Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN NIFAS

Kelas B S1 Transfer Kebidanan

Kelompok 2

Muninggar (6021032050)

Humaeroh (6021032032)

Kasih Rasimah (6021032039)

Kusmiati (6021032042)

Nuraeni Dewi (6021032061)

Wina Widiartina (6021032095)

Fitrotul ulum (6021032025)

PROGRAM STUDI SARJANA DAN PENDIDIKAN PROFESI BIDAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS FALETEHAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa nifas merupakan masa setelah persalinan yaitu terhitung dari setelah plasenta
keluar, masa nifas disebut juga masa pemulihan, dimana alat-alat kandungan akan
kembali pulih seperti semula. Masa nifas merupakan masa ibu untuk memulihkan
kesehatan ibu yang umumnya memerlukan waktu 6-12 minggu (Nugroho, Nurrezki,
Desi, & Wilis, 2014).
Nifas adalah periode mulai dari 6 jam sampai dengan 42 hari pasca persalinan
(Kementrian Kesehatan, 2014).
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta keluar sampai alat-alat kandungan
kembali normal seperti sebelum hamil. Selama masa pemulihan berlangsung, ibu akan
mengalami banyak perubahan fisik maupun psikologis. Perubahan tersebut sebenarnya
bersifat fisiologi, namun jika tidak ada pendampingan melalui asuhan kebidanan, akan
berubah menjadi patologis. Sehingga sudah menjadi tujuan para tenaga kesehatan untuk
melakukan pendampingan secara berkesinambungan agar tidak terjadi berbagai
masalah, yang mungkin saja akan menjadi komplikasi masa nifas (Purwati,2012).
Asuhan kebidanan pada masa nifas merupakan kelanjutan dari asuhan kebidanan
pada ibu hamil dan bersalin. Asuhan ini juga berkaitan erat dengan asuhan pada bayi
baru lahir, sehingga pada saat memberikan asuhan, hendaknya seorang bidan mampu
melihat kondisi yang dialami ibu sekaligus bayi yang dimilikinya. Asuhan kebidanan
pada masa nifas sebaiknya tidak saja difokuskan pada pemeriksaan fisik untuk
mendeteksi kelainan fisik pada ibu, akan tetapi seyogyanya juga berfokus pada
psikologis yang ibu rasakan. Diharapkan asuhan yang diberikan dapat menjangkau dari
segala aspek bio,psiko,sosio dan kultural ibu.
Jumlah ibu menyusui di Indonesia semakin menurun meskipun ASI eksklusif
memiliki banyak keunggulan. Ibu Indonesia cenderung memilih memberikan susu
formula kepada bayinya. Perilaku ini berkembang menjadi gengsi pada sebagian ibu.
Perilaku salah ini ditiru oleh ibu dari keluarga yang kurang mampu. Akibatnya, ibu dari
keluarga yang kurang mampu sering memberikan susu formula sangat encer dan tidak
memenuhi kebutuhan gizi (Dinas kesehatan Sleman, 2016). Rohani (2008) mengatakan
bahwa dukungan kepada ibu menjadi salah satu faktor penting yang juga
mempengaruhi ibu memberikan ASI Eksklusif. Seorang ibu yang punya pikiran positif
tentu saja akan senang melihat bayinya, kemudian memikirkannya dengan penuh kasih
sayang, terlebih bila sudah mencium dan menimang si buah hati. Semua itu terjadi
apabila ibu dalam keadaan tenang. Keadaan tenang ini didapat oleh ibu jika adanya
dukungan-dukungan dari lingkungan sekitar ibu untuk memberikan ASI kepada
bayinya. Karena itu, ibu memerlukan dukungan yang kuat agar dapat memberikan ASI
Eksklusif. Menurut Tasya (2008), dukungan ini dapat diperoleh dari tiga pihak, yaitu
suami, keluarga, dan tenaga kesehatan. Suami adalah pasangan hidup istri atau ayah
dari anak-anak. Suami mempunyai suatu tanggung jawab yang penuh dalam suatu
keluarga tersebut dan suami mempunyai peranan yang sangat penting, dimana suami
sangat dituntut bukan hanya sebagai pencari nafkah, akan tetapi sebagai pemberi
motivasi atau dukungan dalam berbagai kebijakan yang akan diputuskan termasuk
merencanakan keluarga. Dukungan suami adalah salah satu bentuk interaksi yang
didalamnya terdapat hubungan yang saling memberi dan menerima bantuan yang
bersifat nyata yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya (Hidayat, 2009).

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diketahui rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa saja masalah umum yang terjadi pada post partum ?
2. Bagaimana seksualitas pada periode post partum?
3. Bagaimana dukungan ibu menyusui pada periode post partum ?
4. Apa saja konseling pada perawatan diri untuk ibu post partum ?
5. Apa saja tahap-tahap berduka dan kehilangan?
6. Bagaimana prinsip dalam praktik asuhan kebidanan nifas dan menyusui ?
7. Apa saja Peralatan dan teknologi pada breast feeding ?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui apa saja masalah umum yang terjadi pada post partum
2. Mengetahui Bagaimana seksualitas pada periode post partum
3. Mengetahui Bagaimana dukungan ibu menyusui pada periode post partum
4. Mengetahui apa saja konseling pada perawatan diri untuk ibu post partum
5. Mengetahui apa saja tahap-tahap berduka dan kehilangan
6. Mengetahui Bagaimana prinsip dalam praktik asuhan kebidanan nifas dan
menyusui
7. Mengetahui apa saja Peralatan dan teknologi pada breast feeding
BAB II
PEMBAHASAN

1. Masalah yang umum terjadi pada post partum


A. Definisi masa nifas atau post partum.
Post partum adalah waktu yang diperlukan oleh ibu untuk memulihkan alat
kandungannya ke keadaan semula dari melahirkan bayi setelah 2 jam pertama persalinan
yang berlangsung antara 6 minggu (42 hari ) (Prawirohadjo, 2001)
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-
alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung selama 6
minggu (Saifuddin, 2007).
Masa Nifas (puerperium) adalah masa setelah keluarnya plasenta sampai alat-alat
reproduksi pulih seperti sebelum hamil dan secara normal masa nifas berlangsung selama
6 minggu atau 40 hari (Ambarwati, 2010)
Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi, plasenta serta selaput
yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ kandungan seperti sebelum hamil
dengan waktu kurang lebih 6 minggu. (Saleha, 2009)
Masa nifas adalah masa dimulai beberapa jam sesudah lahirnya plasenta sampai 6
minggu setelah melahirkan (Pusdiknakes, 2003) - Periode postpartal adalah waktu
penyerahan dari selaput dan plasenta (menandai akhir dari periode intrapartal) menjadi
Modul Pendidikan Jarak Jauh, Pendidikan Tinggi Kesehatan 9 kembali ke saluran
reproduksi wanita pada kondisi tidak hamil. Puerperium berlangsung sekitar 6 minggu
(Varney, 2004).
Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah kelahiran plasenta hingga
pulihnya kembali alat-alat reproduksi. Masa ini berlangsung kurang lebih selama 6
minggu. - Masa nifas adalah jangka waktu 6 minggu yang dimulai setelah melahirkan
bayi sampai pemulihan kembali organ-organ reproduksi seperti sebelum kehamilan
(Bobak, lowdermilk & jensen, 2005)
Selama periode waktu tersebut, seorang ibu nifas akan mengalami berbagai macam
perubahan baik fisik, psikologis maupun sosial, oleh karena itu sebagai bidan sudah
sepatutnya dapat mendampingi ibu selama masa nifas dengan memberikan asuhan yang
komprehensif atau menyeluruh agar masa nifas dapat dilalui secara normal.
B. Masalah yang umum terjadi pada post partum

Pada masa nifas, tak jarang ibu mengalami berbagai kondisi yang tak mengenakkan.
Beberapa masalah yang sering dihadapi di antaranya sebagai berikut ini.

1. Rasa sakit pada payudara dan keluarnya ASI


Beberapa hari setelah melahirkan dan selama masa nifas, payudara ibu mungkin
terasa kencang dan bengkak. Jangan khawatir, Anda tetap bisa menyusui bayi atau
menggunakan pompa ASI untuk menghilangkan rasa tidak nyaman pada payudara.
gunakan kompres hangat saat hendak menyusui dan ketika tidak menyusui. juga bisa
mengompres payudara dengan lap dingin.
Jika rasa sakit tidak tertahankan, bisa meminta saran dokter terkait penggunaan obat
pereda rasa sakit yang aman dikonsumsi ibu menyusui di masa nifas.
2. Rasa tidak nyaman pada vagina
Ibu yang melahirkan normal rentan mengalami robekan di bagian perineum atau
antara vagina dan anus. Sebenarnya luka ini dapat sembuh, tapi lama waktu
penyembuhannya tergantung pada tingkat keparahan robekan vagina tersebut. jika vagina
masih terasa sakit dan menimbulkan rasa tidak nyaman saat duduk selama masa nifas,
Anda dapat menggunakan bantal agar lebih nyaman.
3. Kontraksi
Selama beberapa hari setelah melahirkan, mungkin mengalami kontraksi.
kondisi ini normal terjadi di masa nifas. Rasa kontraksi ini umumnya menyerupai kram
atau nyeri perut saat menstruasi. Kontraksi berfungsi untuk mencegah perdarahan
berlebih selama masa nifas dengan cara menekan pembuluh-pembuluh darah yang
terdapat di rahim. Selain itu, kontraksi juga berperan dalam proses penyusutan rahim
yang membesar selama kehamilan.
4. Kesulitan buang air kecil
Pembengkakan dan luka pada jaringan di sekitar kandung kemih dan uretra dapat
membuat Anda susah saat buang air kecil selama masa nifas. Kerusakan pada saraf dan
otot yang terhubung pada kandung kemih atau uretra juga bisa menyebabkan Anda
mengeluarkan urine tanpa sadar. Kondisi ini biasanya terjadi ketika sedang tertawa,
batuk, atau bersin. Kesulitan buang air kecil ini biasanya akan hilang dengan
sendirinya.Anda bisa berlatih senam nifas dan senam Kegel untuk membantu
menguatkan otot-otot pelvis dan membantu mengontrol refleks buang air kecil.
5. Keputihan
Selain perdarahan berupa lokia, biasanya tubuh juga akan mengeluarkan cairan
keputihan selama masa nifas. Kondisi ini dapat berlangsung selama sekitar 2-4 minggu
setelah melahirkan atau selama masa nifas. Keputihan merupakan cara alami tubuh untuk
menghilangkan darah dan jaringan yang masih tersisa di dalam rahim.
6. Rambut rontok dan perubahan pada kulit
Selama masa kehamilan, peningkatan beberapa jenis hormon dapat menyebabkan
rambut mudah sekali rontok ketimbang biasanya. Namun terkadang, masalah rambut
rontok ini juga bisa terus terjadi sampai Anda telah melahirkan dan berada di masa nifas.
Umumnya, rambut rontok ini akan berhenti dalam jangka waktu 6 bulan. Selain rambut,
kehamilan juga memengaruhi kondisi kulit Anda di masa nifas. Stretch mark yang
muncul saat masa kehamilan tidak akan sepenuhnya hilang ketika masa nifas. Hanya
saja, warna stretch mark biasanya akan semakin memudar dari merah keunguan hingga
akhirnya menjadi putih.
7. Perubahan emosi
Perubahan mood yang tiba-tiba, perasaan sedih, gugup, dan mudah marah mungkin
Anda alami setelah melahirkan atau selama masa nifas. Tidak sedikit juga ibu yang baru
melahirkan mengalami depresi, baik itu yang tergolong ringan hingga parah.
8. Penurunan berat badan
Melahirkan biasanya membuat Anda kehilangan berat badan hingga kurang lebih 5
kilogram (kg). Hal ini termasuk berkurangnya berat badan bayi, air ketuban, dan
plasenta. Selama masa nifas, ibu bisa kehilangan beberapa kilogram lagi yang terdiri dari
cairan-cairan atau jaringan lain yang ikut keluar bersama lokia. Namun, ukuran tubuh
setelah melahirkan mungkin tidak sepenuhnya kembali seperti sedia kala sebelum
melahirkan. Untuk menjaga berat badan tetap ideal setelah melahirkan dan selama masa
nifas, Anda disarankan rutin menjaga pola makan yang sehat dan rajin berolahraga.

C. Konsep Seksualitas
1. Pengertian seksualitas
Seksualitas merupakan suatu komponen integral dari kehidupan seorang wanita
normal, di mana hubungan seksual yang nyaman dan memuaskan merupakan salah satu
faktor yang berperan penting dalam hubungan perkawinan bagi banyak pasangan
(Prawirohardjo, 2007). Menurut Oruc, et.al (dalam Wals, Linda V, 2008,) Seksualitas
diartikan sebagai sebuah identitas individu yang secara sosial dibangun berdasarkan
komponen biologis, kepercayaan, nilai, minat, daya tarik, harapan dan tingkah laku.
Aktivitas seksual pasca melahirkan yang aman maksudnya adalah berhubungan seks
dengan menghindari penetrasi (memasukkan penis, jari, atau hal lain ke dalam vagina).
Ada pula yang mengatakan bahwa aktivitas seksual pasca melahirkan yang aman
adalah berhubungan kembali setelah enam minggu dihitung sejak kelahiran anak
(Thamrin, 2010). Banyak pasangan yang sudah memulai hubungan seksual sebelum
pemeriksaan tradisional pascapartum enam minggu setelah bayi lahir. Mereka mungkin
ingin mengetahui tentang topik ini, tetapi enggan menanyakannya. Karena dokter
sering kali tidak membahas masalah ini, penting bagi perawat untuk membahas
masalah pengaruh fisik dan psikologis akibat melahirkan terhadap hubungan seksual
(Bobak, 2004). Seksualitas merupakan satu aspek yang penting dari hubungan ibu
sebagai pasangan dan mungkin merupakan pokok pembahasan yang bisa menimbulkan
berbagai pertanyaan selama masa segera setelah kelahiran bayi. Ibu mungkin merasa
letih dan hal ini bisa mengganggu seksualitas ibu pada mulanya, meskipun hal itu akan
surut secara perlahan. Mungkin vagina ibu akan terasa sakit karena mengalami
perobekan, atau menjalani episiotomi (Rukiyah, 2011).
2. Tujuan Seksual Pasca melahirkan Menurut Aprillia (2011),
tujuan hubungan seksual yaitu:
a. Sebagai pelepas ketegangan seksual.
b. Untuk memperoleh kepuasan seksual bersama.
c. Untuk menunjukkan kasih sayang bersama.
3. Waktu Pelaksanaan Berhubungan
Seksual Pasca melahirkan Aktivitas seksual dapat dimulai kembali setelah
perdarahan berhenti atau ketika lokia sudah berhenti (Thamrin, 2010). Pendapat lain
mengatakan bila luka jahitan telah sembuh, atau setelah empat sampai enam minggu
setelah bersalin (Walsh, 2008).
Enam minggu adalah waktu dimana rahim telah kembali pada ukuran sebelum
hamil. Pengecilan rahim adalah perubahan fisik utama pasca persalinan yang terakhir.
Namun, seorang wanita sebenarnya tidak perlu menunggu hingga rahimnya kembali ke
ukuran semula, sebelum ia mulai melakukan senggama. Selama enam minggu sampai
enam bulan pertama, vagina tidak cukup dilumasi karena kadar steroid rendah untuk
menahan respon vasokontriksi saat senggama. Reaksi fisiologis anda terhadap
rangsangan seksual selama tiga bulan pertama setelah melahirkan ditandai dengan
penurunan intensitas dengan kecepatan respon. Vasokongesti pada labia mayora dan
minora tertahan sampai fase stabil (plateau). Dinding vagina tipis dan berwarna merah
muda, suatu keadaan yang menyerupai vaginitis senilis. Keadaan ini disebabkan oleh
jumlah hormon yang rendah pada periode involusi. Akhirnya, ukuran dan kekuatan
kontraksi orgasmik menurun (Bobak, 2004).
4. Faktor-faktor Yang mempengaruhi Berhubungan Seksual Pasca melahirkan
a. Perubahan Fisik
● Kelelahan dari ibu nifas dalam merawat bayi yang baru lahir dapat terjadi.
● Nyeri / sensitivitas dari episiotomi, bagian sensitif dan dari trauma lainnya dari
tenaga kerja bisa berlangsung 6 minggu atau lebih.
● Penurunan lubrikasi vagina dapat berlangsung hingga 6 bulan dan saat menyusui.
● Bocor ASI mungkin terjadi selama hubungan seksual.
● Reaksi Wanita terhadap rangsangan seksual mungkin tidak kuat atau cepat
sampai 3 bulan setelah melahirkan.
b. Perubahan psikologis Menurut Canadian (2003) faktor perubahan psikologis antara
lain:
● Takut nyeri selama hubungan seksual.
● Takut kehamilan.
● Kurangnya keinginan untuk seks selama beberapa minggu setelah melahirkan
sampai satu tahun.
● Stres dari perubahan dalam rutinitas sehari-hari dan responsiblities tambahan /
peran.
● Wanita mungkin tidak merasa menarik.
● Peningkatan keinginan untuk seks setelah melahirkan dapat terjadi pada
beberapa wanita.
Kecemasan dan kelelahan mengurus bayi baru lahir sering kali membuat
gairah bercinta pasangan suami istri (pasutri) surut, terutama pada wanita. Bila
trauma dikelola dengan baik, kehidupan seks bisa kembali berjalan dengan baik
seperti semula. Menurunnya gairah seksual disebabkan oleh trauma psikis maupun
fisik. Ditinjau dari segi fisik, wanita mengalami perubahan sangat drastis di dalam
tubuh. Mengandung dan melahirkan normal maupun caesar dapat menyebabkan
trauma pada wanita.Trauma fisik bisa terjadi saat melahirkan. Rasa sakit akibat
pengguntingan bagian dalam vagina (episiotomi) untuk melancarkan jalan lahir
untuk menghindari terjadinya perobekan yang berat. Tentu saja, tindakan ini
membutuhkan waktu untuk penyembuhan (Admin,2011).
Sedangkan trauma psikis (kejiwaan) terjadi pada wanita usai melahirkan yang
belum siap dan memahami segala urusan mengurus anak. Dari mulai merawat
anak, merawat payudara yang sudah siap mengeluarkan susu, cara pemberian susu
yang benar sampai urusan mengganti popok. Akibatnya, ibu merasa lelah, capek,
dan menyebabkan gairah menurun dan enggan untuk berhubungan seksual. Ibu
yang baru melahirkan kerap merasa cemas dengan keadaan tubuh tidak lagi
menarik. Istri takut tidak bisa memproduksi ASI yang cukup banyak untuk
kebutuhan bayi dan merasa cemas dengan kondisi kesehatan lainnya. Kecemasan
yang dialami terkadang tidak ada penyebabnya dan inilah yang menjadi
penghalang timbulnya hasrat untuk bercinta.
Ketidakseimbangan hormon juga kerap dituding sebagai penyebab
menurunnya hasrat seksual. Ketidakseimbangan hormon ini dapat mengakibatkan
perubahan emosi yang tidak seimbang pula. Para ibu muda lebih mudah merasa
kesal, malas, ingin marah. Ketidakseimbangan hormonal hanya mempengaruhi
secara tidak langsung. Setelah masa-masa nifas, hormonal kembali bekerja secara
normal.Tiap wanita berbeda-beda kesiapannya. Namun secara medis, setelah tidak
ada pendarahan lagi, bisa dipastikan ibu sudah siap berhubungan seks yakni setelah
masa nifas yang biasanya berlangsung selama 40 hari masa nifas. Masih dianggap
wajar bila keengganan untuk berhubungan badan dengan pasangan, terjadi antara
satu hingga tiga bulan setelah melahirkan (Bahiyatun, 2009).
Secara alami, sesudah melewati masa nifas kondisi organ reproduksi ibu sudah
kembali normal. Oleh sebab itu, posisi hubungan seks seperti apa pun sudah bisa
dilakukan. Kalaupun masih ada keluhan rasa sakit, lebih disebabkan proses
pengembalian fungsi tubuh belum berlangsung sempurna seperti fungsi
pembasahan vagina yang belum kembali seperti semula. Namun, bisa juga keluhan
ini disebabkan kram otot, infeksi, atau luka yang masih dalam proses
penyembuhan.Gangguan seperti ini disebut dyspareunia atau rasa nyeri waktu
sanggama. Pada kasus semacam ini ada beberapa kemungkinan yang bisa menjadi
penyebab, yaitu :
a. Terbentuknya jaringan baru pasca melahirkan karena proses penyembuhan luka
b. guntingan jalan lahir masih sensitif sehingga kondisi alat reproduksi belum
kembali seperti semula.
c. Adanya infeksi, bisa disebabkan karena bakteri, virus, atau jamur.
d. Adanya penyakit dalam kandungan (tumor, dll).
e. Konsumsi jamu.
Jamu-jamu ini mengandung zat-zat yang memiliki sifat astingents yang
berakibat menghambat produksi cairan pelumas pada vagina saat seorang wanita
terangsang seksual.
c. Faktor psikologis
Menurut Thamrin (2010), beberapa faktor psikologis lain diantaranya:
a. Beberapa wanita merasakan perannya sebagai orang tua sehingga timbul tekanan
dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan perannya.
b. Karena adanya luka bekas episiotomi.
c. Karena takut merusak keindahan tubuhnya.
d. Kurangnya informasi tentang seks setelah melahirkan.
5. Cara Mengatasi Masalah Seksual Pasca melahirkan
Jika pasangan ingin lebih cepat melakukan hubungan dari yang disarankan
yaitu enam minggu pasca melahirkan, maka dapat menyarankan pada pasangan
untuk memakai pelumas atau jelly. Bila saat berhubungan masih terasa sakit, ibu
sebaiknya mengatakan dengan jujur kepada pasangan. Jangan takut untuk berterus
terang kepada pasangan. Pastikan jika luka episiotomi sudah pulih atau kering. Ibu
serta pasangan juga dapat melakukan konsultasi kepada dokter kandungan atau
bidan jika dirasa perlu. Bila sudah siap untuk melakukan hubungan seks, bukan
berarti „seks pertama‟ ini bisa dilakukan seperti sebelum melahirkan. Lagi-lagi
Anda harus memberitahukan pasangan Anda bahwa semuanya harus berjalan
dengan sangat lembut dan perlahan. Penetrasi yang kasar dapat membahayakan
vagina (Bahiyatun,2009).
Aktivitas Hormon yang belum kembali normal setelah melahirkan
menyebabkan turunnya pelumas alami pada vagina. Oleh karena itu, sebaiknya
gunakan pelumas buatan yang bisa didapatkan di apotik terdekat sehingga
mengurangi gesekan pada vagina yang berlebihan. Jangan lupa untuk melakukan
foreplay sebelumnya. Pertimbangkan bercinta di pagi hari, sementara bayi Anda
tidur, atau saat bayi Anda menghabiskan beberapa jam dengan seorang teman
terpercaya atau orang yang dicintai, sehingga saat melakukan aktivitas seksual
tidak terganggu oleh bayi kita sendiri, karena akan berakibat hilangnya mood
seksual kita dan pasangan kita. Payudara mungkin merasa sedikit lembut pada
awalnya atau ada rasa yang berbeda ketika di sentuh oleh pasangan kita. Gairah
seksual dapat menyebabkan keluarnya air susu, hal ini dapat mempengaruhi
aktivitas seksual. sehingga disarankan sebelum melakukan aktivitas seksual, si ibu
sebaiknya menyusui dahulu bayinya untuk membantu mengurangi kebocoran air
susu pada payudara. Komunikasi dengan pasangan merupakan hal yang terpenting,
apabila ibu belum siap melakukan hubungan seksual dengan pasangan, sehingga
dapat mencegah adanya pertentangan atau konflik dengan pasangan kita. Sampai
ibu siap untuk berhubungan seksual, menjaga keintiman dengan cara lain.
Menghabiskan waktu bersama tanpa bayi, bahkan jika itu hanya beberapa menit di
pagi hari dan setelah bayi tidur di malam hari (Danuatmaja, 2003).

2. Manajemen Nifas
A. Dukungan Menyusui
Bentuk dukungan sosial yang dirasakan oleh ibu menyusui dari suami
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, terdapat berbagai bentuk
dukungan sosial yang dirasakan oleh ibu menyusui dari suami. Hal ini sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, dalam dukungan sosial yaitu dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi.
Dukungan emosional menurut House (Smet, 1994), mencakup ungkapan empati atau
perhatian, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.
menurut Werdayanti (2013) keuntungan memberi pujian yang tepat yaitu dapat
membangun percaya diri, mendorong untuk terus melakukan perilaku baik, dan ibu
akan lebih mudah menerima saran berikutnya. Dukungan instrumental menurut Selye
(Hardjana, 1994) merupakan bantuan langsung seperti benda, uang, dan tenaga.
Dukungan ini mempengaruhi (meningkatkan) hormon oksitosin. Menurut Roesli dan
Yohmi (2013) terdapat beberapa keadaan yang dianggap dapat meningkatkan produksi
hormon oksitosin, salah satunya adalah: Dukungan ayah dalam pengasuhan bayi,
seperti menggendong bayi ke ibu saat akan disusui atau disendawakan, mengganti
popok dan memandikan bayi, bermain, mendendangkan bayi dan membantu pekerjaan
rumah tangga. Hormon oksitosin berperan untuk merangsang keluarnya ASI.
Dukungan informasi menurut Selye (Hardjana, 1994) adalah pemberian dukungan
seperti penjelasan, nasehat, pengarahan, dan saran. Memberi saran bukan perintah
sehingga ibu dapat memutuskan untuk mencoba atau tidak. Hal ini akan membuat ibu
merasa memiliki hak untuk menguasai keadaan dan dipercaya sehingga muncul lagi
percaya dirinya. Apabila dukungan tersebut tidak diberikan kepada istri maka semua
rasa negatif akan berdampak pada reflek keluarnya ASI (Werdayanti, 2013). Dampak
dukungan sosial yang dirasakan oleh ibu menyusui dari suami Manfaat dukungan
sosial menurut Johnson dan Johnson (1991), terdapat beberapa salah satunya yaitu jika
dihubungkan dengan pekerjaan akan meningkatkan produktivitas, kemudian
meningkatkan kesejahteraan psikologi dan penyesuain diri dengan memberikan rasa
memiliki, memperjelas identitas diri, menambah harga diri serta mengurangi stres.
Manfaat yang disampaikan oleh Johnson dan Johnson (1991) sejalan dengan hasil
penelitian ini bahwa dampak yang dirasakan responden dari dukungan sosial yang
diberikan suami yaitu, ASI semakin lancar, merasakan kenyaman, beban yang
dihadapi berkurang dan lebih bersemangat untuk memberikan ASI pada anaknya.
Kondisi tersebut, sesuai dengan yang disampaikan Werdayanti (2013), bahwa untuk
memproduksi ASI ada 2 hormon salah satunya oksitosin. Reflek oksitosin sangat
dipengaruhi kondisi fisik, pikiran, dan perasaan ibu. Pikiran dan perasaan positif akan
menjaga kelancaran ASI. Disinilah peran seorang suami, yaitu memastikan istri tidak
kelelahan, menciptakan suasana positif yang EMPATHYintinya istri merasa nyaman,
aman, dan tidak stres. Melihat suami ikut merawat serta bermain dengan bayi, sudah
cukup bisa membuat istri senang
Dukungan Bidan dalam Pemberian ASI Peranan awal bidan dalam mendukung
pemberian ASI :
1) Yakinkan ibu bahwa bayi memperoleh makanan yang mencukupi dari payudara
ibunya.
2) Bantulah ibu sedemikian rupa sehingga ia mampu menyusui bayinya sendiri Cara
bidan memberikan dukungan dalam hal pemberian ASI:
a. Biarkan bayi bersama ibunya segera sesudah dilahirkan selama beberapa jam
pertama
Sangat penting dilakukan untuk membina hubungan/ikatan, disamping itu untuk
membuat bayi menerima ASI. Seharusnya dilakukan perawatan mata bayi pada
jam pertama sebelum atau sesudah bayi menyusui untuk pertama kalinya. Buatlah
bayi merasa nyaman dan hangat dengan membaringkannya dan menempelkan
kulit ibunya dan menyelimuti mereka. Jika, mungkin lakukan ini paling sedikit 30
menit karena saat itulah kebanyakan bayi siap menyusui.
b. Ajarkan cara merawat payudara yang sehat
pada ibu untuk mencegah masalah umum yang timbul Ibu harus menjaga agar
tangan dan putting susunya selalu bersih untuk mencegah kotoran dan kuman
masuk kedalam mulut bayi. Ini juga mencegah luka pada putting susu dan
infeksi pada payudara. Seorang ibu harus mencuci tangannya dengan sabun dan
air sebelum menyentuh putting susunya dan sebelum menyusui bayinya. Ia
juga harus membersihkan payudaranya dengan air bersih satu kali sehari, tidak
boleh mengoleskan krim, minyak, alcohol, sabun pada putting susunya.
c. Bantulah ibu pada waktu pertama kali memberi ASI
Posisi menyusui yang benar merupakan hal yang sangat penting. Tanda-tanda
bayi telah berada pada posisi yang baik pada payudara: - Semua tubuh
berdekatan dan terarah pada ibu - Mulut dan dagunya berdekatan dengan
payudara - Areola tidak akan dapat terlihat dengan jelas - Bayi terlihat tenang
dan senang. Kepala tidak menengadah - Ibu tidak merasakan adanya nyeri pada
puting.
d. Bayi harus ditempatkan dekat ibunya (rooming in)
Dengan demikian, ibu dapat dengan mudah menyusui bayinya bila lapar. Ibu
harus belajar mengenali tanda-tanda yang menunjukan bahwa bayinya lapar.
Bila ibu terpisah tempatnya dari bayi maka ia akan lebih lama belajar
mengenali tanda-tanda tersebut.
e. Memberikan ASI pada bayi sesering mungkin
Biasanya, bayi yang baru lahir ingin minum ASI setiap 2-3 jam atau 10-12 kali
dalam 24 jam. Bila bayi tidak minta diberikan ASI, katakan pada ibu untuk
memberikan ASI-nya pada bayi setidaknya setiap 4 jam. Selama 2 hari pertama
sesudah lahir, beberapa bayi tidur panjang selama 6-8 jam. Untuk memberikan
ASI pada bayi, yang paling baik adalah membangunkkanya selama siklus
tidurnya. Pada hari ke 3 setelah lahir, umumnya bayi menyusu setiap 2-3 jam.
Gambar 2.3. Posisi perlekatan mulut bayi 18 Buku Ajar : Asuhan Kebidanan
Masa Nifas
f. Hanya berikan kolostrum dan ASI saja
Makanan lain (termasuk air) dapat membuat bayi sakit dan menurunkan
persedian ASI ibunya karena produksi ASI. Ibu tergantung pada seberapa
banyak ASI dihisap oleh bayinya. Bila minum an lain atau air diberikan, bayi
tidak akan merasa lapar sehingga ia tidak akan menyusu.
g. Hindari susu botol dan dot “ empeng”
Susu botol dan kempengan membuat bayi bingung dan dapat membuatnya
menolak putting ibunya atau tidak menghisap dengan baik. Mekanisme
pengisapan botol berbeda dari mekanisme menghisap puting susu pada
payudara ibu. Ini akan membingungkan bayi. Bayi yang diberikan susu botol,
ia akan lebih susah belajar mengisap ASI ibunya

Dukungan Keluarga
a. Pengertian
Pengertian keluarga menurut Depkes RI (1988) dalam Friedman (2010) adalah unit
terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang
berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling
ketergantungan. Menurut Friedman (2010)
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena ikatan tertentu
untuk saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan emosional, serta
mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga.
Dukungan keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif oleh ibu kepada bayinya
termasuk indikator sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat. Dukungan keluarga
merupakan sikap yang ditunjukkan oleh keluarga dalam bentuk sikap. Sikap
merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus
atau objek. Sikap belum menjadi suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2012).
Dukungan keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan,
sifat dan jenis dukungan berbeda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan.
Dukungan keluarga dapat berupa dukungan sosial internal, seperti dukungan dari
suami, istri atau dukungan dari saudara kandung dan dapat juga berupa dukungan
keluarga eksternal bagi keluarga inti (Friedman, 2010).
Dukungan keluarga merupakan faktor eksternal yang paling besar pengaruhnya
terhadap keberhasilan ASI eksklusif (Roesli, 2008). Dukungan keluarga dapat
diberikan dalam beberapa bentuk, yaitu dukungan informasional, dukungan
penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan emosional (Friedman, 2010).
b. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Pemberian ASI Eksklusif
Ibu menyusui membutuhkan dukungan dan pertolongan, baik ketika memulai
maupun melanjutkan menyusui. Mereka membutuhkan bantuan sejak kehamilan dan
setelah melahirkan. Mereka membutuhkan dukungan pemberian ASI hingga dua
tahun perawatan kesehatan maupun dukungan dari keluarga dan lingkungannya
(Proverawati dan Rahmawati, 2010). Selain keluarga, bidan, dan perawatan kesehatan
lain adalah sumber pemberi dukungan pemberian ASI eksklusif. Ibu sering
membutuhkan bantuan dalam mencari sumber-sumber tentang informasi menyusui.
Bidan atau pelayanan kesehatan lain perlu memberi informasi ASI eksklusif selain
pada ibu juga pada keluarga ibu menyusui karena hal tersebut akan membantu dalam
kesuksesan pemberian ASI eksklusif (Varney, 2007). Tingkat kesadaran masyarakat
untuk memberikan ASI kepada bayinya masih sangat memprihatinkan, bayi masih
banyak yang diberikan susu formula, makanan padat, atau campuran antara ASI dan
susu formula (Malau, 2010). Orang tua biasanya segera memberikan makanan
tambahan seperti bubur, madu, larutan gula, susu, dan pisang kepada bayi dengan
alasan bayi kelaparan bila hanya diberikan ASI. Suami sebagai kepala keluarga
biasanya menuruti kebiasaan tersebut dengan berbagai alasan, antara lain kurangnya
pemahaman tentang ASI eksklusif atau patuh kepada orang tua (Manaf, 2010).
Upaya untuk pemberian ASI dapat didukung oleh seluruh keluarga, seperti suami,
kakak, dan mertua. Keluarga memiliki fungsi dukungan yaitu dukungan
informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan dukungan emosional
(Setiadi, 2008).
Dukungan keluarga adalah dukungan untuk memotivasi ibu memberikan ASI saja
kepada bayinya sampai usia enam bulan. Tingkat pendidikan ibu yang rendah
meningkatkan risiko ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif dan ibu yang tidak
mendapatkan dukungan keluarga akan meningkatkan risiko untuk tidak memberikan
ASI eksklusif (Manaf, 2010). Penelitian Bonia et al (2013), dengan jenis penelitian
kualitatif menyatakan bahwa pemberian ASI dikaitkan dengan isu-isu dukungan yang
diberikan kepada ibu, promosi susu formula, dan malu untuk menyusui di depan
umum. Hasil penelitian oleh Monica (2010) di Brazil memperlihatkan bahwa
dukungan keluarga sangat menentukan perilaku ibu dalam memberikan ASI eksklusif
kepada bayinya. Penelitian yang sejalan dilakukan oleh Britton (2007) di Arizona
menemukan bahwa dukungan keluarga yang berasal dari suami, anggota keluarga
lainnya (ibu) meningkatkan durasi menyusui sampai enam bulan pertama postpartum
dan memegang peranan penting dalam keberhasilan ASI eksklusif. Pentingnya peran
keluarga juga dibuktikan oleh Dompas (2012) melalui hasil penelitiannya adalah
peran keluarga baik memiliki prevalensi pemberian ASI eksklusif lebih besar
dibanding dengan peran keluarga tidak baik. Analisis regresi logistik menunjukkan
bahwa ada pengaruh dukungan keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif. Penelitian
Wibowo (2015), menganalisis secara mendalam dengan wawancara dan diskusi
kelompok fokus. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dukungan informasi
sangat penting bagi ibu hamil dan menyusui dalam memberikan ASI eksklusif.
Dukungan tersebut diperoleh dari beberapa pihak, yaitu dari orang-orang yang
berpengaruh (signifcant others), tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan dan UKBM,
serta kemudahan dan kelengkapan akses informasi ASI eksklusif. Penelitian
Rokhanawati dan Ismail (2009), menunjukkan proporsi dukungan sosial suami rendah
lebih besar pada kelompok perilaku pemberian ASI tidak eksklusif. Penelitian oleh
Rilyani dan Suharman (2012) turut menguatkan faktor yang paling dominan
hubungannya terhadap pemberian ASI eksklusif yaitu dukungan keluarga. Dukungan
keluarga menyumbang

B. Konseling Tentang Perawatan Diri


1. Nutrisi ibu menyusui
Pada masa nifas diet perlu mendapatkan perhatian khusus karena dengan nutrisi yang
baik dapat mempercepat penyembuhan ibu dan sangat mempengaruhi susunan air
susu. Diet yang di berikan harus bermutu bergizi tinggi,cukup kalori,tinggi
protein,dan banyak mengandung cairan.
2. Kebersihan pada ibu dan bayi
Pada masa nifas,ibu sangat rentan dengan infeksi. oleh Karena itu, kebersihan diri
sangat penting untuk mencegah infeksi. kebersihan tubuh ,pakaian ,tempat tidur , dan
lingkungan sangat penting untuk di jaga. Kebersihan kulit bayi perlu di jaga.walaupun
mandin dengan membasahi seluruh tubuh tidak harus di lakukan setiap hari tetapi
bagian bagian seperti muka,bokong dan tali pusat perlu di bersihkan secara teratur
sebaiknya mencuci tangan terlebih dahulu sebelum memegang bayi. Untuk menjaga
bayi tetap bersih hangat dan kering setelah BAK popok bayi harus segera di ganti atau
ganti pempers minimal 4–5 kali perhari.
3. Istirahat dan tidur
Anjurkan ibu istirahat yang cukup untuk mencegah kelelahan yang berlebihan saran
kan ibu untuk melakukan kembali kegiatan rumah tangga secara bertahap,tidur siang
atau segera istirahat ketika bayi tertidur.
4. Latihan atau senam nifas
Senam nifas bertujuan untuk memulihkan dan mengencangkan keadaan didnding oerut
yang sudah tidak indah lagi.untuk itu beri penjelasan untuk ibu tentang beberapa hal
berikut :
a. diskusikan pentingnya mengembalikan fungsi otot otot perut dan panggul kembali
normal.ibu akan merasa lebih kuat dan otot perut nya menjadi kuat sehingga
mengurangi rasa sakit pada punggung.
b. Jelaskan bahwa latihan tertentu selama beberapa menit setiap hari sangat membantu
yaitu dengan : tidur terlentang dan lengan di samping,tarik otot perut sambil menarik
nafas,tahan nafas dalam,angkat dagu ke dada, tahan mulai hitungan 1 –5 rilex dan
ulangi sebyak 10 kali.
c. Berdiri dengan tungkai di rapatkan kencangan otot bokong dan pinggul tahan
sampai 5 hitungan relaksasi otot dan ulangi latihan sebanyak 5 kali.
5. Pemberian asi
Untuk mendapatkan asi yang banyak,sebaiknya ibu sudah mengkonsumsi sayuran
hijau,kacang kacangan dan minum sedikitnya 8 gelas sehari,sejak si bayi dalam
kandungan.karena ini merupakan awal untuk mendapatkan asi yang banyak , jangan
lupa perawatan menggunakan baby oil dan massage dan sekitar payudara selama
hamiljuga dapat membantu puting yang mendelep. Ada sebagian ibu menyusui yang
takut untuk memompa asinya,karena asi akan terbuang dan berkurang,padahal teori
yang betul adalah semakin sering asi di pompa akan semakin banyak asi berproduksi
untk memompa asi,sebaliknya langsung massage payudara dengan menggunakan
tangan kiri daripada memompa dengan menggunakan alat , karena dengan
menggunakan tangan asi akan semakin terangsang untuk dapat berproduksi . hasil
yang di dapatkan pun akan lebih banyak dengan menggunakan tangan di bandingkan
dengan menggunakan alat pompanya .
6. Perawatan Payudara
a. Menjaga payudara agar tetap kering.
b. Menggunakan bra atau BH yang menyongkong payudara
c. Bila lecet sangat berat,dapat di istirahatkan selama 24 jam .asi di keluarkan dan di
minumkan dengan menggunakan sendok.
d. Untuk menghilangkan nyeri dapat minum paracetamol 1 tablet setiap 4 – 6 jam.
7. Hubungan seksual
Secara fisik,aman untuk memulai hubungan suami istri begitu darah berhenti
memasukan 1 atau 2 jari ke dalam vagina tanpa rasa nyeri.begitu darah berhenti dan
ibu tidak merasakan ketidak nyamanan,inilah saat aman untuk memulai melakukan
hubungan suami istri kapan saja ibu siap banyak budaya tradisi menunda hubungan
suami istri sampai waktu tertentu misalnya setelah 40 hari atau 6 minggu
8. Keluarga Berencana
Idealnya pasangan harus menunggu sekurang kurangnya 2 tahun sebelum ibu hamil
kembali. Setiap pasangan menentukan sendiri kapan dan bagaimana mereka ingin
merencanakan tentang keluarganya.
9. Tanda tanda bahaya Yang perlu di perhatikan ialah :
a. Demam tinggi melebihi 38°
b. Perdarahan vagina luar biasa atau tiba tiba tambah banyak ( lebih dari perdarahan
haid atau bila memerlukan penggantian pembalut 2 kali dalamsetengah jam )
c. Nyeri perut hebat atau rasa sakit di bagian bawah abdomen atau punggung serta ulu
hati.
d. Sakit kepala parah atau terus menerus pandangan rabun atau masalah penglihatan
e. Pembengkakan wajah jari atau tangan
f. Rasa sakit, merah atau bengkakdibagian betis atau kaki.
g. Payudara membengkak,kemerahan,lunak di sertai demam
h. Kehilangan hawa nafsu dalam waktu lama
i. Merasa sangat sedih tidak mampu mengasuh bayinya sendiri
j. Depresi pada masa nifas

3. Duka cita dan kehilangan


Duka cita dan kehilangan merupakan peristiwa yang sangat mendasar dan
merupakan hal yang mungkin terjadi dalam kehidupan, manusia dapat mengalami
salah satu bentuk kehilangan. Duka cita erat hubungannya dengan kehilangan akibat
kematian. Di dalam duka cita ada perasaan kehilangan. Makna harfiah dari duka cita
adalah perampasan atau pengambilan secara paksa tanpa persetujuan, hal ini terkait
dengan perasaan kehilangan yang sangat berharga. Contoh bentuk kehilangan ini
adalah kematian bayi lahir, abortus, kematian janin dalam kandungan, kematian
perinatal/neonatal dan kematian anak. Menurut penelitian, pada saat kehamilan terjadi
ikatan hubungan antara ibu dan janin. Hubungan tersebut diperkuat adanya gerakan
janin yang dirasakan oleh ibu, pengalaman kehamilannya serta pemeriksaan
kehamilan yang dilakukan oleh ibu. Situasi ini menimbulkan ikatan yang kuat antara
ibu hamil dan janin. Maka kehilangan janin dapat menimbulkan duka cita dan
kehilangan yang mendalam bagi ibu. Kehilangan ini berarti juga kehilangan hubungan
istimewa ibu dengan janinnya atau bayinya, atau kehilangan harapan atas kehadiran
seorang bayi yang sempurna. Melalui duka cita, kita dapat menyesuaikan diri terhadap
kehilangan yang berat atau ringan yang kita hadapi sepanjang kehidupan. Duka cita
yang sehat berarti bahwa kita dapat melangkah lebih maju, dari perasaan awal kita
(move on), yaitu putus asa akibat ketidakberdayaan, meskipun tidak harus segera. Kita
harus mencapai derajat penyelesaian yang memungkinkan menjalani fungsi normal di
sebagian besar kehidupan, kita bahkan menemukan bahwa dalam proses tersebut, kita
telah tumbuh dengan belajar sesuatu mengenai diri sendiri dan sumber yang tersedia
bagi kita. Meskipun duka cita dipandang sebagai kondisi pasif yang menyedihkan,
lebih baik jika duka cita dipandang sebagai masa saat orang yang berduka sedang
berjuang mengatasi kondisi emosi yang dihadapinya , untuk menggambarkan upaya
aktif ini, dipakai istilah upaya mengatasi duka cita (Fraser & Cooper, 2009).
Tahap duka cita yang harus dijalani ibu dalam beragam bentuk yang berbeda.
Tetapi menurut Kubbler Rose bahwa tahapan tersebut tidak selalu terjadi dalam
urutan sekuensial yang konsisten, tetapi terdapat variasi individu dan seringkali
individu dapat maju atau mundur di antara tahap-tahap tersebut, sebelum akhirnya
mencapai tahap penyelesaian.
Berikut ini merupakan tahapan duka cita menurut Kubbler Rose (1970).
a. Syok dan menyangkal, merupakan masa menolak, tidak percaya, ambivalensi antara
harapan diri dengan keadaan riil yang dihadapi.
b. Peningkatan kesadaran, upaya untuk meningkatkan kesadaran dapat berupa;
perubahan emosi (kesedihan yang mendalam, rasa bersalah, dan marah), masa
pencarian serta tawar menawar (bargaining).
c. Realisasi, pada masa realisasi adalah merupakan upaya penerimaan (acceptance),
oleh seorang ibu mengenai kenyataan yang dialami oleh seorang ibu. Apabila ibu
mampu menerima keadaan yang dihadapi berarti ibu telah mencapai keadaan
adaptasi. Apabila ibu belum berhasil menerima keadaan dirinya, apa yang sedang
dihadapi serta konsekuensi tanggung jawab apa yang harus dipikul oleh seorang
ibu postpartum, maka ibu belum mampu beradaptasi dengan keadaan riil.
Kegagalan adaptasi yang berkepanjangan ini dapat menyebabkan keadaan depresi,
apatis, maupun psikosomatis atau perubahan-perubahan tubuh.
d. Resolusi, masa ini merupakan masa adaptasi yang sempurna terhadap keadaan yang
dialami sehingga ibu postpartum mengalami perasaan berupa ketenangan serta
reaksi kemenangan
Respon awal mempelajari kehilangan meliputi mekanisme bertahan, yang
berfungsi memberikan perlindungan terhadap dampak keseluruhan kenyataan. Reaksi
ini mencakup syok atau menyangkal, yang membantu melindungi individu yang
berduka dari kenyataan yang tidak pernah terduga sama sekali. Respon awal ini
memungkinkan ibu mempunyai semacam ‘ruang bernapas” tempat ibu dapat
mengatur sumber emosinya, yang akan membantu mengatasi kenyataan yang terjadi.
Menyangkal dengan segera dapat menjadi tidak efektif, dan kesadaran terhadap
kenyataan terhadap kehilangan secara bertahap mulai muncul. Kesadaran tersebut
menimbulkan reaksi emosi yang kuat, seiring dengan manifestasi kliniknya. Perasaan
sedih yang mendalam dapat muncul, tetapi emosi untuk tidak menerima kenyataan
kehilangan. Emosi yang semacam ini mencakup rasa bersalah dan ketidakpuasan,
serta pencarian kompulsif dan perasaan marah yang masih sangat mencemaskan.
Realisasi fluktuatif naik turun terjadi, karena ibu yang berduka mencoba berbagai
strategi koping guna ‘tawar menawar’ (bargaining position) dengan dirinya untuk
memperlambat menerima kenyataan (Fraser & Cooper, 2009). Ketika strategi yang
digunakan untuk mengatasi duka cita dan kehilangan, maka dapat muncul suatu
perasaan putus asa akibat realisasi penuh terhadap kehilangan, yang menyebabkan
apatis dan konsentrasi tidak baik, serta beberapa perubahan tubuh (psikosomatis).
Pada tahap duka cita ini, ibu yang berduka akan menunjukkan kecemasan dan gejala
fisik cemas. Setelah kehilangan akhirnya dapat diterima, maka duka cita dan
kehilangan diterima sebagai bagian dari kehidupan manusia. Seperti yang dipaparkan
sebelumnya, bahwa proses duka cita dan kehilangan ini tidak mudah dilalui, mungkin
kemajuannya lambat, serta dapat berfluktuasi naik turun. Kemajuan yang tidak pasti
dalam masa duka cita dan kehilangan, inilah yang disebut ‘masa kebimbangan dan
keraguan’ (Stroebe 1987 dalam Fraser & Cooper 2009). Meskipun duka cita dan
kehilangan tidak akan dapat dilupakan sepenuhnya, namun akhirnya ibu dapat
memadukan duka cita dan kehilangan sebagai bagian dari pengalaman hidupnya.
Tahap akhir resolusi ini dikenali sebagai kemampuan ibu yang sedang berduka
untuk memikirkan kejadian dengan lebih relistis, dan dengan tenang menghadapi
kehilangan dengan sumberdaya yang dimiliki. Maka pada tahap ini ibu sudah mampu
beradaptasi terhadap duka cita dan kehilangan yang dihadapi. Adaptasi terhadap duka
cita dan kehilangan sangat penting karena berperan dalam pemulihan sebagai bagian
dari tingkat keseimbangan atau homeostasis pada kehidupan ibu. Adaptasi terhadap
duka cita penting karena membantu ibu pulih dari efek luka yang disebabkan oleh
kehilangan, baik berat maupun ringan. Ibu yang mengalami duka cita dan kehilangan
perlu mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitarnya dan orang yang bermakna
bagi ibu (significant others) agar mampu beradaptasi dengan baik. Latar belakang
suku, budaya dan pengalaman ibu akan mempengaruhi manifestasi, variasi serta
perbedaan sikap dalam beradaptasi terhadap duka cita dan kehilangan.
Menurut Medforth, Battersby, Evans, Marsh, Walker (2011) bahwa tujuan asuhan
duka cita dan kehilangan yang dilakukan bidan adalah:
a. Mencapai komunikasi yang optimal dengan keluarga jika bayi mereka meninggal
sebelum, selama, atau sesaat setelah dilahirkan.
b. Memastikan ibu dan pasangan sepenuhnya menyadari, memahami, dan meyakinkan
pilihan yang terbuka bagi mereka, untuk membuka diri dan penerimaan terhadap
duka cita dan kehilangan yang dihadapi oleh ibu dan pasangannya.
c. Membantu ibu dan pasangan menghadapi realita situasi saat mereka berduka cita
atas kehilangan bayi mereka.
d. Bidan bertindak sebagai pendukung keluarga, empati terhadap sensitivitas keluarga,
sambil mempertahankan ruang lingkup profesional.
e. Memastikan bahwa tradisi budaya dan agama keluarga dihargai.
f. Memberikan konseling yang tepat dan dukungan terhadap tindak lanjut asuhan

4. PRINSIP DALAM PRAKTIK ASUHAN KEBIDANAN NIFAS DAN MENYUSUI

Prinsip dalam praktik asuhan kebidanan nifas dan menyusui yang mencakup bahasan,
kebijakan-kebijakan dan asuhan terkini dalam pelayanan kebidanan pada masa nifas.
tentang kerja tim dan kolaborasi dalam asuhan, komunikasi efektif, model asuhan
kebidanan, lingkungan yang aman, promosi kesehatan dan akses ke asuhan, lingkup
asuhan nifas atau postnatal

A. KERJA TIM DAN KOLABORASI DALAM ASUHAN


Meskipun bidan adalah profesi yang mandiri dan profesional dalam asuhan kebidanan
nifas terutama adalah kasus nifas fisiologis maupun risiko rendah, namun bidan perlu
tetap berkewajiban kerja dalam tim maupun kolaburasi dalam memberikan asuhan
kebidanan, untuk memberikan asuhan yang komprehensif dan aman. Bidan bekerja
sebagai bagian dari tim profesional, yang masing-masing membawa keterampilan,
otonomi atau kewenangan serta perspektif tertentu pada asuhan ibu dan keluarga.
Adapun yang dimaksud kerja tim dalam pelayanan kebidanan adalah kerja dengan
sesama profesi bidan, dengan berbagai pengalaman dan ketrampilan masing-masing.
Sedangkan kolaborasi dalam asuhan kebidanan terutama adalah kerjasama dengan
profesi lain dalam sebuah tim profesional untuk memberikan asuhan kebidanan yang
komprehensif. Kerja tim kolaborasi dalam menjalankan praktik profesional ini dikenal
dengan istilah interprofessional collaburation (IPC). Sesuai Kode etik bidan Indonesia
dan standar asuhan kebidanan, bahwa bidan dalam memberikan asuhan kebidanan
mempunyai kewenangan asuhan mandiri terutama pada kasus fisiologis, serta melakukan
asuhan kolaburasi dan rujukan pada kasus-kasus berisiko, patologi dan komplikasi. Maka
diperlukan kerjasama dalam tim profesional dan kolaborasi dalam memberikan asuhan
kebidanan. Kerjasama kolaborasi dengan profesi lain yang terkait dalam ruang lingkup
asuhan kebidanan nifas, misalnya dokter spesialis kebidanan, perawat maternitas,
petugas laboratorium, ahli gizi, petugas fisiotherapi, dan psikolog klinis. Dalam
kerjasama dalam tim dan kolaborasi ini Anda perlu memperhatikan beberapa komponen
di bawah ini.
1. Bidan harus bekerja secara kooperatif dalam tim dan menghargai keterampilan,
keahlian dan kontribusi kolega atau tim.
2. Bidan harus bersedia berbagi ketrampilan dan pengalaman yang bermanfaat bagi
kolega bidan dalam tim.
3. Bidan harus berkonsultasi dengan tim kolaborasi, maupun menerima masukan dan
saran dari kolega/tim, jika saran tersebut tepat dan baik.
4. Bidan harus memperlakukan tim dan kolega secara adil dan tanpa diskriminasi.
Standar kewenangan bidan juga mewajibkan bidan untuk merujuk setiap ibu atau bayi
yang mengalami risiko, penyulit maupun komplikasi ke fasilitas pelayanan kesehatan
yang lebih mampu menangani, sehingga ditangani oleh tim profesional yang tepat
(Baston & Hall, 2012).

B. KOMUNIKASI EFEKTIF
Memberikan asuhan berpusat pada ibu nifas (women centered) selama periode
postnatal mewajibkan bidan untuk membina hubungan dan berkomunikasi secara efektif
dengan mereka. Bidan harus menyadari pentingnya petunjuk yang diberikan kepada ibu
postnatal selama pemberian asuhan. Bidan harus meyakinkan ibu postnatal, bahwa ibu
adalah fokus perhatian bidan dalam memberikan asuhan. Bidan harus selalu memberikan
penjelasan kepada ibu postnatal tentang asuhan yang akan diberikan dan tahapan asuhan
apa yang akan dilalui oleh ibu. Beri penjelasan mengapa asuhan kebidanan penting
dilakukan. Menurut Baston & Hall (2012), pertanyaan yang penting diajukan kepada
bidan selama asuhan postnatal agar memenuhi kaidah komunikasi efektif adalah
meliputi:
1. Apakah tersedia kesempatan bagi ibu postnatal untuk mengungkapkan harapan dan
ketakutannya selama periode postnatal?
2. Bagaimana bidan dapat memfasilitasi diskusi yang penting tentang pilihan ibu untuk
asuhan kebidanan postnatal?
3. Apa informasi yang perlu diberikan agar ibu postnatal dapat memutuskan apakah
keputusan asuhan yang diberikan merupakan hal yang paling tepat?
4. Bagaimana pasangan dapat terlibat secara efektif dalam mendukung ibu selama
periode postnatal?
5. Apakah ibu memberi persetujuan kepada bidan untuk aspek asuhan yang akan
dilakukan?
6. Apakah ibu memahami apa yang dilakukan selama asuhan kebidanan postnatal
diberikan?
7. Bagaimana informasi tentang aspek asuhan ini dapat diberikan?
8. Informasi apakah yang harus diberikan kepada ibu selama asuhan postnatal?
9. Apa yang harus diobservasi pada perilaku ibu selama asuhan?
10. Apa yang harus dikomunikasikan pada ibu setelah asuhan kebidanan diberikan?
11. Bagaimana dan dimana seharusnya pendokumentasian asuhan dan efektivitasnya
dibuat?
Bidan yang memberikan asuhan kebidanan postnatal perlu memastikan bahwa
lingkungan pelayanan kebidanan tempat ibu nifas atau postnatal diasuh, mendukung
praktik kerja yang aman dan efektif serta melindungi ibu dan keluarga dari bahaya
maupun risiko. Menurut Standar Profesi Bidan (2007) serta Permenkes RI No. 28 tahun
2017 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, salah satu kewenangan bidan
adalah melaksanakan pelayanan kesehatan pada masa nifas dan menyusui.

C. PENERAPAN MODEL ASUHAN KEBIDANAN


Salah satu rekomendasi kebijakan utama adalah ibu harus memiliki pilihan tentang
dimana mereka dapat memperoleh pilihan tentang asuhan postnatal. Untuk memfasilitasi
hal ini, bidan harus bekerja di berbagai tatanan pelayanan kebidanan dalam sistem
pelayanan kebidanan. Misalnya bidan bekerja pada tatanan pelayanan primer seperti;
Puskesmas, Klinik Pratama, Rumah Bersalin dan Praktik Mandiri Bidan; maupun
berkerja pada tatanan pelayanan sekunder dan tersier, misalnya Rumah sakit, RSIA,
Puskesmas PONED, dan rumah sakit pusat rujukan tersier. Bidan juga dapat berkerja
secara mandiri dalam memberikan asuhan kebidanan holistik yang berpusat pada ibu,
atau dalam pusat layanan tersier besar yang memberi asuhan bagi ibu yang memiliki
kebutuhan kesehatan postnatal khusus, misalnya postnatal operatif, atau ibu yang
mengalami penyulit dan komplikasi pada masa postnatal.Model asuhan kebidanan yang
tepat dapat berpengaruh dalam menentukan asuhan yang mungkin diterima ibu, siapa
yang memberi asuhan, dan kapan diberikan asuhan kebidanan. Bidan perlu
mempertimbangkan cara terbaik untuk memberi asuhan sehingga dapat memengaruhi
perkembangan yang akan datang bagi kepentingan terbaik ibu dan keluarga. Pertanyaan
yang perlu diajukan guna menjamin bahwa ibu merasakan dampak dari cara atau model
asuhan yang digunakan untuk memberi asuhan (Henderson & Jones, 2005) meliputi:
1. Bagaimana metode asuhan yang digunakan untuk memberikan asuhan?
2. Bagaimana pengaturan sistem pelayanan kebidanan?
3. Siapakah tim profesional kesehatan yang dapat dilibatkan dalam memberikan asuhan
kebidanan postnatal?
4. Bagaimana prosedur atau model asuhan kebidanan postnatal yang diberikan?
5. Bagaimana dampak model asuhan ini pada pemberi asuhan kebidanan (provider
bidan)?
6. Bagaimana dampak model asuhan kebidanan ini pada ibu dan keluarga?
7. Apakah ini merupakan cara yang terbaik untuk memberikan asuhan kebidanan
berdasarkan sudut pandang profesional?

D. LINGKUNGAN YANG AMAN


Bidan yang memberi asuhan postnatal perlu memastikan bahwa lingkungan tempat
mereka bekerja mendukung praktik kerja yang aman dan efektif serta melindungi ibu dan
keluarga dari bahaya. Sesuai Kode Etik Bidan Indonesia menyatakan bahwa “Bidan
harus memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk melakukan praktik yang aman dan
efektif saat memberikan pelayanan kebidanan”. Bidan harus memastikan bahwa asuhan
yang diberikan tidak membahayakan keselamatan ibu dan keluarga (Flint, 1994). Oleh
sebab itu, bidan harus menciptakan dan mempertahankan lingkungan kerja yang aman
sepanjang waktu, baik di tempat praktik mandiri bidan, Puskesmas, atau dalam layanan
rumah sakit. Pertanyaan yang perlu diajukan guna menjamin bahwa asuhan ibu postnatal
diberikan dalam lingkungan yang aman meliputi:
1. Apakah ibu sudah diyakinkan bahwa privasinya akan dijaga?
2. Apakah ibu memahami implikasi dari memberi persetujuan asuhan kebidanan untuk
melakukan prosedur ini?
3. Apakah terdapat fasilitas guna menjamin bahwa privasi dan harga diri ibu terjaga ?
4. Apakah terdapat tempat untuk mencuci tangan?
5. Apakah terdapat tempat yang sesuai untuk membuang limbah medis guna mencegah
infeksi?
6. Apakah peralatan medis yang digunakan dalam asuhan postnatal dirawat secara tepat
dan bebas kontaminasi?
7. Apakah ruangan adekuat untuk memfasilitasi kemudahan bergerak di sekitar ibu
tanpa menginvasi area personal ibu?
8. Apa resiko dari prosedur atau asuhan ini dan bagaimana risiko tersebut diatasi? 9.
Apakah terdapat risiko bagi individu yang melakukan prosedur atau asuhan ini? 10.
Apakah lingkungan pelayanan kebidanan ini aman terhadap infeksi silang bagi klien
lain yang berada dalam ruang pelayanan kebidanan?

E. PROMOSI KESEHATAN DAN AKSES KE ASUHAN


Memberi asuhan postnatal bagi ibu dan keluarga, memberikan kesempatan bagi bidan
untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Bidan harus mendorong
hubungan positif dari hubungan dengan ibu postnatal guna membantu ibu mencapai
adaptasi positif menjadi orang tua dan meningkatkan pilihan gaya hidup dan asuhan yang
akan menguntungkan ibu, bayi dan keluarga di masa mendatang (Varney, 2007).
Pertanyaan yang perlu diajukan guna menjamin bahwa asuhan kebidanan yang diberikan
pada ibu adalah mendorong peningkatan kesehatan atau memenuhi kaidah promosi
kesehatan meliputi:
1. Apakah prosedur dan asuhan kebidanan yang diberikan pada ibu terbukti bermanfaat
dan akan membantu ibu atau bayi serta meminimalkan risiko pada ibu dan bayi?
2. Apakah tersedia kesempatan untuk selalu memberikan edukasi bagi ibu dan keluarga
tantang perilaku sehat?
3. Apakah sumber yang dapat diakses ibu dan keluarga untuk membantu mereka
mengambil pilihan gaya hidup yang sehat?
4. Apakah waktu yang dialokasikan untuk aspek asuhan ini cukup guna menciptakan
kesempatan terbaik untuk mempromosikan kehidupan yang sehat?
5. Siapa saja yang harus dilibatkan bidan dalam asuhan kebidanan untuk memastikan
bahwa ibu dan keluarga memperoleh asuhan yang terbaik?
F. LINGKUP ASUHAN NIFAS ATAU POSTNATAL
Masa nifas (puerperium) adalah masa setelah plasenta lahir hingga alat kandungan
kembali seperti keadaan sebelum hamil dalam waktu kurang lebih 6 minggu. Bidan harus
mengetahui tujuan pemberian asuhan kebidanan pada masa nifas. Adapun esensial
asuhan masa nifas adalah sebagai berikut:
1. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya baik fisik maupun pisikologis dimana dalam
asuhan pada masa ini peranan keluarga sangat penting, dengan pemberian nutrisi,
dukungan pisikologi maka kesehatan ibu dan bayi selalu terjaga.
2. Melaksanakan skrining yang komprehensif (menyeluruh) dimana bidan harus
melakukan manajemen asuhan kebidanan pada ibu masa nifas secara sistematis yaitu
mulai pengkajian data subjektif, objektif maupun penunjang.
3. Setelah bidan melaksanakan pengkajian data maka bidan harus menganalisa cara
tersebut sehingga tujuan asuhan masa nifas dapat mendeteksi masalah yang terjadi
pada ibu dan bayi.
4. Merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu dan bayinya, yakni setelah masalah
ditemukan maka bidan dapat langsung masuk kelangkah berikutnya sehingga tujuan
diatas dapat dilaksanakan.
5. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi,
keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawatan
bayi sehat memberi pelayanan keluarga berencana.

G. KEBIJAKAN-KEBIJAKAN DAN ASUHAN TERKINI DALAM PELAYANAN


KEBIDANAN PADA MASA NIFAS
Kebijakan program nasional pada masa nifas dan menyusui sebagai berikut:
1. Menilai kondisi kesehatan ibu dan bayi.
2. Melakukanpencegahan terhadapkemungkinan-kemungkinan adanya gangguan
kesehatan ibu nifas dan bayinya.
3. Mendeteksi adanya komplikasi atau masalah yang terjadi pada masa nifas.
4. Menangani komplikasi atau masalah yang timbul dan mengganggu kesehatan ibu
nifas maupun bayinya.

5. PENERAPAN ILMU DAN RISET TENTANG BREASTFEEDING


Direct breast feeding alias menyusui langsung dari payudara ibu ke bayi sangat
disarankan, terutama pada bulan-bulan pertama setelah bayi lahir. Meski begitu,
sebenarnya menyusui langsung atau menyusui dengan botol adalah pilihan bagi para ibu.
Namun perlu diingat, hal ini nyatanya bisa berpengaruh pada pertumbuhan dan pola asuh
anak dalam jangka panjang. Lebih lanjut, ternyata menyusui langsung memiliki manfaat
yang luar biasa bagi ibu maupun bayi.

Menyusui langsung dari puting susu terbukti bisa memberi manfaat baik untuk


kesehatan ibu dan bayi. Bagi seorang ibu, menyusui langsung bisa membantu
mengembalikan rahim ke ukuran semula serta menurunkan risiko kanker payudara
setelah melahirkan. Menyusui langsung juga akan membakar kalori lebih banyak,
mengurangi risiko kanker ovarium, serta menghindari penyakit diabetes. Selain pada ibu,
manfaat sehat dari menyusui langsung juga bisa dirasakan bayi. 

Selain manfaat kesehatan, nyatanya menyusui langsung juga bisa membantu


membangun kedekatan antara ibu dan anak. Membiasakan bayi untuk menyusu langsung
dari puting payudara bisa meningkatkan ikatan emosional antara ibu dan anak. Sentuhan
langsung antara kulit ibu dan bayi nyatanya bisa menjadi hal yang baik bagi
perkembangan anak. 

Selain untuk kesehatan ibu, menyusui langsung alias direct breastfeeding nyatanya
juga bisa memberi manfaat untuk bayi. Sebelumnya perlu diketahui, bayi disarankan
untuk mendapat asupan ASI eksklusif selama kurang lebih 2 tahun. Air Susu Ibu
(ASI) memiliki banyak kandungan nutrisi yang dibutuhkan bayi dalam pertumbuhan dan
menjaga tubuhnya tetap sehat. 

Menyusu langsung dari puting bisa membantu meningkatkan kesehatan sistem


pencernaan Si Kecil. Masalah, seperti diare dan sakit perut cenderung jarang terjadi pada
anak yang terbiasa menyusu langsung dari puting susu ibu. Manfaat lain yang bisa
didapat saat bayi menyusu langsung adalah memperkuat sistem kekebalan tubuh,
sehingga tidak mudah terinfeksi virus penyebab penyakit. 

Bayi yang sejak dini terbiasa menyusu langsung juga disebut bisa meningkatkan IQ
bayi. Selain itu, anak yang mengonsumsi ASI cenderung memiliki IQ yang lebih tinggi
dibanding bayi yang diberi susu formula. Menyusu langsung juga baik untuk
perkembangan bayi prematur, dan sangat dianjurkan untuk dilakukan. Direct
breastfeeding juga bisa membantu mencegah sindrom kematian bayi mendadak
atau sudden infant death syndrome (SIDS). Masalah lain yang bisa dihindari
dengan menyusui bayi langsung adalah penyakit, seperti asma, alergi, diabetes, serta
kelebihan berat badan alias obesitas. Untuk mendapat semua manfaat tersebut, ibu
terlebih dahulu harus merasa nyaman saat menyusui. Ibu baru bisa mempelajari hal ini
atau meminta saran dari dokter.

Memberi ASI secara langsung memberi banyak manfaat sehat untuk ibu dan bayi,
tetapi hal ini juga bisa menjadi tantangan tersendiri. Perasaan tidak nyaman bisa terjadi
dan ibu diharapkan bisa mengatasi hal itu agar bisa memberi manfaat sehat untuk bayi
maupun ibu. Direct breastfeeding juga bisa membuat ibu muda merasa khawatir, apakah
ASI yang keluar sudah cukup atau malah berlebih. Ada juga risiko bayi mengalami
bingung puting, sehingga sulit untuk mengisap ASI. Namun jangan khawatir, setiap bayi
maupun ibu umumnya memiliki naluri untuk bisa menjalani hal tersebut dengan benar. 

6. PERALATAN DAN TEKHNOLOGI PADA BREST FEEDING


Kemajuan teknologi yang terjadi saat ini memang memengaruhi banyak aspek dalam
menjalankan gaya hidup. Tak terkecuali dengan teknologi yang diciptakan khusus untuk
ibu menyusui. Beberapa alat ini tentu saja dibuat agar memudahkan pemberian ASI
untuk Si Kecil. Apalagi untuk ibu yang bekerja, peralatan ini pastinya dapat membantu
memenuhi kebutuhan ASI untuk Si Kecil saat Anda tidak berada di dekatnya. Apa
sajakah teknologi canggih ini:
1. Pompa ASI
Keberadaan pompa ASI memang dapat membantu Moms untuk menampung susu saat
tidak bisa diberikan langsung pada bayi. Terdapat dua jenis, yaitu pompa ASI manual
dan elektrik. Untuk manual, Anda memompanya dengan kekuatan tangan sendiri,
sedangkan jenis elektrik digerakkan dengan listrik atau baterai. Bahkan, sekarang ada
teknologi pompa ASI yang wireless atau tanpa kabel.
2. Hands Free Pumping Bra
Alat ini membantu Moms yang harus bersamaan bekerja dan memompa ASI.
Pompa hands free bra membantu menyangga saat sedang memeras ASI baik saat di
kantor maupun di rumah, sehingga saat memompa Moms masih bisa melakukan
aktivitas lainnya. Alat ini juga bisa dipakai ke segala jenis pompa ASI.
3. Bantalan Putting
Saat menyusui, Anda mungkin mengalami rasa sakit dan sensitif di area puting. Tak
jarang juga Anda merasakan kesulitan ketika mengeluarkan ASI. Untuk
mengatasinya, saat ini tersedia bantalan khusus yang mampu memijat puting, yang
diposisikan dalam pompa ASI apa pun. Salah satunya adalah BeauGen Nipple
Cushion, yaitu bantalan puting yang tipis dan berukuran 1 mm.
4. Alat Sterilisasi
Agar menjaga kebersihan dan higienitas peralatan bayi, Anda memerlukan alat
sterilisasi. Selain untuk membersihkan, alat ini juga bisa dijadikan sebagai tempat
penyimpanan botol, dot, atau pompa ASI yang digunakan saat di kantor.
5. Aplikasi Menyusui
Salah satu kekhawatiran seorang ibu adalah mengenai kecukupan susu Si Kecil. Hal
ini sekarang bisa teratasi dengan menggunakan perangkat khusus yang dapat
mengukur berapa banyak ASI yang diminum bayi. Momsense bisa menjadi pilihan,
yang dilengkapi dengan earphone untuk bayi dan ibunya. Perangkat ini akan mencatat
dan membuat laporan jumlah ASI yang Si Kecil minum secara detail. Jadi Anda tidak
perlu khawatir lagi, apakah Si Kecil sudah cukup minum ASI atau belum.
6. Kantong ASI
Perlengkapan lain juga bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ASI Si Kecil
adalah kantong ASI. Saat ini, tersedia kantung atau juga pouches yang dapat menjaga
kualitas ASI dengan cukup baik. Dengan adanya double zipper, ASI anda akan
terlindungi karena lebih kedap udara dan bakteri tidak mudah mengkontaminasi susu.

Hal Lain yang Bisa Dilakukan agar Menyusui Tetap Nyaman


Selain dengan bantuan 8 perlengkapan menyusui di atas, ada beberapa hal yang bisa
Bunda lakukan agar proses menyusui tetap nyaman, di antaranya:
● Cari tempat favorit untuk menyusui atau memerah ASI dengan nyaman, misalnya di
depan TV.
● Tempatkan benda-benda yang dibutuhkan di dekat Bunda agar mudah dijangkau.
● Lakukan berbagai kegiatan menyenangkan sambil menyusui, seperti menonton film
atau mendengarkan musik.
● Tempatkan makanan sehat yang mudah dikonsumsi di sekitar Bunda, seperti
kacang, buah segar, atau buah kering.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah melakukan asuhan nifas ibu untuk memulihkan alat kandungan kedalam
semula dari melahirkan bayi setelah 2 jam pertama persalinan yang berlangsung
antara 6 minggu (42hari) Prawirohadjo 2001
1.Masalah yang umum pada post partum
-Rasa sakit pada payudara dan keluarnya Asi
-Rasa tidak nyaman pada vagina
-Kontraksi
-Kesulitan buang air kecil
-Keputihan
-Rambut rontok dan perubahan pada kulit
-Perubahan emosi
-Penurunan berat badan
2.Konsep Seksualitas
Merupakan komponen integral dari kehidupan seorang wanita normal dimana
hubungan seksual yang nyaman dan memuaskan merupakan salah satu faktor yang
yang berperan penting dalam hubungan perkawinan bagi banyak pasangan
(Prawirohadjo;2007)
3.Manajemen Nifas
a.Dukungan Menyusui
b.Dukungan Keluarga
4.Konseling tentang perawatan diri
*Nutrisi ibu menyusui
*Kebersihan pada ibu dan bayi
*Istirahat dan tidur
*Latihan atau senam ibu nifas
*Pemberian Asi
*Perawatan payudara
*Hubungan seksual
*Keluarga Berencana
*Tanda-tanda bahaya yang perlu di perhatikan
B. Saran
1.Bagi Pasien
Diharapkan pasien dapat mengetahui sejak dini tentang tanda bahaya sehingga di
harapkan pasien dapat lebih dini memeriksakan keadaannya dan datang ke Pusat
Pelayanan Kesehatan
2.Bagi Mahasiswa
Diharapkan Mahasiswa lebih menguasai teori khususnyadi dalam penanganan nifas
sehingga mampumeningkatkan keterampilan dalam memberikan Asuhan Kebidanan
Nifas di lahan dan sebagai bahan pembelajaran mahasiswa sehingga dapat
menerapkan tidak hanya di lahan praktek yang di tempat saja melainkan juga mampu
menerapkan di masyarakat umum.
3.Bagi Pelayanan Kesehatan
Diharapkan petugas pelayanan kesehatan harus bekerja secara kooperatif dalam tim
dan menghargainketerampilan keahlian dan kontribusi kolega atau tim

DAFTAR PUSTAKA
1. Ambarwati, 2010. Asuhan Kebidanan Nifas. Yogyakarta: Mitra Cendikia
2. Bobak, Lowdermilk, Jensen (2005). Maternity nursing (4th editiion), Maria A &amp:
PiterI (2004). (Alih Bahasa): Jakarta: EGC
3. Pusdiknakes, 2003. Asuhan Kebidanan Post Partum. Jakarta: Pusdiknakes
4. Prawirohadjo, S, 2001. Ilmu kebidanan : Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
5. Saifuddin, Abdul Bari dkk, 2007. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo. Jakarta.
6. Saleha, 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Salemba Medika.
7. Varney, 2004. Varney’s Midwifery. Ed 4. Massachusets: Jones and Bartlett Publisher.
8. https://www.klikdokter.com
9. Bhimantoro. 2008. Sexual Pasca Persalinan, Ayah Bunda. Edisi.22. November 2-6,
Jakarta.
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2001. Standar Pelayanan Kebidanan.
Jakarta.
11. Eny RA, Diah W. 2009. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Edisi III, Mitra Cendikia
Press. Jogjakarta
12. Johnson, D.W,& Johnshon, F.P. (1991). Being together group theory and group skill
(7th ED). New Jersey: Prentice Hall Inc.
13. Orford, J. (1992). Community psychology : Theory and practice. London: John Wiley
and Sons. Poerwandari, E.K. (2007).
14. Werdayanti, R. (2013). Bapak ASI dan ibu bekerja menyusui. Yogyakarta: Familia.
15. Fraser, D.M. & Cooper, M.A. (2009). Myles Buku Ajar Bidan. Edisi 14. Jakarta: EGC
16. Medforth, J., Battersby, S., Evans, M., Marsh, B., & Walker, A. (2006). Oxford
Handbook of Midwifery. English: Oxford University Press.
17. Baston, H. & Hall, J. (2011). Midwifery Essential Postnatal, Volume 4. United
Kingdom.
18. Bobak, L. (2004). Buku Ajar Keperawatan Maternitas edisi 4. Jakarta: EGC.
19. Cunningham, FG., dkk. (2007). Obstetri Williams. UK: Lippincott.
20. Flint, C. (1994). Sensitif Midwifery. Oxford: Butterworth Heinemann.
21. Henderson, C. & Jones, K. (2005). Buku Ajar Konsep Kebidanan (Edisi Bahasa
Indonesia). Ed. Yulianti. Jakarta: EGC.
22. Kemenkes RI. (2013). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
23. Mochtar, R. (2010). Sinopsis obstetri: obstetri fisiologi obstetri patologi. Jakarta:
EGC.
24. Prawirohardjo, S. (2009). Ilmu kebidanan. Edisi Keempat. Cetakan kedua. Jakarta:
PT Bina Pustaka Yayasan Sarwono Prawirohardjo.
25. Pusdiknakes, WHO, JHPIEGO (2001). Panduan Pengajar Asuhan Kebidanan
Fisiologi Bagi Dosen Diploma III Kebidanan. Jakarta: Pusdiknes.
26. Saifuddin, A.B. (2002). Buku Acuan Maternal Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka
Yayasan Sarwono Prawirohardjo, UNFPA.
27. Badan Pusat Statistik, BKKBN, Kementerian Kesehatan RI (2012). Survei Demografi
Kesehatan Indonesia. Jakarta: BPS.
28. Varney, H. et al. (2007). Midwifery. UK: Lippincot.
29. Prawirohardjo, S., dkk. (2009). Ilmu kebidanan. Edisi 3. Cetakan 7. Jakarta: Yayasan
PT Bina Pustaka Yayasan Sarwono Prawirohardjo.
30. Wickham, 2004. Essential Midwifery Practice. UK: Wiley-Blackwell.ukumnya.html )
31. WWW.MOTHER&BEYOND.ID

Anda mungkin juga menyukai