Disusun oleh :
FAKULTAS KESEHATAN
Bab 1 ………………………………..
Pendahuluan ……………………………..
Bab 2 ……………………………………
2.1 Patofisiologi
2.2 Epidemiologi
2.3 Terapi
a. Farmakologi
b. Non farmakologi
2.5 Pengobatan
BAB 3 penutup
Kesimpulan
Daftar pusaka
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis paru yang sering dikenal dengan TBC paru disebabkan bakteri
Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) dan termasuk penyakit menular . TBC
paru mudah menginfeksi pengidap HIV AIDS , orang dengan status gizi buruk dan
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang . Penularan TBC paru terjadi ketika
penderita TBC paru BTA positif bicara, bersin atau batuk dan secara tidak langsung
penderita mengeluarkan percikan dahak di udara dan terdapat ±3000 percikan
dahak yang mengandung kuman . Kuman TBC paru menyebar kepada orang lain
melalui transmisi atau aliran udara (droplet dahak pasien TBC paru BTA positif)
ketika penderita batuk atau bersin . TBC paru dapat menyebabkan kematian apabila
tidak mengkonsumsi obat secara teratur hingga 6 bulan. Selain berdampak pada
individu juga berdampak pada keluarga penderita, yaitu dampak psikologis berupa
kecemasan, penurunan dukungan dan kepercayaan diri yang rendah. TBC paru
masih menjadi masalah Kesehatan global . WHO tahun 2017 melaporkan terdapat
1,3 juta kematian yang diakibatkan TBC paru dan terdapat 300.000 kematian
diakibatkan TBC paru dengan HIV. Indonesia merupakan negara dengan peringkat
ketiga setelah India dan Cina dalam kasus TBC paru ,ditunjukkan dari dua per tiga
jumlah kasus TBC di dunia diduduki delapan negara, diantaranya India 27%, Cina
9%, Indonesia 8%, Filipina 6%, Pakistan 5%, Nigeria dan Bangladesh masing-
masing 4% dan Afrika Selatan 3%. Prevalensi TBC paru di Indonesia terbagi
menjadi tiga wilayah, diantaranya Sumatera 33%, Jawa dan Bali 23%, dan Indonesia
bagian timur 44% . TBC paru termasuk penyakit yang paling banyak menyerang usia
produktif (15-49 tahun). Penderita TBC BTA positif dapat menularkan TBC pada
segala kelompok usia. Tahun 2017 di kota Semarang terdapat penderita TBC semua
tipe, pada kelompok usia bayi dan anak 24%, pada kelompok usia 15-44 tahun
adalah 40% dan pada kelompok usia lebih dari 55 tahun adalah 22%. Presentase
TBC paru semua tipe pada orang berjenis kelamin laki-laki lebih besar daripada
orang berjenis kelamin perempuan dikarenakan laki-laki kurang memperhatikan
pemeliharaan kesehatan diri sendiri serta laki-laki sering kontak dengan faktor risiko
dibandingkan dengan perempuan .
Laki-laki lebih banyak memiliki kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol, kebiasaan
tersebut dapat menurunkan imunitas tubuh dan akan mudah tertular TBC paru .
Faktor risiko terduga TBC paru adalah orang yang menetap satu atap rumah dengan
penderita TBC paru BTA positif , pendidikan , merokok , lingkungan fisik rumah,
daya tahan tubuh, perilaku penderita TBC paru BTA positif yaitu kebiasaan
membuang dahak sembarangan dan tidak menutup mulut ketika batuk atau bersin,
kepadatan hunian yaitu perbandingan antara luas rumah dengan jumlah anggota
keluarga . Lamanya waktu kontak atau intensitas kontak dengan penderita TBC paru
dapat menyebabkan seseorang terpapar M. tuberculosis , sehingga harus dapat
mengendalikan penularan M. tuberculosis melalui deteksi kasus dan pengobatan
pasien TBC paru dengan memutus rantai infeksi. Penularan M. tuberculosis harus
dihentikan untuk mencegah adanya terduga TBC paru dan kasus baru TBC.
Penemuan kasus TBC paru secara aktif lebih efektif dilakukan pada populasi yang
berisiko tinggi, seperti yang dilakukan di Kamboja dengan melihat penderita TBC
paru yang kontak serumah dan kontak tetangga. Akan tetapi dengan adanya kasus
TBC paru yang tinggi, penemuan kasus aktif sering tidak dilaksanakan dan
mengakibatkan penundaan lama dalam diagnosis dan pengobatan . Angka
penemuan semua kasus TBC (CaseDetection Rate) sejak bulan Januari hingga
Desember tahun 2018 di Kota Semarang sebanyak 4.252 kasus. Puskesmas
Tlogosari Wetan menduduki peringkat pertama sebagai fasilitas pelayanan
Kesehatan (Puskesmas) dengan angka temuan kasus TBC paru BTA positif
tertinggi, yaitu sebanyak 66 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi
kejadian kasus baru TBC paru pada anggota keluarga penderita TBC paru BTA
positif.
B. DEFINISI
Tinjauan Pustaka
2.1 Patofisiologi
2.2. Epidemiologi
1) Global Laporan WHO pada tahun 2017, 10 juta orang di antaranya 5,8 juta pria,
3,2 juta wanita, dan 1 juta anak-anak di dunia terkena penyakit TB. Faktanya, tahun
2018 TB masih menduduki peringkat ke 10 penyebab kematian di dunia. Secara
keseluruhan 90% penderita TB adalah orang dewasa ( ≥ 15 tahun), 9% orang hidup
dengan HIV (72% di Afrika) dan dua per tiga lainnya tersebar di beberapa negara
yaitu India 27%, Tiongkok 9%, Indonesia 8%, Filipina 6%, Nigeria 4%, Bangladesh
4%, Afrika Selatan 3% (WHO, 2018).
2) Nasional Jika melihat kondisi Indonesia menururt laporan WHO tahun 2018,
Indonesia mendapatkan peringkat ke 3 dengan menyumbang 8% dari penderita TB
di seluruh dunia setelah (WHO, 2018). Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak
420.994 (pria 245.298 kasus, dan wanita 175.696 kasus) kasus pada tahun 2017
(data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun
2017 pada pria 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada wanita. Prevalensi TB pada
pria 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada wanita. Survei ini menemukan bahwa dari
seluruh partisipan pria yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan
wanita yang merokok (Infodatin TB Kemenkes RI, 2018). Angka Case Notification
Rate (CNR) atau jumlah semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan di antara
100.000 penduduk di Indonesia semakin meningkat dari tahun 2014 hingga 2017
dari angka 125 menjadi 161 per 100.000 penduduk. Angka keberhasilan pengobatan
(Succes Rate) pasien TB meningkat dari tahun 2016-2017, dari 85 % menjadi
85,1%. Cakupan pengobatan semua kasus TB atau Case Detection Rate (CDR)
pada 2016 35,8% dan meningkat pada tahun 2017 menjadi 42,4%. Hasil
pengobatan pasien TB semua kasus pada tahun 2017 yaitu yang sembuh sebesar
42 %, dengan pengobatan lengkap 43,1%, pindah 4%, tidak dievaluasi 2,7%,
meninggal 2,5%, dan yang gagal 0,4% (Infodatin TB Kemenkes RI, 2018).
Di Provinsi Jawa Timur Kasus TB tertinggi yaitu di Kota Surabaya dengan jumlah
kasus TB sebanyak 6338, disusul oleh Kabupaten Pasuruan 2393 kasus dan
Kabupaten Lamongan berada di posisi ke tiga dengan 2377 kasus (BPS Jawa
Timur, 2018).
4) Lokasi Penelitian
2.3 Terapi
Terapi dalam TB Paru dibagi menjadi 2 yaitu farmakologis dan non farmakologis .
a. non farmakologis
2.4 pengobatan
Meski berisiko fatal, namun TBC adalah penyakit yang masih bisa disembuhkan asalkan
melalui penanganan secara tepat. Biasanya, dokter akan menganjurkan pengidap
TB paru untuk mengonsumsi obat selama 6-12 bulan.
Berikut beberapa obat TBC paru yang digunakan pada tahap pengobatan pertama:
Pyrazinamide
Isoniazid
Streptomisin
Rifampin
Ethambutol
Berikut beberapa obat TBC paru yang digunakan pada tahap pengobatan pertama:
Pyrazinamide
Isoniazid
Streptomisin
Rifampin
Ethambutol
2.4 Peran perawat terhadap TB Paru
Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya kebutuhan pelayanan kesehatan
menuntut perawat saat ini memiliki pengetahuan dan keterampilan di berbagai bidang. Saat
ini perawat memiliki peran yang lebih luas dengan penekanan pada peningkatan kesehatan
dan pencegahan penyakit, juga memandang klien secara komprehensif.
Perawat adalah seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan kewenangan
untuk memberikan asuhan keperawatan pada orang lain berdasarkan ilmu dan kiat yang
dimilikinya dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya. (PPNI, 1999; Chitty, 1997).
3. . Pemberi Kenyamanan
Perawat klien sebagai seorang manusia, karena asuhan keperawatan harus ditujukan pada
manusia secara utuh bukan sekedar fisiknya saja, maka memberikan kenyamanan dan
dukungan emosi seringkali memberikan kekuatan bagi klien sebagai individu yang memiliki
perasaan dan kebutuhan yang unik. Dalam memberi kenyamanan, sebaiknya perawat
membantu klien untuk mencapai tujuan yang terapeutik bukan memenuhi ketergantungan
emosi dan fisiknya.
4. Komunikator
Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien dan keluarga, antar sesama perawat dan
profesi kesehatan lainnya, sumber informasi dan komunitas. Dalam memberikan perawatan
yang efektif dan membuat keputusan dengan klien dan keluarga tidak mungkin dilakukan
tanpa komunikasi yang jelas. Kualitas komunikasi merupakan factor yang menentukan
dalam memenuhi kebutuhan individu, keluarga dan komunitas.
5. Penyuluh
Sebagai penyuluh, perawat menjelaskan kepada klien konsep dan data-data tentang
kesehatan, mendemonstrasikan prosedur seperti aktivitas perawatan diri, menilai apakah
klien memahami hal-hal yang dijelaskan dan mengevaluasi kemajuan dalam pembelajaran.
Perawat menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan klien serta melibatkan sumber-sumber yang lain misalnya keluarga dalam
pengajaran yang direncanakannya.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSAKA
(1). Vidyastari YS, Cahyo K, Riyanti E. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi
Pencapaian Target Cdr (Case Detection Rate) Oleh Koordinator P2tb Dalam
Penemuan Kasus di Puskesmas Kota Semarang. Kesehat Masy. 2019;7(1).
[3] Dinas Kesehatan Jawa Tengah. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Vol
3511351.; 2016.
[6] Guno TH, Putra BA, Kamelia T, Makmun D. Diagnostic and Therapeutic
Approach in Intestinal Tuberculosis. 2016;17(2).
[9] Nurjana MA. Faktor Risiko Terjadinya Tuberculosis Paru Usia Produktif ( 15-49
Tahun ) Di Indonesia.Media Litbangkes. 2015;25(3):163-170.
[11] Dotulong JFJ, Sapulete MR, Kandou GD. Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis
Kelamin Dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit Tb Paru Di Desa Wori
Kecamatan Wori.Kedokt Komunitas dan Trop. 2015;III(2):57-65.
[12] Wulandari AA, Nurjazuli, Adi MS. Faktor Risiko dan Potensi Penularan
Tuberkulosis Paru di Kabupaten Kendal , Jawa Tengah. 2015;14(1):7-13.
(16) kenedyanti, e., & sulistyorini, l. 2017. Analisis mycobacterium tuberkulosis dan
kondisi fisik rumah dengan kejadian tuberkulosis paru. Jurnal berkala epidemiologi.
vol. 5(2): 152–162. https://doi.org/10.20473/jbe.v5i2.2017.152-162.
(17) Sigalingging, I. N., Hidayat, W., & Tarigan, F. L. 2019. Pengaruh pengetahuan,
sikap, riwayat kontak dan kondisi rumah terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Hutarakyat Kabupaten Dairi Tahun 2019. Jurnal Ilmiah Simantek.
vol. 3(3): 87–99
(18) https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/tuberkulosis-atau-tb-
adalah
(19) http://rsudpurihusada.inhilkab.go.id/peran-dan-fungsi-perawat-profesional/