gagal
2RHZES / 1RHZE / 5 RHE alergi, dapat
pengobatan
diganti
-3-6 kanamisin, ofloksasin,
kanamisin
etionamid, sikloserin / 15-
18 ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau 2RHZES /
1RHZE / 5RHE
II - TB paru putus Sesuai lama pengobatan
berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan
klinis, bakteriologi dan

18
radiologi saat ini (lihat
uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
neg. lesi
6 RHE atau
minimal

*2RHZE /4 R3H3

IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji


resistensi (minimal OAT
yang sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18
bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT
lini 2 atau H seumur hidup

Catatan : * Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB

19
III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab tuberculosis sejenis kuman


berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/µm dan tebal 0.3-0.6/ µm. Jenis bakteri ini
pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Robert Koch pada tanggal 24 Maret
1882. Keluhan yang dirasakan pasien tuberculosis dapat bermacam-macam atau mungkin
banyak pasien ditemukan tuberculosis paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan
kesehatan, Keluhan yang ada berupa demam, batuk atau batuk berdarah, malaise, sesak nafas
dan nyeri dada. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam paru-paru akan
berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang
rendah). Klasifikasi tuberculosis dibagi menjadi empat kategori yaitu, kategori I, II, dan III.
Obat yang dapat diberikan, yaitu etambutol, isoniazida, pirazinamida, rifampisin,
streptomisin, dan asam p-aminosalisilat. Pemeriksaan TBC dapat dilakukan melalui darah,
sputum dan tes tuberkulin.

3.2 Saran

Pengidap TBC harus tetap memerhatikan kondisi dari host atau inang sendiri karena
penularannya sangat cepat. Sehingga pengobatan dapat memberikan efek yang baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Tuberkulosis Klinis, Edisi 2 th 2002, John Crofton, Norman Horne dan Fred Miller

Pedoman Nasional penanggulangan TBC, Cetakan ke 8,Dekes RI th 2002.

Pedoman Nasional Penanggulangan TB , Depkes RI tahun 2008. Pusat Kesehatan Kerja


Departemen Kesehatan RI.

Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan pertama. Departemen Kesehatan


Republik Indonesia. 2007

Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis pada Anak. Kelompok Kerja TB Anak Depkes – IDAI. 2008

International Standards for Tuberculosis Care : Diagnosis, Treatment, Public Health. Tuberculosis
Coalition for Technical Assistance (TBCTA). 2006

21

Anda mungkin juga menyukai