Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

SISTEM PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR DAN


PENYEHATAN LINGKUNGAN PEMUKIMAN
TUBERKULOSIS
KEPERAWATAN KOMUNITAS I
Dosen Pengampuh : Ns Jikrun Jaata, S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :
Reza Meinanda Akontalo : 01909010045
Riska Mokoagow : 01909010047
Kelas : Keperawatan A / Semester V

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


INSTITUT KESEHATAN DAN TEKNOLOGI GRAHA
MEDIKA KOTAMOBAGU
T.A 202
KATA PENGANTAR

Alhamdullilah puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah Sistem
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
Tuberkolosis ini. Adapun maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Keperawatan Komunitas I.

Disusunya makalah ini tidak lepas dari peran dan bantuan dari beberapa pihak
dan sumber. Karena itu kami mengucapkan terimakasih dan apresiasi setinggi-tingginya
kepada dosen pengampuh Ns Jikrun Jaata S.Kep.,M.Kep yang telah membantu dan
membimbing kami dalam mengerjakan makalah ini. Kiranya amal baik dan budi luhur
yang ihklas diberikan beliau kepada kami semoga mendapatkan imbalan yang
semestinya dari AllAH SWT.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan,untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk sempurnanya penyususnan makalah ini. Kami berharap semoga ini
bisa bermanfaat khususnya bagi pembaca umumnya. Terimakasih.

Kotamobagu, 6 Oktober 2021

Kelompok 17
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………….............i


KATA PENGANTAR...............................................................................................…...ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................…..iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..............................................................................................…...1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................…...2
C. Tujuan............................................................................................................…...3

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Tubercolosis.....................................................................................…...4
B. Etiologi Tubercolosis.....................................................................................…...4
C. KlasifikasiTubercolosis..................................................................................…...5
D. Menifistasi klinis Tuberkolosis......................................................................…...6
E. Patofisiologi dari tuberkolosis........................................................................…...8
F. Cara Penularan Tuberculosis..........................................................................…...8
G. Faktor-faktor yang empengaruhi Terjadian Penyakit Tuberkulosis...............…...9
H. Komplikasi Tuberculosis................................................................................….13
I. Pemeriksaan Penunjang Tuberculosis ...........................................................….13
J. PenatalaksanaanTuberculosis.........................................................................….15
K. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis ...............................................................….21

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ....................................................................................................….23

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................….24
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis atau TB paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama diparu
atau diberbagai organ tubuh lainnya. TB paru dapat menyebar ke setiap bagian
tubuh, termasuk meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe dan lainnya
(Smeltzer&Bare, 2015). Beberapa negara berkembang di dunia, 10 sampai 15% dari
morbiditas atau kesakitan berbagai penyakit anak dibawah umur 6 tahun adalah
penyakit TB paru. Saat ini TB paru merupakan penyakit yang menjadi perhatian
global, dengan berbagai upaya pengendalian yang dilakukan insidens dan kematian
akibat TB paru telah menurun, namun TB paru diperkirakan masih menyerang 9,6
juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014 (WHO, 2015).
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis dan paling sering bermanifestasi di paru.
Mikobakterium ini ditransmisikan melalui droplet di udara, sehingga seorang
penderita tuberkulosis paru merupakan sumber penyebab penularan tuberkulosis
paru pada populasi di sekitarnya. Sampai saat ini penyakit tuberkulosis paru masih
menjadi masalah kesehatan yang utama, baik di dunia maupun di Indonesia.
Menurut WHO (2006) dilaporkan angka prevalensi kasus penyakit tuberkulosis paru
di Indonesia 130/100.000, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah kematian
sekitar 101.000 pertahun, angka insidensi kasus Tuberkulosis paru BTA (+) sekitar
110/100.000 penduduk. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ketiga,
setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan.
Sekitar 75% penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis paru
dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.
Jika meninggal akibat penyakit tuberkulosis paru, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun, selain merugikan secara ekonomis, tuberkulosis
paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang
dikucilkan oleh masyarakat.
Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru bukan hanya dari
aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi, dengan demikian
tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang terhadap
penyakit tuberkulosis paru berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidak
produktifan dan kelemahan akibat tuberkulosis.
Terdapat 3 faktor yang menyebabkan tingginya kasus TB paru di Indonesia
yaitu, waktu pengobatan yang relatif lama (6 sampai 8 bulan) menjadi penyebab
penderita TB sulit sembuh karena pasien TB paru berhenti berobat (Drop Out)
setelah merasa sehat meski proses pengobatan belum selesai sehingga menyebabkan
kekambuhan pada penderita TB paru dengan DO. Selain itu, masalah TB paru
diperberat dengan adanya peningkatan infeksi HIV/AIDS yang berkembang cepat
dan munculnya permasalahan TB Multi Drugs Resistant (MDR) atau kebal terhadap
bermacam obat. Masalah lain adalah adanya penderita TB paru laten, dimana
penderita tidak sakit namun akibat daya tahan Poltekkes Kemenkes Padang 4 tubuh
menurun, penyakit TB paru akan muncul. Sedangkan di kota Padang sendiri
keberhasilan upaya penanggulangan TB paru diukur dengan kesembuhan penderita.
Kesembuhan dapat mengurangi jumlah penderita dan terjadinya penularan.Untuk
itu, obat harus diminum dan diawasi oleh keluarga atau orang terdekat.Saat ini
upaya penanggulangan TB paru dirumuskan lewat Directly Observed Treatment
Shortcourse (DOTS), dimana pengobatan yang disertai pengamatan langsung.
Pelaksanaan strategi DOTS dilakukan di sarana-sarana Kesehatan Pemerintah
dengan Puskesmas sebagai ujung tombak pelaksanaan program.(Dinas Kesehatan
Kota Padang. 2013).

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari tubercolosis?
2. Apa etiologi dari tubercolosis?
3. Apa klasifikasi dari tubercolosis?
4. Apa menifistasi klinis dari tuberkolosis?
5. Apa patofisiologi dari tuberkolosis?
6. Bagaimana cara penularan tuberculosis?
7. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadian penyakit tuberkulosis paru?
8. Apa komplikasi dari tuberculosis?
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang dari tuberculosis?
10. Bagaimana penatalaksanaan dari tuberculosis?
11. Bagaimana pencegahan penyakit dari tuberculosis?

C. Tujuan
1. Untuk megetahui pengertin dari tuberculosis.
2. Untuk mnegetahui etiologi dari tuberculosis.
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari tuberculosis.
4. Untuk mengetahui menifistasi klinis dari tuberkolosis.
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari tuberkolosis.
6. Untuk mengetahui bagaimana cara penularan tuberculosis.
7. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit
tuberculosis.
8. Untuk mengetahui komplikasi dari tuberculosis.
9. Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan penunjang dari tuberculosis.
10. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari tuberculosis.
11. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan penyakit tuberkulosis paru.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Tuberkolosis
Tuberkulosis atau TB paru adalah suatu penyakit menular yang paling sering
mengenai parenkim paru, biasanya disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
TB paru dapat menyebar ke setiap bagian tubuh, termasuk meningen, ginjal, tulang
dan nodus limfe (Smeltzer&Bare, 2015). Selain itu TB paru adalah penyakit yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup
terutama di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan
parsial oksigen yang tinggi (Tabrani Rab, 2010).
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4
mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman
tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini
dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun.
Menurut Robinson, dkk (2014), TB Paru merupakan infeksi akut atau kronis
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis di tandai dengan adanya infiltrat
paru, pembentukan granuloma dengan perkejuan, fibrosis serta pembentukan
kavitas.

B. Etiologi
TB paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang dapat
ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru aktif mengeluarkan organisme.
Individu yang rentan menghirup droplet dan menjadi terinfeksi. Bakteria di
transmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri. Reaksi inflamasi menghasilkan
eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa
(Smeltzer&Bare, 2015). Ketika seseorang penderita TB paru batuk, bersin, atau
berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah,
lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang
panas, droplet atau nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara
dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang
terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh
orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena bakteri tuberkulosis (Muttaqin Arif,
2012).
Menurut Smeltzer&Bare (2015), Individu yang beresiko tinggi untuk tertular
virus tuberculosis adalah:
a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.
b. Individu imunnosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka
yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV).
c. Pengguna obat-obat IV dan alkhoholik.
d. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma; tahanan;
etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak di bawah usia 15 tahun dan
dewasa muda antara yang berusia 15 sampai 44 tahun).
e. Dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalkan diabetes,
gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi).
f. Individu yang tinggal didaerah yang perumahan sub standar kumuh.
g. Pekerjaan (misalkan tenaga kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas
yang beresiko tinggi).

C. Klasifikasi Tuberkulosis
Menurut Sudoyo (2007), klasifikasi tuberkulosis yang banyak dipakai di
Indonesia adalah berdasarkan kelainan klinis, radiologis, dan mikrobiologis,
meliputi :
1. Tuberkulosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam :
a. Tuberkulosisi paru tersangka yang diobati. Disini sputum BTAnegatif tetapi
tana-tanda lain positif.
b. Tuberkulosisi paru yang tidak terobati. Disini sputum BTA negatif dan
tanda-tanda lain juga meragukanTB tersangka dalam 2-3 bulan sudah harus
dipastikan apakah termasuk TB paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam
klasifikasi ini perlu dicantumkan status bakteriologi, mikroskopik sputum
BTA (langsung), biakan sputum BTA, status radiologis, kelainan yang
relevan untuk tuberkulosis paru, status kemoterapi, riwayat pengobatan
dengan obat anti tuberkulosis.

TB paru diklasifikasikan menurut Wahid & Imam tahun 2013 yaitu:


1. Pembagian secara patologis
a. Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)
b. Tuberculosis post primer (adult tuberculosis).
2. Pembagian secara aktivitas radiologis TB paru (koch pulmonum) aktif, non
aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)
3. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
a. Tuberkulosis minimal
Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru maupun
kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
b. Moderately advanced tuberculosis
Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. Jumlah infiltrate
bayangan halus tidak lebih dari 1 bagian paru.Bila bayangan kasar tidak
lebih dari sepertiga bagian 1 paru.
c. Far advanced tuberculosis
Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately
advanced tuberculosis.

D. Manifestasi Klinis
Arif Mutaqqin (2012), menyatakan secara umum gejala klinik TB paru
primer dengan TB paru DO sama. Gejala klinik TB Paru dapat dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang
terlibat) dan gejala sistematik.
1. Gejala respiratorik
a. Batuk
Keluhan batuk, timbul paling awal dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan.
b. Batuk darah
Keluhan batuk darah pada klien TB Paru selalu menjadi alas an utama klien
untuk meminta pertolongan kesehatan.
c. Sesak nafas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena
ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia,
dan lain-lain.
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB Paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini timbul
apabila sistem persarafan di pleura terkena TB.
2. Gejala sistematis
a. Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam
hari mirip demam atau influenza, hilang timbul, dan semakin lama semakin
panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan semakin pendek.
b. Keluhan sistemis lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat
badan, dan malaise. Timbulnya keluhan biasanya bersifat gradual muncul
dalam beberapa minggu sampai bulan. Akan tetapi penampilan akut dengan
batuk, panas, dan sesak nafas.

Gejala reaktivasi tuberkulosis berupa demam menetap yang naik dan turun
(hectic fever), berkeringat pada malam hari yang menyebabkan basah kuyup
(drenching night sweat), kaheksia, batuk kronik dan hemoptisis. Pemeriksaan fisik
sangat tidak sensitif dan sangat non spesifik terutama pada fase awal penyakit. Pada
fase lanjut diagnosis lebih mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, terdapat
demam penurunan berat badan, crackle, mengi, dan suara bronkial. (Darmanto,
2009).
Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya. Pada tipe infeksi
yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat berupa gejala
neumonia, yakni batuk dan panas ringan. Gejala TB, primer dapat juga terdapat
dalam bentuk pleuritis dengan efusi pleura atau dalam bentuk yang lebih berat lagi,
yakni berupa nyeri pleura dan sesak napas. Tanpa pengobatan tipe infeksi primer
dapat sembuh dengan sendirinya, hanya saja tingkat kesembuhannya 50%. TB
postprimer terdapat gejala penurunan berat badan, keringat dingin pada malam hari,
tempratur subfebris, batuk berdahak lebih dari dua minggu, sesak napas, hemoptisis
akibat dari terlukanya pembuluh darah disekitar bronkus, sehingga menyebabkan
bercak-bercak darah pada sputum, sampai ke batuk darah yang masif, TB
postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga menimbulkan gejala-gejala
seperti meningitis, tuberlosis miliar, peritonitis dengan fenoma papan catur,
tuberkulosis ginjal, sendi, dan tuberkulosis pada kelenjar limfe dileher, yakni
berupa skrofuloderma. (Tabrani Rab, 2016).

E. Patofisiologi
Port de entry kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernafasan,
saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi terjadi melalui
udara, (air bone), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman
basil tuberkel yang terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai alveolus dan diinhalasi
biasanya terdiri atas satu sampai tiga gumpalan. Basil yang lebih besar cenderung
bertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus, sehingga tidak menyebabkan
penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, kuman akan mulai mengakibatkan
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak memfagosit bakteri di tempat ini,
namun tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari pertama, maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut.
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang
tertinggal atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju
getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang
dan sebagian bersatu, sehingga membentuk sel tuberkel epitoloit yang dikelilingi
oleh foist. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 jam (Ardiansyah, 2012).

F. Cara penularan
Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak (droplet) sumber
penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA (+), pada waktu penderita
tuberkulosis paru batuk atau bersin. Droplet yang mengandung kuman TB dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam
ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan
lembab. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan. Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan,
kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran
langsung ke bagian tubuh lainnya.
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan
dahaknya maka makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahaknya
negatif maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Faktor risiko yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita
tuberkulosis paru adalah karena daya tahan tubuh yang lemah, di antaranya karena
gizi buruk dan HIV/AIDS. HIVmerupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang
terinfeksi kuman TB menjadi sakit tuberkulosis paru. Infeksi HIV mengakibatkan
kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika
terjadi infeksi penyerta (opportunistic), seperti tuberkulosis paru maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita tuberkulosis paru
akan meningkat pula, dengan demikian penularan penyakit tuberkulosis paru di
masyarakat akan meningkat pula.
G. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadian penyakit Tuberkulosis Paru
Teori John Gordon, mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), penjamu (host), dan
lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini disebut segi tiga epidemiologi
(Epidemiologi Triangle), hubungan ketiga faktor tersebut digambarkan secara
sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab penyakit pada satu sisi dan
penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai penumpunya.
1. Agent
Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit
timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi syarat untuk
menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar
penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit
tuberkulosis paru adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.
Di luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium tuberculosis hidup baik
pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan terhadap sinar matahari.
Mycobacterium tuberculosis mempunyai panjang 1-4 mikron dan lebar 0,2- 0,8
mikron. Kuman ini melayang diudara dan disebut droplet nuclei. kuman
tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa
sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Tetapi kuman tuberkulosis akan
mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api (Atmosukarto
& Soewasti, 2000).
Kuman tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2
jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5 menit dan
juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol 5 %
dalam waktu 24 jam. Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain
pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan
merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri.
Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-
bakteri patogen termasuk tuberkulosis. Mycobacterium tuberculosis memiliki
rentang suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur
dalam rentang 25 – 40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 C.
Pengetahuan mengenai sifat-sifat agent sangat penting untuk pencegahan
dan penanggulangan penyakit, sifat-sifat tersebut termasuk ukuran, kemampuan
berkembang biak, kematian agent atau daya tahan terhadap pemanasan atau
pendinginan.
2. Host
Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman Mycobacterium
tuberculosis, kuman tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. Seorang
penderita tuberkulosis dapat menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).
Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan (1991), menunjukkan tingkat
penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam
rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman ini dapat hilang
terbawa angin dan akan lebih baik lagi jika ventilasi ruangannya menggunakan
pembersih udara yang bisa menangkap kuman TB.
Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi karakteristik;
gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, higiene pribadi, gejala dan tanda
penyakit dan pengobatan. Karakteristik host dapat dibedakan antara lain; Umur,
jenis kelamin, pekerjaan, keturunan, pekerjaan, keturunan, ras dan gaya hidup.
Host atau penjamu; manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
anthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal atau kehidupan untuk agent
menular dalam kondisi alam (lawan dari percobaan). Host untuk kuman
tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang dimaksud dalam
penelitia ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi
penularan penyakit tuberkulosis paru adalah; kekebalan tubuh (alami dan
buatan), status gizi, pengaruh infeksi HIV/AIDS.
3. Environment
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host baik benda
mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat
interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Lingkungan terdiri dari
lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan fisik terdiri dari; Keadaan geografis
(dataran tinggi atau rendah, persawahan dan lain-lain), kelembaban udara,
temperatur atau suhu, lingkungan tempat tinggal. Adapun lingkungan non fisik
meliputi; sosial (pendidikkan, pekerjaan), budaya (adat, kebiasaan turun-
temurun), ekonomi (kebijakkan mikro dan lokal) dan politik ( suksesi
kepemimpinan yang mempengaruhi kebijakan pencegahan dan penanggulangan
suatu penyakit.
Menurut APHA (American Public Health Assosiation), lingkungan rumah
yang sehat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis
a) Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan agar
kontruksinya sedemikian rupa sehingga suhu ruangan tidak berubah
banyak dan agar kelembaban udara dapat dijaga jangan sampai terlalu
tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan agar perbedaan
suhu antara dinding, lantai, atap dan permukaan jendela tidak terlalu
banyak.
b) Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun malam.
Suatu ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup
yaitu jika luas ventilasi minimal 10 % dari jumlah luas lantai.
c) Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi
yang cukup untuk proses pergantian udara.
d) Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak
terganggu oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar
rumah.
e) Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak bermain,
ruang makan, ruang tidur, dll.
f) Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan
jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak yang berumur kurang dari
lima tahun minimal 4,5 m³, artinya dalam satu ruangan anak yang
berumur lima tahun ke bawah diberi kebebasan menggunakan volume
ruangan 4,5 m³ (1,5 x 1 x3 m³) dan diatas lima tahun menggunakan
ruangan 9 m³ (3 x 1 x 3 m³).
b. Perlindungan terhadap penularan penyakit.
a) Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik secara kualitas
maupun kuantitas, sehingga selain kebutuhan untuk makan dan minum
terpenuhi, juga cukup tersedia air untuk memelihara kebersihan rumah,
pakaian dan penghuninya.
b) Harus ada tempat menyimpan sampah dan WC yang baik dan memenuhi
syarat, juga air pembuangan harus bisa dialirkan dengan baik.
c) Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus memenuhi syarat
kesehatan, yaitu harus dapat mencegah agar limbah tidak meresap dan
mengkontaminasi permukaan sumber air bersih.
d) Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas dari pencemaran
dan gangguan binatang serangga dan debu.
e) Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan
berkembang biak di dalam rumah, jadi rumah dalam kontruksinya harus
rat proof, fly fight, mosquito fight.
f) Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.
g) Luas kamar tidur minimal 9 m³ per orang dan tinggi langit-langit
minimal 2.75 meter.

Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam penularan


penyakit tuberkulosis, terutama pada pemenuhan physiologis rumah, sebab sinar
ultra violet yang terdapat pada sinar matahari dapat membunuh kuman tuberkulosis
paru, selain itu sinar matahari juga dapat mengurangi kelembaban yang berlebihan,
sehingga dapat mencegah berkembangnya kuman tuberkulosis paru dalam rumah,
oleh karenanya suatu rumah sangat perlu adanya pencahayaan langsung yang cukup
dari sinar matahari.

H. Komplikasi
Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb parudi bedakan menjadi dua
(Sudoyo, 2009)
1. Komplikasi dini: plueuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus Poncet’s
arthropathy.
2. Komplikasi stadium lanjut:
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan
sebagainya.
f. Insufisiensi Kardio Pulmoner ( Cardio Pulmonary Insufficiency).

I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita TB paru adalah :
1. Pemeriksaan Sputum
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA Positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen
hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak
Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) diulang.
Pemeriksaan sputum sangat penting karena dengan di ketemukannya
kuman BTA diagnosis tuberculosis sudah dapat di pastikan. Pemeriksaan dahak
dilakukan 3 kali yaitu: dahak sewaktu datang, dahak pagi dan dahak sewaktu
kunjungan kedua. Bila didapatkan hasil dua kali positif maka dikatakan
mikroskopik BTA positif. Bila satu positif, dua kali negatif maka pemeriksaan
perlu diulang kembali. Pada pemeriksaan ulang akan didapatkan satu kali positif
maka dikatakan mikroskopik BTA negatif.
2. Ziehl-Neelsen (Pewarnaan terhadap sputum). Positif jika diketemukan bakteri
taham asam.
3. Skin test (PPD, Mantoux) Hasil tes mantaoux dibagi menjadi :
a. Indurasi 0-5 mm (diameternya ) maka mantoux negative atau hasil negative.
b. Indurasi 6-9 mm ( diameternya) maka hasil meragukan.
c. Indurasi 10- 15 mm yang artinya hasil mantoux positif.
d. Indurasi lebih dari 16 mm hasil mantoux positif kuat.
e. Reaksi timbul 48- 72 jam setelah injeksi antigen intrakutan berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrasi limfosit yakni persenyawaan antara
antibody dan antigen tuberculin.
4. Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas, timbunan
kalsium dari lesi primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang menunjukkan
perkembangan Tuberkulosis meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.
5. Pemeriksaan histology/kultur jaringan Positif bila terdapat Mikobakterium
Tuberkulosis.
6. Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan terjadinya
nekrosis.
7. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi.
8. Analisa gas darah (AGD)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan
jaringan paru.
9. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang fungsi, meningkatnya rasio
residu udara pada kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen sebagai
akibat infiltrasi parenkim / fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura
(akibat dari tuberkulosis kronis).

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien tuberkulosis dengan masalah keperawatan
bersihan jalan napas tidak efektif dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu terapi
farmakologi dan non farmakologi.
1. Terapi Farmakologi
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2006), membagi penatalaksanaan
tuberkulosisi menjadi tiga bagian yaitu pencegahan, pengobatan, dan penemuan
penderita (active case finding).
a. Pencegahan Tuberkulosis
Beberapa pencegahan tuberkulosis pada Stranas TB (Strategi Nasional TB)
yang meliputi:
a) Pemeriksaan kontak, pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi
tes tuberkulin, klinis, dan radiologis atau bila tes tuberkulin positif,
maka pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang 6 dan 12 bulan
mendatang. Bila hasil negatif, maka diberikan vaksin BCG. Bila positif
berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan
kemoprofilaksasi.
b) Mass chest X-Ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap
kelompokkelompok populasi tertentu, misalnya:
1) Petugas kesehatan
2) Penghuni rumah tahanan
3) Pelajar pesantren
c) Vaksinasi BCG
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi perlindungan
terhadap penyakit TBC. Vaksin Tb tidak mencegah infeksi TB, tetapi
mencegah infeksi berat (menginitis TB dan TB milier), yang sangat
mengancam nyawa. Vaksin BCG dapat memakan waktu 6-12 minggu
untuk menghasilkan efek (perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG
memeberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80% terhadap
tuberkulosis (Cahyono, 2010).
d) Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12
bulan dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri
yang masih sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama yaitu
bayi yang menyusui dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis
sekunder diperlukan bagi kelompok berikut:
1) Bayi dibawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena
resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB.
2) Anak dan remaja dibawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin
positif yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular.
3) Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari
negatif menjadi positif.
4) Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat
imunosupresif jangka panjang.
5) Penderita diabetes mellitus.
e) Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis
pada asyarakat di tingkat puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh
petugas pemerintaah maupun petugas LSM.
b. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan yang dilakukan pada pasien tuberkulosis menurut
Kementerian Kesehatan 2014:
Pengobatan TB harus selalu meliputi tahap awal dan tahan lanjutan.
Tahap awal, pengobatan diberikan setiap hari. Pengobatan pada tahap ini
dimaksudtkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil
kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Tahapan awal pada pasien yang baru harus diberikan selama
2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan yang teratur tanpa ada
hambatan, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan
selama 2 minggu. Tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk
membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.
a) Observed Treatment Short Course (DOTSC)
Strategi penanggulangan TB dikenal sebagai Observed Treatment
Short Course (DOTSC). DOTSC yang direkomdasikan oleh WHO
terdiri atas lima komponen yaitu:
(a) Adanya komitmen politis berupa dukungan para pengambil
keputusan dalam penanggulangan TB.
(b) Diagnosis Tb melalui pemeriksaan sputum secara mikroskopis
langsung, sedangkan pemeriksaan yang memiliki sarana
tersebut.
(c) Pengobatan TB dengan panduan OAT jangka pendek dibawah
pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO),
khususnya dua bulan pertama dimana penderita harus minum
obat setiap hari.
(d) Keseimbangan ketersediaan panduan OAT jangka pendek yang
cukup.
(e) Pencatatan dan pelaporan yang baku.
b) OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
OAT (Obat Anti Tuberkulosis) adalah komponen terpenting
dalam pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya
paling efesien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman
TB. Pengobatan penderita tuberkulosis paru harus dengan panduan
beberapa Obat Anti Tuberkulosis (OAT), berkesinambungan dan
dalam waktu tertentu agar mendapatkan hasil yang optimal ( OAT
dalam bentuk kombipak atau FDC (Fixed Dose Combination).
Kesembuhan yang baik akan memperlihatkan sputum BTA negatif,
adanya perbaikan radiologi dan menghilangnya gejala penyakit.
(a) Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90%
populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat
ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif
yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis yang dianjurkan 5
mg/kg Berat Badan (BB), sedangkan pengobatan intermiten tiga
kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
(b) Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi dormant
(persiter) yang tidak dapat di bunuh oleh isoniasid. Dosis 10
mg/kg BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun
intermiten tiga kali seminggu.
(c) Pirasinamid (Z)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam
sel dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25
mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten tiga kali
seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.
(d) Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB,
sedangkan untuk pengobatan intermiten tiga kali seminggu
digunakan dosis yang sama. Penderita berumur sampai 60 tahun
dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk umur 60 tahun atau lebih
diberikan 0,50 gr/hari.
(e) Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik, dosis harian yang dianjurkan 15
mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten tiga kali
seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB.
c) Paduan OAT
WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu:
(a) Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R),
Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut
diberikan setiap hari selama dua bulan (2HRZE). Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H),
dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali seminggu selama empat
bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk:
(2) Penderita baru tuberkulosis paru BTA positif.
(3) Penderita tuberkulosis paru BTA negatif rontgen positif
yang sakit berat.
(4) Penderita tuberkulosis ekstra paru berat.
(b) Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3ES)
Tahap intensif diberikan selama tiga bulan, yang terdiri
dari dua bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R),
Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap
hari. Dilanjutkan satu bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin
(R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu
diteruskan dengan tahap lanjutan selama lima bulan dengan
HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Obat ini
diberikan untuk:
(1) Penderita kambuh (relaps).
(2) Penderita gagal (failure).
(3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
(c) Kategori-3 (2HRZ/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin(R) dan
Pirasinamid (Z), diberikan setiap hari selama dua bulan (2HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama empat
bulan, diberikan tiga kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan
untuk:
(1) Penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit
ringan.
(2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu tuberkulosis kelenjar
limfe (limfadenitis), pleuritis eksudativa unilateral,
tuberkulosis tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan
kelenjar adrenal.
(d) OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru
BTA positif dengan kategori-1 atau penderita BTA positif
pengobatan ulang dengan kategori-2, hasil pemeriksaan
dahaknya masih BTA positif, diberikan OAT sisipan (HRZE)
setiap hari selama satu bulan.
c) Prinsip Pengobatan
Obat tuberkulosis paru di berikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama enam
bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persiter) dapat di
bunuh. Dosis tahap awal (intensif) dan dosis tahap lanjutan
(intermiten) diberikan sebagai dosis tunggal. Apabila paduan obat
yang diberikan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu
pengobatan), kuman tuberkulosis akan berkembang menjadi kuman
yang kebal terhadap OAT (resisten). Untuk menjamin kepatuhan
penderita menelan obat, pengobatan perlu di dampingi oleh seorang
Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal
(intensif) dan tahap lanjutan (intermiten). Pada tahap intensif
penderita mendapat OAT setiap hari selama dua bulan. Bila tahap
intensif diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi
tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar
penderita tuberkulosis paru BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan
(intermiten) penderita mendapat jenis OAT tiga kali dalam
seminggu, namun dalam jangka waktu selama empat bulan.
2. Terapi Non Farmakologi
Tindakan yang dapat dilakukan pada pasien tuberkulosis dengan masalah
keperawatan bersihan jalan napas tidak efektif yaitu latihan batuk efektif, napas
dalam dan pengaturan posisi (semi atau high fowler).
a. Batuk Efektif
Batuk Efektif merupakan suatu upaya untuk mengeluarkan dahak dan
menjaga paru-paru agar tetap bersih, di samping dengan memberikan
tindakkan nebulizer dan postural drainage. Batuk efektif dapat dilakukan
pada pasien dengan cara diberikan posisi yang sesuai agar pengeluaran
dahak dapat lancar. Batuk efektif ini merupakan bagian tindakkan
keperawatan untuk pasien dengan gangguan pernapasan akut dan kronik
(Alie & Rodiyah, 2013).
b. Manfaat Batuk Efektif
Pemberian latihan batuk efektif beserta teknik melakukannya akan
memberikan manfaat. Manfaat dari batuk efektif yaitu untuk melonggarkan
dan melegakan saluran pernapasan maupun mengatasi sesak akibat adanya
lendir yang memenuhi saluran pernapasan.Lendir, baik dalam bentuk dahak
(sputum) maupun sekret dalam hidung, timbul akibat adanya infeksi pada
saluran pernapasan maupun karena sejumlah penyakit yang di derita
seseorang (Alie & Rodiyah, 2013).
c. Prosedur Tindakkan
Batuk Efektif Prosedur tindakkan batuk efektif yaitu antara lain
sebagai berikut (Alie & Rodiyah, 2013):
a) Beri tahu pasien, minta persetujuan klien dan anjurkan untuk cuci
tangan.
b) Atur pasien dalam posisi duduk tegak atau duduk setengah
memebungkuk (Semi fowler atau high fowler).
c) Letakkan handuk/alas pada leher klien, letakkan bengkok atau pot
sputum pada pangkuan dan anjurkan klien memegang tisu.
d) Ajarkan klien untuk menarik napas dalam secara perlahan, tahan 1-3
detik dan hembuskan perlahan melalui mulut. Lakukan prosedur ini
beberapa kali.
e) Anjurkan untuk menarik napas, 1-3 detik batukkan dengan kuat.
f) Tarik napas kembali selama 1-2 kali dan ulangi prosedur diatas 2
hingga 6 kali.
g) Jika diperlukan, ulangi lagi prosedur di atas.
h) Bersihkan mulut klien, instruksikan klien untuk membuang sputum
pada pot sputum atau bengkok.
i) Beri penguatan, berskan alat dan cuci tangan.
j) Menjaga kebersihan dan mencegah kontaminasi terhadap sputum.
k) Tindakan batuk efektif perlu diulang beberapa kali bila diperlukan.

K. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru


Adapun upaya pencegahan yang harus dilakukan yaitu :
1. Penderita tidak menularkan kepada orang lain
a. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu tangan atau tissu.
b. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan.
c. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi lysol,
kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam tanah.
d. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.
e. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara bersih dan
cahaya matahari yang cukup sehingga kuman tuberkulosis paru dapat mati.
2. Masyarakat tidak tertular dari penderita tuberkulosis paru
a. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan- makanan yang
bergizi.
b. Tidur dan istirahat yang cukup.
c. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung alkohol.
d. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke ruang tidur
dan ruangan lainnya.
e. Imunisasi BCG pada bayi.
f. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.
g. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tuberkulosis atau TB paru adalah suatu penyakit menular yang paling sering
mengenai parenkim paru, biasanya disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Gejala TB, primer dapat juga terdapat dalam bentuk pleuritis dengan efusi pleura
atau dalam bentuk yang lebih berat lagi, yakni berupa nyeri pleura dan sesak napas.
TB postprimer terdapat gejala penurunan berat badan, keringat dingin pada malam
hari, tempratur subfebris, batuk berdahak lebih dari dua minggu, sesak napas,
hemoptisis akibat dari terlukanya pembuluh darah disekitar bronkus, sehingga
menyebabkan bercak-bercak darah pada sputum, sampai ke batuk darah yang masif,
TB postprimer dapat menyebar ke berbagai organ sehingga menimbulkan gejala-
gejala seperti meningitis, tuberlosis miliar, peritonitis dengan fenoma papan catur,
tuberkulosis ginjal, sendi, dan tuberkulosis pada kelenjar limfe dileher, yakni
berupa skrofuloderma. (Tabrani Rab, 2016).
Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak (droplet) sumber
penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA (+), pada waktu penderita
tuberkulosis paru batuk atau bersin.
Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam penularan
penyakit tuberkulosis, terutama pada pemenuhan physiologis rumah, sebab sinar
ultra violet yang terdapat pada sinar matahari dapat membunuh kuman tuberkulosis
paru, selain itu sinar matahari juga dapat mengurangi kelembaban yang berlebihan,
sehingga dapat mencegah berkembangnya kuman tuberkulosis paru dalam rumah,
oleh karenanya suatu rumah sangat perlu adanya pencahayaan langsung yang cukup
dari sinar matahari.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Ruswanto, (2010). ANALISIS SPASIAL SEBARAN KASUS TUBERKULOSIS
PARU DITINJAU DARI FAKTOR LINGKUNGAN DALAM DAN LUAR
RUMAH DI KABUPATEN PEKALONGAN. Semarang.
https://core.ac.uk/download/pdf/11722833.pdf, diakses pada tanggal 6
Oktober 2021.
Elin Erlina, (2020). Karya Tulis Ilmiah. Pekanbaru. http://repository.pkr.ac.id/1112/1/K
TI%20ELIN%20ERLINA_.pdf, diakses pada tanggal 7 oktober 2021.
Dwi Sarah Rahmaniar, (2017). Karya Tulis Ilmiah. Padang. https://pustaka.poltekkespd
g.ac.id/repository/KTI_FIX_SARAH_1_(3).pdf, diakses pada tanggal 7
Oktober 2021.
Fajar Bagaskara, (2019). Laporan Tugas Akhir. Jember. https://repository.unej.ac.id/bit
stream/handle/123456789/91631/Fajar
%20Bagaskara152303101086%20spilt.pdf?sequence=1, diakses pada tangg
al 7 Oktober 2021,
Partono, (2019). Karya Tulis Ilmiah. 
Kupang. http://repository.poltekeskupang.ac.id/1578/1/KTI%20PARTONO
%20FIX.pdf, diakses pada tanggal 7 Oktober 2021.

Anda mungkin juga menyukai