Kelompok 2
Muninggar (6021032050)
Humaeroh (6021032032)
Kusmiati (6021032042)
A. Latar Belakang
Masa nifas merupakan masa setelah persalinan yaitu terhitung dari setelah plasenta
keluar, masa nifas disebut juga masa pemulihan, dimana alat-alat kandungan akan
kembali pulih seperti semula. Masa nifas merupakan masa ibu untuk memulihkan
kesehatan ibu yang umumnya memerlukan waktu 6-12 minggu (Nugroho, Nurrezki,
Desi, & Wilis, 2014).
Nifas adalah periode mulai dari 6 jam sampai dengan 42 hari pasca persalinan
(Kementrian Kesehatan, 2014).
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta keluar sampai alat-alat kandungan
kembali normal seperti sebelum hamil. Selama masa pemulihan berlangsung, ibu akan
mengalami banyak perubahan fisik maupun psikologis. Perubahan tersebut sebenarnya
bersifat fisiologi, namun jika tidak ada pendampingan melalui asuhan kebidanan, akan
berubah menjadi patologis. Sehingga sudah menjadi tujuan para tenaga kesehatan untuk
melakukan pendampingan secara berkesinambungan agar tidak terjadi berbagai
masalah, yang mungkin saja akan menjadi komplikasi masa nifas (Purwati,2012).
Asuhan kebidanan pada masa nifas merupakan kelanjutan dari asuhan kebidanan
pada ibu hamil dan bersalin. Asuhan ini juga berkaitan erat dengan asuhan pada bayi
baru lahir, sehingga pada saat memberikan asuhan, hendaknya seorang bidan mampu
melihat kondisi yang dialami ibu sekaligus bayi yang dimilikinya. Asuhan kebidanan
pada masa nifas sebaiknya tidak saja difokuskan pada pemeriksaan fisik untuk
mendeteksi kelainan fisik pada ibu, akan tetapi seyogyanya juga berfokus pada
psikologis yang ibu rasakan. Diharapkan asuhan yang diberikan dapat menjangkau dari
segala aspek bio,psiko,sosio dan kultural ibu.
Jumlah ibu menyusui di Indonesia semakin menurun meskipun ASI eksklusif
memiliki banyak keunggulan. Ibu Indonesia cenderung memilih memberikan susu
formula kepada bayinya. Perilaku ini berkembang menjadi gengsi pada sebagian ibu.
Perilaku salah ini ditiru oleh ibu dari keluarga yang kurang mampu. Akibatnya, ibu dari
keluarga yang kurang mampu sering memberikan susu formula sangat encer dan tidak
memenuhi kebutuhan gizi (Dinas kesehatan Sleman, 2016). Rohani (2008) mengatakan
bahwa dukungan kepada ibu menjadi salah satu faktor penting yang juga
mempengaruhi ibu memberikan ASI Eksklusif. Seorang ibu yang punya pikiran positif
tentu saja akan senang melihat bayinya, kemudian memikirkannya dengan penuh kasih
sayang, terlebih bila sudah mencium dan menimang si buah hati. Semua itu terjadi
apabila ibu dalam keadaan tenang. Keadaan tenang ini didapat oleh ibu jika adanya
dukungan-dukungan dari lingkungan sekitar ibu untuk memberikan ASI kepada
bayinya. Karena itu, ibu memerlukan dukungan yang kuat agar dapat memberikan ASI
Eksklusif. Menurut Tasya (2008), dukungan ini dapat diperoleh dari tiga pihak, yaitu
suami, keluarga, dan tenaga kesehatan. Suami adalah pasangan hidup istri atau ayah
dari anak-anak. Suami mempunyai suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu
keluarga tersebut dan suami mempunyai peranan yang sangat penting, dimana suami
sangat dituntut bukan hanya sebagai pencari nafkah, akan tetapi sebagai pemberi
motivasi atau dukungan dalam berbagai kebijakan yang akan diputuskan termasuk
merencanakan keluarga. Dukungan suami adalah salah satu bentuk interaksi yang
didalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima bantuan yang
bersifat nyata yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya (Hidayat, 2009).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diketahui rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa saja masalah umum yang terjadi pada post partum ?
2. Bagaimana seksualitas pada periode post partum?
3. Bagaimana dukungan ibu menyusui pada periode post partum ?
4. Apa saja konseling pada perawatan diri untuk ibu post partum ?
5. Apa saja tahap-tahap berduka dan kehilangan?
6. Bagaimana prinsip dalam praktik asuhan kebidanan nifas dan menyusui ?
7. Apa saja Peralatan dan teknologi pada breast feeding ?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui apa saja masalah umum yang terjadi pada post partum
2. Mengetahui Bagaimana seksualitas pada periode post partum
3. Mengetahui Bagaimana dukungan ibu menyusui pada periode post partum
4. Mengetahui apa saja konseling pada perawatan diri untuk ibu post partum
5. Mengetahui apa saja tahap-tahap berduka dan kehilangan
6. Mengetahui Bagaimana prinsip dalam praktik asuhan kebidanan nifas dan
menyusui
7. Mengetahui apa saja Peralatan dan teknologi pada breast feeding
BAB II
PEMBAHASAN
Pada masa nifas, tak jarang ibu mengalami berbagai kondisi yang tak mengenakkan.
Beberapa masalah yang sering dihadapi di antaranya sebagai berikut ini.
C. Konsep Seksualitas
1. Pengertian seksualitas
Seksualitas merupakan suatu komponen integral dari kehidupan seorang wanita
normal, di mana hubungan seksual yang nyaman dan memuaskan merupakan salah satu
faktor yang berperan penting dalam hubungan perkawinan bagi banyak pasangan
(Prawirohardjo, 2007). Menurut Oruc, et.al (dalam Wals, Linda V, 2008,) Seksualitas
diartikan sebagai sebuah identitas individu yang secara sosial dibangun berdasarkan
komponen biologis, kepercayaan, nilai, minat, daya tarik, harapan dan tingkah laku.
Aktivitas seksual pasca melahirkan yang aman maksudnya adalah berhubungan seks
dengan menghindari penetrasi (memasukkan penis, jari, atau hal lain ke dalam vagina).
Ada pula yang mengatakan bahwa aktivitas seksual pasca melahirkan yang aman
adalah berhubungan kembali setelah enam minggu dihitung sejak kelahiran anak
(Thamrin, 2010). Banyak pasangan yang sudah memulai hubungan seksual sebelum
pemeriksaan tradisional pascapartum enam minggu setelah bayi lahir. Mereka mungkin
ingin mengetahui tentang topik ini, tetapi enggan menanyakannya. Karena dokter
sering kali tidak membahas masalah ini, penting bagi perawat untuk membahas
masalah pengaruh fisik dan psikologis akibat melahirkan terhadap hubungan seksual
(Bobak, 2004). Seksualitas merupakan satu aspek yang penting dari hubungan ibu
sebagai pasangan dan mungkin merupakan pokok pembahasan yang bisa menimbulkan
berbagai pertanyaan selama masa segera setelah kelahiran bayi. Ibu mungkin merasa
letih dan hal ini bisa mengganggu seksualitas ibu pada mulanya, meskipun hal itu akan
surut secara perlahan. Mungkin vagina ibu akan terasa sakit karena mengalami
perobekan, atau menjalani episiotomi (Rukiyah, 2011).
2. Tujuan Seksual Pasca melahirkan Menurut Aprillia (2011),
tujuan hubungan seksual yaitu:
a. Sebagai pelepas ketegangan seksual.
b. Untuk memperoleh kepuasan seksual bersama.
c. Untuk menunjukkan kasih sayang bersama.
3. Waktu Pelaksanaan Berhubungan
Seksual Pasca melahirkan Aktivitas seksual dapat dimulai kembali setelah
perdarahan berhenti atau ketika lokia sudah berhenti (Thamrin, 2010). Pendapat lain
mengatakan bila luka jahitan telah sembuh, atau setelah empat sampai enam minggu
setelah bersalin (Walsh, 2008).
Enam minggu adalah waktu dimana rahim telah kembali pada ukuran sebelum
hamil. Pengecilan rahim adalah perubahan fisik utama pasca persalinan yang terakhir.
Namun, seorang wanita sebenarnya tidak perlu menunggu hingga rahimnya kembali ke
ukuran semula, sebelum ia mulai melakukan senggama. Selama enam minggu sampai
enam bulan pertama, vagina tidak cukup dilumasi karena kadar steroid rendah untuk
menahan respon vasokontriksi saat senggama. Reaksi fisiologis anda terhadap
rangsangan seksual selama tiga bulan pertama setelah melahirkan ditandai dengan
penurunan intensitas dengan kecepatan respon. Vasokongesti pada labia mayora dan
minora tertahan sampai fase stabil (plateau). Dinding vagina tipis dan berwarna merah
muda, suatu keadaan yang menyerupai vaginitis senilis. Keadaan ini disebabkan oleh
jumlah hormon yang rendah pada periode involusi. Akhirnya, ukuran dan kekuatan
kontraksi orgasmik menurun (Bobak, 2004).
4. Faktor-faktor Yang mempengaruhi Berhubungan Seksual Pasca melahirkan
a. Perubahan Fisik
● Kelelahan dari ibu nifas dalam merawat bayi yang baru lahir dapat terjadi.
● Nyeri / sensitivitas dari episiotomi, bagian sensitif dan dari trauma lainnya dari
tenaga kerja bisa berlangsung 6 minggu atau lebih.
● Penurunan lubrikasi vagina dapat berlangsung hingga 6 bulan dan saat menyusui.
● Bocor ASI mungkin terjadi selama hubungan seksual.
● Reaksi Wanita terhadap rangsangan seksual mungkin tidak kuat atau cepat
sampai 3 bulan setelah melahirkan.
b. Perubahan psikologis Menurut Canadian (2003) faktor perubahan psikologis antara
lain:
● Takut nyeri selama hubungan seksual.
● Takut kehamilan.
● Kurangnya keinginan untuk seks selama beberapa minggu setelah melahirkan
sampai satu tahun.
● Stres dari perubahan dalam rutinitas sehari-hari dan responsiblities tambahan /
peran.
● Wanita mungkin tidak merasa menarik.
● Peningkatan keinginan untuk seks setelah melahirkan dapat terjadi pada
beberapa wanita.
Kecemasan dan kelelahan mengurus bayi baru lahir sering kali membuat
gairah bercinta pasangan suami istri (pasutri) surut, terutama pada wanita. Bila
trauma dikelola dengan baik, kehidupan seks bisa kembali berjalan dengan baik
seperti semula. Menurunnya gairah seksual disebabkan oleh trauma psikis maupun
fisik. Ditinjau dari segi fisik, wanita mengalami perubahan sangat drastis di dalam
tubuh. Mengandung dan melahirkan normal maupun caesar dapat menyebabkan
trauma pada wanita.Trauma fisik bisa terjadi saat melahirkan. Rasa sakit akibat
pengguntingan bagian dalam vagina (episiotomi) untuk melancarkan jalan lahir
untuk menghindari terjadinya perobekan yang berat. Tentu saja, tindakan ini
membutuhkan waktu untuk penyembuhan (Admin,2011).
Sedangkan trauma psikis (kejiwaan) terjadi pada wanita usai melahirkan yang
belum siap dan memahami segala urusan mengurus anak. Dari mulai merawat
anak, merawat payudara yang sudah siap mengeluarkan susu, cara pemberian susu
yang benar sampai urusan mengganti popok. Akibatnya, ibu merasa lelah, capek,
dan menyebabkan gairah menurun dan enggan untuk berhubungan seksual. Ibu
yang baru melahirkan kerap merasa cemas dengan keadaan tubuh tidak lagi
menarik. Istri takut tidak bisa memproduksi ASI yang cukup banyak untuk
kebutuhan bayi dan merasa cemas dengan kondisi kesehatan lainnya. Kecemasan
yang dialami terkadang tidak ada penyebabnya dan inilah yang menjadi
penghalang timbulnya hasrat untuk bercinta.
Ketidakseimbangan hormon juga kerap dituding sebagai penyebab
menurunnya hasrat seksual. Ketidakseimbangan hormon ini dapat mengakibatkan
perubahan emosi yang tidak seimbang pula. Para ibu muda lebih mudah merasa
kesal, malas, ingin marah. Ketidakseimbangan hormonal hanya mempengaruhi
secara tidak langsung. Setelah masa-masa nifas, hormonal kembali bekerja secara
normal.Tiap wanita berbeda-beda kesiapannya. Namun secara medis, setelah tidak
ada pendarahan lagi, bisa dipastikan ibu sudah siap berhubungan seks yakni setelah
masa nifas yang biasanya berlangsung selama 40 hari masa nifas. Masih dianggap
wajar bila keengganan untuk berhubungan badan dengan pasangan, terjadi antara
satu hingga tiga bulan setelah melahirkan (Bahiyatun, 2009).
Secara alami, sesudah melewati masa nifas kondisi organ reproduksi ibu sudah
kembali normal. Oleh sebab itu, posisi hubungan seks seperti apa pun sudah bisa
dilakukan. Kalaupun masih ada keluhan rasa sakit, lebih disebabkan proses
pengembalian fungsi tubuh belum berlangsung sempurna seperti fungsi
pembasahan vagina yang belum kembali seperti semula. Namun, bisa juga keluhan
ini disebabkan kram otot, infeksi, atau luka yang masih dalam proses
penyembuhan.Gangguan seperti ini disebut dyspareunia atau rasa nyeri waktu
sanggama. Pada kasus semacam ini ada beberapa kemungkinan yang bisa menjadi
penyebab, yaitu :
a. Terbentuknya jaringan baru pasca melahirkan karena proses penyembuhan luka
b. guntingan jalan lahir masih sensitif sehingga kondisi alat reproduksi belum
kembali seperti semula.
c. Adanya infeksi, bisa disebabkan karena bakteri, virus, atau jamur.
d. Adanya penyakit dalam kandungan (tumor, dll).
e. Konsumsi jamu.
Jamu-jamu ini mengandung zat-zat yang memiliki sifat astingents yang
berakibat menghambat produksi cairan pelumas pada vagina saat seorang wanita
terangsang seksual.
c. Faktor psikologis
Menurut Thamrin (2010), beberapa faktor psikologis lain diantaranya:
a. Beberapa wanita merasakan perannya sebagai orang tua sehingga timbul tekanan
dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan perannya.
b. Karena adanya luka bekas episiotomi.
c. Karena takut merusak keindahan tubuhnya.
d. Kurangnya informasi tentang seks setelah melahirkan.
5. Cara Mengatasi Masalah Seksual Pasca melahirkan
Jika pasangan ingin lebih cepat melakukan hubungan dari yang disarankan
yaitu enam minggu pasca melahirkan, maka dapat menyarankan pada pasangan
untuk memakai pelumas atau jelly. Bila saat berhubungan masih terasa sakit, ibu
sebaiknya mengatakan dengan jujur kepada pasangan. Jangan takut untuk berterus
terang kepada pasangan. Pastikan jika luka episiotomi sudah pulih atau kering. Ibu
serta pasangan juga dapat melakukan konsultasi kepada dokter kandungan atau
bidan jika dirasa perlu. Bila sudah siap untuk melakukan hubungan seks, bukan
berarti „seks pertama‟ ini bisa dilakukan seperti sebelum melahirkan. Lagi-lagi
Anda harus memberitahukan pasangan Anda bahwa semuanya harus berjalan
dengan sangat lembut dan perlahan. Penetrasi yang kasar dapat membahayakan
vagina (Bahiyatun,2009).
Aktivitas Hormon yang belum kembali normal setelah melahirkan
menyebabkan turunnya pelumas alami pada vagina. Oleh karena itu, sebaiknya
gunakan pelumas buatan yang bisa didapatkan di apotik terdekat sehingga
mengurangi gesekan pada vagina yang berlebihan. Jangan lupa untuk melakukan
foreplay sebelumnya. Pertimbangkan bercinta di pagi hari, sementara bayi Anda
tidur, atau saat bayi Anda menghabiskan beberapa jam dengan seorang teman
terpercaya atau orang yang dicintai, sehingga saat melakukan aktivitas seksual
tidak terganggu oleh bayi kita sendiri, karena akan berakibat hilangnya mood
seksual kita dan pasangan kita. Payudara mungkin merasa sedikit lembut pada
awalnya atau ada rasa yang berbeda ketika di sentuh oleh pasangan kita. Gairah
seksual dapat menyebabkan keluarnya air susu, hal ini dapat mempengaruhi
aktivitas seksual. sehingga disarankan sebelum melakukan aktivitas seksual, si ibu
sebaiknya menyusui dahulu bayinya untuk membantu mengurangi kebocoran air
susu pada payudara. Komunikasi dengan pasangan merupakan hal yang terpenting,
apabila ibu belum siap melakukan hubungan seksual dengan pasangan, sehingga
dapat mencegah adanya pertentangan atau konflik dengan pasangan kita. Sampai
ibu siap untuk berhubungan seksual, menjaga keintiman dengan cara lain.
Menghabiskan waktu bersama tanpa bayi, bahkan jika itu hanya beberapa menit di
pagi hari dan setelah bayi tidur di malam hari (Danuatmaja, 2003).
2. Manajemen Nifas
A. Dukungan Menyusui
Bentuk dukungan sosial yang dirasakan oleh ibu menyusui dari suami
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, terdapat berbagai bentuk
dukungan sosial yang dirasakan oleh ibu menyusui dari suami. Hal ini sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, dalam dukungan sosial yaitu dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi.
Dukungan emosional menurut House (Smet, 1994), mencakup ungkapan empati atau
perhatian, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.
menurut Werdayanti (2013) keuntungan memberi pujian yang tepat yaitu dapat
membangun percaya diri, mendorong untuk terus melakukan perilaku baik, dan ibu
akan lebih mudah menerima saran berikutnya. Dukungan instrumental menurut Selye
(Hardjana, 1994) merupakan bantuan langsung seperti benda, uang, dan tenaga.
Dukungan ini mempengaruhi (meningkatkan) hormon oksitosin. Menurut Roesli dan
Yohmi (2013) terdapat beberapa keadaan yang dianggap dapat meningkatkan produksi
hormon oksitosin, salah satunya adalah: Dukungan ayah dalam pengasuhan bayi,
seperti menggendong bayi ke ibu saat akan disusui atau disendawakan, mengganti
popok dan memandikan bayi, bermain, mendendangkan bayi dan membantu pekerjaan
rumah tangga. Hormon oksitosin berperan untuk merangsang keluarnya ASI.
Dukungan informasi menurut Selye (Hardjana, 1994) adalah pemberian dukungan
seperti penjelasan, nasehat, pengarahan, dan saran. Memberi saran bukan perintah
sehingga ibu dapat memutuskan untuk mencoba atau tidak. Hal ini akan membuat ibu
merasa memiliki hak untuk menguasai keadaan dan dipercaya sehingga muncul lagi
percaya dirinya. Apabila dukungan tersebut tidak diberikan kepada istri maka semua
rasa negatif akan berdampak pada reflek keluarnya ASI (Werdayanti, 2013). Dampak
dukungan sosial yang dirasakan oleh ibu menyusui dari suami Manfaat dukungan
sosial menurut Johnson dan Johnson (1991), terdapat beberapa salah satunya yaitu jika
dihubungkan dengan pekerjaan akan meningkatkan produktivitas, kemudian
meningkatkan kesejahteraan psikologi dan penyesuain diri dengan memberikan rasa
memiliki, memperjelas identitas diri, menambah harga diri serta mengurangi stres.
Manfaat yang disampaikan oleh Johnson dan Johnson (1991) sejalan dengan hasil
penelitian ini bahwa dampak yang dirasakan responden dari dukungan sosial yang
diberikan suami yaitu, ASI semakin lancar, merasakan kenyaman, beban yang
dihadapi berkurang dan lebih bersemangat untuk memberikan ASI pada anaknya.
Kondisi tersebut, sesuai dengan yang disampaikan Werdayanti (2013), bahwa untuk
memproduksi ASI ada 2 hormon salah satunya oksitosin. Reflek oksitosin sangat
dipengaruhi kondisi fisik, pikiran, dan perasaan ibu. Pikiran dan perasaan positif akan
menjaga kelancaran ASI. Disinilah peran seorang suami, yaitu memastikan istri tidak
kelelahan, menciptakan suasana positif yang EMPATHYintinya istri merasa nyaman,
aman, dan tidak stres. Melihat suami ikut merawat serta bermain dengan bayi, sudah
cukup bisa membuat istri senang
Dukungan Bidan dalam Pemberian ASI Peranan awal bidan dalam mendukung
pemberian ASI :
1) Yakinkan ibu bahwa bayi memperoleh makanan yang mencukupi dari payudara
ibunya.
2) Bantulah ibu sedemikian rupa sehingga ia mampu menyusui bayinya sendiri Cara
bidan memberikan dukungan dalam hal pemberian ASI:
a. Biarkan bayi bersama ibunya segera sesudah dilahirkan selama beberapa jam
pertama
Sangat penting dilakukan untuk membina hubungan/ikatan, disamping itu untuk
membuat bayi menerima ASI. Seharusnya dilakukan perawatan mata bayi pada
jam pertama sebelum atau sesudah bayi menyusui untuk pertama kalinya. Buatlah
bayi merasa nyaman dan hangat dengan membaringkannya dan menempelkan
kulit ibunya dan menyelimuti mereka. Jika, mungkin lakukan ini paling sedikit 30
menit karena saat itulah kebanyakan bayi siap menyusui.
b. Ajarkan cara merawat payudara yang sehat
pada ibu untuk mencegah masalah umum yang timbul Ibu harus menjaga agar
tangan dan putting susunya selalu bersih untuk mencegah kotoran dan kuman
masuk kedalam mulut bayi. Ini juga mencegah luka pada putting susu dan
infeksi pada payudara. Seorang ibu harus mencuci tangannya dengan sabun dan
air sebelum menyentuh putting susunya dan sebelum menyusui bayinya. Ia
juga harus membersihkan payudaranya dengan air bersih satu kali sehari, tidak
boleh mengoleskan krim, minyak, alcohol, sabun pada putting susunya.
c. Bantulah ibu pada waktu pertama kali memberi ASI
Posisi menyusui yang benar merupakan hal yang sangat penting. Tanda-tanda
bayi telah berada pada posisi yang baik pada payudara: - Semua tubuh
berdekatan dan terarah pada ibu - Mulut dan dagunya berdekatan dengan
payudara - Areola tidak akan dapat terlihat dengan jelas - Bayi terlihat tenang
dan senang. Kepala tidak menengadah - Ibu tidak merasakan adanya nyeri pada
puting.
d. Bayi harus ditempatkan dekat ibunya (rooming in)
Dengan demikian, ibu dapat dengan mudah menyusui bayinya bila lapar. Ibu
harus belajar mengenali tanda-tanda yang menunjukan bahwa bayinya lapar.
Bila ibu terpisah tempatnya dari bayi maka ia akan lebih lama belajar
mengenali tanda-tanda tersebut.
e. Memberikan ASI pada bayi sesering mungkin
Biasanya, bayi yang baru lahir ingin minum ASI setiap 2-3 jam atau 10-12 kali
dalam 24 jam. Bila bayi tidak minta diberikan ASI, katakan pada ibu untuk
memberikan ASI-nya pada bayi setidaknya setiap 4 jam. Selama 2 hari pertama
sesudah lahir, beberapa bayi tidur panjang selama 6-8 jam. Untuk memberikan
ASI pada bayi, yang paling baik adalah membangunkkanya selama siklus
tidurnya. Pada hari ke 3 setelah lahir, umumnya bayi menyusu setiap 2-3 jam.
Gambar 2.3. Posisi perlekatan mulut bayi 18 Buku Ajar : Asuhan Kebidanan
Masa Nifas
f. Hanya berikan kolostrum dan ASI saja
Makanan lain (termasuk air) dapat membuat bayi sakit dan menurunkan
persedian ASI ibunya karena produksi ASI. Ibu tergantung pada seberapa
banyak ASI dihisap oleh bayinya. Bila minum an lain atau air diberikan, bayi
tidak akan merasa lapar sehingga ia tidak akan menyusu.
g. Hindari susu botol dan dot “ empeng”
Susu botol dan kempengan membuat bayi bingung dan dapat membuatnya
menolak putting ibunya atau tidak menghisap dengan baik. Mekanisme
pengisapan botol berbeda dari mekanisme menghisap puting susu pada
payudara ibu. Ini akan membingungkan bayi. Bayi yang diberikan susu botol,
ia akan lebih susah belajar mengisap ASI ibunya
Dukungan Keluarga
a. Pengertian
Pengertian keluarga menurut Depkes RI (1988) dalam Friedman (2010) adalah unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang
berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling
ketergantungan. Menurut Friedman (2010)
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena ikatan tertentu
untuk saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan emosional, serta
mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga.
Dukungan keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif oleh ibu kepada bayinya
termasuk indikator sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat. Dukungan keluarga
merupakan sikap yang ditunjukkan oleh keluarga dalam bentuk sikap. Sikap
merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus
atau objek. Sikap belum menjadi suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2012).
Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan,
sifat dan jenis dukungan berbeda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan.
Dukungan keluarga dapat berupa dukungan sosial internal, seperti dukungan dari
suami, istri atau dukungan dari saudara kandung dan dapat juga berupa dukungan
keluarga eksternal bagi keluarga inti (Friedman, 2010).
Dukungan keluarga merupakan faktor eksternal yang paling besar pengaruhnya
terhadap keberhasilan ASI eksklusif (Roesli, 2008). Dukungan keluarga dapat
diberikan dalam beberapa bentuk, yaitu dukungan informasional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan emosional (Friedman, 2010).
b. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Pemberian ASI Eksklusif
Ibu menyusui membutuhkan dukungan dan pertolongan, baik ketika memulai
maupun melanjutkan menyusui. Mereka membutuhkan bantuan sejak kehamilan dan
setelah melahirkan. Mereka membutuhkan dukungan pemberian ASI hingga dua
tahun perawatan kesehatan maupun dukungan dari keluarga dan lingkungannya
(Proverawati dan Rahmawati, 2010). Selain keluarga, bidan, dan perawatan kesehatan
lain adalah sumber pemberi dukungan pemberian ASI eksklusif. Ibu sering
membutuhkan bantuan dalam mencari sumber-sumber tentang informasi menyusui.
Bidan atau pelayanan kesehatan lain perlu memberi informasi ASI eksklusif selain
pada ibu juga pada keluarga ibu menyusui karena hal tersebut akan membantu dalam
kesuksesan pemberian ASI eksklusif (Varney, 2007). Tingkat kesadaran masyarakat
untuk memberikan ASI kepada bayinya masih sangat memprihatinkan, bayi masih
banyak yang diberikan susu formula, makanan padat, atau campuran antara ASI dan
susu formula (Malau, 2010). Orang tua biasanya segera memberikan makanan
tambahan seperti bubur, madu, larutan gula, susu, dan pisang kepada bayi dengan
alasan bayi kelaparan bila hanya diberikan ASI. Suami sebagai kepala keluarga
biasanya menuruti kebiasaan tersebut dengan berbagai alasan, antara lain kurangnya
pemahaman tentang ASI eksklusif atau patuh kepada orang tua (Manaf, 2010).
Upaya untuk pemberian ASI dapat didukung oleh seluruh keluarga, seperti suami,
kakak, dan mertua. Keluarga memiliki fungsi dukungan yaitu dukungan
informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan dukungan emosional
(Setiadi, 2008).
Dukungan keluarga adalah dukungan untuk memotivasi ibu memberikan ASI saja
kepada bayinya sampai usia enam bulan. Tingkat pendidikan ibu yang rendah
meningkatkan risiko ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif dan ibu yang tidak
mendapatkan dukungan keluarga akan meningkatkan risiko untuk tidak memberikan
ASI eksklusif (Manaf, 2010). Penelitian Bonia et al (2013), dengan jenis penelitian
kualitatif menyatakan bahwa pemberian ASI dikaitkan dengan isu-isu dukungan yang
diberikan kepada ibu, promosi susu formula, dan malu untuk menyusui di depan
umum. Hasil penelitian oleh Monica (2010) di Brazil memperlihatkan bahwa
dukungan keluarga sangat menentukan perilaku ibu dalam memberikan ASI eksklusif
kepada bayinya. Penelitian yang sejalan dilakukan oleh Britton (2007) di Arizona
menemukan bahwa dukungan keluarga yang berasal dari suami, anggota keluarga
lainnya (ibu) meningkatkan durasi menyusui sampai enam bulan pertama postpartum
dan memegang peranan penting dalam keberhasilan ASI eksklusif. Pentingnya peran
keluarga juga dibuktikan oleh Dompas (2012) melalui hasil penelitiannya adalah
peran keluarga baik memiliki prevalensi pemberian ASI eksklusif lebih besar
dibanding dengan peran keluarga tidak baik. Analisis regresi logistik menunjukkan
bahwa ada pengaruh dukungan keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif. Penelitian
Wibowo (2015), menganalisis secara mendalam dengan wawancara dan diskusi
kelompok fokus. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dukungan informasi
sangat penting bagi ibu hamil dan menyusui dalam memberikan ASI eksklusif.
Dukungan tersebut diperoleh dari beberapa pihak, yaitu dari orang-orang yang
berpengaruh (signifcant others), tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan dan UKBM,
serta kemudahan dan kelengkapan akses informasi ASI eksklusif. Penelitian
Rokhanawati dan Ismail (2009), menunjukkan proporsi dukungan sosial suami rendah
lebih besar pada kelompok perilaku pemberian ASI tidak eksklusif. Penelitian oleh
Rilyani dan Suharman (2012) turut menguatkan faktor yang paling dominan
hubungannya terhadap pemberian ASI eksklusif yaitu dukungan keluarga. Dukungan
keluarga menyumbang
Prinsip dalam praktik asuhan kebidanan nifas dan menyusui yang mencakup bahasan,
kebijakan-kebijakan dan asuhan terkini dalam pelayanan kebidanan pada masa nifas.
tentang kerja tim dan kolaborasi dalam asuhan, komunikasi efektif, model asuhan
kebidanan, lingkungan yang aman, promosi kesehatan dan akses ke asuhan, lingkup
asuhan nifas atau postnatal
B. KOMUNIKASI EFEKTIF
Memberikan asuhan berpusat pada ibu nifas (women centered) selama periode
postnatal mewajibkan bidan untuk membina hubungan dan berkomunikasi secara efektif
dengan mereka. Bidan harus menyadari pentingnya petunjuk yang diberikan kepada ibu
postnatal selama pemberian asuhan. Bidan harus meyakinkan ibu postnatal, bahwa ibu
adalah fokus perhatian bidan dalam memberikan asuhan. Bidan harus selalu memberikan
penjelasan kepada ibu postnatal tentang asuhan yang akan diberikan dan tahapan asuhan
apa yang akan dilalui oleh ibu. Beri penjelasan mengapa asuhan kebidanan penting
dilakukan. Menurut Baston & Hall (2012), pertanyaan yang penting diajukan kepada
bidan selama asuhan postnatal agar memenuhi kaidah komunikasi efektif adalah
meliputi:
1. Apakah tersedia kesempatan bagi ibu postnatal untuk mengungkapkan harapan dan
ketakutannya selama periode postnatal?
2. Bagaimana bidan dapat memfasilitasi diskusi yang penting tentang pilihan ibu untuk
asuhan kebidanan postnatal?
3. Apa informasi yang perlu diberikan agar ibu postnatal dapat memutuskan apakah
keputusan asuhan yang diberikan merupakan hal yang paling tepat?
4. Bagaimana pasangan dapat terlibat secara efektif dalam mendukung ibu selama
periode postnatal?
5. Apakah ibu memberi persetujuan kepada bidan untuk aspek asuhan yang akan
dilakukan?
6. Apakah ibu memahami apa yang dilakukan selama asuhan kebidanan postnatal
diberikan?
7. Bagaimana informasi tentang aspek asuhan ini dapat diberikan?
8. Informasi apakah yang harus diberikan kepada ibu selama asuhan postnatal?
9. Apa yang harus diobservasi pada perilaku ibu selama asuhan?
10. Apa yang harus dikomunikasikan pada ibu setelah asuhan kebidanan diberikan?
11. Bagaimana dan dimana seharusnya pendokumentasian asuhan dan efektivitasnya
dibuat?
Bidan yang memberikan asuhan kebidanan postnatal perlu memastikan bahwa
lingkungan pelayanan kebidanan tempat ibu nifas atau postnatal diasuh, mendukung
praktik kerja yang aman dan efektif serta melindungi ibu dan keluarga dari bahaya
maupun risiko. Menurut Standar Profesi Bidan (2007) serta Permenkes RI No. 28 tahun
2017 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, salah satu kewenangan bidan
adalah melaksanakan pelayanan kesehatan pada masa nifas dan menyusui.
Selain untuk kesehatan ibu, menyusui langsung alias direct breastfeeding nyatanya
juga bisa memberi manfaat untuk bayi. Sebelumnya perlu diketahui, bayi disarankan
untuk mendapat asupan ASI eksklusif selama kurang lebih 2 tahun. Air Susu Ibu
(ASI) memiliki banyak kandungan nutrisi yang dibutuhkan bayi dalam pertumbuhan dan
menjaga tubuhnya tetap sehat.
Bayi yang sejak dini terbiasa menyusu langsung juga disebut bisa meningkatkan IQ
bayi. Selain itu, anak yang mengonsumsi ASI cenderung memiliki IQ yang lebih tinggi
dibanding bayi yang diberi susu formula. Menyusu langsung juga baik untuk
perkembangan bayi prematur, dan sangat dianjurkan untuk dilakukan. Direct
breastfeeding juga bisa membantu mencegah sindrom kematian bayi mendadak
atau sudden infant death syndrome (SIDS). Masalah lain yang bisa dihindari
dengan menyusui bayi langsung adalah penyakit, seperti asma, alergi, diabetes, serta
kelebihan berat badan alias obesitas. Untuk mendapat semua manfaat tersebut, ibu
terlebih dahulu harus merasa nyaman saat menyusui. Ibu baru bisa mempelajari hal ini
atau meminta saran dari dokter.
Memberi ASI secara langsung memberi banyak manfaat sehat untuk ibu dan bayi,
tetapi hal ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri. Perasaan tidak nyaman bisa terjadi
dan ibu diharapkan bisa mengatasi hal itu agar bisa memberi manfaat sehat untuk bayi
maupun ibu. Direct breastfeeding juga bisa membuat ibu muda merasa khawatir, apakah
ASI yang keluar sudah cukup atau malah berlebih. Ada juga risiko bayi mengalami
bingung puting, sehingga sulit untuk mengisap ASI. Namun jangan khawatir, setiap bayi
maupun ibu umumnya memiliki naluri untuk bisa menjalani hal tersebut dengan benar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan asuhan nifas ibu untuk memulihkan alat kandungan kedalam
semula dari melahirkan bayi setelah 2 jam pertama persalinan yang berlangsung
antara 6 minggu (42hari) Prawirohadjo 2001
1.Masalah yang umum pada post partum
-Rasa sakit pada payudara dan keluarnya Asi
-Rasa tidak nyaman pada vagina
-Kontraksi
-Kesulitan buang air kecil
-Keputihan
-Rambut rontok dan perubahan pada kulit
-Perubahan emosi
-Penurunan berat badan
2.Konsep Seksualitas
Merupakan komponen integral dari kehidupan seorang wanita normal dimana
hubungan seksual yang nyaman dan memuaskan merupakan salah satu faktor yang
yang berperan penting dalam hubungan perkawinan bagi banyak pasangan
(Prawirohadjo;2007)
3.Manajemen Nifas
a.Dukungan Menyusui
b.Dukungan Keluarga
4.Konseling tentang perawatan diri
*Nutrisi ibu menyusui
*Kebersihan pada ibu dan bayi
*Istirahat dan tidur
*Latihan atau senam ibu nifas
*Pemberian Asi
*Perawatan payudara
*Hubungan seksual
*Keluarga Berencana
*Tanda-tanda bahaya yang perlu di perhatikan
B. Saran
1.Bagi Pasien
Diharapkan pasien dapat mengetahui sejak dini tentang tanda bahaya sehingga di
harapkan pasien dapat lebih dini memeriksakan keadaannya dan datang ke Pusat
Pelayanan Kesehatan
2.Bagi Mahasiswa
Diharapkan Mahasiswa lebih menguasai teori khususnyadi dalam penanganan nifas
sehingga mampumeningkatkan keterampilan dalam memberikan Asuhan Kebidanan
Nifas di lahan dan sebagai bahan pembelajaran mahasiswa sehingga dapat
menerapkan tidak hanya di lahan praktek yang di tempat saja melainkan juga mampu
menerapkan di masyarakat umum.
3.Bagi Pelayanan Kesehatan
Diharapkan petugas pelayanan kesehatan harus bekerja secara kooperatif dalam tim
dan menghargainketerampilan keahlian dan kontribusi kolega atau tim
DAFTAR PUSTAKA
1. Ambarwati, 2010. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendikia
2. Bobak, Lowdermilk, Jensen (2005). Maternity nursing (4th editiion), Maria A &:
PiterI (2004). (Alih Bahasa): Jakarta: EGC
3. Pusdiknakes, 2003. Asuhan Kebidanan Post Partum. Jakarta: Pusdiknakes
4. Prawirohadjo, S, 2001. Ilmu kebidanan : Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
5. Saifuddin, Abdul Bari dkk, 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo. Jakarta.
6. Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika.
7. Varney, 2004. Varney’s Midwifery. Ed 4. Massachusets: Jones and Bartlett Publisher.
8. https://www.klikdokter.com
9. Bhimantoro. 2008. Sexual Pasca Persalinan, Ayah Bunda. Edisi.22. November 2-6,
Jakarta.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Standar Pelayanan Kebidanan.
Jakarta.
11. Eny RA, Diah W. 2009. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Edisi III, Mitra Cendikia
Press. Jogjakarta
12. Johnson, D.W,& Johnshon, F.P. (1991). Being together group theory and group skill
(7th ED). New Jersey: Prentice Hall Inc.
13. Orford, J. (1992). Community psychology : Theory and practice. London: John Wiley
and Sons. Poerwandari, E.K. (2007).
14. Werdayanti, R. (2013). Bapak ASI dan ibu bekerja menyusui. Yogyakarta: Familia.
15. Fraser, D.M. & Cooper, M.A. (2009). Myles Buku Ajar Bidan. Edisi 14. Jakarta: EGC
16. Medforth, J., Battersby, S., Evans, M., Marsh, B., & Walker, A. (2006). Oxford
Handbook of Midwifery. English: Oxford University Press.
17. Baston, H. & Hall, J. (2011). Midwifery Essential Postnatal, Volume 4. United
Kingdom.
18. Bobak, L. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas edisi 4. Jakarta: EGC.
19. Cunningham, FG., dkk. (2007). Obstetri Williams. UK: Lippincott.
20. Flint, C. (1994). Sensitif Midwifery. Oxford: Butterworth Heinemann.
21. Henderson, C. & Jones, K. (2005). Buku Ajar Konsep Kebidanan (Edisi Bahasa
Indonesia). Ed. Yulianti. Jakarta: EGC.
22. Kemenkes RI. (2013). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
23. Mochtar, R. (2010). Sinopsis obstetri: obstetri fisiologi obstetri patologi. Jakarta:
EGC.
24. Prawirohardjo, S. (2009). Ilmu kebidanan. Edisi Keempat. Cetakan kedua. Jakarta:
PT Bina Pustaka Yayasan Sarwono Prawirohardjo.
25. Pusdiknakes, WHO, JHPIEGO (2001). Panduan Pengajar Asuhan Kebidanan
Fisiologi Bagi Dosen Diploma III Kebidanan. Jakarta: Pusdiknes.
26. Saifuddin, A.B. (2002). Buku Acuan Maternal Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka
Yayasan Sarwono Prawirohardjo, UNFPA.
27. Badan Pusat Statistik, BKKBN, Kementerian Kesehatan RI (2012). Survei Demografi
Kesehatan Indonesia. Jakarta: BPS.
28. Varney, H. et al. (2007). Midwifery. UK: Lippincot.
29. Prawirohardjo, S., dkk. (2009). Ilmu kebidanan. Edisi 3. Cetakan 7. Jakarta: Yayasan
PT Bina Pustaka Yayasan Sarwono Prawirohardjo.
30. Wickham, 2004. Essential Midwifery Practice. UK: Wiley-Blackwell.ukumnya.html )
31. WWW.MOTHER&BEYOND.ID