Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA TUBERCULOSIS PARU

Pembimbing:

dr. Rezadi Satya Wardhana, Sp.P

Disusun oleh:

Desi Ayu Rahmadiani (41201396100004)

KEPANITERAAN KLINIK PULMONOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERIODE 11 OKTOBER – 29 OKTOBER 2021


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum, Wr. Wb.

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat, dan
kemudahan yang telah diberikan sehingga saya dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
Diagnosis dan Tata Laksana Tuberculosis Paru ini. Shalawat serta salam tak lupa saya
sampaikan kehadirat Nabi Besar, Rasulullah Muhammad SAW semoga kita senantiasa mendapat
syafa’atnya hingga di hari akhir nanti.

Ucapan terima kasih tidak lupa saya sampaikan pula kepada dr. Rezadi Satya Wardhana,
Sp.P yang telah membimbing saya dalam proses pengerjaan Referat ini dan juga kepada semua
teman-teman yang telah mendukung saya untuk menyelesaikan laporan ini.

Referat ini saya buat dalam rangka menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik
Pulmonologi RSUP Fatmawati. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan Referat ini masih
terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar dapat saya jadikan pembelajaran demi kesempurnaan penyusunan Referat ini.
Demikian Referat ini saya susun, semoga dapat bermanfaat bagi saya sebagai penulis
khususnya serta sejawat FK UIN 2017 dan masyarakat luas pada umumnya.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.
Tangerang Selatan, 16 Oktober 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................2

DAFTAR ISI ..............................................................................................................................3

BAB I

PENDAHULUAN ......................................................................................................................4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................................................5

BAB III

KESIMPULAN ......................................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 25

3
BAB I

PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim
paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi
organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru
lainnya (Kemenkes RI, 2020).1,2,5

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang paling sering dialami oleh masyarakat
di Negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan WHO, 98% kematian akibat TB terjadi di
Negara berkembang, hal ini erat kaitannya dengan tingkat ekonomi serta kesadaran masyarakat
akan kesehatan. Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke 5 di dunia setelah
India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar
5,8% dari total jumlah pasien TB di dunia.5,8

Tuberkulosis menyebar melalui rute udara, menjadikan penyakit ini salah satu penyakit
yang paling mudah ditularkan. Pengobatan TB pun membutuhkan waktu yang cukup lama,
sehingga pasien-pasien TB seringkali mengalami kondisi putus obat yang mengakibatkan
resistensi. Jika sudah terjadi resistensi maka penyakit ini akan lebih sulit disembuhkan. 1,2

Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan
serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan TB merupakan
bagian dari surveilans penyakit, tidak hanya memastikan pasien meminum obat hingga habis
secara rutin tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana, pencatatan dan pelaporan oleh
paramedis tentang kasus TB ini.1,2

Oleh sebab itu, diperlukan edukasi yang menyeluruh kepada semua lapisan masyarakat
terkait bahaya dari penyakit ini dan pentingnya minum obat secara rutin agar dapat sembuh dari
penyakit ini secara tuntas dan tidak menularkannya pada orang lain. Peran dari Pengawas Minum
Obat (PMO) menjadi salah satu kunci keberhasilan terapi penyakit ini.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi TB

Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga
sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB sering ditemukan
menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki
kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe,
tulang, dan organ ekstra paru lainnya.1,2,5

2.2. Epidemiologi TB

Diperkirakan sekitar satu per tiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Sejumlah 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada
negara-negara berkembang. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis, yakni usia 15-50 tahun.

Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke 5 di dunia setelah India,


Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari
total jumlah pasien TB di dunia. Setiap tahunnya ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246
orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk. Kekebalan ganda
kuman TB terhadap obat anti TB atau istilah multidrug resistance, diantara kasus TB baru
sebesar 2%, semenetara kasus TB MDR diantara kasus pengobatan ulang adalah sebesar
20%.2,3,5

2.3. Etiologi dan Transmisi TB

Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB yaitu Mycobacterium


tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti and
Mycobacterium cannettii. M.tuberculosis (M.TB), hingga saat ini merupakan bakteri yang paling
sering ditemukan, dan menular antar manusia melalui rute udara. Tidak ditemukan hewan yang

5
berperan sebagai agen penularan M.TB. Namun, M. bovis dapat bertahan dalam susu sapi yang
terinfeksi dan melakukan penetrasi ke mukosa saluran cerna serta menginvasi jaringan limfe
orofaring saat seseorang mengonsumsi susu dari sapi yang terinfeksi tersebut.

Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara melalui percik
renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seorang yang terinfeksi TB paru atau
TB laring batuk, bersin, atau bicara. Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB :

1. Jumlah organisme yang keluar ke udara.

2. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang dan ventilasi.

3. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.

Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali bersin dapat
memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis yang diperlukan terjadinya suatu
infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil. Kasus yang paling infeksius adalah penularan dari pasien
dengan hasil pemeriksaan sputum positif, dengan hasil 3+ merupakan kasus paling infeksius.
Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum negatif bersifat tidak terlalu infeksius. Kasus TB ekstra
paru hampir selalu tidak infeksius, kecuali bila penderita juga memiliki TB paru. Individu
dengan TB laten tidak bersifat infeksius, karena bakteri yang menginfeksi mereka tidak
bereplikasi dan tidak dapat melalukan transmisi ke organisme lain.

Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan minim ventilasi di
mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu yang lebih lama. Cahaya matahari
langsung dapat membunuh tuberkel basili dengan cepat, namun bakteri ini akan bertahan lebih
lama di dalam keadaan yang gelap. Kontak dekat dalam waktu yang lama dengan orang
terinfeksi meningkatkan risiko penularan. Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan tersebut
berkembang menjadi penyakit TB aktif bergantung pada kondisi imun individu. Pada individu
dengan sistem imun yang normal, 90% tidak akan berkembang menjadi penyakit TB dan hanya
10% dari kasus akan menjadi penyakit TB aktif (setengah kasus terjadi segera setelah terinfeksi
dan setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko paling tinggi terdapat pada dua tahun pertama
pasca-terinfeksi, dimana setengah dari kasus terjadi. Kelompok dengan risiko tertinggi terinfeksi
adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun dan lanjut usia. Orang dengan kondisi imun buruk lebih

6
rentan mengalami penyakit TB aktif dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal.
50-60% orang dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan mengalami penyakit TB yang aktif.
Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi medis lain di mana sistem imun mengalami penekanan
seperti pada kasus silikosis, diabetes melitus, dan penggunaan kortikosteroid atau obat-obat
imunosupresan lain dalam jangka panjang.

Kuman ini bersifat aerob yang menyebabkan kuman lebih menyenangi jaringan yang
tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini, tekanan oksigen pada bagian apex paru lebih tinggi
dari bagian lain, sehingga bagian apex menjadi tempat predileksi terbanyak penyakit
tuberculosis.2,4,5,8

2.4. Faktor Resiko TB

Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
penyakit TB, kelompok tersebut adalah :

1. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.

2. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang.

3. Perokok

4. Konsumsi alkohol tinggi

5. Anak usia <5 tahun dan lansia

6. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang infeksius.

7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberculosis (contoh: lembaga


permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)

8. Petugas kesehatan.1,2,5,8

2.5. Patogenesis TB

Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan trakea-bronkial dan
dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus, di mana nukleus percik renik tersebut
akan dicerna oleh makrofag alveolus yang kemudian akan memproduksi sebuah respon

7
nonspesifik terhadap basilus. Infeksi bergantung pada kapasitas virulensi bakteri dan
kemampuan bakterisid makrofag alveolus yang mencernanya. Apabila basilus dapat bertahan
melewati mekanisme pertahanan awal ini, basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag.
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23-32 jam sekali di dalam
makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun eksotoksin, sehingga tidak terjadi
reaksi imun segera pada host yang terinfeksi. Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12
minggu dan jumlahnya akan mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang cukup untuk
menimbulkan sebuah respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin
skin test. Bakteri kemudian akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk berupa tuberkel
basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon imun.

Sebelum imunitas seluler berkembang, tuberkel basili akan menyebar melalui sistem
limfatik menuju nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke organ lain.
Beberapa organ dan jaringan diketahui memiliki resistensi terhadap replikasi basili ini. Sumsum
tulang, hepar dan limpa ditemukan hampir selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria.
Organisme akan dideposit di bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak, di mana kondisi
organ-organ tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri Mycobacteria. Pada beberapa
kasus, bakteri dapat berkembang dengan cepat sebelum terbentuknya respon imun seluler
spesifik yang dapat membatasi multiplikasinya.2,3,6,8

8
Gambar 2.1. Patogenesis TB

1. TB Primer

Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili. Percik renik yang
mengandung basili yang terhirup dan menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak
di bagian bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian
terfagosistosis oleh makrofag; produk mikobakterial mampu menghambat kemampuan bakterisid
yang dimiliki makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat melakukan replikasi di dalam makrofag.
Makrofag dan monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan bermigrasi menuju
fokus infeksi dan memproduksi respon imun. Area inflamasi ini kemudian disebut sebagai Ghon
focus. Basili dan antigen kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui jalur limfatik
menuju Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks (Ghon) primer. Respon inflamasinya
menghasilkan gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Beberapa basili tetap dorman di dalam fokus
primer untuk beberapa bulan atau tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”.

Kompleks primer ini akan mengalami salah satu dari berbagai kemungkinan keadaan
berikut :

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas antara lain berupa sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang pengapuran di hilus.

3. Menyebar dengan cara:

a. Perkontinuitatum, yaitu menyebar ke area di sekitarnya

b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru yang bersangkuatan atau ke paru


sebelahnya atau tertelan.

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen

2. TB pasca primer

TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang sebelumnya
pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten yang memakan waktu bulanan

9
hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau
karena reinfeksi.

Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama beberapa bulan
atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali bermultiplikasi. Hal ini mungkin
merupakan respon dari melemahnya sistem imun host oleh karena infeksi HIV. Reinfeksi terjadi
ketika seorang yang pernah mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh kontak dengan
orang yang terinfeksi penyakit TB aktif. Dalam sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian
dari proses infeksi primer. Setelah terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat menjadi
penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding pada orang dewasa. Foto toraks
mungkin dapat memperlihatkan gambaran infiltrat pada lapang paru. TB post-primer biasanya
mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga melibatkan organ tubuh lain. Karakteristik dari
dari TB post primer adalah ditemukannya kavitas pada lobus superior paru dan kerusakan paru
yang luas. Pemeriksaan sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif.2,4

2.6. Klasifikasi dan Tipe pasien TB

Terduga (presumptive) pasien TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau


gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai terduga TB). Pasien TB yang
terkonfirmasi bakteriologis adalah pasien TB yang terbukti positif bakteriologi pada hasil
pemeriksaan (contoh uji bakteriologi adalah sputum, cairan tubuh dan jaringan) melalui
pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan.

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :

1. Pasien TB paru BTA positif

2. Pasien TB paru hasil biakan M.TB positif

3. Pasien TB paru hasil tes cepat M.TB positif

4. Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun
tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.

5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

10
Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria
terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan
diputuskan untuk diberikan pengobatan TB karena membutuhkan pengobatan segera seperti
Meningitis TB, TB milier, dan pasien TB dengan HIV positif.

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah :

1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks dan gejala mendukung TB.

2. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah diberikan antibiotika
non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB

3. Pasien TB ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan histopatologis
tanpa konfirmasi bakteriologis.

4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis


positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai
pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.1,2,5

2.6.1. Klasifikasi TB

Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat diklasifikasikan


berdasarkan :

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis :

a. TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial. TB milier
diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru
dan ekstra paru harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.

b. TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru seperti pleura,
kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak.
Kasus TB ekstra paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.

11
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :

a. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau riwayat
mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis bila memakai obat program).

b. Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau
lebih (>28 dosis bila memakai obat program). Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan
hasil pengobatan terakhir sebagai berikut :

c. Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB
episode kembali (karena reaktivasi atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).

d. Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.

e. Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan atau lebih
dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow
up sebagai hasil pengobatan.

f. Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil akhir
pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.

g. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien yang tidak diketahui riwayat
pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.

Penting diidentifikasi adanya riwayat pengobatan sebelumnya karena terdapat risiko


resistensi obat. Sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan obat menggunakan tercepat yang telah disetujui WHO (TCM TB MTB/Rif atau LPA
(Hain test dan genoscholar) untuk semua pasien dengan riwayat pemakaian OAT.1,2,5

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Berdasarkan hasil uji kepekaan, klasifikasi TB terdiri dari :

a. Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.

12
b. Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid (H) dan
rifampisin (R) secara bersamaan.

c. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R)
secara bersamaan.

d. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan terhadap salah satu OAT
golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin,
kapreomisin, dan amikasin).

e. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin baik menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional), dengan atau tanpa resistensi
terhadap OAT lain yang terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua bentuk TB
MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan terhadap rifampisin. 1,2,5

2.7. Diagnosis

Untuk mendiagnosis tuberculosis dapat ditegakkan dari gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.

a. Gejala klinis

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori berupa
batuk atau sesak napas

Gejala respiratori diantaranya batuk lebih dari 2 minggu, batuk dengan atau tanpa dahak,
batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi mulai dari tidak
ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
saat medical check up.

Gejala sistemik diantaranya demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan
menurun, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang
timbul secara tidak teratur.

13
Sedangkan gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberculosis akan terlihat gejala meningitis seperti kaku kuduk,
kejang, pusing, demam dan muntah. Sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak
napas dan nyeri dada pada sisi pleura yang terkena, nyeri terutama saat melakukan tarikan nafas
dalam.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva


mata atau kulit yang pucat karena anemia namun hal ini tidak spesifik terhadap infeksi TB.
Pengukuran suhu biasanya menunjukkan adanya demam (subfebris), badan kurus atau berat
badan menurun. Pada tuberculosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan perkembangan penyakit umumnya tidak menemukan kelainan. Kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada paru pemeriksaan sering
ditemukan antara lain suara napas bronchial, amforik, suara napas melemah, ronki basah. Bila
proses infiltratif ini makin meluas dan menebal, juga akan didapatkan fremitus yang menguat
dengan redup pada perkusi, suara nafas bronkial. Bila sudah terjadi kavitas akan ditemukan
gejala-gejala kavitas berupa timpani pada perkusi disertai suara nafas amforis. Bila terjadi
atelektasis (pada destroyed lung), suara nafas setempat akan melemah sampai hilang sama sekali.

Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat
agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan
suara napas yang lemah sampai tidak terdengar suara sama sekali. Dalam penampilan klinis, TB
paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis
dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.

c. Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang


sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, bilasan
bronkoalveolar, urin, feses dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

14
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannnya BTA
pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Apabila memungkinkan, maka dapat dilakukan
pemeriksaan lain misalnya kultur (biakan) dan uji resitensi. Kriteria sputum BTA positif
adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan.

d. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan standar ialah foto toraks posteroanterior, pemeriksaan lainnya seperti foto
lateral, top lordotik, oblik, CT-scan dapat juga dilakukan tentunya dengan indikasi dan
kepentingan pengobatan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberikan
gambaran bermacam-macam (multiform).

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal, posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif antara lain lesi fibrotik, kalsifikasi dan
schwarte atau penebalan pleura. Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan
pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :

 Lesi minimal

Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela
iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua depan dan
prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai
kaviti.

 Lesi luas

Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

15
e. Tes tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis


tuberkulosis terutama pada anak-anak. Biasanya digunakan tes Mantoux yakni dengan
menyuntikkan 0,1 cc Tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) intrakutan. Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transversal dari indurasi yang terjadi.
Uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm (pada gizi baik), atau > 5 mm pada gizi buruk.
Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan ada TB aktif pada
anak. Namun, uji tuberkulin dapat negatif pada anak TB berat dengan anergi (malnutrisi,
penyakit sangat berat, pemberian imunosupresif dll). 1,2,3,5

Gambar 2.2. Alur Diagnosis TB 16


2.8. Tata Laksana

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah


kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

Obat yang digunakan untuk TB digolongkan atas dua kelompok yaitu :

1. Lini pertama: Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomisin
(S).

2. Lini kedua: Kanamycin (Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx), Moxifloxacin (Mfx),
Ethionamide (Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino Salicylic (PAS).

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin)


dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat
juga meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.

2.8.1. Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung


minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.

2. Diberikan dalam dosis yang tepat sesuai berat badan.

3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas
Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2)
tahap yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat
untuk mencegah kekambuhan.

17
2.8.2. Tahapan Pengobatan

 Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini
adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2
bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya
penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu pertama.
 Tahap Lanjutan: Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan

2.8.3. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk kombipak dan
paket berupa kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien.
 Paket Kombipak. adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
 Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR). Paduan OAT ini diberikan
untuk pasien baru yaitu pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB
paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru.

18
Gambar 2.3. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT lini-1

 Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu Pasien kambuh, Pasien gagal pada
pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya, Pasien yang diobati
kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

Gambar 2.4. Jenis, Sifat, dan Dosis OAT lini-2

19
 Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.
 Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin,
PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya
serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

2.8.4 Pengobatan TB Pada Keadaan Khusus


1. Pasien TB dengan kelainan hati
 Pasien TB dengan hepatitis akut dan/atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis
akutnya mengalamai penyembuhan.
 Hepatitis kronis  Pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai
pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati >3x normal sebelum
memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
(1) Dua obat yang hepatotoksik : 2 HRSE/ 6 HR atau 9 HRE
(2) Satu obat yang hepatotoksik : 2 HES/ 10 HE
(3) Tanpa obat hepatotoksik: 18-24 SE ditambah salah satu golongan
fluorokuinolon (ciprofloxacin tidak direkomendasikan karena potensinya sangat
lemah).
2. Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal
Paduan OAT yang dianjurkan pada pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat adalah 2HRZE/4HR. H dan R diekskresi
melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. Dosis Z dan E
harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemeberian 3x/ minggu
dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar dalam darah
harus selalu dipantau.

20
Gambar 2.5. OAT untuk pasien gagal ginjal

3. Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM)


Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM) Paduan OAT yang diberikan
pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi pasien TB tanpa DM dengan
syarat kadar gula darah terkontrol. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol,
maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan. Perlu diperhatikan
penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes
(sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan.1,2,5,7

2.8.5. Efek Samping OAT

Gambar 2.6. Efek samping OAT

21
2.9. Evaluasi Hasil Pengobatan

2.9.1. Evaluasi Selama Pengobatan

Gambar 2.7. Evaluasi Pengobatan

Keterangan gambar:
 x  Cek dahak. Px dahak evaluasi dilakukan 2x (sewaktu, pagi) dinyatakan
positif bila salah satu atau dua dahak hasil BTA(+)
 (X)  Cek dahak ulang bila hasil dahak di akhir fase intensif masih (+). Jika hasil
terdapat resisten obat  pasien dinyatakan gagal dan dirujuk ke TB resisten obat
 Evaluasi foto thoraks  Minggu terakhir di fase intensif dan minggu terakhir
akhir pengobatan (bulan 6 atau 8). 2,5

2.9.2. Evaluasi penderita yang telah sembuh

Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2


tahun setelah sembuh untuk mengetahui adanya kekambuhan. Hal yang dievaluasi
adalah sputum BTA mikroskopis dan foto thoraks. Sputum BTA mikroskopis pada 3,
6, 12, dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh.1,2,5

22
2.10. Komplikasi TB

Penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut. Komplikasi dini berupa pleuritis,
efusi pleura, dan empiema. Komplikasi lanjut diantaranya obstruksi jalan napas seperti SOPT
(Sindrom Obstruksi Paska Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat, fibrosis paru, cor-pulmonal,
karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS).3,4

23
BAB III

KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim
paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi
organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru
lainnya . Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke 5 di dunia, diperkirakan
jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB di dunia. Tuberkulosis
menular dari manusia ke manusia lain lewat udara melalui percik renik atau droplet nucleus yang
keluar ketika seorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring batuk, bersin, atau bicara.

TB memiliki berbagai macam klasifikasi menurut lokasi anatomis, riwayat pengobatan,


dan uji kepekaan obat. Diagnosis TB ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pengobatan TB memiliki 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan,
untuk regimen dan lama waktu pengobatan disesuaikan dengan kondisi pasien dan keparahan
penyakit yang diderita.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. Permenkes no. 67 tahun 2016 tentang Penanggulangan


Tuberkulosis. 2016.
2. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis 2020, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
3. Sudoyo, Aru dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2010.
4. Price, Sylvia A. Patofisiologi, volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC. 2010 .
5. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Depertemen Kesehatan
Republik Indonesia. 2011.
6. PDPI. Tuberculosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2014.
7. WHO. Treatment of Tuberculosis Guidelines, 4th ed. WHO. 2017.
8. Raviglione, MarioC. and Richard J. O’Brien. Tuberculosis. Chapter 150. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 17th ed. Page 953-966. The United States of America:
McGraw-Hill.

25

Anda mungkin juga menyukai