Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN DISKUSI

ANALISIS PENERAPAN TEORI KEPERAWATAN


DALAM PELAYANAN KESEHATAN PADA PASIEN TBC

Oleh:
Kelompok 1

1. AMELIA ANGGRAINI I1B021007


2. AMELIA RIZKA AMANDA I1B021065
3. AUFA FILDZAH BADZLINA I1B021033
4. DIANA AGUSTINA I1B021025
5. INAZ AVRILIANA I1B021031
6. LUTFIKA AGUSETIANI I1B021009
7. RIZKA NUR AGUSTIN I1B021063
8. RIZKI AMALIA I1B021059
9. SALMA ALI AL-JUNDI I1B021027
10. VIRADITA I1B021017
11. YOSIANA NUR ALIFAH I1B021069

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Falsafalah dan Teori
Keperawatan berupa Laporan Diskusi Case Based Learning yang berjudul “Analisis
Penerapan Teori Keperawatan dalam Pelayanan Kesehatan pada Pasien TBC” dengan
lancar dan tepat waktu.
Laporan diskusi Case Based Learning ini kami susun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Falsafalah dan Teori Keperawatan dalam bimbingan Bapak Dr. Endang Triyanto
S.Kep., Ns., M.Kep. Kami berharap laporan diskusi ini dapat bermanfaat bagi pembaca
maupun bagi kami pribadi. Namun, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Masih terdapat banyak kekurangan pada makalah kami. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu atas ilmu dan dukungan
yang telah diberikan kepada kami. Sekiranya itu yang dapat kami sampaikan, kurang dan
lebihnya kami mohon maaf atas kesalahan yang mungkin kami lakukan dalam menyusun
makalah ini.

Purwokerto, 3 Oktober 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Tujuan ...................................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 3
A. Overview Kasus ...................................................................................................... 3
B. Model Konseptual Teori Keperawatan yang Sesuai dengan Kasus ....................... 3
C. Dimensi Model Berdasarkan Kasus ....................................................................... 7
D. Implikasi Model Pada Pelayanan Keperawatan ..................................................... 9
E. Tujuan Pelayanan Keperawatan Berdasarkan Model Yang Ditetapkan ............... 12
BAB 3 PENUTUP .......................................................................................................... 15
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh mikobakterium
tuberculosis. Penyakit ini ditandai dengan batuk selama 3minggu berturut-turut tanpa
berhenti dan demam pada malam hari.
Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah
pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina.
Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian
101.000 orang (Anonim, 2007). Di Indonesia dengan prevalensi TBC positif 0,22%
(laporan WHO 1998), penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang setiap tahun
mortalitasnya cukup tinggi. Kawasan Indonesia timur banyak ditemukan terutama
gizi makanannya tidak memadai dan hidup dalam keadaan sosial ekonomi dan
higiene dibawah normal (Tjay dan Rahardja, 2007).
Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia dalam hal
jumlah penderita tuberkulosis. Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO)
pada tahun 2007 menyatakan jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia sekitar
528.000. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke
posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebanyak 429.000 orang. Pada Global
Report WHO 2010, didapat data TBC Indonesia, total seluruh kasus TBC tahun 2009
sebanyak 294.731 kasus, dimana 169.213 adalah kasus TBC baru BTA positif,
108.616 adalah kasus TBC BTA negatif, 11.215 adalah kasus TBC ekstra paru, 3.709
adalah kasus TBC kambuh, dan 1.978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus
kambuh (Anonimc, 2011).
Pada anak, TBC secara umum dikenal dengan istilah “flek paru-paru”.
Tuberkulosis pada anak juga mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan
orang dewasa, baik dalam aspek diagnosis, pengobatan, pencegahan, maupun TBC
pada kasus khusus, misalnya pada anak dengan infeksi HIV (Anonima , 2011). Selain
itu, pemeriksaan TBC yang memerlukan sampel dahak dari sang anak masih sulit
diterapkan karena anak kecil sulit mengeluarkan dahak. Akibatnya, kesulitan dan
keraguan dalam aspek diagnosis ini seringkali menimbulkan terjadinya over
diagnosis dan over treatment dalam penanganan TBC anak (Anonimb, 2011).
Perbedaan TBC anak dan TBC dewasa adalah TBC anak lokasinya pada setiap
bagian paru sedangkan pada dewasa di daerah apeks dan infra klavikuler. Kemudian
terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran
kelenjar limfe regional. Pada anak penyembuhan dengan perkapuran dan pada
dewasa dengan fibriosis. Pada anak lebih banyak terjadi penyebaran hematogen
sedangkan pada dewasa jarang (Sulaifi, 2011).
Sumber utama penularan adalah orang dewasa dengan TBC paru dengan
sputum positif (Mycobacterium tuberculosis), dan susu dari hewan yang terinfeksi
(Mycobacterium bovis). Diagnosis berdasarkan gambaran rontgen toraks dan tes

1
tuberkulin positif. Sputum biasanya tidak ada, namun hasil tuberkulosis mungkin
bisa didapatkan dari bilas lambung. Pencegahan tergantung pada perbaikan kondisi
sosioekonomi, dan kemudian pada beberapa pemeriksaan termasuk pengenalan serta
terapi tepat pada infeksi TBC dewasa, imunisasi BCG (Meadow dan Newel, 2006).
Sedangkan masalah perilaku tidak sehat antara lain akibat dari meludah
sembarangan, 3 batuk sembarangan, kedekatan anggota keluarga, gizi yang kurang
atau tidak seimbang, dan lain-lain (Anonim, 2006).
Usia anak merupakan usia yang sangat rawan terhadap penularan penyakit
tuberkulosis. Angka penularan dan bahaya penularan yang tinggi terdapat pada
golongan umur 0-6 tahun dan golongan umur 7-14 tahun. Usia anak sangat rawan
tertular tuberkulosis dan apabila terinfeksi mereka mudah terkena penyakit
tuberkulosis. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Utami (2010) tentang
Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien Tuberkulosis Anak di
Instalasi Rawat Jalan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta Periode
Januari-Juni 2009, didapatkan jenis obat yang digunakan di instalasi rawat jalan
BBKPM Surakarta Periode Januari-Juni 2009 adalah tahap intensif (2 bulan)
rifampisin, isoniasid dan pirazinamid sebanyak 100% sedangkan tahap lanjutan (6-
12 bulan) rifampisin dan isoniasid sebanyak 100%. Kemudian evaluasi penggunaan
antibiotik kategori tepat obat sebanyak 100%, kategori tepat dosis rifampisin
80,81%, isoniasid 85,86%, dan pirazinamid 86,87%. Kategori tepat lama pengobatan
6-12 bulan sebanyak 87,63%. Kategori hasil pengobatan lengkap sebanyak 85,86%.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang gambaran asuhan keperawatan dengan penyakit TB Paru
dan mampu mengaplikasikannya pada penderita TB Paru.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat melaksanakan pengkajian keperawatan pada pasien dengan penyakit
TB Paru.
b. Dapat merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan penyakit TB
Paru.
c. Dapat menyusun rencana keperawatan pada pasien dengan penyakit TB
Paru.
d. Dapat melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan penyakit TB
Paru.
e. Dapat mengevaluasi hasil asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit
TB Paru.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Overview Kasus
Tuberkulosis adalah infeksi bakteri yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang paling sering menginfeksi paru-paru. Kasus tuberkulosis (TB)
dapat menyebar dari satu orang ke orang lain melalui transmisi udara. Pada laporan
kasus ini, didapatkan pasien seorang laki-laki usia 35 tahun dirawat di rumah sakit.
Pasien mengalami keluhan sesak nafas, nafsu makan turun, dan batuk-batuk selama
4 minggu, kadang juga merasakan keluhan hemoptoe. Dua bulan yang lalu pasien
dibawa ke puskemas untuk mendapatkan pengobatan. Pemeriksaan fisik yang telah
dilakukan kepada pasien saat di puskesmas didapatkan hasil BTA+. Pasien tersebut
mendapatkan terapi 2(HRZE)/4(HR)3. Saat dirawat di rumah sakit dilakukan
pemeriksaan didapatkan hasil TB 160 cm BB 35 kg dan didapatkan hasil konjungtiva
anemis. Kondisi pasien saat ini berbaring lemah ditempat tidur dengan terpasangnya
alat oksigen dan membantu pemenuhan kebutuhan activity daily living (ADL).
Berdasarkan kasus tersebut didapatkan fakta bahwa pasien menderita kasus
baru yang berarti pasien belum pernah diobati dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
atau sudah pernah tetapi dalam kurun waktu kurang dari 1 bulan. Selain itu
didapatkan fakta bahwa pasien telah melakukan pemeriksaan dahak TB Paru yang
hasilnya adalah BTA +. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasien sekurang-
kurangnya telah melakukan 2 kali pemeriksaan dari 3 spesimen dahak SPS yang
hasilnya adalah BTA + atau 1 spesimen dahak SPS yang hasilnya BTA + dan hasil
foto rontgen dada yang menunjukkangambaran tuberculosis aktif.
Terdapat dalam kasus bahwa pasien mendapatkan terapi 2(HRZE)/4(HR)3.
Terapi tersebut merupakan terapi pengobatan bagi penderita TB Paru yang artinya
(Depkes RI, 2005):
1. Tahap awal/intensif adalah 2(HRZE) yaitu kombinasi obat Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol yang diunakan selama 2 bulan dan
masing-masing OAT (HRZE) diberikan setiap hari.
2. Tahap lanjutan adalah 4(HR)3 yaitu kombinasi obat Isoniazid dan Rifampisin
yang masing-masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu dalam kurun waktu
4 bulan.

B. Model Konseptual Teori Keperawatan yang Sesuai dengan Kasus


1. Teori Self Care
Pada tahun 1971 Orem mengembangkan konsep keperawatan “self care”
yang dipublikasikan Nursing: Concepts of Practice. Terdapat tiga bentuk teori
kemandirian yang disampaikan Orem dalam capable of self care (mampu
merawat diri sendiri) yakni:

3
a. Teori Self Care
Teori ini berfokus utama pada kemampuan klien untuk merawat diri
sendiri secara mandiri sehingga mampu untuk mempertahankan atau
meningkatkan derajat kesehatannya. Teori ini mengungkapkan hubungan
antara tindakan untuk merawat diri dengan perkembangan fungsi individu.
Self care adalah performance atau praktik kegiatan individu untuk
berinisiatif dan membentuk perilaku mereka dalam memelihara kehidupan,
kesehatan dan kesejahteraan. Bila selfcare dibentuk dengan efektif maka hal
tersebut akan membantu membentuk integritas struktur dan fungsi manusia
dan erat kaitannya dengan perkembangan.
b. Self Care agency
Kemampuan individu atau kekuatan untuk melakukan selfcare.
Kemampuan untuk melakukan selfcare dipengaruhi oleh faktor kondisi
seperti usia, jenis kelamin, status perkembangan, status kesehatan, orientasi
sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, keluarga, pola kehidupan, serta
ketersediaan sumber.
c. Therapeutic selfcare demand
Totalitas dari tindakan self care yang diinisiatif dan dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan self care.
Konsep lain yang berhubungan dengan teori self care adalah self care
requisite yang terdiri dari tiga kategori yakni:
a. Universal: Pemeliharaan asupan udara, air, makanan, eliminasi,
aktivitas dan istirahat, kesendirian dan interaksi sosial, pencegahan
bahaya, peningkatan fungsi manusia.
b. Developmental: lebih spesifik dari universal. Pengembangan siklus
kehidupan seperti pekerjaan baru, perubahan struktur tubuh.
c. Health Deviation: perubahan kesehatan akibat terjadinya kerusakan
integritas individu untuk melakukan self care akibat suatu penyakit atau
injury.
Kelebihan dari Teori Orem dalam pengaplikasiannya dalam praktek asuhan
keperawatan yaitu:
a. Teori ini spesifik hanya untuk ilmu keperawatan.
b. Bisa digunakan di beberapa ilmu spesialis dalam keperawatan.
c. Menciptakan rencana keperawatan yang terkoordinasi untuk
kepentingan pemulihan kesehatan pasien.
d. Konsep Teori Self Care dan pemeliharaan kesehatan selaras dengan
literatur-literatur terbaru.
Kekurangan Teori Orem dalam pengaplikasiannya dalam praktek asuhan
keperawatan yaitu:
a. Memakan waktu yang lama bagi para perawat untuk menyelesaikan
tugasnya

4
b. Kontak fisik merupakan aspek terpenting dalam pengaplikasian teori
ini
c. Tidak membahas dan memenuhi cultural needs
d. Masih banyak yang perlu dipertimbangkan

2. Teori King
Komunikasi yang baik akan memberikan gambaran diri pada seorang
penderita tentang kondisi dirinya apa yang dia sedang alami. Dalam dunia
keperawatan banyak sekali teori-teori terkenal salah satunya adalah teori sistem
interaksi King atau yang lebih dikenal dengan istiloah Imogene King merupakan
“Interacting System Framework and Theory of Goal Attainment”, yaitu adanya
hubungan timbal balik antara perawat dan klien pada asuhan keperawatan
sehingga mempengaruhi atau memiliki efek satu sama lain dengan harapan
mencapai tujuan bersama, yaitu terwujudnya peningkatan derajat kesehatan
pasien.
King menyatakan komponen integral dalam teori ini merupakan
pencapaian tujuan sebuah konsep transaksi. King menggunakan metode
observasi non-partisipan yang maksudnya adalah proses pengamatan dimana hal
ini perawat tanpa ikut ke dalam kehidupan klien dan secara terpisah mengemban
peran sebagai pengamat dengan tujuan mengumpulkan informasi hubungan
perawat-klien dalam setting asuhan keperawatan dengan sistem interaksi.
Kelebihan Teori King:
a. Teori ini dapat menyesuaikan pada setiap perubahan, teori ini dapat
dipergunakan dan menjelaskan atau memprediksi sebagian besar fenomena
dalam keperawatan.
b. Teori King merupakan serangkaian konsep yang saling berhubungan
dengan jelas dan dapat diamati dalam praktek keperawatan.
c. Mengedepankan partisipasi aktif klien dalam menyusun tujuan bersama,
mengambi keputusan, dan interaksi untuk mencapai tujuan klien.
d. Teori King dapat dipakai pada semua tatanan pelayanan keperawatan.
e. Teori King sangat penting pada kolaborasi antar tenaga kesehatan.
Kekurangan Teori King:
a. Beberapa definisi konsep dasar kurang jernih, misalnya konsep mengenai
stres yang kurang jelaskarena ia menyatakan bahwa stres memiliku
konsekuensi positif dan menyarankan para perawat harus menghapus
pembuat stres dari lingkungan rumah sakit.
b. Teori ini berfokus pada system interpersonal, sehingga tujuan yang akan
dicapai sangant bergantung pada persepsi perawat dank lien yang terlibat
dalam hubungan interpersonal dan hanya pada saat itu saja.
c. Teori King belum menjelaskan metode yang aplikatif dalam penerapan
konsep interaksi, komunikasi, transaksi dan persepsi , misalnya pasien-

5
pasien tidak dapat berinteraksi secara kompeten dengan perawat, seperti
berkerja pada pasien koma, bayi yang baru lahir dan pasien psikiatrik

3. Teori Florence Nightingale (Teori Lingkungan)


Teori ini dipengaruhi oleh pandangan filosofi mengenai interaksi
manusia/klien dengan lingkungannya. Nightingale memandang penyakit sebagai
proses pergantian atau perbaikan (reparative process). Upaya memberikan
bantuan proses tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan manipulasi
dengan lingkungan eksternal. Menurut Florence, ada 3 faktor lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan pasien. Namun menurutnya yang terpenting adalah
lingkungan fisik:
a. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik merupakan elemen dasar dari lingkungan pasien dan
bisa mempengaruhi aspek lingkungan lainnya. Dalam teorinya Florence
menjelaskan konsep sanitasi (kebersihan), udara segar, ventilasi,
pencahayaan, air, tempat tinggal (pemondokan), kehangatan, ketenangan.
b. Lingkungan Psikologis
Naghtingale yakin bahwa lingkungan yang tidak sehat bisa
menyebabkan stress psikologis dan hal ini bisa berdampak negatif pada
emosi pasien.
c. Lingkungan Sosial
Pencegahan penyakit berkaitan dengan lingkungan sosial. Karena itu,
penting bagi perawat untuk memoniter lingkungan, dalam artian
mengumpulkan informasi spesifik yang berhubungan dengan terjadinya
penyakit dari komunitas atau lingkungan sosialnya (Aini Nur, 2018)
Kelebihan Teori Keperawatan Florence Nightingale:
a. Salah satu kisah fakta yang mencetuskan teori modern dalam dunia
keperawatan.
b. Pada zaman keperawatan Florence Nightingale memandang pasien dalam
kontek keseluruhan lingkungan yaitu lingkungan fisik, psikologis, sosial.
c. Florence Nightingale memandang perawat tidak hanya sibuk dengan
masalah pemberian obat dan pengobatan saja, tetapi lebih berorientasi pada
pemberian udara, lampu, kenyamanan lingkungan, kebersihan, ketenangan,
dan nutrisi adekuat.
d. Pengkajian atau observasi yang dilakukan Florence Nightingale bukan demi
berbagai informasi atau fakta yang mencurigakan, tetapi demi penyalamatan
hidup dan meningkatkan kesehatan dan keamanan.
e. Semua tindakan yang dilakukan penuh kasih sayang dan bekerja untuk
Tuhan Y.M.E.
f. Asuhan keperawatan yang diberikan penuh dengan semangat semata-mata
untuk kesembuhan pasien.

6
Kelemahan Teori Keperawatan Florence Nightingale:
a. Teori Keperawatan Florence Nightingale sempat diragukan
kemampuannya.
b. Perawat pada saat itu dianggap pekerjaan remeh dan disepelekan oleh
banyak orang.
c. Kurangnya dukungan dari perawat lain dalam proses pelayanan dan
perkembangannya saat itu.
d. Kurangnya sarana dan pra-sarana yang menunjang

C. Dimensi Model Berdasarkan Kasus


1. Dimensi Teori Selfcare
Dimensi dalam teori Selfcare dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Selfcare Maintenance
Aktivitas yang dapat dinilai sebagai bagian dalam selfcare
maintenance diantaranya (Zainita dkk, 2019):
1) Melakukan terapi pengobatan sesuai indikasi;
2) Mengelola diet kebutuhan gizi seimbang dan pola istirahat;
3) Teratur dalam melaksanakan pemeriksaan dahak sesuai yang
dijadwalkan;
4) Memastikan ventilasi dan pencahayaan ruangan dalam keadaan baik.
b. Selfcare Management
Selfcare Management adalah sebuah upaya yang bertujuan untuk
memertahankan kesehatan atau gaya hidup sehat (Hermawati 2016).
Aktivitas yang dilihat sebagai bentuk dari selfcare management yaitu:
1) Patuh dalam melakukan diet;
2) Memonitor adanya gejala efek samping obat terhadap tubuh;
3) Meningkatnya pengetahuan dengan dapat mengambil keputusan untuk
menangani dan mengevaluasi perubahan respons tubuh serta dapat
mengakses informasi sendiri;
4) Meningkatnya rasa percaya diri dalam menggunakan support service.
c. Selfcare Confident
Selfcare confident merupakan dimensi yang bertujuan untuk
menentukan bagaimana kepercayaan diri pasien dalam mengikuti semua
petunjuk tentang selfcare (Hermawati 2016). Hal tersebut meliputi:
1) Percaya diri dalam kemampuannya untuk terlepas dari penyakit;
2) Percaya diri dapat mengikuti keseluruhan tahapan pengobatan dengan
baik;
3) Percaya diri dalam mengetahui perubahan-perubahan kesehatan
tubuhnya;
4) Percaya diri dalam mengatasi segala gejala penyakit yang dideritanya;
5) Percaya diri dalam mengevaluasi keberhasilan dari rangkaian
pengobatan yang dijalani.

7
2. Dimensi Teori King
Dimensi dalam teori King dibagi menjadi 3 yaitu:
a. System Personal
System personal menurut King lebih merujuk kepada suatu individu.
Konsep-konsep yang terdapat dalam system personal mendasari pemahaman
mengenai hubungan manusia yang meliputi persepsi, diri, pertumbuhan dan
perkembangan, citra tubuh, ruang, serta waktu (Soliha, 2020).
b. System Interpersonal
System interpersonal terjadi ketika terdapat interaksi antara individu
dengan individu lainnya yang kemudian terbentuk grup kecil yang
didalamnya terjadi diskusi untuk mencapai sebuah pemahaman. Konsep yang
relevan dengan dimensi ini adalah interaksi, komunikasi, transaksi, peran dan
stres (Soliha, 2020).
c. System Social
System social dalam teori King memandang manusia sebagai
makhluk sosial yang selalu membutuhkan pekeradaan individu lainnya.
Konsep yang relevan dengan dimensi ini adalah organisasi, otoritas,
kakuasaan, status dan pengambilan keputusan (Soliha, 2020).
3. Dimensi Teori Nightingale
Dimensi dalam teori Nightingale dibagi menjadi 3 bagian yaitu (Baco, Nurlela,
2017):
a. Physical Environment
Physical environment merupakan lingkungan dasar alami yang
berhubungan dengan ventilasi dan udara. Aktivitas yang sesuai dengan
dimensi ini adalah:
1) Mengelola kebersihan udara dalam ruangan agar terbebas dari debu,
asap dan bau-bauan;
2) Memastikan kenyamanan tempat tidur pasien (bersih, hangat, tidak
lembab, bebas dari bau-bauan);
3) Mengatur penempatan tempat tidur dan posisi pasien sedemikan rupa
agar mendapatkan ventilasi yang baik.
b. Psychology Environment
Kondisi lingkungan yang negatif dapat menyebabkan stres, baik
fisik maupun mental yang berpengaruh buruk bagi pasien. Aktivitas yang
dapat dinilai sebagai bagian dari dimensi ini adalah:
1) Menjaga komunikasi yang positif antara pasien dan perawat yang
dilakukan secara perlahan dan kontinu;
2) Memberikan batasan jelas dalam memberikan karapan dan nasihat;
3) Memastikan kenyamanan pasien selama perawatan dengan
pembicaraan mengenai hal-hal yang dianggap menyenangkan bagi
pasien.

8
c. Social Environment
Aktivitas yang dapat dinilai sebagai bagian dari dimensi ini adalah:
1) Mengobservasi hubungan pasien dengan linkungan sosialnya;
2) Mengumpulkan hak-hak spesifik pasien yang sangat penting sebagai
upaya perawatan pasien.

D. Implikasi Model Pada Pelayanan Keperawatan


1. Implikasi teori Imogene M. King
1) Analisis Kepatuhan dengan Sistem Personal Teori Interaksi King
Dalam tingkat pendidikan berpengaruh positif dengan perilaku
kesehatan, maka semakin tinggi pula kesadaran seseorang akan
pentingnya tindakan Kesehatan. Tingkat pengetahuan mempengaruhi
tindakan seseorang terhadap masalah kesehatan yang dialaminya. Hasil
penelitian ini menyebutkan semakin tinggi tingkat pengetahuan yang
dimiliki oleh penderita TB paru maka semakin tinggi pula kepatuhan
penderita tersebut untuk melakukan pengobatan. King mengungkapkan
bahwa masing-masing individu adalah personal dan konsep gambaran
diri, pertumbuhan dan perkembangan perlu pemahaman.
Pengobatan penderita TB yang membutuhkan waktu lebih lama
karena kuman TB lebih susah dihancurkan sehingga waktu pengobatan
yang dibutuhkan akan lebih panjang lagi. Dari gejalanya nafsu makan
menurun, badan meriang, tanpa disertai batuk, lemas secara terus
menerus. Hal ini menjadi penyebab penderita tidak patuh minum obat.
Menurut peneliti, kurangnya pengetahuan penderita TB paru diperlukan
peran petugas kesehatan pada umumnya masih kurang baik dalam hal
memberi informasi TB paru kepada responden.
2) Analisis Kepatuhan dengan Sistem Interpersonal Teori Interaksi King
Konsep yang berhubungan dengan sistem interpersonal adalah
peran, stres, stresor, interaksi, transaksi dan komunikasi. Komunikasi
adalah proses penyaluran informasi verbal dan non verbal antara 2 atau
lebih individu dalam lingkungan. Pada penelitian ini tidak ada hubungan
pada sistem interpersonal karena komunikasi perawat dengan pasien tidak
mempengaruhi ketidakpatuhan berobat pada penderita TB paru. Hal ini
disebabkan karena petugas kesehatan dalam hal ini program TB telah
memberikan perhatian serta memberikan informasi yang jelas pada
penderita sehingga dapat menyebabkan penderita TB paru menjadi
percaya terhadap Petugas Puskesmas. Sikap dan perilaku yang diberikan
petugas kesehatan sudah cukup baik dalam memberikan pelayanan
pengobatan pada penderita, karena sebagian besar program TB telah
mengikuti pelatihan penanggulangan penyakit TB paru. Penderita yang
mendapat dukungan dan motivasi yang positif dari keluarga maupun

9
petugas memiliki semangat yang kuat untuk mencapai kesembuhan dan
patuh pada masa pengobatan.
2. Implikasi Teori Orem (Self Care)
Self care adalah penampilan dari aktivitas individu dalam melakukan
perawatan diri sendiri untuk mempertahankan kehidupan, kesehatan dan
kesejahteraan. Self care yang dilakukan secara efektif dan menyeluruh dapat
membantu menjaga integritas struktur dan fungsi tubuh serta berkontribusi
dalam perkembangan individu. Setiap orang mempunyai kebutuhan dalam
melakukan perawatan dirinya, kebutuhan perawatan diri atau self care demand
menuntut seseorang untuk dapat melakukan pemenuhan terhadap perawatan
dirinya secara mandiri. Self care agency penderita TB paru pada penerapan
asuhan keperawatan keluarga terutama dapat ditingkatkan melalui intervensi
implementasi dan evaluasi keperawatan, strategi intervensi keperawatan
keluarga yang digunakan pada penelitian ini meliputi penyuluhan,
bimbingan/konseling dan demonstrasi terkait konsep penyakit TB, cara
perawatan, cara pencegahan penularan TB, serta cara pengobatan TB. Setelah
diberikan perlakuan berupa penerapan asuhan keperawatan keluarga, terjadi
perubahan dalam self care agency penderita antara lain penderita membuang
dahak dalam pot khusus yang berisi cairan anti kuman, penataan perabot dan
kebersihan kamar, kasur, bantal, dan selimut penderita dijemur di bawah sinar
matahari secara rutin setiap minggu. Dalam hal keterampilan perawatan
khusus penderita mampu mempraktekan teknik nafas dalam dan batuk efektif
untuk mengeluarkan dahak. Sementara itu pada aspek self care demand
perubahan yang ditemukan antara lain peningkatan kesadaran penderita akan
kebutuhannya terhadap program pengobatan, kepatuhan penderita dalam
mengkonsumsi obat secara teratur, kesadaran penderita untuk kontrol secara
teratur ke puskesmas dan mengambil obat paket tepat waktu setiap bulannya,
serta keterlibatan aktif keluarga sebagai pengawas minum obat (PMO) bagi
penderita.
Pelaksanaan intervensi keperawatan melalui kegiatan penyuluhan,
bimbingan/konseling dan demonstrasi yang ditujukan pada penderita TB paru
dan keluarganya memberikan dampak yang sangat besar dalam meningkatkan
pengetahuan penderita tentang konsep penyakit TB paru, pengobatan penyakit
TB paru serta cara perawatan mendiri penderita penyakit TB paru, yang
semuanya berujung pada meningkatnya kemandirian perawatan diri penderita
TB paru. Kombinasi metode intervensi melalui pendidikan kesehatan,
bimbingan dan konseling serta demonstrasi berperan penting dalam
meningkatnya kemampuan perawatan diri penderita TB paru. Selama
intervensi keperawatan responden selalu berperan aktif terutama ketika
dilakukan demonstrasi, dengan sangat antusias penderita dan keluarga selalu
memperhatikan setiap tindakan yang didemonstrasikan. Untuk bertindak
dalam perawatan diri dibutuhkan keterampilan, keyakinan akan keberhasilan

10
diri (self efficacy), semangat dan motivasi yang tinggi untuk selalu berusaha
mencapai tujuan yang diinginkan. Maka peran perawat adalah memberikan
keterampilan kepada penderita TB paru, menguatkan faktor psikologis dengan
cara meningkatkan kemampuan kognitif baik dengan membangkitkan
motivasi penderita, maupun menstimulasi self efficacy penderita bahwa
mereka memiliki kemampuan dan sumber daya, karena pada dasarnya self
care merupakan perilaku yang dapat dipelajari, dan setiap individu memiliki
potensi untuk belajar dan berkembang (Tomey & Alligood, 2010).
3. Implikasi Teori Florence Nightingale (Teori Lingkungan)
Dalam praktek keperawatan di komunitas, aspek lingkungan menjadi
salah satu prioritas yang penting dalam upaya penyembuhan penyakit,
beberapa penyakit dapat disebabkan karena pengaruh lingkungan yang tidak
sehat sehingga untuk mencegah timbulnya penyakit diperlukan lingkungan
yang sehat dan nyaman. Teori keperawatan yang dapat direkomendasikan dan
sesuai dengan kondisi penyakit TB paru adalah teori yang dikemukakan oleh
Florence Nightingale yang mengutamakan pada aspek lingkungan dalam
penerapannya. Teori Florence Nightingale menyakini kondisi lingkungan
yang sehat penting untuk penanganan perawatan yang layak. Komponen
lingkungan yang berpengaruh pada kesehatan antara lain udara segar, air
bersih, saluran pembuangan yang efisien, kebersihan dan cahaya (Tomey &
Alligood, 2006).
Kondisi lingkungan rumah yang berhubungan dengan penyakit TB paru
yaitu ventilasi, pencahayaan, kepadatan dan kebersihan lantai rumah.
Kebanyakan lingkungan rumah keluarga belum memenuhi syarat kesehatan,
hal ini akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk
penyakit TB. Semua rumah sebagian besar sudah mempunyai jendela, hanya
saja ada beberapa keluarga tidak membuka jendela. Jendela atau ventilasi yang
dibuka setiap hari berfungsi untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
bakteri terutama bakteri pathogen. Ventilasi juga menjaga agar aliran udara di
dalam rumah tetap segar, hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan
oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang
bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.
Aspek lingkungan yang diutamakan Nightingale dalam merawat penderita
adalah ventilasi yang cukup bagi penderita. Ia berkeyakinan bahwa
ketersediaan udara segar secara terus menerus merupakan prinsip utama dalam
keperawatan. Oleh sebab itu setiap keluarga diharapkan dapat menjaga udara
yang dihirup penderita tetap bersih, sebersih udara luar tanpa harus
membuatnya kedinginan. Komponen lain yang tidak kalah penting dalam
keperawatan penderita adalah cahaya matahari. Nightingale yakin sinar
matahari dapat memberi manfaat yang besar bagi kesehatan penderita. Hal ini
sesuai dengan Depkes RI (2002) yang menyebutkan bahwa kuman

11
tuberkulosis hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung. Menurut
(Crofton,1999) seseorang dapat tertular penyakit TB paru jika terdapat faktor
risiko sebagai berikut; 1) Kontak serumah dengan penderita TBC BTA (+) 2)
Lingkungan: ventilasi yang kurang, kepadatan penduduk 3) Menderita HIV,
malnutrisi, penyakit DM, immuno-supresan 4) Perilaku tidak sehat.

E. Tujuan Pelayanan Keperawatan Berdasarkan Model Yang Ditetapkan


1. Teori Keperawatan Imogene King
Teori pencapaian tujuan yang dikemukakan King berasal dari
perkembangan system konseptual yang berdasarkan pada tiga system yaitu
system personal, interpersonal dan system social. King memandang manusia
sebagai system terbuka yang social, rasional, perasa, pengontrol, bertujuan,
bereaksi dan berorientasi pada waktu. Pelayanan keperawatan ditujukan pada
proses interaksi manusia (Perawat-Klien) dimana melibatkan perasaan orang
lain dan situasi melalui komunikasi, penetapan tujuan, pengertian dan
kesepakatan mencapai tujuan.
Konsep – konsep utama dalam teori pencapaian tujuan adalah:
1) Interaksi, didefinisikan sebagai proses persepsi dan komunikasi antara
orang dan lingkungan dan antara orang dengan orang, direpresentasikan
oleh perilaku verbal dan nonverbal yang diarahkan untuk mencapai tujuan.
Setiap individu dalam interaksi (perawat-klien) membawa pengetahuan
yang berbeda, kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, pengalaman dahulu
dan persepsi-persepsi yang mempengaruhi interaksi.
2) Persepsi, didefinisikan sebagai representasi setiap orang tentang realitas.
Menurut King, konsep ini termasuk impor dan transpormasi energi,
proses, tingkatan dan ekspor informasi. Persepsi-persepsi berhubungan
dengan pengalaman masa lalu, konsep-konsep sendiri, grup sosio
ekonomi, keturunan dan latar belakang pendidikan.
3) Komunikasi, didefinisikan sebagai proses pemberian informasi dari satu
orang ke orang berikutnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Komunikasi merupakan komponen informasi dari interaksi. Perubahan
tanda-tanda nonverbal dan symbol-simbol antara perawat dan klien, atau
klien dengan lingkungan, merupakan komunikasi.
4) Transaksi, didefinisikan sebagai maksud tujuan interaksi yang membawa
kepada pencapaian tujuan. King kemudian memperluas definisi transaksi
termasuk: tingkah laku yang terobservasi dari interaksi manusia dengan
lingkungannya.
2. Teori Keperawatan Dorothea R. Orem
Menurut teori yang dikemukakan oleh Orem, untuk melakukan proses
asuhan keperawatan maka harus disertai dengan keyakinan bahwa setiap
orang memiliki kemampuan untuk melakukan perawatan pada dirinya

12
sendiri, sehingga akan membantu individu dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, memelihara kesehatannya, dan mencapai kesejahteraannya.
Orem melihat individu sebagai suatu kesatuan utuh yang terdiri atas
suatu fisik, psikologik, dan sosial, dengan derajat kemampuan mengasuh diri
sendiri (self-care ability) yang berbeda-beda. Berdasarkan pandangan ini, ia
berpendapat bahwa kegiatan atau tindakan keperawatan ditujukan sebagai
upaya untuk memacu kemampuan mengasuh diri sendiri. Ia menyatakan
bahwa teorinya, yaitu self-care deficit theory of nursing merupakan teori
umum.
Pada teori ini, ia menggambarkan kapan pelayanan keperawatan
diberikan, yaitu ketika:
1) Kemampuan klien kurang dibandingkan dengan kebutuhan
2) Kemampuan sebanding dengan kebutuhan, tetapi diprediksi untuk masa
yang akan datang kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan
peningkatan kebutuhan.
Dalam kasus ini, kondisi pasien terbilang lemah, sehingga ADL pasien
perlu dibantu oleh perawat. ADL sendiri adalah Activity of Daily Living, atau
aktivitas kehidupan sehari-hari yang secara rutin dilakukan oleh setiap
individu. Oleh karena itu, tujuan pelayanan keperawatan berdasarkan teori
Orem adalah untuk membantu memenuhi kebutuhan harian pasien yang tidak
mampu melakukan self-care secara efektif karena adanya self-care deficit.
3. Teori Keperawatan Florence Nightingale
Inti konsep Florence Nightingale, pasien dipandang dalam kontek
lingkungan secara keseluruhan, terdiri dari lingkungan fisik, lingkungan
psikologis dan lingkungan sosial.
1) Lingkungan fisik (physical enviroment)
Merupakan lingkungan dasar/alami yan gberhubungan dengan
ventilasi dan udara. Faktor tersebut mempunyai efek terhadap lingkungan
fisik yang bersih yang selalu akan mempengaruhi pasien dimanapun dia
berada didalam ruangan harus bebas dari debu, asap, bau-bauan. Tempat
tidur pasien harus bersih, ruangan hangat, udara bersih, tidak lembab,
bebas dari bau-bauan. Lingkungan dibuat sedemikian rupa sehingga
memudahkan perawatan baik bagi orang lain maupun dirinya sendiri.
Luas, tinggi penempatan tempat tidur harus memberikan memberikan
keleluasaan pasien untuk beraktifitas. Tempat tidur harus mendapatkan
penerangan yang cukup, jauh dari kebisingan dan bau limbah. Posiis
pasien ditempat tidur harus diatur sedemikian rupa supaya mendapat
ventilasi.
2) Lingkungan psikologi (psychologi enviroment)
Nightingale melihat bahwa kondisi lingkungan yang negatif dapat
menyebabkan stress fsiik dan berpengaruh buruk terhadap emosi pasien.
Oleh karena itu ditekankan kepada pasien menjaga rangsangan fisiknya.

13
Mendapatkan sinar matahari, makanan yang menarik dan aktivitas manual
dapat merangsanag semua faktor untuk membantu pasien dalam
mempertahankan emosinya.
Komunikasi dengan pasien dipandang dalam suatu konteks
lingkungan secara menyeluruh, komunikasi jangan dilakukan secara
terburu-buru atau terputus-putus. Komunikasi tentang pasien yang
dilakukan dokter dan keluarganya sebaiknya dilakukan dilingkungan
pasien dan kurang baik bila dilakukan diluar lingkungan pasien atau jauh
dari pendengaran pasien. Tidak boleh memberikan harapan yang terlalu
muluk, menasehati yang berlebihan tentang kondisi penyakitnya. Selain
itu membicarkan kondisi-kondisi lingkungna dimana dia berada atau
cerita hal-hal yang menyenangkan dan para pengunjung yang baik dapat
memberikan rasa nyaman.
3) Lingkungan sosial (social environment)
Observasi dari lingkungan sosial terutama huhbungan yang
spesifik, kumpulan data-data yang spesifik dihubungkan dengan keadaan
penyakit, sangat penting untuk pencegahan penyakit. Dengan demikian
setiap perawat harus menggunakan kemampuan observasi dalam
hubungan dengan kasus-kasus secara spesifik lebih dari sekedar data-data
yang ditunjukkan pasien pada umumnya. Seperti juga hubungan komuniti
dengan lingkungan sosial dugaannya selalu dibicarakan dalam hubungna
individu paien yaitu lingkungan pasien secara menyeluruh tidak hanya
meliputi lingkungan rumah atau lingkungan rumah sakit tetapi juga
keseluruhan komunitas yang berperan.

14
BAB 3
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Setelah melakukan pengkajian dan pengamatan, dapat diambil diagnosis
bahwa pasien mengidap penyakit tbc dikarenakan terpapar virus. Beberapa teori yg
bisa diaplikasikan adalah teori self care orem, teori king, dan teori nightingale.
Implikasi teori self care orem yaitu dengan menerapkan Self care agency, self care
agency penderita TB paru dapat diterapkan pada asuhan keperawatan keluarga
terutama dapat ditingkatkan melalui intervensi implementasi dan evaluasi
keperawatan, strategi intervensi keperawatan keluarga yang digunakan pada
penelitian ini meliputi penyuluhan, bimbingan/konseling dan demonstrasi terkait
konsep penyakit TB, cara perawatan, cara pencegahan penularan TB, serta cara
pengobatan TB. Lalu Implikasi Teori king yaitu dengan dua cara yakni yang
pertama adalah Analisis Kepatuhan dengan Sistem Personal Teori Interaksi King
pada penderita tbc dan yang kedua Analisis Kepatuhan dengan Sistem Interpersonal
Teori Interaksi King pada penderita tbc. Kemudian implikasi teori yang terakhir
yaitu Teori Nightingale adalah Kondisi lingkungan rumah yang berhubungan
dengan penyakit TB paru yaitu ventilasi, pencahayaan, kepadatan dan kebersihan
lantai rumah. Ketiga Teori ini tentunya mempunyai tujuan masing-masing dan
berbeda dalam pelayanan keperawatan.
Kemudian untuk penyakit TB ini dilakukan 2 jenis tindakan, yaitu tindakan
keperawatan mandiri dan tindakan keperawatan kolaborasi.Jadi disini perawat
memberikan asuhan keperawatan dengan mengetahui bahaya² fisik dan
perlindungan pada klien, teknik komunikasi, kemampuan dalam produser tindakan,
pemahaman tentang hak-hak pasien, serta memahami tingkat perkembangan
pasien.

15
DAFTAR PUSTAKA

Baco, Nurlela. (2017). Bab i Pendahuluan A. Philosophies dari Florence Nightingale:


(Modern Nursing), 3-5. https://zdocs.tips/doc/bab-i-pendahuluan-a-m6yogorg9rpv.
Diakses pada 2 Oktober 2021.
Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis, 25-26. Jakarta.
Efendi, F. (2008, Juli 30). Konsep Model Florence Nightingale. Dikutip dari
komunitassehat.com. http://komunitassehat.com/konsep-model-florence-
nightingle/. Diakses pada 30 September 2021.
Hermawati. (2016). Pengaruh Self Management Dietary Counseling Terhadap Self Care
dan Status Nutrisi Pasien Hemodialisis, 29-30. Thesis, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Muhtar, A. Haris. (2016). Jurnal Kesehatan Prima. Penerapan Asuhan Keperawatan
Keluarga Dalam Meningkatkan Self Care Behavior Penderita Tuberkulosis Paru
Di Kota Bima Nusa Tenggara Barat. Jurnal Kesehatan Prima, vol. 10, No. 1, 1584-
1586.
Pujiastutik, Yanuar Eka. (2019). Jurnal Ners dan Kebidanan. Theory of Goal
Attainment (Imogene M. King) Sebagai Basis Analisis Faktor Patuh Minum Obat
TB Paru Di Kabupaten Kediri. Jurnal Ners dan Kebidanan, 6 (3). pp. 268-275.
Solikhah, hidayad Heni, Marwansyah. (2015). Pengaruh Pemberdayaan Keluarga
Penderita TB (Tuberculosis) Paru Terhadap kemampuan Melaksanakan Tugas
Kesehatan Keluarga di Wilayah Puskesmas Martapura Dan Astambul Kabupaten
Banjar. https://media.neliti.com/media/publications/20967-ID-the-infl-uence-of-
empowering-tb-tuberculosis-patients-family-on-capability-of-im.pdf. Diakses
pada tanggal 30 September 2021.
Soliha. (2020). Model Komunikasi Perawat Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan,
25-30. Thesis, Universitas Airlangga.
Zainita, Alda Pratami, Rosa Delima Ekwantini, dan Maryana. (2019). Penerapan Batuk
Efektif dalam Mengeluarkan Sekret pada Pasien Tuberkulosis dalam Pemenuhan
Kebutuhan Oksigenasi di Keluarga, 14-15. Thesis, Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai